Beranda / Romansa / Sang Pengantin Lucchesi / 2. Wha-What Do You Want?

Share

2. Wha-What Do You Want?

Penulis: Nightin Fourth
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“BEGINI, kami tahu kau sedang dalam kesulitan dan itu karena Robin. Dia memang agak ... err berengsek.” Dalam jeda sebelum kata berengsek, Jessy nyaris tak kentara melirik pada si pria berambut gelap.

“Kau bisa coret kata ‘agak’ itu, dia memang berengsek,” ujar pria berambut gelap dengan aksen Inggris sempurna, tapi Liz yakin di balik kacamata hitam itu ada wajah pria tampan yang sangat Italia.

“Dia menipuku ...,” cicit Liz. Dia juga tak menginginkan bayi Liz, dan malah memilih untuk menyingkirkannya.

“Ya ... dan entah berapa lusin wanita lain,” gumam Jessy dengan muram. “Maaf, tapi sepertinya kau adalah wanita yang paling tidak beruntung yang berurusan dengan Robin.”

For God's sake, apa Robin benar-benar seburuk itu?

Seandainya saja Robin tidak mengirim email keparat itu, Liz barang kali tak percaya dengan perkataan Jessy.

Karena bagaimanapun juga, selama setengah tahun ini Robin begitu baik pada Liz. Wanita itu bahkan masih bisa mengingat jelas cengiran jahil Robin dan mata birunya yang berkilat riang. Tapi kemudian ingatan itu digantikan ekspresi ketakutan dan ngeri Robin ketika Liz dengan gugup memberitahunya tentang kehamilan Liz.

“Di-dia bilang dia akan menikahku ... dia bilang kami akan punya rumah mungil nanti,” ratap Liz.

Bodohnya dia ... kenapa tak pernah terpikir olehnya bahwa pria setampan Robin mau dengan wanita pas-pasan seperti Liz? Liz menunduk menatap pantulan wajahnya di meja kaca gelap itu. Rambut merahnya yang berantakan tergerai bak surai singa. Lihat, Robin hanya pria kaya raya yang mempermainkanmu.

“Dengar Liz, kami datang ke sini untuk membantumu. Kami akan mencoba untuk memperbaiki kesalahan Robin.” Jessy mulai menjelaskan lagi. “Kau masih muda, dan aku mengerti kalau kau ... merasa ketakutan dengan keadaanmu saat ini.”

“Kehamilanku?” tebak Liz. Yah, kehamilan Liz itulah yang membuat segalanya menjadi rumit.

Si pria Italia menyahut, “Ya ... dan apa Robin memintamu untuk—”

“Mengugurkannya? Ya, dia memintaku melakukan itu dengan sangat jelas,” kata Liz sembari menahan keinginan untuk menangis tersedu-sedu. “Tapi aku tak akan melakukan itu, tidak mungkin! Ini anakku! Di milikku dan dia tidak bersalah!”

Ruangan itu hening untuk beberapa saat hingga Liz takut dirinya telah salah bicara. Namun, si pria Italia malah menoleh pada Jessy dan dengan ketus berkata, “Dios, pria itu benar-benar bodoh. Nah, sekarang kau dengar sendiri kan?”

Sang model memiringkan bibirnya yang dipulas lipstik merah bata. “Ya, aku dengar ....”

“Hm mm,” gumam si pria pirang.

“Nah, berapa umurmu?” tanya si pria Italia pada Liz.

Liz otomatis menjawab, “Dua puluh tiga tahun.”

“Oh,” sahut pria itu. Tangannya lalu meraih kacamata dan melepasnya. Kejutan nan manis menyambut Liz ketika wanita itu melihat sepasang mata berwarna kehijauan berbinar kuning. Warna yang tak biasa, tapi demi Tuhan mata itu indah sekali. “Kau punya seorang ibu yang tinggal di Tipperary dan seorang adik laki-laki, betul?”

“Ya ...,” jawab Liz. Dahinya berkerut bingung. Dari mana pria ini mengetahui tentang keluarga dan tempat tinggal ibunya? Dari Robin? Tapi Liz tidak pernah memberitahu Robin tentang—

“Miss O'Hare, ini mungkin tidak sopan tapi apa kau punya pekerjaan?” tanya pria Italia itu. 

