“NIKI?!” pekik Liz. Menyadari pemilik suara khas si penelepon.
Bukan Robin, puji Tuhan ... terima kasih!
Detik berikutnya Liz mendengar suara marah dari penelepon yang tak lain tak bukan adalah sahabatnya, Nicoletta Adirangga. “Jawab pertanyaanku dulu, dasar Vixen Berbintik! Mengapa kau malah berada di beberapa kilometer dari Florence alih-alih di Tipperary¹? Apa yang terjadi dengan tiket penerbangan ke Irlandia-mu? Dan bagaimana kau bisa sampai ke Italia? Apa Robin bajingan keparat itu menculikmu atau mafia antah berantah yang melakukannya?!”
Liz menjauhkan ponsel dari telinganya dan meringis. Niki mengucapkan semua itu tanpa jeda untuk menarik napas. Siapa yang mengira gadis manis maskot game terkenal itu bisa menyemburkan kalimat sepanjang kereta api beserta batu baranya sekalian?
Stefan memandanginya dan bertanya tanpa suara, Temanmu? Liz mengangguk pada Stefan sebagai jawaban.
“Err, bagaimana kau tahu aku di Italia?” tanya Liz setelah berdeham.
“Aku mencari iPad-ku tapi tidak ada di seisi apartemen, jadi aku mengecek GPS dan sinyalnya menunjukkan benda itu ada Italia, ponselmu juga. Dan kau pikir apa gunanya Diego Sanchez di tim kami? Dia sudah bersumpah bahwa dia jauh lebih berguna daripada Diego di Dora the Explorer, jadi tentu saja dia harus bisa melacakmu atau kami bakal memecatnya!”
Sepertinya Diego berada di ruangan yang sama dengan Niki karena Liz bisa mendengar pria Meksiko kelahiran Amerika itu berseru, “Aku bisa mendengarnya dengan jelas, Adirangga!”
Liz berusaha menahan tawa. “Bukankah kau seharusnya masih berada di Oxford?”
“Aku pulang karena kau seharusnya terbang ke Dublin siang ini. Mana mungkin aku tak menemanimu! Tapi saat aku pulang rumah sudah kosong sedang kopermu masih di sana, dan ada sticky note bertulis, ‘Jangan cemaskan aku. Dari Elizabeth O'Hare’ sementara aku tahu itu bukan tulisanmu! Aku panik! Aku pikir ada perampok membobol rumah, mengambil semua barang berharga dan melihat kau tidur lalu mereka pikir, ‘Hei, yang ini juga terlihat mahal, angkut!’” oceh Niki.
Tawa Liz meledak seketika.
Oh, setelah hari-hari berat penuh tekanan, inilah yang dia butuhkan.
“Nah, begitu! Aku tidak mendengar tawamu sebulan terakhir gara-gara si keparat itu! Rasanya seperti di puncak sakau dan tiba-tiba dipaksa putus obat! Aku bisa gila!” Niki terus mengomel.
Liz mengusap sudut matanya yang berair karena tertawa. “Aku juga merindukan omelanmu ...,” ujarnya nyaris seperti rengekan.
Yah, Niki hanya mengomel pada orang yang dia sayangi, dan Niki sudah seperti saudari kandung bagi Liz.
“Jadi, Vixen, apa yang kau lakukan di Italia? Itu pasti sesuatu yang mencurigakan karena aku yakin itu tidak ada hubungannya dengan kejutan persediaan piza selama setahun.”
“Eeh, ya ... orang-orang dari keluarga Lucchesi menjemputku,” jawab Liz hati-hati agar tidak membuat sahabatnya semakin membenci Robin—yang mana itu sulit sekali mengingat semua yang terjadi—dan agar Stefan tidak tersinggung. “Mereka bilang mereka ingin membantuku mengurus anakku nanti.”
Liz bisa mendengar Niki menghela napas. Gadis Asia itu lalu berkata, “Dengar Liz, aku ini bukan ibumu ya, dalam artian gampang ditipu dengan kalimat, ‘Ini bukan masalah besar.’ Entah kau sudah tahu atau tidak tapi Robin jauh lebih buruk daripada yang aku perkirakan, tololnya aku karena tidak menyelidikinya lebih awal.”
Tidak, Liz sama sekali tidak menyalahkan Niki. Itu tak masuk akal.
