Dojo yang terletak di pinggiran Kota Tokyo dipenuhi oleh murid-murid yang sedang berlatih. Kebanyakan dari mereka berlatih berpasangan atau berkelompok. Namun di tengah keramaian itu, ada satu area di mana banyak murid yang hanya sekedar menonton. Mereka sedang menyaksikan latihan pertandingan. Yang membuat latihan tanding itu menarik adalah karena pertandingan itu tidak dilakukan berpasangan, tapi satu lawan tiga.
Aziz harus berkonsentrasi penuh untuk mengantisipasi serangan dari segala arah. Tiga orang yang mengepungnya bisa menyerang kapan saja. Bahkan mereka bisa menyerang bersamaan, karena memang tidak ada aturan yang melarangnya. Apalagi tiga orang itu bukanlah murid kemarin sore. Mereka adalah murid senior yang sudah bertahun-tahun berlatih di Dojo ini.
Dan ternyata ketiga murid itu memang tidak bisa dipandang sebelah mata. Mereka langsung mengambil posisi yang menyulitkan Aziz. Dua orang di kiri dan kanan mengambil posisi ke arah belakang di luar jangkauan penglihatan Aziz, sedang yang satu lagi tetap di hadapannya. Hal ini membuat pemuda itu hanya bisa mengantisipasi serangan dari depan, sedangkan serangan dari arah lain bisa dikatakan mustahil dipatahkan.
Akhirnya serangan itu pun datang. Dari depan datang pukulan yang mengancam kepala Aziz, sedangkan dari kiri dan kanannya ada tendangan yang mengarah ke punggung dan dada. Ketiganya datang hampir bersamaan. Dan karena posisinya diatur sedemikian rupa, Aziz hanya bisa melihat serangan dari depan dan hanya bisa menerka dua serangan lainnya.
Serangan itu dilakukan dengan kecepatan kilat. Tapi bukan Aziz namanya jika keadaan ini membuatnya kalang kabut. Dia tidak kehilangan akal. Karena satu serangan sudah mengarah ke kepala, dua serangan lain pasti mengincar bagian tubuh lain. Dengan insting yang didapat dari latihan bertahun-tahun, dia menghindari serangan ke arah kepala lalu menguatkan bagian tubuh bawahnya. Sesaat setelah Aziz menghindari pukulan itu, dia merasakan benturan keras di punggung dan dadanya.
Saking kerasnya tendangan itu, para murid yang menonton bisa mendengar suara Buk... Buk, padahal jarak mereka cukup jauh. Tapi entah terbuat dari apa tubuh itu, Aziz hanya mengernyit sesaat lalu dengan kecepatan luar biasa membalas serangan lawan-lawannya. Dia langsung melancarkan pukulan dengan tangan kanan ke arah lawan di depannya sehingga orang itu harus mundur menghindar. Setelah tangan kanan Aziz hanya menerpa tempat kosong, dia langsung melancarkan serangan dengan pukulan tangan kiri ke arah lawan di kanan kemudian membalikkan badan dan melancarkan tendangan ke arah lawan di sebelah kiri.
Memang tidak ada satu pun serangan Aziz yang mengenai sasaran. Tapi kini dia terbebas dari kurungan karena ketiga lawannya mundur beberapa langkah ke belakang. Aziz langsung mengambil posisi membelakangi dinding terdekat, sehingga kini semua lawannya harus menghadapinya dari depan. Dengan sudut hanya 180 derajat untuk melakukan serangan, ketiga lawan Aziz cukup kesulitan untuk mengatur tempo.
Serangan kembali datang bertubi-tubi, tapi kini Aziz bisa memanfaatkan keunggulannya dalam kecepatan. Apalagi setelah dia berhasil melumpuhkan satu lawannya dengan pukulan telak di ulu hati. Tempo serangan yang harus dipatahkan jadi lebih lambat. Setelah Aziz meningkatkan kecepatan geraknya, pertandingan langsung berubah arah. Aziz yang tadinya dalam posisi bertahan kini berbalik menyerang, sehingga dalam waktu tidak berapa lama dia kembali bisa melumpuhkan kedua lawannya.
