Home / Romansa / Sang Pengantin Lucchesi / 4. Lucchesi's Palazzo

Share

4. Lucchesi's Palazzo

Author: Nightin Fourth
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

KAMAR mandi pesawat jet pribadi itu sangat bagus, yah, sama seperti seisi pesawat yang bahkan jauh lebih mewah daripada apartemen Liz. Hanya saja berada di sana membuatnya tegang. 

Sepanjang perjalanan Liz bertanya-tanya apa yang menunggunya di Italia? Keluarga kaya raya? Wah, kalau yang itu sepertinya sudah jelas. Nah, bagaimana kalau keluarga kaya raya yang tiran? Liz gugup memikirkan kemungkinan itu.

Tapi rasanya tak baik mencegah keluarga bayinya dekat dengannya. Jessy toh bilang bahwa mereka berniat membantu Liz, meski Liz merasa seperti tengah terlibat dalam adegan penculikan tak masuk akal. Lagi pula Liz yakin keluarga Robin tak akan menyakiti Liz maupun calon bayinya.

Kini dari balik kaca mobil, Liz memandangi teras dengan tiang marmer putih yang dililiti tumbuhan wisteria itu. Deretan lampu bundar bersinar kuning pucat membuat tempat itu semakin eksotis dengan tembok yang tertimpa efek bayangan dari dedaunan wisteria. Berlatar langit gelap malam hari dengan sepercik bintang. Tempat ini terlihat seperti puri megah dari zaman kejayaan Yunani alih-alih hunian sebuah keluarga modern.

Dan Liz pasti sudah sinting karena membandingkan teras indah itu dengan kamar mandi pesawat. Tidak, tidak, Liz hanya sedang mengira-ngira apakah tempat itu sama nyamannya tapi menakutkan seperti efek pesawat mewah itu?

“Terima kasih,” ujar Liz pada seorang pria yang membukakan pintu mobil untuk Liz.

“Nah, kau akan suka tempat ini,” ujar Jessy yang kini menggamit lengan Liz.

Rombongan mereka lalu berjalan menapaki undakan batu depan, menuju pintu ganda dari kayu yang teroksidasi.

Liz berusaha keras untuk tidak melongo sementara tangannya mencengkeram tepian gaun krem yang dia kenakan. Oh ya, dia sudah mandi dan berganti pakaian di pesawat, dan Jessy bahkan menyisiri rambut serta mendandaninya sedikit. Penampilannya, yah, setidaknya sudah pantas untuk menghadap keluarga miliuner Robin.

Tapi Liz tetap merasa gugup, dan sepertinya juga jet lag.

Pintu ganda besar itu terbuka.

Jessy mendorong lembut Liz agar terus melangkah.

Bagian dalam aula rumah itu mengguncang Liz secara mental.

Seandainya situasinya berbeda, jiwa seniman Liz pasti sudah menggila dalam tuntutan untuk meneliti setiap detail rumah berkelas ini. 

Mulai dari jambangan bunga porselen, lampu kristal megah di langit-langit, barang-barang antik, tangga melingkar dari marmer, dan barisan pelayan berseragam serasi yang membungkuk ke arah pintu. Tempat ini terlihat seperti museum. Yang paling menarik perhatian Liz adalah lukisan besar di dinding yang menggambarkan sebuah pesta di pedesaan.

Liz berdoa semoga dirinya tidak kolaps di tempat semegah ini.

Di tengah-tengah barisan para pelayan, seorang pria Italia dengan rambut abu-abu tapi masih berdiri tegak dengan sisa masa kejayaan seorang pria muda tersenyum cerah pada Liz.

Nah, Liz pernah melihatnya di foto yang ditunjukkan Robin. Hanya saja dalam foto itu, Matteo Lucchesi mengenakan kemeja biru muda dan terlihat seperti pria akhir lima puluh dengan ekspresi tenang. Alih-alih dengan setelan resmi yang dia kenakan sekarang.

“Selamat datang di Palazzo Lucchesi, Nak.” Pria itu menyapa ramah sembari merentangkan tangan dan memeluk Liz dengan lembut. Sementara itu, Liz terbengong-bengong kikuk setelah Matteo mengurai pelukannya. “Selamat datang di keluarga kami,” tambah Matteo.

