Tempat penitipan anak di pusat kota biasanya terletak di sebuah gedung kantor atau apartemen. Tapi tempat seperti itu hanya menerima penitipan selama jam kerja orang tua saja, tidak sampai berhari-hari. Padahal Profesor Morati ingin menitip anaknya entah sampai berapa lama. Jadi akhirnya dia menitipkan anak-anak itu tidak di tempat penitipan resmi, tapi di beberapa yayasan yang biasa menjadi pengasuh anak-anak.
Anak sulung Profesor Morati dititipkan di rumah penghafal Quran. Anak itu sudah berusia lima tahun, jadi Ahmad tidak memiliki kesulitan saat menjemputnya. Anak itu langsung mengenali sang paman. Dan setelah dia menyerahkan surat kuasa kepada pimpinan di Rumah Quran itu, dia langsung diizinkan untuk membawa anak itu pergi.
Masalah sedikit muncul saat Ahmad menjemput anak kedua. Anak itu baru berumur tiga tahun, dan dia dititipkan di rumah penampungan yatim piatu atau anak yang ditelantarkan orang tuanya. Yayasan itu memiliki aturan yang ketat dalam hal pengurusan anak di sana. Baru setelah satu jam wawancara, para pengurus tempat itu berhasil diyakinkan bahwa Ahmad memang orang yang berhak membawa anak itu.
Kini Ahmad sedang menuju tempat penitipan ketiga. Si kembar dititipkan di Yayasan penyalur tenaga kerja perawat yang bisa bertugas secara penuh di rumah pasien. Profesor Morati kemudian menyewa rumah dan dua perawat untuk mengasuh kedua anaknya itu. Dan karena Ahmad kini sudah membawa dua anak kecil, dia memutuskan untuk menyewa mobil dan sopir untuk mengantarnya pergi ke sana.
Ahmad bukanlah orang berada. Dia adalah seorang guru yang mengajar agama di pesantren milik orang tuanya, tempat di mana dulu Profesor Morati bertemu dengan istrinya. Tapi kini uang bukan masalah baginya. Profesor Morati telah membekali Ahmad dengan beberapa keping emas hasil percobaan menggunakan alat ciptaannya. Dan saat dia menjual salah satu kepingan emas itu, nilainya lebih besar dari harga rumah yang dia miliki di dekat pesantren.
Mobil yang dikendarai Ahmad sudah sampai di pintu gerbang rumah yang disewa Profesor Morati sebagai tempat penitipan si kembar. Dia meminta sopir menunggu di mobil bersama kedua keponakannya yang lain. Sebelumnya dia sudah menghubungi kedua perawat yang menjaga anak tersebut. Ahmad tidak mungkin menjaga empat orang balita sendirian selama perjalanan. Jadi dia meminta kedua perawat yang mengasuh si kembar untuk ikut bersamanya.
Setelah Ahmad turun dari mobil, dia segera menuju pintu gerbang lalu menekan bel. Tak lama kemudian seorang perawat keluar lalu bertanya.
"Ya Pak, ada perlu apa?"
"Saya Ahmad, saya yang tadi menghubungi Anda atau mungkin rekan Anda."
"Maaf sebelumnya, apakah Anda bisa menunjukkan sebuah bukti?"
Ahmad tidak merasa tersinggung dengan permintaan perawat itu. Dia malah bersyukur, ternyata si kembar diasuh oleh perawat yang teliti. Dia lalu mengeluarkan surat pemberian Profesor Morati dan memberikannya pada perawat itu. Setelah membaca surat itu sekilas, perawat itu tersenyum kemudian membuka gerbang.
Setelah masuk ke pekarangan rumah, Ahmad langsung berkata kepada perawat di sampingnya.
"Saya sudah meminta kalian untuk bersiap. Jika mungkin sebaiknya kita langsung berangkat."
"Ya, tentu. Semuanya sudah siap. Tapi mungkin kami membutuhkan bantuan Anda untuk membawa barang-barang ke mobil. Anda tidak keberatan?"
"Tentu tidak. Tugas kalian memang mengurus kedua bayi itu, sedang yang lain biar saya yang mengurusnya."
Ahmad lalu masuk ke rumah untuk mengambil barang-barang bawaan yang sudah disiapkan. Setelah semua barang diletakkan di mobil, kedua perawat itu lalu menggendong sang bayi lalu masuk ke mobil. Tak lama kemudian mereka pergi meninggalkan rumah itu.