Liz sendirilah yang terbuai dengan tingkah dan kata-kata manis Robin. Dengan bodohnya mau berhubungan dekat tanpa menelusuri lebih jauh tentang pria itu. Selama ini Liz terus membuka diri untuk Robin, memberitahu segalanya pada pria yang dicintainya itu. Tapi Robin ... hanya sekali menjelaskan tentang dirinya, pria itu tak sepenuhnya terbuka pada Liz.
“Sejauh mana kau tahu tentang, uhm, keburukan Robin?” tanya Niki.
Dan Liz lalu memberitahu sahabatnya tentang belang Robin yang dia ketahui. Wanita itu juga menahan tangis ketika menceritakan semuanya.
“Robin menipuku habis-habisan. Dia sudah menikah dan selama ini aku hanya orang ketiga,” isak Liz. “Aku mencintai orang yang salah, tapi haruskah seluruh hidupku hancur karena satu kesalahan itu?”
Stefan mengulurkan selembar tisu pada Liz ketika akhirnya selesai berbicara.
“Terima kasih,” ucap Liz pada Stefan.
Pria itu tersenyum masam. Stefan sama sekali tak menginterupsi perkataan Liz, tak menyangkal keburukan keburukan Robin yang disebut wanita itu atau bahkan tersinggung karena nama kakak iparnya tercoreng. Dia malah terlihat kasihan pada Liz.
“Oh Lizzie yang malang ...,” desah Niki prihatin. “Apa mereka memperlakukanmu dengan buruk di sana? Karena, demi Tuhan, aku bakal mengirim sepasukan anak remaja imut-imut ke sana dengan spanduk bertuliskan, ‘Kembalikan Elizabeth!’ kalau itu benar.”
Yang perlu kalian ingat adalah Niki benar-benar bisa mengumpulkan remaja atau bahkan orang dewasa setempat untuk mengepung rumah ini.
Liz menggelengkan kepalanya demi mengusir imajinasi menakutkan tentang segerombolan ABG meneriakkan namanya.
“Tidak, jangan khawatir, mereka memperlakukanku dengan baik di sini!” yakin Liz. Yah, sejauh ini hanya Laura Ana yang memperlakukan Liz dengan buruk. Tapi Liz juga berterima kasih pada wanita itu karena kini dia mengetahui lebih banyak kebenaran tentang apa yang sebenarnya harus Liz hadapi.
Niki kemudian bertanya, “Dan apa mereka sudah menjelaskan padamu tentang, kau tahulah, sesuatu yang mereka inginkan darimu?”
Tidak, Liz tidak tahu. Pada makan malam tadi malam Signor Matteo Lucchesi belum sempat menjawab pertanyaan itu dengan lengkap, tersela oleh Laura Ana. Liz lalu melirik Stefan, tapi pria itu menggelengkan kepalanya dan memalingkan wajah dari Liz.
“Aku tidak punya hak untuk menjelaskan itu padamu,” bisiknya.
Tiba-tiba Liz merasa tak enak, gelisah kembali meliputinya. Liz berdeham lalu menjawab pertanyaan Niki. “Mereka bilang akan membantuku, Niki. Bagaimanapun juga ayah Robin pasti menginginkan agar cucunya mengenalnya.”
“Sesederhana itu?” Kini nada Niki terdengar skeptis. “Kau yakin mereka tidak akan menuntut hak asuh atau semacamnya? Bagaimana jika mereka hanya menginginkan bayimu dan berniat menyingkirkanmu setelahnya?”
Pertanyaan barusan berefek bak pukulan godam di dada Liz.
Liz tidak berpikir sejauh itu. Oh Tuhan, bodohnya dia.
Para Lucchesi ini mungkin hanya akan membantu Liz sampai proses persalinannya nanti. Bagaimana jika tujuan utama mereka adalah mendapatkan hak asuh bayinya dan memisahkan Liz setelahnya? Itu sangat mungkin!
Tapi Liz tetap berusaha berpikir positif, mereka terlihat seperti orang baik. Bahkan Jessy membela Liz dari Laura Ana.
“Mereka tidak mungkin sejahat itu,” jawab Liz. “Kau tidak perlu khawatir.”