Liz mengangguk gamang pada pria itu lalu pada seorang wanita paruh baya dengan beberapa helai uban. Liz mengenalinya sebagai bibi Robin yang perawan tua, Laura Ana Lucchesi. Sayangnya wanita itu tidak seramah Matteo. Hanya membalas sapaan Liz dengan mengangkat dagu lebih tinggi dan mendengus.

“Ayo, kemari, ikuti aku. Perjalananmu pasti melelahkan apalagi kau sedang hamil,” ujar Matteo prihatin. Pria Italia itu menggiring Liz menaiki tangga besar berlapis karpet merah tebal.

Mereka sampai pada puncak tangga yang mengarah pada tiga kiridor berbeda. Matteo menuntun Liz untuk berjalan ke koridor kiri. Dinding dipenuhi lukisan antik serta pintu-pintu dari kayu ek hingga rasanya Liz tengah memasuki sebuah hotel bergaya art deco. Liz sangat ingin berhenti dan mengamati setiap lukisan itu, tapi Liz tak ingin membuat Signor¹ Matteo repot. 

Matteo akhirnya berhenti dan mendorong salah satu pintu hingga terbuka. “Ini kamarmu,” ujarnya pada Liz, mempersilakan wanita itu masuk lebih dulu.

Oke, kamarnya bahkan lebih bagus daripada kamar hotel murah yang pernah dimasuki Liz. Dengan karpet bulu tebal, ranjang bertiang empat dilengkapi tirai kain putih berenda, dan jendela besar yang menampilkan pekarangan samping palazzo.

“Callida akan membantumu menyediakan dan menyiapkan keperluanmu selama tinggal di rumah ini,” ujar Matteo.

Liz refleks berbalik untuk menatap ayah Robin itu dan mendapati seorang wanita montok berpakaian pelayan dengan overal hitam dan sepatu datar hitam mengilap, berdiri tak jauh dari Matteo. Yang lebih penting, wanita itu membawa tas biru milik Liz yang sebelumnya ditawan Luca.

Matteo lalu berkata, “Nah, kuharap kau suka kamar ini.”

“Oh, Signor Lucchesi, tempat ini menakjubkan.” Liz jujur dalam hal ini. Ekspresi lega sontak terlukis di pria paruh baya itu.

“Syukurlah kalau begitu. Kau bisa istirahat dulu dan nanti Callida akan memberitahumu waktu untuk makan malam.” Matteo lalu pamit dan menghilang di koridor.

Liz termenung untuk beberapa saat, lupa bahwa Callida masih menemaninya tanpa suara.

“Oh, uhm ... bisa tolong berikan tasku?” pinta Liz dengan senyum canggung. Callida mengangguk dan memberikan tas biru itu.

Liz lalu duduk di kursi yang menghadap sebuah meja kayu antik, berhati-hati agar tidak menggores perabotan sementara tangannya memeriksa isi tas.

Semua dokumennya lengkap, Liz toh tak punya banyak dokumen penting, beserta ponsel Liz dan kunci apartemen. Mereka bahkan memasukkan iPad warna metalik yang sayangnya itu bukan milik Liz melainkan kepunyaan Niki, yah nanti Liz mungkin akan memaketkannya ke London.

Dan ... pada dasarnya Liz tak punya apa-apa kecuali dokumen tersebut, serta enam puluh pound sterling sisa uang pemberian Niki sebelum gadis itu—Liz tak pernah bisa menyebut Niki sebagai wanita meski dia sudah dua puluh tiga, Niki selalu terlihat seperti sembilan belas—pergi ke Oxford. Sekali lagi Liz merasa kehilangan jangkar kehidupannya.

“Callida?” panggil Liz pada wanita montok yang sebagian rambutnya beruban itu. “Kau bisa err ... tinggalkan aku, aku baik-baik saja sendiri.”

Semenit berikutnya, Liz menyelami keheningan dalam kamar itu. Wanita itu juga mulai menimbang-nimbang untuk menelepon ibunya, tapi sayangnya Liz masih terlalu gugup. Liz belum memberitahu soal calon bayinya, dan kini dia malah berakhir di rumah mewah di Italia.

Liz lalu duduk di pinggir ranjang dan serta merta tergoda untuk berbaring, karena demi apa pun ranjang itu lembut sekali. Liz berbaring telentang dan mengelus perutnya.

“Apa ayahmu masih di rumah sakit?” bisik Liz pada bayinya, yang entah sudah memiliki indra pendengaran atau tidak. Yah, biologi bukan bidang Liz.