Meski keempat anak itu akan dibesarkan secara terpisah sesuai keinginan ayahnya, Ahmad membutuhkan tempat singgah sebelum mengantarkan mereka ke empat negara di tiga benua. Rencananya Ahmad akan membawa mereka ke kampung halamannya terlebih dahulu. Tempat di mana ibu mereka dulu tinggal. Dan karena kakek mereka juga masih hidup, ada baiknya mereka diperkenalkan ke orang tua itu. Sejak mereka lahir, mereka belum pernah bertemu.
Jadi ke sanalah mobil itu kini menuju. Butuh waktu hampir 10 jam berkendara dari Jakarta menuju tempat itu. Dan karena mereka membawa balita, waktu yang dibutuhkan menjadi lebih lama lagi. Mereka berangkat menjelang malam dan baru tiba di daerah itu menjelang pagi.
Pemimpin pesantren itu, yang juga merupakan orang tua dari Ahmad dan Amira, sangat terkejut melihat kedatangan mereka. Memang sejak menikah, Amira tidak pernah pulang. Bukan karena dia tak mau, tapi dia takut membuat orang tua itu marah. Karena memang pernikahannya tidak pernah mendapat restu.
"Jadi keempat anak itu adalah cucuku?" kata orang tua itu setelah Ahmad selesai memberi penjelasan.
"Benar Bah, mereka anak-anak Amira. Abah tidak mau menerima mereka? Abah masih marah pada Amira?"
"Tidak. Sebenarnya aku sudah lama memaafkannya. Bahkan sebelum kau datang membawa kabar kematiannya. Anak itu memang keras kepala. Aku hanya bisa berdoa semoga dia tetap teguh memegang agamanya meski menikah dengan orang asing."
"Saya yakin begitu Bah. Lihat saja nama cucu Abah. Yang tertua bernama Abdul Malik. Adiknya bernama Abdul Aziz. Hanya si kembar yang tidak sempat dia beri nama. Dan karena saat itu dalam keadaan duka, ayahnya memberi nama pasangan kembar yang paling dia ingat, Nakula dan Sadewa."
Kyai Harun mengangguk dan tersenyum. Kini wajahnya terlihat lebih cerah dari sebelumnya.
"Lalu kenapa kau membawa mereka ke sini? Bukankah mereka masih memiliki ayah?"
"Ayah mereka terjebak dalam urusan yang rumit sehingga dia tidak bisa lagi mengurus anak-anaknya."
"Baiklah kalau begitu. Mereka boleh tinggal di sini."
"Tidak, Abah. Hanya si sulung yang akan tinggal di sini. Yang lain akan dititipkan pada kolega ayahnya. Mereka memang akan terpisah, tapi itu kehendak ayahnya."
Pimpinan pondok itu sedikit terkejut dengan keinginan menantunya. Bagi orang tua sepertinya, berkumpul dengan keluarga adalah hal yang penting. Tapi ternyata cucu-cucunya itu akan dipisahkan oleh ayah mereka sejak masih sangat kecil.
"Kenapa mereka harus dipisahkan? Bukankah lebih baik jika mereka tumbuh bersama?"
"Aku juga tidak terlalu mengerti. Ini terkait dengan proses memaksimalkan perkembangan potensi mereka. Ada hubungannya juga dengan batu itu."
"Maksudmu batu yang dikalungkan di leher mereka? Memangnya benda apa itu?"
Ahmad tersenyum mendengar pertanyaan dari ayahnya. Dia tahu orang tua itu sudah penasaran dengan kalung yang dikenakan keempat anak itu sejak pertama kali melihatnya. Jadi saat ada kesempatan, wajar jika ayahnya langsung bertanya dengan antusias.
"Abah jangan salah sangka. Kalung itu tidak ada hubungannya dengan unsur syirik. Profesor Morati meyakinkan aku bahwa semuanya bisa dijelaskan secara ilmiah. Berkaitan dengan gelombang yang mempengaruhi tubuh manusia, yang bisa membangkitkan potensi dalam diri. Makanya keempat warna batu itu berbeda, karena potensi setiap anak juga berbeda."
"Kamu percaya orang itu bisa mengetahui bakat anaknya sejak kecil?"