Niki mendesah. “Baiklah ... semoga demikian. Kau harus ingat bahwa kau masih punya aku yang akan selalu membantumu. Aku bahkan bisa menyusulmu ke Italia. Yah, untuk jaga-jaga seandainya situasi memburuk atau semacamnya. Oke?”
Liz mengangguk menanggapi itu.
“Hei, jawab aku! Atau jangan-jangan kau sedang mengangguk sekarang? Dasar bodoh, aku tidak bisa melihatmu tahu!” sembur Niki.
“E-eh, maksudku ya, tentu saja,” sahut Liz dengan pipi merona malu.
“Nah, begitu lebih baik. Sampai sini dulu ya? Aku masih ada pekerjaan dengan Emil dan yang lainnya, kau tahu sendiri mereka itu kalau tidak dipantau pasti melantur ke mana-mana,” gerutu Niki. Liz bisa mendengar latar suara Niki adalah seruan tidak setuju dari teman-teman Niki. Sepertinya gadis itu tengah berada di kantor tempatnya bekerja. “Sampai jumpa. Elus keponakanku untukku ya? Bilang aku sayang dia!”
Liz terkikik, tangannya sudah mengelus perut ketika dia menyahut, “Tentu, sampai jumpa.”
Niki memutus sambungan telepon setelahnya. Sementara itu, Liz memandangi layar ponselnya. Mencatat dalam kepala untuk mencari tahu tujuan sebenarnya dari dibawanya dia ke Italia.
“Temanmu menarik,” komentar Stefan. Pria itu nyengir, tanpa sengaja memamerkan gigi serinya.
AN :
1. Sebuah kota di Irlandia di mana ibu Liz tinggal.
“KATAKAN padaku bahwa dia baik-baik saja!”Niki berjengit, refleks menjauhkan ponsel dari telinganya mendengar seruan kasar tersebut. Wanita dengan fitur wajah stroberi itu mendengus kesal.“Selamat pagi juga, Mr. Martel. Sopan santun Anda sungguh tanpa cela,” sindir Niki dengan nada pedas.Pria yang meneleponnya tepat setelah Niki selesai dengan telepon Liz itu terdiam untuk beberapa saat. “Maaf,” ujarnya penuh penyesalan, “aku khawatir, sangat khawatir padanya. Apa dia mengangkat teleponmu?”“Tentu saja Liz mengangkat teleponku. Bukan aku orang berengsek yang meninggalkan dia dalam keadaan hamil muda dan patah hati berat,” ketus Niki. Itu pasti pukulan telak bagi si pria. Niki beranjak dari kursi yang dia duduki dan berjalan menuju dapur.Satu hal yang tidak disampaikan Niki pada Liz adalah alasan lain dia buru-buru kembali ke London karena Robin Martel mendesaknya mengecek keadaan Liz.
CALLIDA datang tak lama kemudian, membawa troli makanan yang kosong untuk memindahkan peralatan makan. Wanita itu tersenyum kecil pada Liz sebelum mulai memindahkan peralatan makan di meja ke atas troli. “Oh, biar aku bantu,” ujar Liz riang sembari meraih piring bekasnya. Tapi sang pelayan merebut piring itu dari tangan Liz. “Eh jangan, tidak perlu, ini adalah pekerjaan dan tanggung jawabku, Signorina¹. Aku mendapat bayaran untuk ini. Dan dripada kau merepotkan tanganmu dengan pekerjaan yang harusnya aku lakukan lebih baik kau tidur siang,” perintah Callida. “Aku tak ingin kau atau bayimu kenapa-kenapa.” Bibir Liz mengerucut menggemaskan mendengar perintah itu. “Aku biasa mengerjakan pekerjaan rumah sendiri di rumah ... ini seperti olahraga yang menyenangkan, Callida. Lagi pula aku tidak pernah bisa tidur siang,” keluh Liz. Yah, dia tak pernah bisa menikmati tidur siang, selalu berakhir terjaga di ranjang atau melamun ke sana kemari. Toh, selama ini L
LIZ memandangi tubuhnya dari pantulan bayangan di cermin yang menempel di pintu lemari kayunya. Dibalut T-shirt putih polos dan celana katun longgar, tak ada yang terlihat salah pada diri Liz. Kecuali kantung mata tebal dan kenyataan bahwa tubuhnya tengah mengasup kehidupan lain. Secara naluriah Liz mengusap perutnya, merasakan tonjolan kecil yang nyaris tak kentara tertutupi kausnya. Kandungannya sudah memasuki bulan ketiga, atau itulah yang dikatakan dokter siang tadi. Belum banyak perubahan yang ditunjukkan oleh efek kehamilannya. Namun, sebentar lagi pasti terlihat. Dulu, Liz terkadang iseng memikirkan suatu hari nanti dirinya dalam gaun longgar dan perut buncit serta kaki bengkak, berusaha memakai kaus kaki rajut dan mengomel karena kesulitan. Liz yang masih remaja selalu berakhir terkikik membayangkan betapa dirinya yang pendek akan terlihat lucu dengan perut seperti itu. Tapi sekarang dia tidak bisa tertawa. Wanita itu merasa takut.