Jessy dan yang lainnya sama sekali tidak membahas keadaan Robin. Kenapa? Untuk menghormati perasaan Liz karena Robin membuatnya patah hati? Atau apa karena pria itu masih koma? Karena itu adalah berita terakhir yang Liz baca di koran sebelum memutuskan untuk mengenyahkan Robin dari pikirannya.

Liz nyaris tenggelam dalam tidur ketika tiba-tiba ponselnya berdering. Buru-buru wanita itu turun dari ranjang dan menyambar ponsel dari meja.

Detik berikutnya setelah Liz membaca sekilas nama penelepon, jantung Liz seakan direnggut.

“Robin ...,” bisiknya.

AN:

1. Bahasa Italia yang setara dengan Mr. / Tuan

Related chapters

  • Sang Pengantin Lucchesi   5. The Fact

    PONSEL wanita bersurai merah itu masih bergetar dengan nama Robin terpampang di layar dengan huruf-huruf default warna putih. Satu hal yang Liz pahami adalah dia lupa memblokir nomor telepon Robin. Robin, kekasih Liz. Robin yang mengkhianati Liz dengan permintaannya untuk mengugurkan buah hati mereka. Kini Liz tercabik dalam perasaan benci dan kerinduan yang amat sangat hingga rasanya menyakitkan. Mengapa sekarang Robin meneleponnya? Apa pria itu tahu Liz di sini? Apa pria itu baik-baik saja? Apa bahkan Robin berada di rumah ini? Liz menahan napas ketika panggilan telepon itu mati pada dering ke tujuh. Entah karena dia bersyukur Robin mematikan panggilan atau malah kecewa karena tidak mengangkat telepon itu. Ponsel Liz kembali berdering dan wanita itu nyaris memekik karena kejadian barusan berbarengan dengan pintu kamar yang diketuk. Ya Tuhan, Liz merasa seperti anak remaja yang ketahuan mencuri uang dari dompet orang tuanya. Buru-buru dia ubah ponsel

  • Sang Pengantin Lucchesi   6. His Wife

    “KA-KAU? Robin sudah menikah? Denganmu?!” Liz tergagap sementara kedua tangannya mencengkeram kedua lengan Jessy demi menahan tubuhnya agar tidak ambruk. “Liz ... oh, dengarkan aku dulu, Liz, kita bahas itu nanti saja,” bujuk Jessy. “Tapi ... tapi kau istrinya! Bagaimana bisa kau begitu—” Liz tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Bagaimana bisa Jessy bersikap begitu baik pada Liz? Wanita itu sama sekali tak menjukkan jenus ketidaksukaan maupun kesombongan apa pun pada Liz. Jessy mencoba berteman dengan Liz, menghiburnya di pesawat dengan percakapan santai, bahkan mendandani Liz serta memilihkan apa-apa saja yang kini dikenakan oleh wanita yang kini tengah mengandung bukti perselingkuhan Robin dari Jessy. Liz sontak merasa malu pada Jessy. Kenangan manis selama enam bulan sejak pertemuan pertamanya dengan Robin kini kembali runtuh. Bagaimana bisa pria itu berlaku seperti ini? Sejak awal Liz bertanya-tanya apa hubungannya sang model tenar itu deng

  • Sang Pengantin Lucchesi   7. Hester

    PADA pagi berikutnya, Liz mendapati kantung matanya semakin parah. Sembap karena campuran bekas menangis, lelah, dan stres. Julukan rubah berbintik yang dianugrahkan Niki dengan murah hati pada Liz kini mungkin harus diubah menjadi panda berbintik.Semua itu juga jelas bukan kombinasi yang bagus untuk bayinya. Oh bayinya yang malang ....Callida, yang ternyata dulunya juga bekerja sebagai pengasuh bayi di keluarga Lucchesi, menasehati Liz agar merilekskan diri dan jangan memikirkan hal yang berat-berat. Seakan itu mudah untuk dilakukan begitu saja. Mendorong semua pikiran berat yang mendominasi ke belakang kepala.Tapi serius, ya ampun! Memangnya Liz bisa bersantai sementara segunung masalah ruwet ini menantinya?! Liz bahkan tak tahu mukanya harus ditaruh di mana jika nanti Jessy menemuinya.Liz adalah selingkuhan suaminya yang kini mengandung bayi pria itu. Bayi yang jelas-jelas menjadi musuh bagi pernikahan Robin dan Jessy.Itu jugalah alasan dia