Setelah lawan Aziz yang terakhir roboh, tepuk tangan langsung bergemuruh. Para murid yang menonton langsung mengelu-elukan nama Aziz. Hal ini sebenarnya sering terjadi. Bisa dikatakan Aziz belum pernah kalah dalam latihan tanding di Dojo ini. Lalu level latihan tanding pun ditingkatkan, Aziz melawan dua orang murid. Dan kini, Aziz ditantang untuk menghadapi tiga orang. Tapi hasilnya sama saja, Aziz adalah pemenangnya.
Memang sejak kecil Aziz sudah menunjukkan bakatnya. Sejak dia dibawa Ahmad ke negeri ini, Aziz langsung merasa kerasan seperti tinggal di rumah sendiri. Apalagi Sensei Tanaka, pemilik Dojo ini, sangat sayang padanya. Selain karena Tanaka memang merasa berhutang budi pada Profesor Morati, dia juga sudah lama merindukan murid yang dianggap bisa mewarisi seluruh kemampuannya. Dan setelah melihat kemampuan Aziz, Tanaka bagai mendapat durian runtuh.
Sensei Tanaka adalah lelaki yang mencintai segala macam ilmu bela diri. Seluruh hidupnya dia dedikasikan untuk olah raga ini. Tanaka tidak menikah dan memiliki anak, namun dia memiliki banyak sekali murid. Tapi Aziz berbeda dengan muridnya yang lain. Kemampuannya dalam bela diri sangat luar biasa. Karena itu Tanaka sangat menyayanginya dan sudah menganggapnya sebagai anak sendiri.
Saat Ahmad datang padanya dengan membawa anak berumur tiga tahun, Tanaka memandangnya dengan sebelah mata. Tapi ini permintaan Profesor Morati, jadi dengan berat hati dia mau menerima anak itu. Dan karena keseharian Tanaka adalah di Dojo miliknya, anak itu sering juga dia ajak ke sana. Dari sinilah awal Aziz memasuki dunia bela diri. Seperti anak kecil pada umumnya, Aziz suka meniru gerakan yang dia lihat. Dan di Dojo tentu saja gerakan yang dia lihat adalah gerakan bela diri.
Satu tahun setelah tinggal bersama Tanaka, Aziz sudah pintar meniru hampir semua gerakan bela diri yang diajarkan. Tanaka sangat senang melihat hal itu, sehingga saat Aziz berusia lima tahun, Tanaka memutuskan untuk mengajari anak itu secara langsung. Aziz kemudian diberi latihan untuk membentuk tubuhnya. Karena mendapat latihan fisik dalam usia yang sangat dini, Aziz tumbuh menjadi pemuda yang kuat.
Saat usianya baru 10 tahun, Tanaka sudah percaya pada kemampuan Aziz. Di usia inilah dia melakukan debut pertamanya dalam latihan tanding. Dan karena tidak ada murid Dojo seusia Aziz yang dianggap mampu melakukan latihan tanding resmi, Aziz dipasangkan dengan lawan yang berusia lima tahun di atasnya. Saat dia masuk ke arena, banyak pandangan mata yang meremehkan. Tapi semua langsung berubah setelah hanya dalam beberapa menit Aziz mampu melumpuhkan lawannya. Sejak itu Aziz praktis tak terkalahkan.
Tidak hanya dalam latihan tanding, peningkatan ilmu bela dirinya juga sangat mencengangkan. Dalam waktu tiga tahun saja dia sudah memakai sabuk hitam. Karena itu Tanaka akhirnya mengajarkannya jenis bela diri lain, sehingga dalam usia 17 tahun Aziz sudah menguasai empat macam ilmu bela diri. Hebatnya lagi, Aziz bisa menggabungkan kelebihan dari keempat ilmu bela diri itu menjadi semacam ilmu bela diri baru. Namun karena peraturan, dia hanya bisa menggunakannya dalam pertandingan tidak resmi.