Sebulan yang lalu? Ya, Liz masih punya pekerjaannya sebagai kasir kafe milik Mrs. Marriot, tapi sekarang ... “Tidak,” jawabnya. Dia sudah dipecat karena lalai dalam bekerja, efek dari berita kecelakaan Robin dan kehamilannya.

“Baiklah kalau begitu, sudah diputuskan,” kata si pria sembari beranjak berdiri. Dia menepuk sekilas kelepak jas biru tuanya. “Kami akan membawamu ke Italia.”

Pendengaran Liz pasti bermasalah. Dia refleks membeo, “Italia?”

“Luca,” desis Jessy yang diabaikan oleh si pria berambut gelap. Apakah Luca namanya?

“Ya, tentu saja, tepatnya rumah keluarga Lucchesi. Kau jelas harus dibawa ke sana. Biar Robin keparat itu sadar apa yang dia lakukan, dan karena keponakanku harus mendapatkan haknya,” jelas pria yang mungkin bernama Luca itu.

Tapi kini Liz lebih tertarik ke satu fakta yang baru saja disemburkan oleh pria itu. “Apa kau baru saja bilang keponakan? Bayiku adalah kepo—”

“Iya, tidak bisa dipercaya bukan kalau Robin bajingan itu adikku? Kami memang tidak terlihat mirip dan betapa senangnya aku mengetahui fakta yang tidak bisa diganggu gugat itu,” celoteh Luca. Pria itu memberi semacam isyarat pada si pria pirang.

Robin dan pria Italia itu memang tidak mirip. Robin berkulit pucat dengan rambut pirang pasir dan mata biru, itulah yang membuat Liz awalnya tak percaya bahwa pria itu berkeluarga Italia. Sementara itu, pria ini berkulit cokelat terbakar sinar matahari—sewarna roti gandum panggang—dan, yah, seperti yang Liz jelaskan sebelumnya: mata yang indah dan rambut gelap bergelombang. Persamaan mereka mungkin semata jangkung, kekar, dan tampan dengan cara yang berbeda.

Si pria pirang menghampiri Liz, berdiri menjulang seperti pengusaha dalam balutan setelan hitam.

“Ka-kau mau apa?” cicit Liz, mengerut di sofa mungilnya.

Pria itu menjawab, “Membawamu pergi, memangnya apa lagi?”

“Kalian berdua! Bukan begini rencananya tadi!” teriak Jessy marah. Hilang sudah kesan anggun bak modelnya digantikan ekspresi merajuk.

Luca mengibaskan tangannya lalu berujar, “Sudahlah, Jessy, begini lebih cepat. Jadi, Liz sebaiknya kau menurut dan—hei, kau mau ke mana?!”

Pergi, pergi jauh-jauh dari sekumpulan orang-orang asing yang rupawan ini. Ya Tuhan, orang-orang ini akan membawanya secara paksa!

Liz melompat dan sofanya ketika pria pirang hendak meraih tangannya. Wanita itu ingin berlari keluar rumah dan mencari pertolongan dati tetangganya, tapi karena Luca berdiri menghalanginya ke arah pintu, Liz tak bisa memikirkan hal lain selain menuju kamarnya.

Ya, kamarnya bisa jadi tempat aman kalau dia bisa mengunci pintu dan mencegah pria itu masuk. Lalu dengan ponselnya, Liz bisa menelepon—

“Tidak!” jerit Liz ketika tubuhnya disambar dari belakang. Detik berikutnya Liz merasakan tubuhnya diangkat, dibalik, dan berikutnya dia melihat punggung lebar terbalut jas hitam sementara rambutnya tergerai berantakan seperti tirai. For God's sake, pria ini memikulnya. “Turunkan aku!” jerit Liz sementara tangannya memukul punggung si pria.

“Stefan! Bayinya! Ya ampun, kau tidak boleh membawa wanita hamil seperti itu!” seru Jessy panik.

Pria yang memikul Liz menggumamkan sesuatu yang mirip bunyi ‘ups’ lalu memindahkan Liz dari pundak ke tangannya, menggendongnya seperti pengantin. Liz terdiam, terkejut karena tiba-tiba diperlakukan dengan lembut.