  • Sang Pengantin Lucchesi   8. Friend Like Sister

    “NIKI?!” pekik Liz. Menyadari pemilik suara khas si penelepon.Bukan Robin, puji Tuhan ... terima kasih!Detik berikutnya Liz mendengar suara marah dari penelepon yang tak lain tak bukan adalah sahabatnya, Nicoletta Adirangga. “Jawab pertanyaanku dulu, dasar Vixen Berbintik! Mengapa kau malah berada di beberapa kilometer dari Florence alih-alih di Tipperary¹? Apa yang terjadi dengan tiket penerbangan ke Irlandia-mu? Dan bagaimana kau bisa sampai ke Italia? Apa Robin bajingan keparat itu menculikmu atau mafia antah berantah yang melakukannya?!”Liz menjauhkan ponsel dari telinganya dan meringis. Niki mengucapkan semua itu tanpa jeda untuk menarik napas. Siapa yang mengira gadis manis maskot game terkenal itu bisa menyemburkan kalimat sepanjang kereta api beserta batu baranya sekalian?Stefan memandanginya dan bertanya tanpa suara, Temanmu? Liz mengangguk pada Stefan sebagai jawaban.“Err, bagaimana kau tahu aku di

  • Sang Pengantin Lucchesi   9. Old Cloud

    “KATAKAN padaku bahwa dia baik-baik saja!”Niki berjengit, refleks menjauhkan ponsel dari telinganya mendengar seruan kasar tersebut. Wanita dengan fitur wajah stroberi itu mendengus kesal.“Selamat pagi juga, Mr. Martel. Sopan santun Anda sungguh tanpa cela,” sindir Niki dengan nada pedas.Pria yang meneleponnya tepat setelah Niki selesai dengan telepon Liz itu terdiam untuk beberapa saat. “Maaf,” ujarnya penuh penyesalan, “aku khawatir, sangat khawatir padanya. Apa dia mengangkat teleponmu?”“Tentu saja Liz mengangkat teleponku. Bukan aku orang berengsek yang meninggalkan dia dalam keadaan hamil muda dan patah hati berat,” ketus Niki. Itu pasti pukulan telak bagi si pria. Niki beranjak dari kursi yang dia duduki dan berjalan menuju dapur.Satu hal yang tidak disampaikan Niki pada Liz adalah alasan lain dia buru-buru kembali ke London karena Robin Martel mendesaknya mengecek keadaan Liz.

  • Sang Pengantin Lucchesi   10. Oh Dear ....

    CALLIDA datang tak lama kemudian, membawa troli makanan yang kosong untuk memindahkan peralatan makan. Wanita itu tersenyum kecil pada Liz sebelum mulai memindahkan peralatan makan di meja ke atas troli. “Oh, biar aku bantu,” ujar Liz riang sembari meraih piring bekasnya. Tapi sang pelayan merebut piring itu dari tangan Liz. “Eh jangan, tidak perlu, ini adalah pekerjaan dan tanggung jawabku, Signorina¹. Aku mendapat bayaran untuk ini. Dan dripada kau merepotkan tanganmu dengan pekerjaan yang harusnya aku lakukan lebih baik kau tidur siang,” perintah Callida. “Aku tak ingin kau atau bayimu kenapa-kenapa.” Bibir Liz mengerucut menggemaskan mendengar perintah itu. “Aku biasa mengerjakan pekerjaan rumah sendiri di rumah ... ini seperti olahraga yang menyenangkan, Callida. Lagi pula aku tidak pernah bisa tidur siang,” keluh Liz. Yah, dia tak pernah bisa menikmati tidur siang, selalu berakhir terjaga di ranjang atau melamun ke sana kemari. Toh, selama ini L

  • Sang Pengantin Lucchesi   1. The Visitors

    LIZ memandangi tubuhnya dari pantulan bayangan di cermin yang menempel di pintu lemari kayunya. Dibalut T-shirt putih polos dan celana katun longgar, tak ada yang terlihat salah pada diri Liz. Kecuali kantung mata tebal dan kenyataan bahwa tubuhnya tengah mengasup kehidupan lain. Secara naluriah Liz mengusap perutnya, merasakan tonjolan kecil yang nyaris tak kentara tertutupi kausnya. Kandungannya sudah memasuki bulan ketiga, atau itulah yang dikatakan dokter siang tadi. Belum banyak perubahan yang ditunjukkan oleh efek kehamilannya. Namun, sebentar lagi pasti terlihat. Dulu, Liz terkadang iseng memikirkan suatu hari nanti dirinya dalam gaun longgar dan perut buncit serta kaki bengkak, berusaha memakai kaus kaki rajut dan mengomel karena kesulitan. Liz yang masih remaja selalu berakhir terkikik membayangkan betapa dirinya yang pendek akan terlihat lucu dengan perut seperti itu. Tapi sekarang dia tidak bisa tertawa. Wanita itu merasa takut.