Dengan kemampuan yang dia miliki, Aziz bisa menjuarai semua kompetisi yang dia ikuti. Awalnya Aziz mewakili Dojonya dalam kompetisi lokal. Setelah dia menjadi juara, praktis Aziz terpilih mewakili daerahnya untuk level kompetisi nasional kemudian mewakili Jepang di level internasional. Karena itu, meski Aziz lebih sering berada di Dojo, Tanaka tetap memintanya untuk sekolah agar Aziz tidak kesulitan dalam hal bahasa saat mengikuti ajang internasional.
Meski lemah dalam bidang akademik, Aziz tidak memiliki kesulitan untuk kuliah di perguruan tinggi. Karena prestasinya di bidang bela diri, Aziz mendapat banyak tawaran beasiswa dari berbagai perguruan tinggi ternama di Jepang. Akhirnya karena kecintaannya pada Dojo tempat ia berlatih, Aziz memilih untuk kuliah di Universitas Tokyo. Dengan demikian dia masih tetap bisa berlatih sambil kuliah.
Kini Aziz sudah memasuki kepala dua. Di usianya yang semuda itu, dia sudah mempersembahkan medali emas untuk Jepang di ajang Olimpiade bidang ilmu bela diri karate. Kuliahnya juga hampir selesai, hanya tinggal merampungkan karya ilmiah. Di saat itulah muncul dua orang asing dari Indonesia. Mereka diantar sendiri oleh Tanaka, karena memang Tanaka mengenal mereka. Dua orang itu tidak lain adalah Ahmad dan Malik, paman dan saudara kandung Aziz.
Karena Aziz masih sangat kecil saat berpisah dengan mereka, dia tidak mengenali Ahmad maupun Malik saudaranya. Jadi mereka harus memperkenalkan diri terlebih dahulu pada Aziz. Ahmad tidak pandai berbicara Bahasa Inggris apalagi Bahasa Jepang, sehingga Malik yang diminta untuk berbicara.
"Namaku Malik, dan ini Ahmad. Aku adalah saudara kandungmu, dan ini adalah pamanmu, saudara dari ibu kita. Dulu kita sering bermain bersama. Mungkin kau tidak ingat karena waktu itu kau masih sangat kecil." Malik mencoba menjelaskan dalam Bahasa Inggris.
"O ya? Kenapa aku harus percaya? Mungkin saja kalian pembohong yang ingin memanfaatkan kekuatanku." kata Aziz sangsi.
"Kau bisa bertanya pada Sensei, 17 tahun lalu paman menyerahkanmu padanya." kata Malik lagi.
"Itu tidak membuktikan bahwa kalian saudaraku." Aziz masih bersikeras.
Malik tidak tahu apa lagi yang harus dia katakan untuk meyakinkan Aziz, dia lalu memandang pamannya. Ahmad langsung mengerti dan berkata.
"Tunjukkan padanya batu itu."
Malik pun menurut. Dia mengeluarkan cincin di sakunya lalu memakainya dan menunjukkannya pada Aziz. Warna putih pada batu di cincin itu terlihat bersinar terang.
"Kau memiliki batu itu?" tanya Aziz terlihat kaget.
"Ya, awalnya batu ini berbentuk kalung. Tapi karena kalung sangat mencolok saat dipakai bepergian, aku mengubahnya menjadi mata cincin. Kau memilikinya juga kan?"
"Batu berwarna merah. Aku merasa lebih kuat saat bertanding memakai kalung itu. Tapi peraturan pada pertandingan resmi melarang aku memakai kalung, jadi aku juga mengeluarkannya dan meletakkannya di kain pengaman lutut yang kupakai saat bertanding."
"Jadi sekarang kau percaya pada kami?" tanya Malik lagi.
"Baiklah. Lalu apa yang kalian inginkan?"
"Kami ingin kau ikut dengan kami ke Indonesia sekarang."
Aziz berpikir sejenak baru kemudian menjawab.