“BEGINI, kami tahu kau sedang dalam kesulitan dan itu karena Robin. Dia memang agak ... err berengsek.” Dalam jeda sebelum kata berengsek, Jessy nyaris tak kentara melirik pada si pria berambut gelap. “Kau bisa coret kata ‘agak’ itu, dia memang berengsek,” ujar pria berambut gelap dengan aksen Inggris sempurna, tapi Liz yakin di balik kacamata hitam itu ada wajah pria tampan yang sangat Italia. “Dia menipuku ...,” cicit Liz. Dia juga tak menginginkan bayi Liz, dan malah memilih untuk menyingkirkannya. “Ya ... dan entah berapa lusin wanita lain,” gumam Jessy dengan muram. “Maaf, tapi sepertinya kau adalah wanita yang paling tidak beruntung yang berurusan dengan Robin.” For God's sake, apa Robin benar-benar seburuk itu? Seandainya saja Robin tidak mengirim email keparat itu, Liz barang kali tak percaya dengan perkataan Jessy. Karena bagaimanapun juga, selama setengah tahun ini Robin begitu baik pada Liz. Wanita itu bahkan masih bisa meng
PASPOR? Ya, Liz punya, tapi belum sempat dia menjawab, Luca lebih dulu mengangkat sebuah tas berwarna biru. Tepatnya tas biru milik Liz yang berisi semua dokumen berharga yang dia kumpulkan semalam dan pria Italia itu tengah mengubek isinya. “Oke, beres, semua yang dibutuhkan ada di sini,” ujar Luca setelah menepuk lembut tas itu. “Jessy, sana cari ponselnya.” “Ke mana perginya skenario ramah tamah yang kita pelajari semalam?” gerutu Jessy. “Hei! Jangan sentuh barang-barangku!” protes Liz pada mereka. Dia akan menyemburkan protes lainnya seandainya pria pirang yang Jessy panggil Stefan tidak berbalik dan membawanya ke lorong. Liz merasa seperti anak kecil yang dirampok kakak kelas. Tidak, tunggu, apa lebih tepatnya ini penculikan? “Tu-turunkan aku,” pinta Liz sembari bergerak gelisah dalam gendongan Stefan. Jawaban pertama Stefan adalah memiringkan bibirnya. “Dan membiarkanmu kabur? Tidak, terima kasih, lagi pula kau lebih ringan darip
KAMAR mandi pesawat jet pribadi itu sangat bagus, yah, sama seperti seisi pesawat yang bahkan jauh lebih mewah daripada apartemen Liz. Hanya saja berada di sana membuatnya tegang. Sepanjang perjalanan Liz bertanya-tanya apa yang menunggunya di Italia? Keluarga kaya raya? Wah, kalau yang itu sepertinya sudah jelas. Nah, bagaimana kalau keluarga kaya raya yang tiran? Liz gugup memikirkan kemungkinan itu. Tapi rasanya tak baik mencegah keluarga bayinya dekat dengannya. Jessy toh bilang bahwa mereka berniat membantu Liz, meski Liz merasa seperti tengah terlibat dalam adegan penculikan tak masuk akal. Lagi pula Liz yakin keluarga Robin tak akan menyakiti Liz maupun calon bayinya. Kini dari balik kaca mobil, Liz memandangi teras dengan tiang marmer putih yang dililiti tumbuhan wisteria itu. Deretan lampu bundar bersinar kuning pucat membuat tempat itu semakin eksotis dengan tembok yang tertimpa efek bayangan dari dedaunan wisteria. Berlatar langit gelap malam
