Share

7. Hester

Author: Nightin Fourth
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

PADA pagi berikutnya, Liz mendapati kantung matanya semakin parah. Sembap karena campuran bekas menangis, lelah, dan stres. Julukan rubah berbintik yang dianugrahkan Niki dengan murah hati pada Liz kini mungkin harus diubah menjadi panda berbintik.

Semua itu juga jelas bukan kombinasi yang bagus untuk bayinya. Oh bayinya yang malang ....

Callida, yang ternyata dulunya juga bekerja sebagai pengasuh bayi di keluarga Lucchesi, menasehati Liz agar merilekskan diri dan jangan memikirkan hal yang berat-berat. Seakan itu mudah untuk dilakukan begitu saja. Mendorong semua pikiran berat yang mendominasi ke belakang kepala.

Tapi serius, ya ampun! Memangnya Liz bisa bersantai sementara segunung masalah ruwet ini menantinya?! Liz bahkan tak tahu mukanya harus ditaruh di mana jika nanti Jessy menemuinya.

Liz adalah selingkuhan suaminya yang kini mengandung bayi pria itu. Bayi yang jelas-jelas menjadi musuh bagi pernikahan Robin dan Jessy.

Itu jugalah alasan dia bersikeras serapan di kamar dan tidak ingin dijenguk oleh siapa pun kecuali Callida. Meskipun sebenarnya Liz merasa tidak sopan ketika menolak Signor Matteo, Liz hanya masih belum siap menghadapi masalah lainnya. Dia ingin mencerna apa yang terjadi di sisi keluarga Lucchesi, karena kini masalahnya jauh lebih rumit dari yang Liz kira.

“Jessy pernah mengugurkan bayinya?” Liz membeo ujaran Callida. Seperti yang selalu dia lakukan setiap kali mendengar hal mengejutkan dalam cerita yang Callida ucapkan. Yah, Liz meminta sang pelayan yang sepertinya orang kepercayaan itu untuk menceritakan garis besar hal yang terjadi di keluarga Lucchesi.

Wanita yang mengaku telah bekerja selama tiga puluh lima tahun untuk Signor Matteo itu mengangguk menanggapi Liz. “Ya, dua tahun setelah pernikahan mereka. Waktu itu karir modeling Jessamine tengah meroket dan wanita muda itu bersikeras ingin menunda kehamilannya. Mereka bertengkar, tentu saja. Robin telah menanti-nanti buah hati pernikahan mereka. Setelah itu pernikahan mereka mulai retak.”

Liz menghitung tahun-tahun dalam kepalanya. Dua tahun setelah pernikahan Jessy dan Robin, itu berarti sekitar empat tahun lalu. Memang benar karir Jessy mulai gemilang pada saat itu, tapi tak ada kabar sama sekali tentang kehamilan dan pernikahan.

“Oh, tunggu, kenapa Jessy tidak memakai nama belakang Lucchesi? Mereka kan sudah menikah?” tanya Liz. Satu hal yang membuatnya sama sekali tak berpikir bahwa Jessy adalah istri Robin.

“Maksudmu nama Hester? Oh, itu nama gadisnya, dan dia sudah terlanjur terkenal dengan nama itu. Jessamine menikmatinya sebab itu berarti nama Lucchesi tak memengaruhi ketenarannya. Dia meraih semua pencapaian dengan usaha sendiri. Sayangnya dia mengorbankan pernikahannya secara tak sadar demi ketenaran itu,” jelas Callida. Diawali tawa kecil, tapi diakhiri dengan ekspresi muram.

Yeah, yang dijelaskan Callida barusan masuk akal.

Bahkan dari awal pertemuan mereka, Liz sendirilah yang menebak nama belakang Jessy adalah Hester, dan Jessy tentu tak menyangkal karena itu memang benar. Jessy hanya tak mengatakan bahwa dia juga Lucchesi, dan kenapa wanita itu tidak menjelaskan hal penting ini pada Liz? Agar Liz mau ikut bersamanya ke Italia? Atau Jessy takut Liz terpukul akan kenyataan ini?

Liz menghela napas dan berusaha menghabiskan susu paginya. Setelah selesai dengan susu, wanita itu memandangi jendela kamarnya yang megah, meneliti ukiran di kosen kayunya yang sederhana namun elegan.