"Seumur hidupku aku tidak pernah meninggalkan Dojo ini. Kalian harus memberi alasan yang kuat agar aku mau melakukannya."
"Kami membutuhkan kekuatanmu untuk membebaskan ayah kita. Dia ditawan oleh sang penguasa dunia. Kurasa kau suka tantangan, jadi mungkin kau tertarik untuk mencoba menaklukkannya."
Suasana di salah satu Ball Room lantai 34 gedung Empire State, New York cukup mencekam. Saat ini adalah penentuan pemenang tender dari proyek bernilai milyaran dollar yang mencakup seluruh negara bagian di Amerika Serikat. Dari seleksi ketat yang sudah diadakan, kini hanya tersisa tiga perusahaan yang dianggap mampu menjalankan proyek itu.Karena besarnya nilai proyek yang ada, para pimpinan tertinggi perusahaan bersama tim terbaiknya datang langsung untuk berjuang memperebutkan proyek itu. Tentu saja sebelumnya mereka sudah menggunakan berbagai cara agar posisi perusahaan mereka lebih unggul dari yang lain, baik dengan cara resmi maupun lewat jalur belakang. Tapi karena ketiga perusahaan itu sama kuat, sampai saat ini belum terlihat siapa calon pemenangnya.Hal inilah yang membuat suasana menjadi tegang. Aura persaingan sangat kental terasa. Ketiga kelompok perusahaan itu saling memperhatikan satu sama lain untuk mengukur keunggulan dari rivalnya. Dan ketegan
Bandara Internasional John F. Kennedy di New York termasuk bandara yang paling sibuk di dunia. Jadi wajar jika bandara ini selalu ramai dipadati oleh penumpang baik di sesi liburan maupun di hari biasa. Antrean sering ditemukan mulai dari pintu masuk bandara, gate keberangkatan bahkan sampai tempat makan. Tapi ini tidak berlaku bagi keempat orang yang sedang menuju ke Jerman.Nicholas memimpin di depan rombongan itu. Setiap rombongan itu menemui antrean, pintu khusus selalu dibukakan untuk mereka. Para petugas juga selalu menyapa mereka dengan hormat. Dan tentu saja mereka tidak perlu repot membawa barang-barang karena semua sudah ditangani bahkan sejak limosin mereka sampai di area bandara."Jet baru siap setengah jam lagi." kata Nicholas pada rombongan. "Kalian mau makan di pesawat atau di ruang tunggu?""Terserah kau saja." Ahmad menjawab mewakili yang lain karena dia yang paling tua."Baiklah, sebaiknya kita makan di ruang tunggu saja. Perjal
Berlin adalah ibukota Jerman yang penduduknya paling padat di antara kota-kota lainnya. Karena itu, rumah di pinggiran kota juga sudah penuh sesak. Bisa dikatakan sulit menemukan lahan kosong di kota ini. Termasuk rumah besar milik Sadewa, sudah banyak rumah-rumah lain di sekitarnya. Tapi karena Sadewa membangunnya seperti bangunan kastil dengan pagar yang tinggi, jarang sekali ada pengunjung yang datang ke rumah itu.Tapi kini di rumah itu ada empat orang yang datang berkunjung. Tentu saja mereka bisa masuk atas izin pemiliknya. Setelah memperkenalkan diri sebentar, Sadewa mengajak mereka ke ruang pertemuan yang sejak rumah ini dibangun, baru kali ini digunakan. Sadewa memang jarang menerima tamu langsung. Biasanya dia berkomunikasi secara online.Di ruang pertemuan itu ada meja bulat yang alasnya berbentuk kaca. Ternyata kaca itu bukan hanya berfungsi sebagai alas, tapi juga memiliki kemampuan sebagai layar sentuh. Saat seseorang duduk, kaca di hadapannya la
