PONSEL wanita bersurai merah itu masih bergetar dengan nama Robin terpampang di layar dengan huruf-huruf default warna putih. Satu hal yang Liz pahami adalah dia lupa memblokir nomor telepon Robin.
Robin, kekasih Liz. Robin yang mengkhianati Liz dengan permintaannya untuk mengugurkan buah hati mereka. Kini Liz tercabik dalam perasaan benci dan kerinduan yang amat sangat hingga rasanya menyakitkan.
Mengapa sekarang Robin meneleponnya? Apa pria itu tahu Liz di sini? Apa pria itu baik-baik saja? Apa bahkan Robin berada di rumah ini?
Liz menahan napas ketika panggilan telepon itu mati pada dering ke tujuh. Entah karena dia bersyukur Robin mematikan panggilan atau malah kecewa karena tidak mengangkat telepon itu.
Ponsel Liz kembali berdering dan wanita itu nyaris memekik karena kejadian barusan berbarengan dengan pintu kamar yang diketuk. Ya Tuhan, Liz merasa seperti anak remaja yang ketahuan mencuri uang dari dompet orang tuanya. Buru-buru dia ubah ponselnya dalam mode diam lalu membalik layarnya di atas kasur dan membiarkan panggilan Robin.
“Ma-masuk! Pintunya tidak dikunci!” seru Liz.
Pintu didorong membuka dan wajah cantik Jessy terlihat. Wanita itu telah berganti pakaian dan kini dalam balutan gaun putih pas badan tapi cukup sopan. Dengan kerah leher V seksi yang memamerkan segaris payudaranya. Rambutnya disanggul longgar di tengkuk sementara giwang zamrud menghiasi cuping telinganya.
Pipi Liz bersemu mengingat candaan vulgar Niki di suatu hari ketika gadis itu membawa pulang tabloid fashion. “Wuuh, lihat ini! Pasangkan Jessy Hester dan Gigi Hadid di runway, para pria pasti bakal langsung orgasme di kursi penonton.”
Oke, Niki memang gadis Asia nakal—tentu saja dalam artian menyenangkan—yang suka blak-blakan.
Tapi Jessy memang secantik dan se-hot itu. Jadi, yah ... aduh lupakan saja deh.
Jessy tersenyum dan menghampiri Liz. “Hei, kuharap kau tidak mual.”
“Tidak, aku baik. Apa sudah waktunya makan malam?” tanya Liz ketika Jessy menarik lembut lengannya dan berjalan keluar kamar.
“Yup, untuk itulah aku menjemputmu dan aku mendapatkan kehormatan untuk memberikan tur singkat padamu.”
***
SAAT Liz akhirnya duduk di depan meja kayu hitam dengan permukaan yang bisa digunakan untuk berkaca, dia sadar bahwa dia dan Jessy adalah orang terakhir yang ditunggu untuk makan malam karena baki-baki berisi sampanye dan umpan tekak dihidangkan tak lama kemudian.
For God's love, semua peralatan makan ini terbuat dari perak dan kristal!
Signor Matteo mengangkat gelas sampanye dan tersenyum pada Liz. Sementara itu, Liz menggigit canapé dengan butiran kaviar bak mutiara dengan gugup. Liz mengedarkan pandangan pada orang-orang yang hadir. Luca, Stefan, Matteo, Laura Ana, Jessy, dan Liz sendiri. Dan tidak ada Robin sejauh mata memandang.
Hidangan berupa pasta berbau mewah dihidangkan setelah beberapa percakapan kecil yang ditanggapi Liz secara singkat.
“Linguine dan truffle,” bisik Jessy yang duduk di sebelah Liz.
Bibir Liz membentuk huruf O. Ini mungkin makanan paling mahal yang pernah dia makan sejak hari kelulusannya dari universitas. Suapan pertama terasa seperti surga dalam mulut Liz.
“Jadi, Elizabeth, kudengar kau lulusan sarjana seni di London.” Signor Matteo mulai membuka percakapan setelah piring-piring makanan pembuka dibawa pergi para pelayan.