  • Sang Pengantin Lucchesi   2. Wha-What Do You Want?

    “BEGINI, kami tahu kau sedang dalam kesulitan dan itu karena Robin. Dia memang agak ... err berengsek.” Dalam jeda sebelum kata berengsek, Jessy nyaris tak kentara melirik pada si pria berambut gelap. “Kau bisa coret kata ‘agak’ itu, dia memang berengsek,” ujar pria berambut gelap dengan aksen Inggris sempurna, tapi Liz yakin di balik kacamata hitam itu ada wajah pria tampan yang sangat Italia. “Dia menipuku ...,” cicit Liz. Dia juga tak menginginkan bayi Liz, dan malah memilih untuk menyingkirkannya. “Ya ... dan entah berapa lusin wanita lain,” gumam Jessy dengan muram. “Maaf, tapi sepertinya kau adalah wanita yang paling tidak beruntung yang berurusan dengan Robin.” For God's sake, apa Robin benar-benar seburuk itu? Seandainya saja Robin tidak mengirim email keparat itu, Liz barang kali tak percaya dengan perkataan Jessy. Karena bagaimanapun juga, selama setengah tahun ini Robin begitu baik pada Liz. Wanita itu bahkan masih bisa meng

Latest chapter

  • Sang Pengantin Lucchesi   10. Oh Dear ....

    CALLIDA datang tak lama kemudian, membawa troli makanan yang kosong untuk memindahkan peralatan makan. Wanita itu tersenyum kecil pada Liz sebelum mulai memindahkan peralatan makan di meja ke atas troli. “Oh, biar aku bantu,” ujar Liz riang sembari meraih piring bekasnya. Tapi sang pelayan merebut piring itu dari tangan Liz. “Eh jangan, tidak perlu, ini adalah pekerjaan dan tanggung jawabku, Signorina¹. Aku mendapat bayaran untuk ini. Dan dripada kau merepotkan tanganmu dengan pekerjaan yang harusnya aku lakukan lebih baik kau tidur siang,” perintah Callida. “Aku tak ingin kau atau bayimu kenapa-kenapa.” Bibir Liz mengerucut menggemaskan mendengar perintah itu. “Aku biasa mengerjakan pekerjaan rumah sendiri di rumah ... ini seperti olahraga yang menyenangkan, Callida. Lagi pula aku tidak pernah bisa tidur siang,” keluh Liz. Yah, dia tak pernah bisa menikmati tidur siang, selalu berakhir terjaga di ranjang atau melamun ke sana kemari. Toh, selama ini L

  • Sang Pengantin Lucchesi   9. Old Cloud

    “KATAKAN padaku bahwa dia baik-baik saja!”Niki berjengit, refleks menjauhkan ponsel dari telinganya mendengar seruan kasar tersebut. Wanita dengan fitur wajah stroberi itu mendengus kesal.“Selamat pagi juga, Mr. Martel. Sopan santun Anda sungguh tanpa cela,” sindir Niki dengan nada pedas.Pria yang meneleponnya tepat setelah Niki selesai dengan telepon Liz itu terdiam untuk beberapa saat. “Maaf,” ujarnya penuh penyesalan, “aku khawatir, sangat khawatir padanya. Apa dia mengangkat teleponmu?”“Tentu saja Liz mengangkat teleponku. Bukan aku orang berengsek yang meninggalkan dia dalam keadaan hamil muda dan patah hati berat,” ketus Niki. Itu pasti pukulan telak bagi si pria. Niki beranjak dari kursi yang dia duduki dan berjalan menuju dapur.Satu hal yang tidak disampaikan Niki pada Liz adalah alasan lain dia buru-buru kembali ke London karena Robin Martel mendesaknya mengecek keadaan Liz.