Sekarang wajah pria itu dekat sekali dengan wajahnya. Membuat Liz tercabik antara senang atau panik, karena pria itu terlihat tampan setengah mati meski matanya tertutup kacamata. Ugh, tidak, tolong jangan terjebak dengan tipu daya rupa menarik mereka! Seakan Robin belum memberikan pelajaran pahit pada Liz.

“Apa kau punya paspor?” tanya pria itu.

Bab terkait

  • Sang Pengantin Lucchesi   3. And Do You Think That You Have Another Choice?

    PASPOR? Ya, Liz punya, tapi belum sempat dia menjawab, Luca lebih dulu mengangkat sebuah tas berwarna biru. Tepatnya tas biru milik Liz yang berisi semua dokumen berharga yang dia kumpulkan semalam dan pria Italia itu tengah mengubek isinya. “Oke, beres, semua yang dibutuhkan ada di sini,” ujar Luca setelah menepuk lembut tas itu. “Jessy, sana cari ponselnya.” “Ke mana perginya skenario ramah tamah yang kita pelajari semalam?” gerutu Jessy. “Hei! Jangan sentuh barang-barangku!” protes Liz pada mereka. Dia akan menyemburkan protes lainnya seandainya pria pirang yang Jessy panggil Stefan tidak berbalik dan membawanya ke lorong. Liz merasa seperti anak kecil yang dirampok kakak kelas. Tidak, tunggu, apa lebih tepatnya ini penculikan? “Tu-turunkan aku,” pinta Liz sembari bergerak gelisah dalam gendongan Stefan. Jawaban pertama Stefan adalah memiringkan bibirnya. “Dan membiarkanmu kabur? Tidak, terima kasih, lagi pula kau lebih ringan darip

  • Sang Pengantin Lucchesi   4. Lucchesi's Palazzo

    KAMAR mandi pesawat jet pribadi itu sangat bagus, yah, sama seperti seisi pesawat yang bahkan jauh lebih mewah daripada apartemen Liz. Hanya saja berada di sana membuatnya tegang. Sepanjang perjalanan Liz bertanya-tanya apa yang menunggunya di Italia? Keluarga kaya raya? Wah, kalau yang itu sepertinya sudah jelas. Nah, bagaimana kalau keluarga kaya raya yang tiran? Liz gugup memikirkan kemungkinan itu. Tapi rasanya tak baik mencegah keluarga bayinya dekat dengannya. Jessy toh bilang bahwa mereka berniat membantu Liz, meski Liz merasa seperti tengah terlibat dalam adegan penculikan tak masuk akal. Lagi pula Liz yakin keluarga Robin tak akan menyakiti Liz maupun calon bayinya. Kini dari balik kaca mobil, Liz memandangi teras dengan tiang marmer putih yang dililiti tumbuhan wisteria itu. Deretan lampu bundar bersinar kuning pucat membuat tempat itu semakin eksotis dengan tembok yang tertimpa efek bayangan dari dedaunan wisteria. Berlatar langit gelap malam

  • Sang Pengantin Lucchesi   5. The Fact

    PONSEL wanita bersurai merah itu masih bergetar dengan nama Robin terpampang di layar dengan huruf-huruf default warna putih. Satu hal yang Liz pahami adalah dia lupa memblokir nomor telepon Robin. Robin, kekasih Liz. Robin yang mengkhianati Liz dengan permintaannya untuk mengugurkan buah hati mereka. Kini Liz tercabik dalam perasaan benci dan kerinduan yang amat sangat hingga rasanya menyakitkan. Mengapa sekarang Robin meneleponnya? Apa pria itu tahu Liz di sini? Apa pria itu baik-baik saja? Apa bahkan Robin berada di rumah ini? Liz menahan napas ketika panggilan telepon itu mati pada dering ke tujuh. Entah karena dia bersyukur Robin mematikan panggilan atau malah kecewa karena tidak mengangkat telepon itu. Ponsel Liz kembali berdering dan wanita itu nyaris memekik karena kejadian barusan berbarengan dengan pintu kamar yang diketuk. Ya Tuhan, Liz merasa seperti anak remaja yang ketahuan mencuri uang dari dompet orang tuanya. Buru-buru dia ubah ponsel