PONSEL wanita bersurai merah itu masih bergetar dengan nama Robin terpampang di layar dengan huruf-huruf default warna putih. Satu hal yang Liz pahami adalah dia lupa memblokir nomor telepon Robin. Robin, kekasih Liz. Robin yang mengkhianati Liz dengan permintaannya untuk mengugurkan buah hati mereka. Kini Liz tercabik dalam perasaan benci dan kerinduan yang amat sangat hingga rasanya menyakitkan. Mengapa sekarang Robin meneleponnya? Apa pria itu tahu Liz di sini? Apa pria itu baik-baik saja? Apa bahkan Robin berada di rumah ini? Liz menahan napas ketika panggilan telepon itu mati pada dering ke tujuh. Entah karena dia bersyukur Robin mematikan panggilan atau malah kecewa karena tidak mengangkat telepon itu. Ponsel Liz kembali berdering dan wanita itu nyaris memekik karena kejadian barusan berbarengan dengan pintu kamar yang diketuk. Ya Tuhan, Liz merasa seperti anak remaja yang ketahuan mencuri uang dari dompet orang tuanya. Buru-buru dia ubah ponsel
“KA-KAU? Robin sudah menikah? Denganmu?!” Liz tergagap sementara kedua tangannya mencengkeram kedua lengan Jessy demi menahan tubuhnya agar tidak ambruk. “Liz ... oh, dengarkan aku dulu, Liz, kita bahas itu nanti saja,” bujuk Jessy. “Tapi ... tapi kau istrinya! Bagaimana bisa kau begitu—” Liz tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Bagaimana bisa Jessy bersikap begitu baik pada Liz? Wanita itu sama sekali tak menjukkan jenus ketidaksukaan maupun kesombongan apa pun pada Liz. Jessy mencoba berteman dengan Liz, menghiburnya di pesawat dengan percakapan santai, bahkan mendandani Liz serta memilihkan apa-apa saja yang kini dikenakan oleh wanita yang kini tengah mengandung bukti perselingkuhan Robin dari Jessy. Liz sontak merasa malu pada Jessy. Kenangan manis selama enam bulan sejak pertemuan pertamanya dengan Robin kini kembali runtuh. Bagaimana bisa pria itu berlaku seperti ini? Sejak awal Liz bertanya-tanya apa hubungannya sang model tenar itu deng
CALLIDA datang tak lama kemudian, membawa troli makanan yang kosong untuk memindahkan peralatan makan. Wanita itu tersenyum kecil pada Liz sebelum mulai memindahkan peralatan makan di meja ke atas troli. “Oh, biar aku bantu,” ujar Liz riang sembari meraih piring bekasnya. Tapi sang pelayan merebut piring itu dari tangan Liz. “Eh jangan, tidak perlu, ini adalah pekerjaan dan tanggung jawabku, Signorina¹. Aku mendapat bayaran untuk ini. Dan dripada kau merepotkan tanganmu dengan pekerjaan yang harusnya aku lakukan lebih baik kau tidur siang,” perintah Callida. “Aku tak ingin kau atau bayimu kenapa-kenapa.” Bibir Liz mengerucut menggemaskan mendengar perintah itu. “Aku biasa mengerjakan pekerjaan rumah sendiri di rumah ... ini seperti olahraga yang menyenangkan, Callida. Lagi pula aku tidak pernah bisa tidur siang,” keluh Liz. Yah, dia tak pernah bisa menikmati tidur siang, selalu berakhir terjaga di ranjang atau melamun ke sana kemari. Toh, selama ini L
“KATAKAN padaku bahwa dia baik-baik saja!”Niki berjengit, refleks menjauhkan ponsel dari telinganya mendengar seruan kasar tersebut. Wanita dengan fitur wajah stroberi itu mendengus kesal.“Selamat pagi juga, Mr. Martel. Sopan santun Anda sungguh tanpa cela,” sindir Niki dengan nada pedas.Pria yang meneleponnya tepat setelah Niki selesai dengan telepon Liz itu terdiam untuk beberapa saat. “Maaf,” ujarnya penuh penyesalan, “aku khawatir, sangat khawatir padanya. Apa dia mengangkat teleponmu?”“Tentu saja Liz mengangkat teleponku. Bukan aku orang berengsek yang meninggalkan dia dalam keadaan hamil muda dan patah hati berat,” ketus Niki. Itu pasti pukulan telak bagi si pria. Niki beranjak dari kursi yang dia duduki dan berjalan menuju dapur.Satu hal yang tidak disampaikan Niki pada Liz adalah alasan lain dia buru-buru kembali ke London karena Robin Martel mendesaknya mengecek keadaan Liz.