Meja bundar beralaskan kaca di rumah besar pinggir Kota Berlin bersinar terang. Kaca pada meja itu memantulkan cahaya yang dipancarkan keempat batu yang diletakkan di atasnya. Cahaya yang keluar juga sesuai dengan warna batu. Putih, merah, hijau serta biru. Membuat komposisi warna yang indah, meski tak sebanyak warna pelangi. Dan meski batu itu berukuran kecil, hanya seukuran pil, tapi cahayanya cukup menyilaukan mata.Baru kali ini batu-batu itu memancarkan cahaya seterang itu, pasti karena diletakkan berdekatan. Lima pasang mata memandangnya dengan terpesona. Akhirnya, setelah beberapa lama, mereka terbebas dari pesona batu-batu itu dan kembali membicarakan misi mereka."Baik, simpan batu kalian kembali. Aku akan mulai bercerita." kata Ahmad pada keempat ponakannya.Para anak muda itu langsung menurut. Mereka mencondongkan badan untuk mengambil batu milik mereka. Kecuali Sadewa, secara mengagumkan batu miliknya bergerak sendiri lalu menyatu dengan telapak tang
Cuaca di Bandar Udara Soekarno Hatta sedang gerimis. Di siang hari yang teduh itu, beberapa pesawat sedang antre untuk mendarat karena padatnya jadwal penerbangan. Termasuk pesawat yang berasal dari Berlin, Jerman. Setelah mendapat izin dari otoritas Bandara, baru kemudian pesawat itu bersiap untuk mendarat. Tak lama setelah pesawat itu menginjak landasan, para penumpang pun turun.Di antara para penumpang pesawat itu ada rombongan penumpang dari bermacam kewarganegaraan. Dari lima orang anggota rombongan, hanya dua orang yang merupakan Warga Negara Indonesia. Sisanya adalah Warga Negara Jepang, Amerika dan Jerman. Hampir satu harian mereka menempuh perjalanan menuju Jakarta. Karena mereka memang naik pesawat komersial biasa, bahkan membeli tiket kelas ekonomi.Sebenarnya Nicholas telah menawarkan diri untuk menggunakan pesawat pribadi lagi. Tapi Ahmad menolaknya. Kantor pusat Richard berada di Jakarta, dan tidak ada yang tahu seberapa besar pengaruhnya saat ini. Mengg
Pusat perbelanjaan di kawasan elite kota Jakarta siang itu tidak terlalu ramai. Bukan hanya karena hari itu adalah hari kerja, tapi pusat perbelanjaan itu memang hanya bisa dijangkau oleh kalangan atas karena harga barang-barang yang diperjualbelikan di sana sangat mahal. Kebanyakan adalah barang bermerek yang diimpor dari luar negeri.Siang itu, seorang wanita muda berusia awal dua puluhan sedang berjalan di koridor pusat perbelanjaan tersebut. Dia telah mendapatkan barang yang dia perlukan yang dijinjing di tangan kanan, sedang di pundak kirinya tergantung tas kecil berisi dompet dan barang berharga lainnya. Wanita itu kemudian berbelok ke koridor yang agak sepi untuk naik lift. Di situlah dia berpapasan dengan seorang pria yang mengenakan sweter dan masker di wajahnya.Tiba-tiba saja pria yang wajahnya tertutup masker itu merampas tas miliknya. Sontak wanita itu mencoba mempertahankan tasnya, sehingga sejenak terjadi tarik menarik karena ternyata tali tas itu cukup kuat sehingga ti
Apartemen di seberang kantor Richard termasuk gedung apartemen yang tinggi. Dan karena lokasinya sangat strategis, kebanyakan pemiliknya tidak tinggal di sana. Mereka membeli apartemen untuk kemudian menyewakannya pada orang lain. Meski demikian, suasana di apartemen itu tidak pernah sepi karena kamar-kamar di sana hampir semuanya terisi. Dan Ahmad serta keponakannya kini menempati salah satu kamar di lantai paling atas.Saat ini, di depan pintu apartemen tersebut, seorang petugas pengiriman sedang menekan bel. Dia membawa kardus besar berbentuk kotak. Setelah dua kali menekan bel, akhirnya terdengar suara pintu dibuka. Pria itu lalu melihat seorang pria muda berusia sekitar 20 tahun. Tanpa menunggu pria muda itu bertanya, petugas pengirim paket langsung berkata."Ada kiriman paket untuk Tuan Sadewa.""Ya, saya sendiri. Saya memang sedang menantinya."Petugas itu lalu menyerahkan kotak kardus yang dia bawa. Setelah itu dia meminta Sadewa menandatangani dokumen serah terima barang, kem