“Ya,” jawab Liz. Dari mana Matteo mengetahui bidang yang digeluti Liz selama masa kuliah?
Matteo mengangguk takzim. “Seniman muda kalau begitu. Kau berfokus pada bidang apa tepatnya?”
“Aku berfokus pada bidang seni rupa.”
“Itu keren,” gumam Jessy.
“Wow, begitu rupanya. Aku juga suka lukisan, sepertinya kita akan jadi teman baik,” kata Signor Matteo sembari mengedipkan sebelah matanya dengan ekspresi jahil.
Liz terpukau untuk beberapa saat karena Robin juga sering melakukan itu ketika bercanda. “Ya ... aku lihat Anda punya banyak koleksi di sini,” sahut Liz. “Lukisan besar di aula rumah Anda benar-benar indah.”
Seseorang tak sengaja mendentingkan sendok cukup keras dengan piring. Liz menyadari bahwa itu adalah Stefan.
Para pelayan kembali berdatangan untuk menghidangkan makanan utama. Aroma cacciatore ayam mutiara yang menggugah selera sontak memenuhi ruang makan besar itu.
“Senang mendengar itu, itu lukisan karya mendiang istriku,” jelas Matteo. Tangannya menggoyangkan gelas sampanye.
“Oh ... maaf,” gumam Liz. Tiba-tiba merasa tak enak karena tidak sengaja mengungkit topik yang sensitif. Oh bagus, sekarang dia tidak bisa menanyakan tentang Robin karena suasana sudah canggung.
Atau ... mungkin nanti Liz bisa menunggu telepon Robin?
“Tidak, tidak masalah, mendiang istriku Polly pasti senang wanita yang mengandung cucu pertamanya memuji lukisan itu,” ujar Matteo. “Dia menghabiskan berbulan-bulan menyibukkan diri demi menyelesaikan lukisan itu. Itu hadiah ulang tahun pernikahan kami yang kedua puluh tahun.”
Hati Liz menghangat mendengar hal itu. Sangat romantis. Liz bisa membayangkan seorang wanita berwajah ramah tengah tersenyum menawan, dengan bercak cipratan cat di pipi yang merona, sementara tangannya menyapukan kuas ke kanvas.
Liz lalu memikirkan hal lain, yaitu cara Signor Matteo menyebutnya. Hal itu membuatnya sadar satu-satunya alasan Liz di sini adalah karena calon bayinya. Tanpa bayinya, Liz hanyalah salah satu dari sekian wanita yang dikencani oleh putra Matteo, seseorang yang tidak penting.
Wanita berambut merah itu menelan kunyahan ayam mutiaranya dengan kaku sebelum akhirnya memberanikan diri untuk bertanya, “Selanjutnya ... apa yang harus aku lakukan? Dan apa yang akan kalian inginkan dariku?”
Signor Matteo meletakkan garpu dan pisaunya, kedua tangannya lalu menyatu menjadi genggaman longgar. Pria Italia itu sedikit mencondongkan tubuhnya dan lengannya bertumpu pada siku pada permukaan meja. “Nah, Nak, aku tahu kau mengkhawatirkan hal itu. Aku dengar Robin menjanjikan pernikahan padamu dan—”
“Tapi itu tidak akan terjadi.”
Laura Ana menyela perkataan Matteo dengan nada tajam, dan setajam itu pula tatapannya pada Liz yang kini membeku terkejut.
“Keponakanku tidak akan menikah dengan tikus jalanan sepertimu!” hardik Laura Ana pada Liz.
“Bibi Laura—” Jessy mencoba berbicara tapi adik dari Matteo Lucchesi itu kembali membentak.
“Kenapa kau ini Jessamine?! Ke mana perginya otakmu? Beramah-tamah pada jalang ini, yang mencuri suamimu dan kini malah mengandung anak yang seharusnya milikmu! Kau seharusnya membenci wanita terkutuk bertopeng ini!” sembur Laura Ana.