Tiga tahun lalu Liz pasti sudah histeris melihat rumah bergaya ini. Ketika dia masih seorang mahasiswi naif, ah, tapi toh sekarang ini dia masih naif. Sayangnya wanita itu menyadari gelar sarjana seninya menjadi tak begitu berharga tanpa adanya fasilitas dan musim ekonomi yang tepat.

Liz beranjak dari kursinya, berjalan menuju kasur dan meraih ponsel yang semalam dia lupakan.

Layar kunci ponsel murahnya menampilkan lima missed call dan delapan pesan teks. Kesemuanya datang dari nomor yang sama, nomor Robin Martel. Yeah ... Robin tidak pernah menyebutkan nama Lucchesi pada Liz. Kemarin Luca memberitahu Kiz bahwa nama lengkap Robin adalah Robin Martel Lucchesi.

Kini Liz tertawa kecut menyadari kesamaan suami istri itu. Jessy dan Robin sama-sama tidak berbohong, mereka hanya mengatakan kenyataan yang tidak lengkap. Seperti dalam kisah-kisah peri yang tak bisa berbohong tapi juga sangat cerdik untuk menyembunyikan rahasia.

Pintu kamar Liz diketuk tiga kali.

“Itu Stefan,” ujar Callida. Entah bagaimana wanita itu bisa mengetahuinya. Nada ketukan mungkin? “Kau ingin dia pergi juga atau ....”

Stefan adalah adik Jessy, fakta lainnya. Liz masih bertanya-tanya bagaimana pandangan Stefan terhadap Liz yang menjadi duri dalam pernikahan saudarinya.

“Eh uhm ... izinkan saja dia masuk,” sahut Liz.

Callida segera bergegas membuka pintu untuk Stefan. Pria itu muncul dengan celana jogger, kaus abu-abu longgar, dan sepatu olahraga. Matanya yang sewarna zamrud menatap Liz heran.

“Hai, selamat pagi,” sapa Stefan. Pria itu lalu duduk di depan Liz.

“Selamat pagi,” balas Liz. Diam-diam bersyukur karena punya pengalihan untuk kembali mengabaikan telepon dan pesan Robin.

“Aku kira kau akan ... uhm, menolakku. Jessy dan yang lainnya sangat khawatir kalau-kalau kau jadi ....” Stefan kesulitan mencari rangkaian kata yang tepat. “Eh, lupakan saja deh. Apa kau sudah merasa lebih baik? Maksudku, kau pingsan semalam.”

“Oh, ya, benar, aku sudah tidak apa-apa kok. Bicara tentang itu, aku ucapkan terima kasih, Callida bilang kau yang repot-repot menggendongku ke sini,” ucap Liz. Wanita itu mencoba menampilkan senyum terbaik.

“Baguslah kalau begitu. Lagi pula kau ringan, dan kau tidak terlihat seperti orang hamil dengan perut itu,” ujar Stefan.

Oh, pria ini ternyata lebih ramah dari apa yang diperkiraan Liz.

“Yah, kalau tertutup baju tidak terlihat menonjol. Uh, tunggu sebentar,” pinta Liz. Wanita itu lalu menarik naik bagian bawah piama katun, salah satu yang disediakan oleh rumah ini dan dipilihkan oleh Callida, yang dia kenakan hingga memperlihatkan perutnya.

Stefan mencondongkan badan ke depan dan menunduk demi melihat perut Liz. “Wow, kau benar. Perut bawahmu menggembung,” komentar Stefan.

Mereka hanya diam memandangi perut Liz untuk beberapa saat, hingga akhirnya Liz tersadar apa yang tengah dia lakukan.

Aku memamerkan perutku pada adik laki-laki wanita yang merupakan istri pria yang menghamiliku.

Pipi Liz sontak bersemu merah. Stefan sepertinya juga menyadari apa yang mereka lakukan karena pria itu berdeham dan menegakkan punggung. Liz buru-buru menarik turun piamanya. Ya, Tuhan, mereka melakukan hal konyol di depan Callida yang pura-pura tak memperhatikan.

Keakraban yang baru mereka bangun terancam tewas digantikan kecanggungan.

Oh Liiiz, kau ini tolol!