  • Sang Pengantin Lucchesi   8. Friend Like Sister

    “NIKI?!” pekik Liz. Menyadari pemilik suara khas si penelepon.Bukan Robin, puji Tuhan ... terima kasih!Detik berikutnya Liz mendengar suara marah dari penelepon yang tak lain tak bukan adalah sahabatnya, Nicoletta Adirangga. “Jawab pertanyaanku dulu, dasar Vixen Berbintik! Mengapa kau malah berada di beberapa kilometer dari Florence alih-alih di Tipperary¹? Apa yang terjadi dengan tiket penerbangan ke Irlandia-mu? Dan bagaimana kau bisa sampai ke Italia? Apa Robin bajingan keparat itu menculikmu atau mafia antah berantah yang melakukannya?!”Liz menjauhkan ponsel dari telinganya dan meringis. Niki mengucapkan semua itu tanpa jeda untuk menarik napas. Siapa yang mengira gadis manis maskot game terkenal itu bisa menyemburkan kalimat sepanjang kereta api beserta batu baranya sekalian?Stefan memandanginya dan bertanya tanpa suara, Temanmu? Liz mengangguk pada Stefan sebagai jawaban.“Err, bagaimana kau tahu aku di

  • Sang Pengantin Lucchesi   7. Hester

    PADA pagi berikutnya, Liz mendapati kantung matanya semakin parah. Sembap karena campuran bekas menangis, lelah, dan stres. Julukan rubah berbintik yang dianugrahkan Niki dengan murah hati pada Liz kini mungkin harus diubah menjadi panda berbintik.Semua itu juga jelas bukan kombinasi yang bagus untuk bayinya. Oh bayinya yang malang ....Callida, yang ternyata dulunya juga bekerja sebagai pengasuh bayi di keluarga Lucchesi, menasehati Liz agar merilekskan diri dan jangan memikirkan hal yang berat-berat. Seakan itu mudah untuk dilakukan begitu saja. Mendorong semua pikiran berat yang mendominasi ke belakang kepala.Tapi serius, ya ampun! Memangnya Liz bisa bersantai sementara segunung masalah ruwet ini menantinya?! Liz bahkan tak tahu mukanya harus ditaruh di mana jika nanti Jessy menemuinya.Liz adalah selingkuhan suaminya yang kini mengandung bayi pria itu. Bayi yang jelas-jelas menjadi musuh bagi pernikahan Robin dan Jessy.Itu jugalah alasan dia

  • Sang Pengantin Lucchesi   6. His Wife

    “KA-KAU? Robin sudah menikah? Denganmu?!” Liz tergagap sementara kedua tangannya mencengkeram kedua lengan Jessy demi menahan tubuhnya agar tidak ambruk. “Liz ... oh, dengarkan aku dulu, Liz, kita bahas itu nanti saja,” bujuk Jessy. “Tapi ... tapi kau istrinya! Bagaimana bisa kau begitu—” Liz tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Bagaimana bisa Jessy bersikap begitu baik pada Liz? Wanita itu sama sekali tak menjukkan jenus ketidaksukaan maupun kesombongan apa pun pada Liz. Jessy mencoba berteman dengan Liz, menghiburnya di pesawat dengan percakapan santai, bahkan mendandani Liz serta memilihkan apa-apa saja yang kini dikenakan oleh wanita yang kini tengah mengandung bukti perselingkuhan Robin dari Jessy. Liz sontak merasa malu pada Jessy. Kenangan manis selama enam bulan sejak pertemuan pertamanya dengan Robin kini kembali runtuh. Bagaimana bisa pria itu berlaku seperti ini? Sejak awal Liz bertanya-tanya apa hubungannya sang model tenar itu deng

  • Sang Pengantin Lucchesi   5. The Fact

    PONSEL wanita bersurai merah itu masih bergetar dengan nama Robin terpampang di layar dengan huruf-huruf default warna putih. Satu hal yang Liz pahami adalah dia lupa memblokir nomor telepon Robin. Robin, kekasih Liz. Robin yang mengkhianati Liz dengan permintaannya untuk mengugurkan buah hati mereka. Kini Liz tercabik dalam perasaan benci dan kerinduan yang amat sangat hingga rasanya menyakitkan. Mengapa sekarang Robin meneleponnya? Apa pria itu tahu Liz di sini? Apa pria itu baik-baik saja? Apa bahkan Robin berada di rumah ini? Liz menahan napas ketika panggilan telepon itu mati pada dering ke tujuh. Entah karena dia bersyukur Robin mematikan panggilan atau malah kecewa karena tidak mengangkat telepon itu. Ponsel Liz kembali berdering dan wanita itu nyaris memekik karena kejadian barusan berbarengan dengan pintu kamar yang diketuk. Ya Tuhan, Liz merasa seperti anak remaja yang ketahuan mencuri uang dari dompet orang tuanya. Buru-buru dia ubah ponsel