Suami? Suami Jessy? Robin adalah—
Liz berdiri dari kursinya ketika fakta itu menyambar layaknya lecutan petir. Tiba-tiba merasa klaustrofobia padahal ruangan itu bahkan jauh lebih besar daripada luas apartemennya.
Jessy ikut berdiri dan meraih lengan Liz sembari berkata, “Liz, tidak, tenangkan dirimu.”
Tidak, bagaimana mungkin dia bisa tenang?
Kini dia tahu Robin menipunya, lebih parah daripada sebelumnya.
Selama ini Liz adalah seorang selingkuhan.
Dan bayi yang dia kandung lebih parah daripada anak di luar nikah.
“KA-KAU? Robin sudah menikah? Denganmu?!” Liz tergagap sementara kedua tangannya mencengkeram kedua lengan Jessy demi menahan tubuhnya agar tidak ambruk. “Liz ... oh, dengarkan aku dulu, Liz, kita bahas itu nanti saja,” bujuk Jessy. “Tapi ... tapi kau istrinya! Bagaimana bisa kau begitu—” Liz tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Bagaimana bisa Jessy bersikap begitu baik pada Liz? Wanita itu sama sekali tak menjukkan jenus ketidaksukaan maupun kesombongan apa pun pada Liz. Jessy mencoba berteman dengan Liz, menghiburnya di pesawat dengan percakapan santai, bahkan mendandani Liz serta memilihkan apa-apa saja yang kini dikenakan oleh wanita yang kini tengah mengandung bukti perselingkuhan Robin dari Jessy. Liz sontak merasa malu pada Jessy. Kenangan manis selama enam bulan sejak pertemuan pertamanya dengan Robin kini kembali runtuh. Bagaimana bisa pria itu berlaku seperti ini? Sejak awal Liz bertanya-tanya apa hubungannya sang model tenar itu deng
PADA pagi berikutnya, Liz mendapati kantung matanya semakin parah. Sembap karena campuran bekas menangis, lelah, dan stres. Julukan rubah berbintik yang dianugrahkan Niki dengan murah hati pada Liz kini mungkin harus diubah menjadi panda berbintik.Semua itu juga jelas bukan kombinasi yang bagus untuk bayinya. Oh bayinya yang malang ....Callida, yang ternyata dulunya juga bekerja sebagai pengasuh bayi di keluarga Lucchesi, menasehati Liz agar merilekskan diri dan jangan memikirkan hal yang berat-berat. Seakan itu mudah untuk dilakukan begitu saja. Mendorong semua pikiran berat yang mendominasi ke belakang kepala.Tapi serius, ya ampun! Memangnya Liz bisa bersantai sementara segunung masalah ruwet ini menantinya?! Liz bahkan tak tahu mukanya harus ditaruh di mana jika nanti Jessy menemuinya.Liz adalah selingkuhan suaminya yang kini mengandung bayi pria itu. Bayi yang jelas-jelas menjadi musuh bagi pernikahan Robin dan Jessy.Itu jugalah alasan dia
“NIKI?!” pekik Liz. Menyadari pemilik suara khas si penelepon.Bukan Robin, puji Tuhan ... terima kasih!Detik berikutnya Liz mendengar suara marah dari penelepon yang tak lain tak bukan adalah sahabatnya, Nicoletta Adirangga. “Jawab pertanyaanku dulu, dasar Vixen Berbintik! Mengapa kau malah berada di beberapa kilometer dari Florence alih-alih di Tipperary¹? Apa yang terjadi dengan tiket penerbangan ke Irlandia-mu? Dan bagaimana kau bisa sampai ke Italia? Apa Robin bajingan keparat itu menculikmu atau mafia antah berantah yang melakukannya?!”Liz menjauhkan ponsel dari telinganya dan meringis. Niki mengucapkan semua itu tanpa jeda untuk menarik napas. Siapa yang mengira gadis manis maskot game terkenal itu bisa menyemburkan kalimat sepanjang kereta api beserta batu baranya sekalian?Stefan memandanginya dan bertanya tanpa suara, Temanmu? Liz mengangguk pada Stefan sebagai jawaban.“Err, bagaimana kau tahu aku di