Ponsel Liz tiba-tiba bergetar, seseorang tengah menelepon, dan karena panik Liz langsung menerima telepon lalu menempelkan ponsel ke telinga. Ya Tuhan! Nama siapa yang tertera tadi? Bagaimana kalau itu Robin?!

Jantung Liz seakan berhenti berdetak hingga kemudian sang penelepon berbicara dalam nada menahan amarah.

“Apa ... tepatnya ... yang kau lakukan di Italia?”

Related chapters

  • Sang Pengantin Lucchesi   8. Friend Like Sister

    “NIKI?!” pekik Liz. Menyadari pemilik suara khas si penelepon.Bukan Robin, puji Tuhan ... terima kasih!Detik berikutnya Liz mendengar suara marah dari penelepon yang tak lain tak bukan adalah sahabatnya, Nicoletta Adirangga. “Jawab pertanyaanku dulu, dasar Vixen Berbintik! Mengapa kau malah berada di beberapa kilometer dari Florence alih-alih di Tipperary¹? Apa yang terjadi dengan tiket penerbangan ke Irlandia-mu? Dan bagaimana kau bisa sampai ke Italia? Apa Robin bajingan keparat itu menculikmu atau mafia antah berantah yang melakukannya?!”Liz menjauhkan ponsel dari telinganya dan meringis. Niki mengucapkan semua itu tanpa jeda untuk menarik napas. Siapa yang mengira gadis manis maskot game terkenal itu bisa menyemburkan kalimat sepanjang kereta api beserta batu baranya sekalian?Stefan memandanginya dan bertanya tanpa suara, Temanmu? Liz mengangguk pada Stefan sebagai jawaban.“Err, bagaimana kau tahu aku di

  • Sang Pengantin Lucchesi   9. Old Cloud

    “KATAKAN padaku bahwa dia baik-baik saja!”Niki berjengit, refleks menjauhkan ponsel dari telinganya mendengar seruan kasar tersebut. Wanita dengan fitur wajah stroberi itu mendengus kesal.“Selamat pagi juga, Mr. Martel. Sopan santun Anda sungguh tanpa cela,” sindir Niki dengan nada pedas.Pria yang meneleponnya tepat setelah Niki selesai dengan telepon Liz itu terdiam untuk beberapa saat. “Maaf,” ujarnya penuh penyesalan, “aku khawatir, sangat khawatir padanya. Apa dia mengangkat teleponmu?”“Tentu saja Liz mengangkat teleponku. Bukan aku orang berengsek yang meninggalkan dia dalam keadaan hamil muda dan patah hati berat,” ketus Niki. Itu pasti pukulan telak bagi si pria. Niki beranjak dari kursi yang dia duduki dan berjalan menuju dapur.Satu hal yang tidak disampaikan Niki pada Liz adalah alasan lain dia buru-buru kembali ke London karena Robin Martel mendesaknya mengecek keadaan Liz.

  • Sang Pengantin Lucchesi   10. Oh Dear ....

    CALLIDA datang tak lama kemudian, membawa troli makanan yang kosong untuk memindahkan peralatan makan. Wanita itu tersenyum kecil pada Liz sebelum mulai memindahkan peralatan makan di meja ke atas troli. “Oh, biar aku bantu,” ujar Liz riang sembari meraih piring bekasnya. Tapi sang pelayan merebut piring itu dari tangan Liz. “Eh jangan, tidak perlu, ini adalah pekerjaan dan tanggung jawabku, Signorina¹. Aku mendapat bayaran untuk ini. Dan dripada kau merepotkan tanganmu dengan pekerjaan yang harusnya aku lakukan lebih baik kau tidur siang,” perintah Callida. “Aku tak ingin kau atau bayimu kenapa-kenapa.” Bibir Liz mengerucut menggemaskan mendengar perintah itu. “Aku biasa mengerjakan pekerjaan rumah sendiri di rumah ... ini seperti olahraga yang menyenangkan, Callida. Lagi pula aku tidak pernah bisa tidur siang,” keluh Liz. Yah, dia tak pernah bisa menikmati tidur siang, selalu berakhir terjaga di ranjang atau melamun ke sana kemari. Toh, selama ini L