"Mungkin saja. Apalagi saat mengetahui tempat anak-anak itu akan dititipkan nantinya. Kurasa Profesor Morati ingin anaknya tumbuh di lingkungan yang cocok dengan potensi mereka."
"Memangnya ke mana kamu diminta membawa mereka?"
"Malik akan tinggal di sini. Sedangkan Aziz akan kubawa ke Jepang. Di sana ada teman sekolah ayahnya. Dia seorang ahli bela diri, tapi lemah dalam pelajaran. Sewaktu sekolah dulu, Profesor Morati sering membantunya dalam masalah pelajaran. Kini saatnya dia membalas budi dengan mendidik dan membesarkan anak itu."
"Nakula akan kubawa ke Amerika. Salah seorang sepupu Profesor Morati tinggal di sana. Sepupunya itu bisa kuliah di kampus ternama dan menjadi pengusaha sukses atas bantuan Profesor Morati. Sepertinya dia tidak akan keberatan mengasuh anak saudaranya."
"Anak terakhir, Sadewa, akan dititipkan di Jerman. Di sana ada teman dekat Profesor Morati, salah seorang peneliti di kampus paling terkenal negara tersebut. Meski hanya teman, mereka sudah seperti saudara. Profesor Morati yakin koleganya itu akan menerima anaknya dengan lapang dada."
Kyai Harun berpikir sejenak setelah mendengar penjelasan itu. Ahli bela diri, pengusaha sukses, dan peneliti di kampus ternama. Kurasa semua orang bisa membaca ke mana potensi anak-anak itu akan diarahkan.
Tiba-tiba terbersit pertanyaan di kepala pimpinan pondok itu. Tanpa ragu lagi dia langsung mengajukannya pada sang anak.
"Lalu kenapa dia menitipkan anak sulungnya di sini? potensi apa yang ingin dikembangkan saat anak itu tinggal di lingkungan ini?"
Ahmad mendesah sebentar sebelum menjawab.
"Itu juga yang mengganjal di pikiranku. Tapi menurutku kita tidak perlu mendidiknya secara berbeda. Biarlah anak itu tumbuh secara alami di lingkungan ini. Kelak waktu akan menjawab potensi besar apa yang dia miliki."
Aula masjid di pesantren binaan Kyai Harun penuh sesak. Para jamaah antusias mengikuti kajian yang diadakan pesantren itu. Dan karena kajian tersebut terbuka untuk umum, banyak warga sekitar yang datang untuk menghadirinya.Sebenarnya kajian itu rutin dilakukan setiap pekan. Namun kali ini jumlah jamaah yang datang tidak seperti biasanya. Yang membuatnya istimewa adalah karena kajian ini diisi oleh ustadz yang baru pulang dari studinya di Mesir. Dan memang ustadz itu sudah lama menjadi kesayangan warga sekitar. Siapa lagi kalau bukan Malik, cucu dari Kyai Harun.Memang sejak kecil Malik telah menjadi santri favorit di pesantren itu karena budi pekertinya yang indah. Dia ringan tangan untuk membantu orang yang membutuhkan. Sikapnya santun, murah senyum dan kata-katanya selalu terjaga. Selain itu dia juga memiliki wajah yang tampan, blasteran karena memang ayahnya keturunan bangsa Arya dan ibunya berdarah Melayu. Tidak heran banyak gadis yang ingin dipersuntingnya. Sayan
Dojo yang terletak di pinggiran Kota Tokyo dipenuhi oleh murid-murid yang sedang berlatih. Kebanyakan dari mereka berlatih berpasangan atau berkelompok. Namun di tengah keramaian itu, ada satu area di mana banyak murid yang hanya sekedar menonton. Mereka sedang menyaksikan latihan pertandingan. Yang membuat latihan tanding itu menarik adalah karena pertandingan itu tidak dilakukan berpasangan, tapi satu lawan tiga.Aziz harus berkonsentrasi penuh untuk mengantisipasi serangan dari segalaarah. Tiga orang yang mengepungnya bisa menyerang kapan saja. Bahkan mereka bisa menyerang bersamaan, karena memang tidak ada aturan yang melarangnya. Apalagi tiga orang itu bukanlah murid kemarin sore. Mereka adalah murid senior yang sudah bertahun-tahun berlatih di Dojo ini.Dan ternyata ketiga murid itu memang tidak bisa dipandang sebelah mata. Mereka langsung mengambil posisi yang menyulitkan Aziz. Dua orang di kiri dan kanan mengambil posisi ke arah belakang di luar jangkauan