“NIKI?!” pekik Liz. Menyadari pemilik suara khas si penelepon.Bukan Robin, puji Tuhan ... terima kasih!Detik berikutnya Liz mendengar suara marah dari penelepon yang tak lain tak bukan adalah sahabatnya, Nicoletta Adirangga. “Jawab pertanyaanku dulu, dasar Vixen Berbintik! Mengapa kau malah berada di beberapa kilometer dari Florence alih-alih di Tipperary¹? Apa yang terjadi dengan tiket penerbangan ke Irlandia-mu? Dan bagaimana kau bisa sampai ke Italia? Apa Robin bajingan keparat itu menculikmu atau mafia antah berantah yang melakukannya?!”Liz menjauhkan ponsel dari telinganya dan meringis. Niki mengucapkan semua itu tanpa jeda untuk menarik napas. Siapa yang mengira gadis manis maskot game terkenal itu bisa menyemburkan kalimat sepanjang kereta api beserta batu baranya sekalian?Stefan memandanginya dan bertanya tanpa suara, Temanmu? Liz mengangguk pada Stefan sebagai jawaban.“Err, bagaimana kau tahu aku di
PADA pagi berikutnya, Liz mendapati kantung matanya semakin parah. Sembap karena campuran bekas menangis, lelah, dan stres. Julukan rubah berbintik yang dianugrahkan Niki dengan murah hati pada Liz kini mungkin harus diubah menjadi panda berbintik.Semua itu juga jelas bukan kombinasi yang bagus untuk bayinya. Oh bayinya yang malang ....Callida, yang ternyata dulunya juga bekerja sebagai pengasuh bayi di keluarga Lucchesi, menasehati Liz agar merilekskan diri dan jangan memikirkan hal yang berat-berat. Seakan itu mudah untuk dilakukan begitu saja. Mendorong semua pikiran berat yang mendominasi ke belakang kepala.Tapi serius, ya ampun! Memangnya Liz bisa bersantai sementara segunung masalah ruwet ini menantinya?! Liz bahkan tak tahu mukanya harus ditaruh di mana jika nanti Jessy menemuinya.Liz adalah selingkuhan suaminya yang kini mengandung bayi pria itu. Bayi yang jelas-jelas menjadi musuh bagi pernikahan Robin dan Jessy.Itu jugalah alasan dia
“KA-KAU? Robin sudah menikah? Denganmu?!” Liz tergagap sementara kedua tangannya mencengkeram kedua lengan Jessy demi menahan tubuhnya agar tidak ambruk. “Liz ... oh, dengarkan aku dulu, Liz, kita bahas itu nanti saja,” bujuk Jessy. “Tapi ... tapi kau istrinya! Bagaimana bisa kau begitu—” Liz tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Bagaimana bisa Jessy bersikap begitu baik pada Liz? Wanita itu sama sekali tak menjukkan jenus ketidaksukaan maupun kesombongan apa pun pada Liz. Jessy mencoba berteman dengan Liz, menghiburnya di pesawat dengan percakapan santai, bahkan mendandani Liz serta memilihkan apa-apa saja yang kini dikenakan oleh wanita yang kini tengah mengandung bukti perselingkuhan Robin dari Jessy. Liz sontak merasa malu pada Jessy. Kenangan manis selama enam bulan sejak pertemuan pertamanya dengan Robin kini kembali runtuh. Bagaimana bisa pria itu berlaku seperti ini? Sejak awal Liz bertanya-tanya apa hubungannya sang model tenar itu deng
PONSEL wanita bersurai merah itu masih bergetar dengan nama Robin terpampang di layar dengan huruf-huruf default warna putih. Satu hal yang Liz pahami adalah dia lupa memblokir nomor telepon Robin. Robin, kekasih Liz. Robin yang mengkhianati Liz dengan permintaannya untuk mengugurkan buah hati mereka. Kini Liz tercabik dalam perasaan benci dan kerinduan yang amat sangat hingga rasanya menyakitkan. Mengapa sekarang Robin meneleponnya? Apa pria itu tahu Liz di sini? Apa pria itu baik-baik saja? Apa bahkan Robin berada di rumah ini? Liz menahan napas ketika panggilan telepon itu mati pada dering ke tujuh. Entah karena dia bersyukur Robin mematikan panggilan atau malah kecewa karena tidak mengangkat telepon itu. Ponsel Liz kembali berdering dan wanita itu nyaris memekik karena kejadian barusan berbarengan dengan pintu kamar yang diketuk. Ya Tuhan, Liz merasa seperti anak remaja yang ketahuan mencuri uang dari dompet orang tuanya. Buru-buru dia ubah ponsel