  • Sang Pengantin Lucchesi   1. The Visitors

    LIZ memandangi tubuhnya dari pantulan bayangan di cermin yang menempel di pintu lemari kayunya. Dibalut T-shirt putih polos dan celana katun longgar, tak ada yang terlihat salah pada diri Liz. Kecuali kantung mata tebal dan kenyataan bahwa tubuhnya tengah mengasup kehidupan lain. Secara naluriah Liz mengusap perutnya, merasakan tonjolan kecil yang nyaris tak kentara tertutupi kausnya. Kandungannya sudah memasuki bulan ketiga, atau itulah yang dikatakan dokter siang tadi. Belum banyak perubahan yang ditunjukkan oleh efek kehamilannya. Namun, sebentar lagi pasti terlihat. Dulu, Liz terkadang iseng memikirkan suatu hari nanti dirinya dalam gaun longgar dan perut buncit serta kaki bengkak, berusaha memakai kaus kaki rajut dan mengomel karena kesulitan. Liz yang masih remaja selalu berakhir terkikik membayangkan betapa dirinya yang pendek akan terlihat lucu dengan perut seperti itu. Tapi sekarang dia tidak bisa tertawa. Wanita itu merasa takut.

  • Sang Pengantin Lucchesi   2. Wha-What Do You Want?

    “BEGINI, kami tahu kau sedang dalam kesulitan dan itu karena Robin. Dia memang agak ... err berengsek.” Dalam jeda sebelum kata berengsek, Jessy nyaris tak kentara melirik pada si pria berambut gelap. “Kau bisa coret kata ‘agak’ itu, dia memang berengsek,” ujar pria berambut gelap dengan aksen Inggris sempurna, tapi Liz yakin di balik kacamata hitam itu ada wajah pria tampan yang sangat Italia. “Dia menipuku ...,” cicit Liz. Dia juga tak menginginkan bayi Liz, dan malah memilih untuk menyingkirkannya. “Ya ... dan entah berapa lusin wanita lain,” gumam Jessy dengan muram. “Maaf, tapi sepertinya kau adalah wanita yang paling tidak beruntung yang berurusan dengan Robin.” For God's sake, apa Robin benar-benar seburuk itu? Seandainya saja Robin tidak mengirim email keparat itu, Liz barang kali tak percaya dengan perkataan Jessy. Karena bagaimanapun juga, selama setengah tahun ini Robin begitu baik pada Liz. Wanita itu bahkan masih bisa meng

  • Sang Pengantin Lucchesi   3. And Do You Think That You Have Another Choice?

    PASPOR? Ya, Liz punya, tapi belum sempat dia menjawab, Luca lebih dulu mengangkat sebuah tas berwarna biru. Tepatnya tas biru milik Liz yang berisi semua dokumen berharga yang dia kumpulkan semalam dan pria Italia itu tengah mengubek isinya. “Oke, beres, semua yang dibutuhkan ada di sini,” ujar Luca setelah menepuk lembut tas itu. “Jessy, sana cari ponselnya.” “Ke mana perginya skenario ramah tamah yang kita pelajari semalam?” gerutu Jessy. “Hei! Jangan sentuh barang-barangku!” protes Liz pada mereka. Dia akan menyemburkan protes lainnya seandainya pria pirang yang Jessy panggil Stefan tidak berbalik dan membawanya ke lorong. Liz merasa seperti anak kecil yang dirampok kakak kelas. Tidak, tunggu, apa lebih tepatnya ini penculikan? “Tu-turunkan aku,” pinta Liz sembari bergerak gelisah dalam gendongan Stefan. Jawaban pertama Stefan adalah memiringkan bibirnya. “Dan membiarkanmu kabur? Tidak, terima kasih, lagi pula kau lebih ringan darip

  • Sang Pengantin Lucchesi   4. Lucchesi's Palazzo

    KAMAR mandi pesawat jet pribadi itu sangat bagus, yah, sama seperti seisi pesawat yang bahkan jauh lebih mewah daripada apartemen Liz. Hanya saja berada di sana membuatnya tegang. Sepanjang perjalanan Liz bertanya-tanya apa yang menunggunya di Italia? Keluarga kaya raya? Wah, kalau yang itu sepertinya sudah jelas. Nah, bagaimana kalau keluarga kaya raya yang tiran? Liz gugup memikirkan kemungkinan itu. Tapi rasanya tak baik mencegah keluarga bayinya dekat dengannya. Jessy toh bilang bahwa mereka berniat membantu Liz, meski Liz merasa seperti tengah terlibat dalam adegan penculikan tak masuk akal. Lagi pula Liz yakin keluarga Robin tak akan menyakiti Liz maupun calon bayinya. Kini dari balik kaca mobil, Liz memandangi teras dengan tiang marmer putih yang dililiti tumbuhan wisteria itu. Deretan lampu bundar bersinar kuning pucat membuat tempat itu semakin eksotis dengan tembok yang tertimpa efek bayangan dari dedaunan wisteria. Berlatar langit gelap malam