Malam sudah sangat larut. Kebanyakan manusia saat ini pasti sedang terbuai dalam mimpi. Tapi berbeda dengan yang lainnya, dua orang lelaki masih terjaga. Bahkan saat ini mereka tidak berada di rumah. Kedua lelaki itu masih berada di tempat kerja. Laboratorium penelitian tepatnya. Dan kini mereka sedang asyik memperhatikan sesuatu."Sedikit lagi Prof, kali ini pasti berhasil. Kita hanya perlu mengatur intensitas lumen yang tepat." Kata salah seorang dari mereka."Baiklah, Richard. Aku akan mengurangi power-nya sedikit agar intensitas energinya tidak menghancurkan. Tapi mungkin waktu yang dibutuhkan menjadi lebih lama." Kata Profesor Morati mengikuti permintaan rekannya."Tidak apa-apa Prof, yang penting proses konversi nya berjalan sempurna."Profesor Morati kemudian mengkalibrasi lagi alat ciptaannya. Setelah alat itu siap, Richard kemudian mengambil sekeping logam besi. Logam itu kemudian diletakkan di depan komponen alat yang berbentuk seperti
Apartemen di seberang kantor Richard termasuk gedung apartemen yang tinggi. Dan karena lokasinya sangat strategis, kebanyakan pemiliknya tidak tinggal di sana. Mereka membeli apartemen untuk kemudian menyewakannya pada orang lain. Meski demikian, suasana di apartemen itu tidak pernah sepi karena kamar-kamar di sana hampir semuanya terisi. Dan Ahmad serta keponakannya kini menempati salah satu kamar di lantai paling atas.Saat ini, di depan pintu apartemen tersebut, seorang petugas pengiriman sedang menekan bel. Dia membawa kardus besar berbentuk kotak. Setelah dua kali menekan bel, akhirnya terdengar suara pintu dibuka. Pria itu lalu melihat seorang pria muda berusia sekitar 20 tahun. Tanpa menunggu pria muda itu bertanya, petugas pengirim paket langsung berkata."Ada kiriman paket untuk Tuan Sadewa.""Ya, saya sendiri. Saya memang sedang menantinya."Petugas itu lalu menyerahkan kotak kardus yang dia bawa. Setelah itu dia meminta Sadewa menandatangani dokumen serah terima barang, kem
Pusat perbelanjaan di kawasan elite kota Jakarta siang itu tidak terlalu ramai. Bukan hanya karena hari itu adalah hari kerja, tapi pusat perbelanjaan itu memang hanya bisa dijangkau oleh kalangan atas karena harga barang-barang yang diperjualbelikan di sana sangat mahal. Kebanyakan adalah barang bermerek yang diimpor dari luar negeri.Siang itu, seorang wanita muda berusia awal dua puluhan sedang berjalan di koridor pusat perbelanjaan tersebut. Dia telah mendapatkan barang yang dia perlukan yang dijinjing di tangan kanan, sedang di pundak kirinya tergantung tas kecil berisi dompet dan barang berharga lainnya. Wanita itu kemudian berbelok ke koridor yang agak sepi untuk naik lift. Di situlah dia berpapasan dengan seorang pria yang mengenakan sweter dan masker di wajahnya.Tiba-tiba saja pria yang wajahnya tertutup masker itu merampas tas miliknya. Sontak wanita itu mencoba mempertahankan tasnya, sehingga sejenak terjadi tarik menarik karena ternyata tali tas itu cukup kuat sehingga ti