Suasana di salah satu Ball Room lantai 34 gedung Empire State, New York cukup mencekam. Saat ini adalah penentuan pemenang tender dari proyek bernilai milyaran dollar yang mencakup seluruh negara bagian di Amerika Serikat. Dari seleksi ketat yang sudah diadakan, kini hanya tersisa tiga perusahaan yang dianggap mampu menjalankan proyek itu.Karena besarnya nilai proyek yang ada, para pimpinan tertinggi perusahaan bersama tim terbaiknya datang langsung untuk berjuang memperebutkan proyek itu. Tentu saja sebelumnya mereka sudah menggunakan berbagai cara agar posisi perusahaan mereka lebih unggul dari yang lain, baik dengan cara resmi maupun lewat jalur belakang. Tapi karena ketiga perusahaan itu sama kuat, sampai saat ini belum terlihat siapa calon pemenangnya.Hal inilah yang membuat suasana menjadi tegang. Aura persaingan sangat kental terasa. Ketiga kelompok perusahaan itu saling memperhatikan satu sama lain untuk mengukur keunggulan dari rivalnya. Dan ketegan
Bandara Internasional John F. Kennedy di New York termasuk bandara yang paling sibuk di dunia. Jadi wajar jika bandara ini selalu ramai dipadati oleh penumpang baik di sesi liburan maupun di hari biasa. Antrean sering ditemukan mulai dari pintu masuk bandara, gate keberangkatan bahkan sampai tempat makan. Tapi ini tidak berlaku bagi keempat orang yang sedang menuju ke Jerman.Nicholas memimpin di depan rombongan itu. Setiap rombongan itu menemui antrean, pintu khusus selalu dibukakan untuk mereka. Para petugas juga selalu menyapa mereka dengan hormat. Dan tentu saja mereka tidak perlu repot membawa barang-barang karena semua sudah ditangani bahkan sejak limosin mereka sampai di area bandara."Jet baru siap setengah jam lagi." kata Nicholas pada rombongan. "Kalian mau makan di pesawat atau di ruang tunggu?""Terserah kau saja." Ahmad menjawab mewakili yang lain karena dia yang paling tua."Baiklah, sebaiknya kita makan di ruang tunggu saja. Perjal
Berlin adalah ibukota Jerman yang penduduknya paling padat di antara kota-kota lainnya. Karena itu, rumah di pinggiran kota juga sudah penuh sesak. Bisa dikatakan sulit menemukan lahan kosong di kota ini. Termasuk rumah besar milik Sadewa, sudah banyak rumah-rumah lain di sekitarnya. Tapi karena Sadewa membangunnya seperti bangunan kastil dengan pagar yang tinggi, jarang sekali ada pengunjung yang datang ke rumah itu.Tapi kini di rumah itu ada empat orang yang datang berkunjung. Tentu saja mereka bisa masuk atas izin pemiliknya. Setelah memperkenalkan diri sebentar, Sadewa mengajak mereka ke ruang pertemuan yang sejak rumah ini dibangun, baru kali ini digunakan. Sadewa memang jarang menerima tamu langsung. Biasanya dia berkomunikasi secara online.Di ruang pertemuan itu ada meja bulat yang alasnya berbentuk kaca. Ternyata kaca itu bukan hanya berfungsi sebagai alas, tapi juga memiliki kemampuan sebagai layar sentuh. Saat seseorang duduk, kaca di hadapannya la
Meja bundar beralaskan kaca di rumah besar pinggir Kota Berlin bersinar terang. Kaca pada meja itu memantulkan cahaya yang dipancarkan keempat batu yang diletakkan di atasnya. Cahaya yang keluar juga sesuai dengan warna batu. Putih, merah, hijau serta biru. Membuat komposisi warna yang indah, meski tak sebanyak warna pelangi. Dan meski batu itu berukuran kecil, hanya seukuran pil, tapi cahayanya cukup menyilaukan mata.Baru kali ini batu-batu itu memancarkan cahaya seterang itu, pasti karena diletakkan berdekatan. Lima pasang mata memandangnya dengan terpesona. Akhirnya, setelah beberapa lama, mereka terbebas dari pesona batu-batu itu dan kembali membicarakan misi mereka."Baik, simpan batu kalian kembali. Aku akan mulai bercerita." kata Ahmad pada keempat ponakannya.Para anak muda itu langsung menurut. Mereka mencondongkan badan untuk mengambil batu milik mereka. Kecuali Sadewa, secara mengagumkan batu miliknya bergerak sendiri lalu menyatu dengan telapak tang