  • Sang Pengantin Lucchesi   5. The Fact

    PONSEL wanita bersurai merah itu masih bergetar dengan nama Robin terpampang di layar dengan huruf-huruf default warna putih. Satu hal yang Liz pahami adalah dia lupa memblokir nomor telepon Robin. Robin, kekasih Liz. Robin yang mengkhianati Liz dengan permintaannya untuk mengugurkan buah hati mereka. Kini Liz tercabik dalam perasaan benci dan kerinduan yang amat sangat hingga rasanya menyakitkan. Mengapa sekarang Robin meneleponnya? Apa pria itu tahu Liz di sini? Apa pria itu baik-baik saja? Apa bahkan Robin berada di rumah ini? Liz menahan napas ketika panggilan telepon itu mati pada dering ke tujuh. Entah karena dia bersyukur Robin mematikan panggilan atau malah kecewa karena tidak mengangkat telepon itu. Ponsel Liz kembali berdering dan wanita itu nyaris memekik karena kejadian barusan berbarengan dengan pintu kamar yang diketuk. Ya Tuhan, Liz merasa seperti anak remaja yang ketahuan mencuri uang dari dompet orang tuanya. Buru-buru dia ubah ponsel

Latest chapter

  • Sang Pengantin Lucchesi   10. Oh Dear ....

    CALLIDA datang tak lama kemudian, membawa troli makanan yang kosong untuk memindahkan peralatan makan. Wanita itu tersenyum kecil pada Liz sebelum mulai memindahkan peralatan makan di meja ke atas troli. “Oh, biar aku bantu,” ujar Liz riang sembari meraih piring bekasnya. Tapi sang pelayan merebut piring itu dari tangan Liz. “Eh jangan, tidak perlu, ini adalah pekerjaan dan tanggung jawabku, Signorina¹. Aku mendapat bayaran untuk ini. Dan dripada kau merepotkan tanganmu dengan pekerjaan yang harusnya aku lakukan lebih baik kau tidur siang,” perintah Callida. “Aku tak ingin kau atau bayimu kenapa-kenapa.” Bibir Liz mengerucut menggemaskan mendengar perintah itu. “Aku biasa mengerjakan pekerjaan rumah sendiri di rumah ... ini seperti olahraga yang menyenangkan, Callida. Lagi pula aku tidak pernah bisa tidur siang,” keluh Liz. Yah, dia tak pernah bisa menikmati tidur siang, selalu berakhir terjaga di ranjang atau melamun ke sana kemari. Toh, selama ini L

  • Sang Pengantin Lucchesi   9. Old Cloud

    “KATAKAN padaku bahwa dia baik-baik saja!”Niki berjengit, refleks menjauhkan ponsel dari telinganya mendengar seruan kasar tersebut. Wanita dengan fitur wajah stroberi itu mendengus kesal.“Selamat pagi juga, Mr. Martel. Sopan santun Anda sungguh tanpa cela,” sindir Niki dengan nada pedas.Pria yang meneleponnya tepat setelah Niki selesai dengan telepon Liz itu terdiam untuk beberapa saat. “Maaf,” ujarnya penuh penyesalan, “aku khawatir, sangat khawatir padanya. Apa dia mengangkat teleponmu?”“Tentu saja Liz mengangkat teleponku. Bukan aku orang berengsek yang meninggalkan dia dalam keadaan hamil muda dan patah hati berat,” ketus Niki. Itu pasti pukulan telak bagi si pria. Niki beranjak dari kursi yang dia duduki dan berjalan menuju dapur.Satu hal yang tidak disampaikan Niki pada Liz adalah alasan lain dia buru-buru kembali ke London karena Robin Martel mendesaknya mengecek keadaan Liz.