  • Sang Pengantin Lucchesi   6. His Wife

    “KA-KAU? Robin sudah menikah? Denganmu?!” Liz tergagap sementara kedua tangannya mencengkeram kedua lengan Jessy demi menahan tubuhnya agar tidak ambruk. “Liz ... oh, dengarkan aku dulu, Liz, kita bahas itu nanti saja,” bujuk Jessy. “Tapi ... tapi kau istrinya! Bagaimana bisa kau begitu—” Liz tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Bagaimana bisa Jessy bersikap begitu baik pada Liz? Wanita itu sama sekali tak menjukkan jenus ketidaksukaan maupun kesombongan apa pun pada Liz. Jessy mencoba berteman dengan Liz, menghiburnya di pesawat dengan percakapan santai, bahkan mendandani Liz serta memilihkan apa-apa saja yang kini dikenakan oleh wanita yang kini tengah mengandung bukti perselingkuhan Robin dari Jessy. Liz sontak merasa malu pada Jessy. Kenangan manis selama enam bulan sejak pertemuan pertamanya dengan Robin kini kembali runtuh. Bagaimana bisa pria itu berlaku seperti ini? Sejak awal Liz bertanya-tanya apa hubungannya sang model tenar itu deng

  • Sang Pengantin Lucchesi   7. Hester

    PADA pagi berikutnya, Liz mendapati kantung matanya semakin parah. Sembap karena campuran bekas menangis, lelah, dan stres. Julukan rubah berbintik yang dianugrahkan Niki dengan murah hati pada Liz kini mungkin harus diubah menjadi panda berbintik.Semua itu juga jelas bukan kombinasi yang bagus untuk bayinya. Oh bayinya yang malang ....Callida, yang ternyata dulunya juga bekerja sebagai pengasuh bayi di keluarga Lucchesi, menasehati Liz agar merilekskan diri dan jangan memikirkan hal yang berat-berat. Seakan itu mudah untuk dilakukan begitu saja. Mendorong semua pikiran berat yang mendominasi ke belakang kepala.Tapi serius, ya ampun! Memangnya Liz bisa bersantai sementara segunung masalah ruwet ini menantinya?! Liz bahkan tak tahu mukanya harus ditaruh di mana jika nanti Jessy menemuinya.Liz adalah selingkuhan suaminya yang kini mengandung bayi pria itu. Bayi yang jelas-jelas menjadi musuh bagi pernikahan Robin dan Jessy.Itu jugalah alasan dia

  • Sang Pengantin Lucchesi   8. Friend Like Sister

    “NIKI?!” pekik Liz. Menyadari pemilik suara khas si penelepon.Bukan Robin, puji Tuhan ... terima kasih!Detik berikutnya Liz mendengar suara marah dari penelepon yang tak lain tak bukan adalah sahabatnya, Nicoletta Adirangga. “Jawab pertanyaanku dulu, dasar Vixen Berbintik! Mengapa kau malah berada di beberapa kilometer dari Florence alih-alih di Tipperary¹? Apa yang terjadi dengan tiket penerbangan ke Irlandia-mu? Dan bagaimana kau bisa sampai ke Italia? Apa Robin bajingan keparat itu menculikmu atau mafia antah berantah yang melakukannya?!”Liz menjauhkan ponsel dari telinganya dan meringis. Niki mengucapkan semua itu tanpa jeda untuk menarik napas. Siapa yang mengira gadis manis maskot game terkenal itu bisa menyemburkan kalimat sepanjang kereta api beserta batu baranya sekalian?Stefan memandanginya dan bertanya tanpa suara, Temanmu? Liz mengangguk pada Stefan sebagai jawaban.“Err, bagaimana kau tahu aku di

  • Sang Pengantin Lucchesi   9. Old Cloud

    “KATAKAN padaku bahwa dia baik-baik saja!”Niki berjengit, refleks menjauhkan ponsel dari telinganya mendengar seruan kasar tersebut. Wanita dengan fitur wajah stroberi itu mendengus kesal.“Selamat pagi juga, Mr. Martel. Sopan santun Anda sungguh tanpa cela,” sindir Niki dengan nada pedas.Pria yang meneleponnya tepat setelah Niki selesai dengan telepon Liz itu terdiam untuk beberapa saat. “Maaf,” ujarnya penuh penyesalan, “aku khawatir, sangat khawatir padanya. Apa dia mengangkat teleponmu?”“Tentu saja Liz mengangkat teleponku. Bukan aku orang berengsek yang meninggalkan dia dalam keadaan hamil muda dan patah hati berat,” ketus Niki. Itu pasti pukulan telak bagi si pria. Niki beranjak dari kursi yang dia duduki dan berjalan menuju dapur.Satu hal yang tidak disampaikan Niki pada Liz adalah alasan lain dia buru-buru kembali ke London karena Robin Martel mendesaknya mengecek keadaan Liz.