Cuaca di Bandar Udara Soekarno Hatta sedang gerimis. Di siang hari yang teduh itu, beberapa pesawat sedang antre untuk mendarat karena padatnya jadwal penerbangan. Termasuk pesawat yang berasal dari Berlin, Jerman. Setelah mendapat izin dari otoritas Bandara, baru kemudian pesawat itu bersiap untuk mendarat. Tak lama setelah pesawat itu menginjak landasan, para penumpang pun turun.Di antara para penumpang pesawat itu ada rombongan penumpang dari bermacam kewarganegaraan. Dari lima orang anggota rombongan, hanya dua orang yang merupakan Warga Negara Indonesia. Sisanya adalah Warga Negara Jepang, Amerika dan Jerman. Hampir satu harian mereka menempuh perjalanan menuju Jakarta. Karena mereka memang naik pesawat komersial biasa, bahkan membeli tiket kelas ekonomi.Sebenarnya Nicholas telah menawarkan diri untuk menggunakan pesawat pribadi lagi. Tapi Ahmad menolaknya. Kantor pusat Richard berada di Jakarta, dan tidak ada yang tahu seberapa besar pengaruhnya saat ini. Mengg
Meja bundar beralaskan kaca di rumah besar pinggir Kota Berlin bersinar terang. Kaca pada meja itu memantulkan cahaya yang dipancarkan keempat batu yang diletakkan di atasnya. Cahaya yang keluar juga sesuai dengan warna batu. Putih, merah, hijau serta biru. Membuat komposisi warna yang indah, meski tak sebanyak warna pelangi. Dan meski batu itu berukuran kecil, hanya seukuran pil, tapi cahayanya cukup menyilaukan mata.Baru kali ini batu-batu itu memancarkan cahaya seterang itu, pasti karena diletakkan berdekatan. Lima pasang mata memandangnya dengan terpesona. Akhirnya, setelah beberapa lama, mereka terbebas dari pesona batu-batu itu dan kembali membicarakan misi mereka."Baik, simpan batu kalian kembali. Aku akan mulai bercerita." kata Ahmad pada keempat ponakannya.Para anak muda itu langsung menurut. Mereka mencondongkan badan untuk mengambil batu milik mereka. Kecuali Sadewa, secara mengagumkan batu miliknya bergerak sendiri lalu menyatu dengan telapak tang
Berlin adalah ibukota Jerman yang penduduknya paling padat di antara kota-kota lainnya. Karena itu, rumah di pinggiran kota juga sudah penuh sesak. Bisa dikatakan sulit menemukan lahan kosong di kota ini. Termasuk rumah besar milik Sadewa, sudah banyak rumah-rumah lain di sekitarnya. Tapi karena Sadewa membangunnya seperti bangunan kastil dengan pagar yang tinggi, jarang sekali ada pengunjung yang datang ke rumah itu.Tapi kini di rumah itu ada empat orang yang datang berkunjung. Tentu saja mereka bisa masuk atas izin pemiliknya. Setelah memperkenalkan diri sebentar, Sadewa mengajak mereka ke ruang pertemuan yang sejak rumah ini dibangun, baru kali ini digunakan. Sadewa memang jarang menerima tamu langsung. Biasanya dia berkomunikasi secara online.Di ruang pertemuan itu ada meja bulat yang alasnya berbentuk kaca. Ternyata kaca itu bukan hanya berfungsi sebagai alas, tapi juga memiliki kemampuan sebagai layar sentuh. Saat seseorang duduk, kaca di hadapannya la
Bandara Internasional John F. Kennedy di New York termasuk bandara yang paling sibuk di dunia. Jadi wajar jika bandara ini selalu ramai dipadati oleh penumpang baik di sesi liburan maupun di hari biasa. Antrean sering ditemukan mulai dari pintu masuk bandara, gate keberangkatan bahkan sampai tempat makan. Tapi ini tidak berlaku bagi keempat orang yang sedang menuju ke Jerman.Nicholas memimpin di depan rombongan itu. Setiap rombongan itu menemui antrean, pintu khusus selalu dibukakan untuk mereka. Para petugas juga selalu menyapa mereka dengan hormat. Dan tentu saja mereka tidak perlu repot membawa barang-barang karena semua sudah ditangani bahkan sejak limosin mereka sampai di area bandara."Jet baru siap setengah jam lagi." kata Nicholas pada rombongan. "Kalian mau makan di pesawat atau di ruang tunggu?""Terserah kau saja." Ahmad menjawab mewakili yang lain karena dia yang paling tua."Baiklah, sebaiknya kita makan di ruang tunggu saja. Perjal