  • Sang Pengantin Lucchesi   8. Friend Like Sister

    “NIKI?!” pekik Liz. Menyadari pemilik suara khas si penelepon.Bukan Robin, puji Tuhan ... terima kasih!Detik berikutnya Liz mendengar suara marah dari penelepon yang tak lain tak bukan adalah sahabatnya, Nicoletta Adirangga. “Jawab pertanyaanku dulu, dasar Vixen Berbintik! Mengapa kau malah berada di beberapa kilometer dari Florence alih-alih di Tipperary¹? Apa yang terjadi dengan tiket penerbangan ke Irlandia-mu? Dan bagaimana kau bisa sampai ke Italia? Apa Robin bajingan keparat itu menculikmu atau mafia antah berantah yang melakukannya?!”Liz menjauhkan ponsel dari telinganya dan meringis. Niki mengucapkan semua itu tanpa jeda untuk menarik napas. Siapa yang mengira gadis manis maskot game terkenal itu bisa menyemburkan kalimat sepanjang kereta api beserta batu baranya sekalian?Stefan memandanginya dan bertanya tanpa suara, Temanmu? Liz mengangguk pada Stefan sebagai jawaban.“Err, bagaimana kau tahu aku di

  • Sang Pengantin Lucchesi   7. Hester

    PADA pagi berikutnya, Liz mendapati kantung matanya semakin parah. Sembap karena campuran bekas menangis, lelah, dan stres. Julukan rubah berbintik yang dianugrahkan Niki dengan murah hati pada Liz kini mungkin harus diubah menjadi panda berbintik.Semua itu juga jelas bukan kombinasi yang bagus untuk bayinya. Oh bayinya yang malang ....Callida, yang ternyata dulunya juga bekerja sebagai pengasuh bayi di keluarga Lucchesi, menasehati Liz agar merilekskan diri dan jangan memikirkan hal yang berat-berat. Seakan itu mudah untuk dilakukan begitu saja. Mendorong semua pikiran berat yang mendominasi ke belakang kepala.Tapi serius, ya ampun! Memangnya Liz bisa bersantai sementara segunung masalah ruwet ini menantinya?! Liz bahkan tak tahu mukanya harus ditaruh di mana jika nanti Jessy menemuinya.Liz adalah selingkuhan suaminya yang kini mengandung bayi pria itu. Bayi yang jelas-jelas menjadi musuh bagi pernikahan Robin dan Jessy.Itu jugalah alasan dia

  • Sang Pengantin Lucchesi   6. His Wife

    “KA-KAU? Robin sudah menikah? Denganmu?!” Liz tergagap sementara kedua tangannya mencengkeram kedua lengan Jessy demi menahan tubuhnya agar tidak ambruk. “Liz ... oh, dengarkan aku dulu, Liz, kita bahas itu nanti saja,” bujuk Jessy. “Tapi ... tapi kau istrinya! Bagaimana bisa kau begitu—” Liz tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Bagaimana bisa Jessy bersikap begitu baik pada Liz? Wanita itu sama sekali tak menjukkan jenus ketidaksukaan maupun kesombongan apa pun pada Liz. Jessy mencoba berteman dengan Liz, menghiburnya di pesawat dengan percakapan santai, bahkan mendandani Liz serta memilihkan apa-apa saja yang kini dikenakan oleh wanita yang kini tengah mengandung bukti perselingkuhan Robin dari Jessy. Liz sontak merasa malu pada Jessy. Kenangan manis selama enam bulan sejak pertemuan pertamanya dengan Robin kini kembali runtuh. Bagaimana bisa pria itu berlaku seperti ini? Sejak awal Liz bertanya-tanya apa hubungannya sang model tenar itu deng

  • Sang Pengantin Lucchesi   5. The Fact

    PONSEL wanita bersurai merah itu masih bergetar dengan nama Robin terpampang di layar dengan huruf-huruf default warna putih. Satu hal yang Liz pahami adalah dia lupa memblokir nomor telepon Robin. Robin, kekasih Liz. Robin yang mengkhianati Liz dengan permintaannya untuk mengugurkan buah hati mereka. Kini Liz tercabik dalam perasaan benci dan kerinduan yang amat sangat hingga rasanya menyakitkan. Mengapa sekarang Robin meneleponnya? Apa pria itu tahu Liz di sini? Apa pria itu baik-baik saja? Apa bahkan Robin berada di rumah ini? Liz menahan napas ketika panggilan telepon itu mati pada dering ke tujuh. Entah karena dia bersyukur Robin mematikan panggilan atau malah kecewa karena tidak mengangkat telepon itu. Ponsel Liz kembali berdering dan wanita itu nyaris memekik karena kejadian barusan berbarengan dengan pintu kamar yang diketuk. Ya Tuhan, Liz merasa seperti anak remaja yang ketahuan mencuri uang dari dompet orang tuanya. Buru-buru dia ubah ponsel