  • Sang Pengantin Lucchesi   10. Oh Dear ....

    CALLIDA datang tak lama kemudian, membawa troli makanan yang kosong untuk memindahkan peralatan makan. Wanita itu tersenyum kecil pada Liz sebelum mulai memindahkan peralatan makan di meja ke atas troli. “Oh, biar aku bantu,” ujar Liz riang sembari meraih piring bekasnya. Tapi sang pelayan merebut piring itu dari tangan Liz. “Eh jangan, tidak perlu, ini adalah pekerjaan dan tanggung jawabku, Signorina¹. Aku mendapat bayaran untuk ini. Dan dripada kau merepotkan tanganmu dengan pekerjaan yang harusnya aku lakukan lebih baik kau tidur siang,” perintah Callida. “Aku tak ingin kau atau bayimu kenapa-kenapa.” Bibir Liz mengerucut menggemaskan mendengar perintah itu. “Aku biasa mengerjakan pekerjaan rumah sendiri di rumah ... ini seperti olahraga yang menyenangkan, Callida. Lagi pula aku tidak pernah bisa tidur siang,” keluh Liz. Yah, dia tak pernah bisa menikmati tidur siang, selalu berakhir terjaga di ranjang atau melamun ke sana kemari. Toh, selama ini L

Bab terbaru

  • Sang Pengantin Lucchesi   10. Oh Dear ....

    CALLIDA datang tak lama kemudian, membawa troli makanan yang kosong untuk memindahkan peralatan makan. Wanita itu tersenyum kecil pada Liz sebelum mulai memindahkan peralatan makan di meja ke atas troli. “Oh, biar aku bantu,” ujar Liz riang sembari meraih piring bekasnya. Tapi sang pelayan merebut piring itu dari tangan Liz. “Eh jangan, tidak perlu, ini adalah pekerjaan dan tanggung jawabku, Signorina¹. Aku mendapat bayaran untuk ini. Dan dripada kau merepotkan tanganmu dengan pekerjaan yang harusnya aku lakukan lebih baik kau tidur siang,” perintah Callida. “Aku tak ingin kau atau bayimu kenapa-kenapa.” Bibir Liz mengerucut menggemaskan mendengar perintah itu. “Aku biasa mengerjakan pekerjaan rumah sendiri di rumah ... ini seperti olahraga yang menyenangkan, Callida. Lagi pula aku tidak pernah bisa tidur siang,” keluh Liz. Yah, dia tak pernah bisa menikmati tidur siang, selalu berakhir terjaga di ranjang atau melamun ke sana kemari. Toh, selama ini L

  • Sang Pengantin Lucchesi   9. Old Cloud

    “KATAKAN padaku bahwa dia baik-baik saja!”Niki berjengit, refleks menjauhkan ponsel dari telinganya mendengar seruan kasar tersebut. Wanita dengan fitur wajah stroberi itu mendengus kesal.“Selamat pagi juga, Mr. Martel. Sopan santun Anda sungguh tanpa cela,” sindir Niki dengan nada pedas.Pria yang meneleponnya tepat setelah Niki selesai dengan telepon Liz itu terdiam untuk beberapa saat. “Maaf,” ujarnya penuh penyesalan, “aku khawatir, sangat khawatir padanya. Apa dia mengangkat teleponmu?”“Tentu saja Liz mengangkat teleponku. Bukan aku orang berengsek yang meninggalkan dia dalam keadaan hamil muda dan patah hati berat,” ketus Niki. Itu pasti pukulan telak bagi si pria. Niki beranjak dari kursi yang dia duduki dan berjalan menuju dapur.Satu hal yang tidak disampaikan Niki pada Liz adalah alasan lain dia buru-buru kembali ke London karena Robin Martel mendesaknya mengecek keadaan Liz.