Cuaca di Bandar Udara Soekarno Hatta sedang gerimis. Di siang hari yang teduh itu, beberapa pesawat sedang antre untuk mendarat karena padatnya jadwal penerbangan. Termasuk pesawat yang berasal dari Berlin, Jerman. Setelah mendapat izin dari otoritas Bandara, baru kemudian pesawat itu bersiap untuk mendarat. Tak lama setelah pesawat itu menginjak landasan, para penumpang pun turun.Di antara para penumpang pesawat itu ada rombongan penumpang dari bermacam kewarganegaraan. Dari lima orang anggota rombongan, hanya dua orang yang merupakan Warga Negara Indonesia. Sisanya adalah Warga Negara Jepang, Amerika dan Jerman. Hampir satu harian mereka menempuh perjalanan menuju Jakarta. Karena mereka memang naik pesawat komersial biasa, bahkan membeli tiket kelas ekonomi.Sebenarnya Nicholas telah menawarkan diri untuk menggunakan pesawat pribadi lagi. Tapi Ahmad menolaknya. Kantor pusat Richard berada di Jakarta, dan tidak ada yang tahu seberapa besar pengaruhnya saat ini. Mengg
Pusat perbelanjaan di kawasan elite kota Jakarta siang itu tidak terlalu ramai. Bukan hanya karena hari itu adalah hari kerja, tapi pusat perbelanjaan itu memang hanya bisa dijangkau oleh kalangan atas karena harga barang-barang yang diperjualbelikan di sana sangat mahal. Kebanyakan adalah barang bermerek yang diimpor dari luar negeri.Siang itu, seorang wanita muda berusia awal dua puluhan sedang berjalan di koridor pusat perbelanjaan tersebut. Dia telah mendapatkan barang yang dia perlukan yang dijinjing di tangan kanan, sedang di pundak kirinya tergantung tas kecil berisi dompet dan barang berharga lainnya. Wanita itu kemudian berbelok ke koridor yang agak sepi untuk naik lift. Di situlah dia berpapasan dengan seorang pria yang mengenakan sweter dan masker di wajahnya.Tiba-tiba saja pria yang wajahnya tertutup masker itu merampas tas miliknya. Sontak wanita itu mencoba mempertahankan tasnya, sehingga sejenak terjadi tarik menarik karena ternyata tali tas itu cukup kuat sehingga ti
Apartemen di seberang kantor Richard termasuk gedung apartemen yang tinggi. Dan karena lokasinya sangat strategis, kebanyakan pemiliknya tidak tinggal di sana. Mereka membeli apartemen untuk kemudian menyewakannya pada orang lain. Meski demikian, suasana di apartemen itu tidak pernah sepi karena kamar-kamar di sana hampir semuanya terisi. Dan Ahmad serta keponakannya kini menempati salah satu kamar di lantai paling atas.Saat ini, di depan pintu apartemen tersebut, seorang petugas pengiriman sedang menekan bel. Dia membawa kardus besar berbentuk kotak. Setelah dua kali menekan bel, akhirnya terdengar suara pintu dibuka. Pria itu lalu melihat seorang pria muda berusia sekitar 20 tahun. Tanpa menunggu pria muda itu bertanya, petugas pengirim paket langsung berkata."Ada kiriman paket untuk Tuan Sadewa.""Ya, saya sendiri. Saya memang sedang menantinya."Petugas itu lalu menyerahkan kotak kardus yang dia bawa. Setelah itu dia meminta Sadewa menandatangani dokumen serah terima barang, kem