Suasana di salah satu Ball Room lantai 34 gedung Empire State, New York cukup mencekam. Saat ini adalah penentuan pemenang tender dari proyek bernilai milyaran dollar yang mencakup seluruh negara bagian di Amerika Serikat. Dari seleksi ketat yang sudah diadakan, kini hanya tersisa tiga perusahaan yang dianggap mampu menjalankan proyek itu.Karena besarnya nilai proyek yang ada, para pimpinan tertinggi perusahaan bersama tim terbaiknya datang langsung untuk berjuang memperebutkan proyek itu. Tentu saja sebelumnya mereka sudah menggunakan berbagai cara agar posisi perusahaan mereka lebih unggul dari yang lain, baik dengan cara resmi maupun lewat jalur belakang. Tapi karena ketiga perusahaan itu sama kuat, sampai saat ini belum terlihat siapa calon pemenangnya.Hal inilah yang membuat suasana menjadi tegang. Aura persaingan sangat kental terasa. Ketiga kelompok perusahaan itu saling memperhatikan satu sama lain untuk mengukur keunggulan dari rivalnya. Dan ketegan
Dojo yang terletak di pinggiran Kota Tokyo dipenuhi oleh murid-murid yang sedang berlatih. Kebanyakan dari mereka berlatih berpasangan atau berkelompok. Namun di tengah keramaian itu, ada satu area di mana banyak murid yang hanya sekedar menonton. Mereka sedang menyaksikan latihan pertandingan. Yang membuat latihan tanding itu menarik adalah karena pertandingan itu tidak dilakukan berpasangan, tapi satu lawan tiga.Aziz harus berkonsentrasi penuh untuk mengantisipasi serangan dari segalaarah. Tiga orang yang mengepungnya bisa menyerang kapan saja. Bahkan mereka bisa menyerang bersamaan, karena memang tidak ada aturan yang melarangnya. Apalagi tiga orang itu bukanlah murid kemarin sore. Mereka adalah murid senior yang sudah bertahun-tahun berlatih di Dojo ini.Dan ternyata ketiga murid itu memang tidak bisa dipandang sebelah mata. Mereka langsung mengambil posisi yang menyulitkan Aziz. Dua orang di kiri dan kanan mengambil posisi ke arah belakang di luar jangkauan
Aula masjid di pesantren binaan Kyai Harun penuh sesak. Para jamaah antusias mengikuti kajian yang diadakan pesantren itu. Dan karena kajian tersebut terbuka untuk umum, banyak warga sekitar yang datang untuk menghadirinya.Sebenarnya kajian itu rutin dilakukan setiap pekan. Namun kali ini jumlah jamaah yang datang tidak seperti biasanya. Yang membuatnya istimewa adalah karena kajian ini diisi oleh ustadz yang baru pulang dari studinya di Mesir. Dan memang ustadz itu sudah lama menjadi kesayangan warga sekitar. Siapa lagi kalau bukan Malik, cucu dari Kyai Harun.Memang sejak kecil Malik telah menjadi santri favorit di pesantren itu karena budi pekertinya yang indah. Dia ringan tangan untuk membantu orang yang membutuhkan. Sikapnya santun, murah senyum dan kata-katanya selalu terjaga. Selain itu dia juga memiliki wajah yang tampan, blasteran karena memang ayahnya keturunan bangsa Arya dan ibunya berdarah Melayu. Tidak heran banyak gadis yang ingin dipersuntingnya. Sayan