  • Sang Pengantin Lucchesi   8. Friend Like Sister

    “NIKI?!” pekik Liz. Menyadari pemilik suara khas si penelepon.Bukan Robin, puji Tuhan ... terima kasih!Detik berikutnya Liz mendengar suara marah dari penelepon yang tak lain tak bukan adalah sahabatnya, Nicoletta Adirangga. “Jawab pertanyaanku dulu, dasar Vixen Berbintik! Mengapa kau malah berada di beberapa kilometer dari Florence alih-alih di Tipperary¹? Apa yang terjadi dengan tiket penerbangan ke Irlandia-mu? Dan bagaimana kau bisa sampai ke Italia? Apa Robin bajingan keparat itu menculikmu atau mafia antah berantah yang melakukannya?!”Liz menjauhkan ponsel dari telinganya dan meringis. Niki mengucapkan semua itu tanpa jeda untuk menarik napas. Siapa yang mengira gadis manis maskot game terkenal itu bisa menyemburkan kalimat sepanjang kereta api beserta batu baranya sekalian?Stefan memandanginya dan bertanya tanpa suara, Temanmu? Liz mengangguk pada Stefan sebagai jawaban.“Err, bagaimana kau tahu aku di

  • Sang Pengantin Lucchesi   7. Hester

    PADA pagi berikutnya, Liz mendapati kantung matanya semakin parah. Sembap karena campuran bekas menangis, lelah, dan stres. Julukan rubah berbintik yang dianugrahkan Niki dengan murah hati pada Liz kini mungkin harus diubah menjadi panda berbintik.Semua itu juga jelas bukan kombinasi yang bagus untuk bayinya. Oh bayinya yang malang ....Callida, yang ternyata dulunya juga bekerja sebagai pengasuh bayi di keluarga Lucchesi, menasehati Liz agar merilekskan diri dan jangan memikirkan hal yang berat-berat. Seakan itu mudah untuk dilakukan begitu saja. Mendorong semua pikiran berat yang mendominasi ke belakang kepala.Tapi serius, ya ampun! Memangnya Liz bisa bersantai sementara segunung masalah ruwet ini menantinya?! Liz bahkan tak tahu mukanya harus ditaruh di mana jika nanti Jessy menemuinya.Liz adalah selingkuhan suaminya yang kini mengandung bayi pria itu. Bayi yang jelas-jelas menjadi musuh bagi pernikahan Robin dan Jessy.Itu jugalah alasan dia

  • Sang Pengantin Lucchesi   6. His Wife

    “KA-KAU? Robin sudah menikah? Denganmu?!” Liz tergagap sementara kedua tangannya mencengkeram kedua lengan Jessy demi menahan tubuhnya agar tidak ambruk. “Liz ... oh, dengarkan aku dulu, Liz, kita bahas itu nanti saja,” bujuk Jessy. “Tapi ... tapi kau istrinya! Bagaimana bisa kau begitu—” Liz tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Bagaimana bisa Jessy bersikap begitu baik pada Liz? Wanita itu sama sekali tak menjukkan jenus ketidaksukaan maupun kesombongan apa pun pada Liz. Jessy mencoba berteman dengan Liz, menghiburnya di pesawat dengan percakapan santai, bahkan mendandani Liz serta memilihkan apa-apa saja yang kini dikenakan oleh wanita yang kini tengah mengandung bukti perselingkuhan Robin dari Jessy. Liz sontak merasa malu pada Jessy. Kenangan manis selama enam bulan sejak pertemuan pertamanya dengan Robin kini kembali runtuh. Bagaimana bisa pria itu berlaku seperti ini? Sejak awal Liz bertanya-tanya apa hubungannya sang model tenar itu deng

  • Sang Pengantin Lucchesi   5. The Fact

    PONSEL wanita bersurai merah itu masih bergetar dengan nama Robin terpampang di layar dengan huruf-huruf default warna putih. Satu hal yang Liz pahami adalah dia lupa memblokir nomor telepon Robin. Robin, kekasih Liz. Robin yang mengkhianati Liz dengan permintaannya untuk mengugurkan buah hati mereka. Kini Liz tercabik dalam perasaan benci dan kerinduan yang amat sangat hingga rasanya menyakitkan. Mengapa sekarang Robin meneleponnya? Apa pria itu tahu Liz di sini? Apa pria itu baik-baik saja? Apa bahkan Robin berada di rumah ini? Liz menahan napas ketika panggilan telepon itu mati pada dering ke tujuh. Entah karena dia bersyukur Robin mematikan panggilan atau malah kecewa karena tidak mengangkat telepon itu. Ponsel Liz kembali berdering dan wanita itu nyaris memekik karena kejadian barusan berbarengan dengan pintu kamar yang diketuk. Ya Tuhan, Liz merasa seperti anak remaja yang ketahuan mencuri uang dari dompet orang tuanya. Buru-buru dia ubah ponsel