Pusat perbelanjaan di kawasan elite kota Jakarta siang itu tidak terlalu ramai. Bukan hanya karena hari itu adalah hari kerja, tapi pusat perbelanjaan itu memang hanya bisa dijangkau oleh kalangan atas karena harga barang-barang yang diperjualbelikan di sana sangat mahal. Kebanyakan adalah barang bermerek yang diimpor dari luar negeri.Siang itu, seorang wanita muda berusia awal dua puluhan sedang berjalan di koridor pusat perbelanjaan tersebut. Dia telah mendapatkan barang yang dia perlukan yang dijinjing di tangan kanan, sedang di pundak kirinya tergantung tas kecil berisi dompet dan barang berharga lainnya. Wanita itu kemudian berbelok ke koridor yang agak sepi untuk naik lift. Di situlah dia berpapasan dengan seorang pria yang mengenakan sweter dan masker di wajahnya.Tiba-tiba saja pria yang wajahnya tertutup masker itu merampas tas miliknya. Sontak wanita itu mencoba mempertahankan tasnya, sehingga sejenak terjadi tarik menarik karena ternyata tali tas itu cukup kuat sehingga ti
Cuaca di Bandar Udara Soekarno Hatta sedang gerimis. Di siang hari yang teduh itu, beberapa pesawat sedang antre untuk mendarat karena padatnya jadwal penerbangan. Termasuk pesawat yang berasal dari Berlin, Jerman. Setelah mendapat izin dari otoritas Bandara, baru kemudian pesawat itu bersiap untuk mendarat. Tak lama setelah pesawat itu menginjak landasan, para penumpang pun turun.Di antara para penumpang pesawat itu ada rombongan penumpang dari bermacam kewarganegaraan. Dari lima orang anggota rombongan, hanya dua orang yang merupakan Warga Negara Indonesia. Sisanya adalah Warga Negara Jepang, Amerika dan Jerman. Hampir satu harian mereka menempuh perjalanan menuju Jakarta. Karena mereka memang naik pesawat komersial biasa, bahkan membeli tiket kelas ekonomi.Sebenarnya Nicholas telah menawarkan diri untuk menggunakan pesawat pribadi lagi. Tapi Ahmad menolaknya. Kantor pusat Richard berada di Jakarta, dan tidak ada yang tahu seberapa besar pengaruhnya saat ini. Mengg
Meja bundar beralaskan kaca di rumah besar pinggir Kota Berlin bersinar terang. Kaca pada meja itu memantulkan cahaya yang dipancarkan keempat batu yang diletakkan di atasnya. Cahaya yang keluar juga sesuai dengan warna batu. Putih, merah, hijau serta biru. Membuat komposisi warna yang indah, meski tak sebanyak warna pelangi. Dan meski batu itu berukuran kecil, hanya seukuran pil, tapi cahayanya cukup menyilaukan mata.Baru kali ini batu-batu itu memancarkan cahaya seterang itu, pasti karena diletakkan berdekatan. Lima pasang mata memandangnya dengan terpesona. Akhirnya, setelah beberapa lama, mereka terbebas dari pesona batu-batu itu dan kembali membicarakan misi mereka."Baik, simpan batu kalian kembali. Aku akan mulai bercerita." kata Ahmad pada keempat ponakannya.Para anak muda itu langsung menurut. Mereka mencondongkan badan untuk mengambil batu milik mereka. Kecuali Sadewa, secara mengagumkan batu miliknya bergerak sendiri lalu menyatu dengan telapak tang
Berlin adalah ibukota Jerman yang penduduknya paling padat di antara kota-kota lainnya. Karena itu, rumah di pinggiran kota juga sudah penuh sesak. Bisa dikatakan sulit menemukan lahan kosong di kota ini. Termasuk rumah besar milik Sadewa, sudah banyak rumah-rumah lain di sekitarnya. Tapi karena Sadewa membangunnya seperti bangunan kastil dengan pagar yang tinggi, jarang sekali ada pengunjung yang datang ke rumah itu.Tapi kini di rumah itu ada empat orang yang datang berkunjung. Tentu saja mereka bisa masuk atas izin pemiliknya. Setelah memperkenalkan diri sebentar, Sadewa mengajak mereka ke ruang pertemuan yang sejak rumah ini dibangun, baru kali ini digunakan. Sadewa memang jarang menerima tamu langsung. Biasanya dia berkomunikasi secara online.Di ruang pertemuan itu ada meja bulat yang alasnya berbentuk kaca. Ternyata kaca itu bukan hanya berfungsi sebagai alas, tapi juga memiliki kemampuan sebagai layar sentuh. Saat seseorang duduk, kaca di hadapannya la