KAMAR mandi pesawat jet pribadi itu sangat bagus, yah, sama seperti seisi pesawat yang bahkan jauh lebih mewah daripada apartemen Liz. Hanya saja berada di sana membuatnya tegang. Sepanjang perjalanan Liz bertanya-tanya apa yang menunggunya di Italia? Keluarga kaya raya? Wah, kalau yang itu sepertinya sudah jelas. Nah, bagaimana kalau keluarga kaya raya yang tiran? Liz gugup memikirkan kemungkinan itu. Tapi rasanya tak baik mencegah keluarga bayinya dekat dengannya. Jessy toh bilang bahwa mereka berniat membantu Liz, meski Liz merasa seperti tengah terlibat dalam adegan penculikan tak masuk akal. Lagi pula Liz yakin keluarga Robin tak akan menyakiti Liz maupun calon bayinya. Kini dari balik kaca mobil, Liz memandangi teras dengan tiang marmer putih yang dililiti tumbuhan wisteria itu. Deretan lampu bundar bersinar kuning pucat membuat tempat itu semakin eksotis dengan tembok yang tertimpa efek bayangan dari dedaunan wisteria. Berlatar langit gelap malam
PASPOR? Ya, Liz punya, tapi belum sempat dia menjawab, Luca lebih dulu mengangkat sebuah tas berwarna biru. Tepatnya tas biru milik Liz yang berisi semua dokumen berharga yang dia kumpulkan semalam dan pria Italia itu tengah mengubek isinya. “Oke, beres, semua yang dibutuhkan ada di sini,” ujar Luca setelah menepuk lembut tas itu. “Jessy, sana cari ponselnya.” “Ke mana perginya skenario ramah tamah yang kita pelajari semalam?” gerutu Jessy. “Hei! Jangan sentuh barang-barangku!” protes Liz pada mereka. Dia akan menyemburkan protes lainnya seandainya pria pirang yang Jessy panggil Stefan tidak berbalik dan membawanya ke lorong. Liz merasa seperti anak kecil yang dirampok kakak kelas. Tidak, tunggu, apa lebih tepatnya ini penculikan? “Tu-turunkan aku,” pinta Liz sembari bergerak gelisah dalam gendongan Stefan. Jawaban pertama Stefan adalah memiringkan bibirnya. “Dan membiarkanmu kabur? Tidak, terima kasih, lagi pula kau lebih ringan darip
“BEGINI, kami tahu kau sedang dalam kesulitan dan itu karena Robin. Dia memang agak ... err berengsek.” Dalam jeda sebelum kata berengsek, Jessy nyaris tak kentara melirik pada si pria berambut gelap. “Kau bisa coret kata ‘agak’ itu, dia memang berengsek,” ujar pria berambut gelap dengan aksen Inggris sempurna, tapi Liz yakin di balik kacamata hitam itu ada wajah pria tampan yang sangat Italia. “Dia menipuku ...,” cicit Liz. Dia juga tak menginginkan bayi Liz, dan malah memilih untuk menyingkirkannya. “Ya ... dan entah berapa lusin wanita lain,” gumam Jessy dengan muram. “Maaf, tapi sepertinya kau adalah wanita yang paling tidak beruntung yang berurusan dengan Robin.” For God's sake, apa Robin benar-benar seburuk itu? Seandainya saja Robin tidak mengirim email keparat itu, Liz barang kali tak percaya dengan perkataan Jessy. Karena bagaimanapun juga, selama setengah tahun ini Robin begitu baik pada Liz. Wanita itu bahkan masih bisa meng