  • Sang Pengantin Lucchesi   4. Lucchesi's Palazzo

    KAMAR mandi pesawat jet pribadi itu sangat bagus, yah, sama seperti seisi pesawat yang bahkan jauh lebih mewah daripada apartemen Liz. Hanya saja berada di sana membuatnya tegang. Sepanjang perjalanan Liz bertanya-tanya apa yang menunggunya di Italia? Keluarga kaya raya? Wah, kalau yang itu sepertinya sudah jelas. Nah, bagaimana kalau keluarga kaya raya yang tiran? Liz gugup memikirkan kemungkinan itu. Tapi rasanya tak baik mencegah keluarga bayinya dekat dengannya. Jessy toh bilang bahwa mereka berniat membantu Liz, meski Liz merasa seperti tengah terlibat dalam adegan penculikan tak masuk akal. Lagi pula Liz yakin keluarga Robin tak akan menyakiti Liz maupun calon bayinya. Kini dari balik kaca mobil, Liz memandangi teras dengan tiang marmer putih yang dililiti tumbuhan wisteria itu. Deretan lampu bundar bersinar kuning pucat membuat tempat itu semakin eksotis dengan tembok yang tertimpa efek bayangan dari dedaunan wisteria. Berlatar langit gelap malam

  • Sang Pengantin Lucchesi   3. And Do You Think That You Have Another Choice?

    PASPOR? Ya, Liz punya, tapi belum sempat dia menjawab, Luca lebih dulu mengangkat sebuah tas berwarna biru. Tepatnya tas biru milik Liz yang berisi semua dokumen berharga yang dia kumpulkan semalam dan pria Italia itu tengah mengubek isinya. “Oke, beres, semua yang dibutuhkan ada di sini,” ujar Luca setelah menepuk lembut tas itu. “Jessy, sana cari ponselnya.” “Ke mana perginya skenario ramah tamah yang kita pelajari semalam?” gerutu Jessy. “Hei! Jangan sentuh barang-barangku!” protes Liz pada mereka. Dia akan menyemburkan protes lainnya seandainya pria pirang yang Jessy panggil Stefan tidak berbalik dan membawanya ke lorong. Liz merasa seperti anak kecil yang dirampok kakak kelas. Tidak, tunggu, apa lebih tepatnya ini penculikan? “Tu-turunkan aku,” pinta Liz sembari bergerak gelisah dalam gendongan Stefan. Jawaban pertama Stefan adalah memiringkan bibirnya. “Dan membiarkanmu kabur? Tidak, terima kasih, lagi pula kau lebih ringan darip

  • Sang Pengantin Lucchesi   2. Wha-What Do You Want?

    “BEGINI, kami tahu kau sedang dalam kesulitan dan itu karena Robin. Dia memang agak ... err berengsek.” Dalam jeda sebelum kata berengsek, Jessy nyaris tak kentara melirik pada si pria berambut gelap. “Kau bisa coret kata ‘agak’ itu, dia memang berengsek,” ujar pria berambut gelap dengan aksen Inggris sempurna, tapi Liz yakin di balik kacamata hitam itu ada wajah pria tampan yang sangat Italia. “Dia menipuku ...,” cicit Liz. Dia juga tak menginginkan bayi Liz, dan malah memilih untuk menyingkirkannya. “Ya ... dan entah berapa lusin wanita lain,” gumam Jessy dengan muram. “Maaf, tapi sepertinya kau adalah wanita yang paling tidak beruntung yang berurusan dengan Robin.” For God's sake, apa Robin benar-benar seburuk itu? Seandainya saja Robin tidak mengirim email keparat itu, Liz barang kali tak percaya dengan perkataan Jessy. Karena bagaimanapun juga, selama setengah tahun ini Robin begitu baik pada Liz. Wanita itu bahkan masih bisa meng

DMCA.com Protection Status