  • Sang Pengantin Lucchesi   4. Lucchesi's Palazzo

    KAMAR mandi pesawat jet pribadi itu sangat bagus, yah, sama seperti seisi pesawat yang bahkan jauh lebih mewah daripada apartemen Liz. Hanya saja berada di sana membuatnya tegang. Sepanjang perjalanan Liz bertanya-tanya apa yang menunggunya di Italia? Keluarga kaya raya? Wah, kalau yang itu sepertinya sudah jelas. Nah, bagaimana kalau keluarga kaya raya yang tiran? Liz gugup memikirkan kemungkinan itu. Tapi rasanya tak baik mencegah keluarga bayinya dekat dengannya. Jessy toh bilang bahwa mereka berniat membantu Liz, meski Liz merasa seperti tengah terlibat dalam adegan penculikan tak masuk akal. Lagi pula Liz yakin keluarga Robin tak akan menyakiti Liz maupun calon bayinya. Kini dari balik kaca mobil, Liz memandangi teras dengan tiang marmer putih yang dililiti tumbuhan wisteria itu. Deretan lampu bundar bersinar kuning pucat membuat tempat itu semakin eksotis dengan tembok yang tertimpa efek bayangan dari dedaunan wisteria. Berlatar langit gelap malam

  • Sang Pengantin Lucchesi   3. And Do You Think That You Have Another Choice?

    PASPOR? Ya, Liz punya, tapi belum sempat dia menjawab, Luca lebih dulu mengangkat sebuah tas berwarna biru. Tepatnya tas biru milik Liz yang berisi semua dokumen berharga yang dia kumpulkan semalam dan pria Italia itu tengah mengubek isinya. “Oke, beres, semua yang dibutuhkan ada di sini,” ujar Luca setelah menepuk lembut tas itu. “Jessy, sana cari ponselnya.” “Ke mana perginya skenario ramah tamah yang kita pelajari semalam?” gerutu Jessy. “Hei! Jangan sentuh barang-barangku!” protes Liz pada mereka. Dia akan menyemburkan protes lainnya seandainya pria pirang yang Jessy panggil Stefan tidak berbalik dan membawanya ke lorong. Liz merasa seperti anak kecil yang dirampok kakak kelas. Tidak, tunggu, apa lebih tepatnya ini penculikan? “Tu-turunkan aku,” pinta Liz sembari bergerak gelisah dalam gendongan Stefan. Jawaban pertama Stefan adalah memiringkan bibirnya. “Dan membiarkanmu kabur? Tidak, terima kasih, lagi pula kau lebih ringan darip

  • Sang Pengantin Lucchesi   2. Wha-What Do You Want?

    “BEGINI, kami tahu kau sedang dalam kesulitan dan itu karena Robin. Dia memang agak ... err berengsek.” Dalam jeda sebelum kata berengsek, Jessy nyaris tak kentara melirik pada si pria berambut gelap. “Kau bisa coret kata ‘agak’ itu, dia memang berengsek,” ujar pria berambut gelap dengan aksen Inggris sempurna, tapi Liz yakin di balik kacamata hitam itu ada wajah pria tampan yang sangat Italia. “Dia menipuku ...,” cicit Liz. Dia juga tak menginginkan bayi Liz, dan malah memilih untuk menyingkirkannya. “Ya ... dan entah berapa lusin wanita lain,” gumam Jessy dengan muram. “Maaf, tapi sepertinya kau adalah wanita yang paling tidak beruntung yang berurusan dengan Robin.” For God's sake, apa Robin benar-benar seburuk itu? Seandainya saja Robin tidak mengirim email keparat itu, Liz barang kali tak percaya dengan perkataan Jessy. Karena bagaimanapun juga, selama setengah tahun ini Robin begitu baik pada Liz. Wanita itu bahkan masih bisa meng

DMCA.com Protection Status