  • Sang Pengantin Lucchesi   4. Lucchesi's Palazzo

    KAMAR mandi pesawat jet pribadi itu sangat bagus, yah, sama seperti seisi pesawat yang bahkan jauh lebih mewah daripada apartemen Liz. Hanya saja berada di sana membuatnya tegang. Sepanjang perjalanan Liz bertanya-tanya apa yang menunggunya di Italia? Keluarga kaya raya? Wah, kalau yang itu sepertinya sudah jelas. Nah, bagaimana kalau keluarga kaya raya yang tiran? Liz gugup memikirkan kemungkinan itu. Tapi rasanya tak baik mencegah keluarga bayinya dekat dengannya. Jessy toh bilang bahwa mereka berniat membantu Liz, meski Liz merasa seperti tengah terlibat dalam adegan penculikan tak masuk akal. Lagi pula Liz yakin keluarga Robin tak akan menyakiti Liz maupun calon bayinya. Kini dari balik kaca mobil, Liz memandangi teras dengan tiang marmer putih yang dililiti tumbuhan wisteria itu. Deretan lampu bundar bersinar kuning pucat membuat tempat itu semakin eksotis dengan tembok yang tertimpa efek bayangan dari dedaunan wisteria. Berlatar langit gelap malam

  • Sang Pengantin Lucchesi   3. And Do You Think That You Have Another Choice?

    PASPOR? Ya, Liz punya, tapi belum sempat dia menjawab, Luca lebih dulu mengangkat sebuah tas berwarna biru. Tepatnya tas biru milik Liz yang berisi semua dokumen berharga yang dia kumpulkan semalam dan pria Italia itu tengah mengubek isinya. “Oke, beres, semua yang dibutuhkan ada di sini,” ujar Luca setelah menepuk lembut tas itu. “Jessy, sana cari ponselnya.” “Ke mana perginya skenario ramah tamah yang kita pelajari semalam?” gerutu Jessy. “Hei! Jangan sentuh barang-barangku!” protes Liz pada mereka. Dia akan menyemburkan protes lainnya seandainya pria pirang yang Jessy panggil Stefan tidak berbalik dan membawanya ke lorong. Liz merasa seperti anak kecil yang dirampok kakak kelas. Tidak, tunggu, apa lebih tepatnya ini penculikan? “Tu-turunkan aku,” pinta Liz sembari bergerak gelisah dalam gendongan Stefan. Jawaban pertama Stefan adalah memiringkan bibirnya. “Dan membiarkanmu kabur? Tidak, terima kasih, lagi pula kau lebih ringan darip

  • Sang Pengantin Lucchesi   2. Wha-What Do You Want?

    “BEGINI, kami tahu kau sedang dalam kesulitan dan itu karena Robin. Dia memang agak ... err berengsek.” Dalam jeda sebelum kata berengsek, Jessy nyaris tak kentara melirik pada si pria berambut gelap. “Kau bisa coret kata ‘agak’ itu, dia memang berengsek,” ujar pria berambut gelap dengan aksen Inggris sempurna, tapi Liz yakin di balik kacamata hitam itu ada wajah pria tampan yang sangat Italia. “Dia menipuku ...,” cicit Liz. Dia juga tak menginginkan bayi Liz, dan malah memilih untuk menyingkirkannya. “Ya ... dan entah berapa lusin wanita lain,” gumam Jessy dengan muram. “Maaf, tapi sepertinya kau adalah wanita yang paling tidak beruntung yang berurusan dengan Robin.” For God's sake, apa Robin benar-benar seburuk itu? Seandainya saja Robin tidak mengirim email keparat itu, Liz barang kali tak percaya dengan perkataan Jessy. Karena bagaimanapun juga, selama setengah tahun ini Robin begitu baik pada Liz. Wanita itu bahkan masih bisa meng

DMCA.com Protection Status