Bandara Internasional John F. Kennedy di New York termasuk bandara yang paling sibuk di dunia. Jadi wajar jika bandara ini selalu ramai dipadati oleh penumpang baik di sesi liburan maupun di hari biasa. Antrean sering ditemukan mulai dari pintu masuk bandara, gate keberangkatan bahkan sampai tempat makan. Tapi ini tidak berlaku bagi keempat orang yang sedang menuju ke Jerman.Nicholas memimpin di depan rombongan itu. Setiap rombongan itu menemui antrean, pintu khusus selalu dibukakan untuk mereka. Para petugas juga selalu menyapa mereka dengan hormat. Dan tentu saja mereka tidak perlu repot membawa barang-barang karena semua sudah ditangani bahkan sejak limosin mereka sampai di area bandara."Jet baru siap setengah jam lagi." kata Nicholas pada rombongan. "Kalian mau makan di pesawat atau di ruang tunggu?""Terserah kau saja." Ahmad menjawab mewakili yang lain karena dia yang paling tua."Baiklah, sebaiknya kita makan di ruang tunggu saja. Perjal
Suasana di salah satu Ball Room lantai 34 gedung Empire State, New York cukup mencekam. Saat ini adalah penentuan pemenang tender dari proyek bernilai milyaran dollar yang mencakup seluruh negara bagian di Amerika Serikat. Dari seleksi ketat yang sudah diadakan, kini hanya tersisa tiga perusahaan yang dianggap mampu menjalankan proyek itu.Karena besarnya nilai proyek yang ada, para pimpinan tertinggi perusahaan bersama tim terbaiknya datang langsung untuk berjuang memperebutkan proyek itu. Tentu saja sebelumnya mereka sudah menggunakan berbagai cara agar posisi perusahaan mereka lebih unggul dari yang lain, baik dengan cara resmi maupun lewat jalur belakang. Tapi karena ketiga perusahaan itu sama kuat, sampai saat ini belum terlihat siapa calon pemenangnya.Hal inilah yang membuat suasana menjadi tegang. Aura persaingan sangat kental terasa. Ketiga kelompok perusahaan itu saling memperhatikan satu sama lain untuk mengukur keunggulan dari rivalnya. Dan ketegan
Dojo yang terletak di pinggiran Kota Tokyo dipenuhi oleh murid-murid yang sedang berlatih. Kebanyakan dari mereka berlatih berpasangan atau berkelompok. Namun di tengah keramaian itu, ada satu area di mana banyak murid yang hanya sekedar menonton. Mereka sedang menyaksikan latihan pertandingan. Yang membuat latihan tanding itu menarik adalah karena pertandingan itu tidak dilakukan berpasangan, tapi satu lawan tiga.Aziz harus berkonsentrasi penuh untuk mengantisipasi serangan dari segalaarah. Tiga orang yang mengepungnya bisa menyerang kapan saja. Bahkan mereka bisa menyerang bersamaan, karena memang tidak ada aturan yang melarangnya. Apalagi tiga orang itu bukanlah murid kemarin sore. Mereka adalah murid senior yang sudah bertahun-tahun berlatih di Dojo ini.Dan ternyata ketiga murid itu memang tidak bisa dipandang sebelah mata. Mereka langsung mengambil posisi yang menyulitkan Aziz. Dua orang di kiri dan kanan mengambil posisi ke arah belakang di luar jangkauan
Aula masjid di pesantren binaan Kyai Harun penuh sesak. Para jamaah antusias mengikuti kajian yang diadakan pesantren itu. Dan karena kajian tersebut terbuka untuk umum, banyak warga sekitar yang datang untuk menghadirinya.Sebenarnya kajian itu rutin dilakukan setiap pekan. Namun kali ini jumlah jamaah yang datang tidak seperti biasanya. Yang membuatnya istimewa adalah karena kajian ini diisi oleh ustadz yang baru pulang dari studinya di Mesir. Dan memang ustadz itu sudah lama menjadi kesayangan warga sekitar. Siapa lagi kalau bukan Malik, cucu dari Kyai Harun.Memang sejak kecil Malik telah menjadi santri favorit di pesantren itu karena budi pekertinya yang indah. Dia ringan tangan untuk membantu orang yang membutuhkan. Sikapnya santun, murah senyum dan kata-katanya selalu terjaga. Selain itu dia juga memiliki wajah yang tampan, blasteran karena memang ayahnya keturunan bangsa Arya dan ibunya berdarah Melayu. Tidak heran banyak gadis yang ingin dipersuntingnya. Sayan