“KATAKAN padaku bahwa dia baik-baik saja!”Niki berjengit, refleks menjauhkan ponsel dari telinganya mendengar seruan kasar tersebut. Wanita dengan fitur wajah stroberi itu mendengus kesal.“Selamat pagi juga, Mr. Martel. Sopan santun Anda sungguh tanpa cela,” sindir Niki dengan nada pedas.Pria yang meneleponnya tepat setelah Niki selesai dengan telepon Liz itu terdiam untuk beberapa saat. “Maaf,” ujarnya penuh penyesalan, “aku khawatir, sangat khawatir padanya. Apa dia mengangkat teleponmu?”“Tentu saja Liz mengangkat teleponku. Bukan aku orang berengsek yang meninggalkan dia dalam keadaan hamil muda dan patah hati berat,” ketus Niki. Itu pasti pukulan telak bagi si pria. Niki beranjak dari kursi yang dia duduki dan berjalan menuju dapur.Satu hal yang tidak disampaikan Niki pada Liz adalah alasan lain dia buru-buru kembali ke London karena Robin Martel mendesaknya mengecek keadaan Liz.
CALLIDA datang tak lama kemudian, membawa troli makanan yang kosong untuk memindahkan peralatan makan. Wanita itu tersenyum kecil pada Liz sebelum mulai memindahkan peralatan makan di meja ke atas troli. “Oh, biar aku bantu,” ujar Liz riang sembari meraih piring bekasnya. Tapi sang pelayan merebut piring itu dari tangan Liz. “Eh jangan, tidak perlu, ini adalah pekerjaan dan tanggung jawabku, Signorina¹. Aku mendapat bayaran untuk ini. Dan dripada kau merepotkan tanganmu dengan pekerjaan yang harusnya aku lakukan lebih baik kau tidur siang,” perintah Callida. “Aku tak ingin kau atau bayimu kenapa-kenapa.” Bibir Liz mengerucut menggemaskan mendengar perintah itu. “Aku biasa mengerjakan pekerjaan rumah sendiri di rumah ... ini seperti olahraga yang menyenangkan, Callida. Lagi pula aku tidak pernah bisa tidur siang,” keluh Liz. Yah, dia tak pernah bisa menikmati tidur siang, selalu berakhir terjaga di ranjang atau melamun ke sana kemari. Toh, selama ini L
LIZ memandangi tubuhnya dari pantulan bayangan di cermin yang menempel di pintu lemari kayunya. Dibalut T-shirt putih polos dan celana katun longgar, tak ada yang terlihat salah pada diri Liz. Kecuali kantung mata tebal dan kenyataan bahwa tubuhnya tengah mengasup kehidupan lain. Secara naluriah Liz mengusap perutnya, merasakan tonjolan kecil yang nyaris tak kentara tertutupi kausnya. Kandungannya sudah memasuki bulan ketiga, atau itulah yang dikatakan dokter siang tadi. Belum banyak perubahan yang ditunjukkan oleh efek kehamilannya. Namun, sebentar lagi pasti terlihat. Dulu, Liz terkadang iseng memikirkan suatu hari nanti dirinya dalam gaun longgar dan perut buncit serta kaki bengkak, berusaha memakai kaus kaki rajut dan mengomel karena kesulitan. Liz yang masih remaja selalu berakhir terkikik membayangkan betapa dirinya yang pendek akan terlihat lucu dengan perut seperti itu. Tapi sekarang dia tidak bisa tertawa. Wanita itu merasa takut.
“BEGINI, kami tahu kau sedang dalam kesulitan dan itu karena Robin. Dia memang agak ... err berengsek.” Dalam jeda sebelum kata berengsek, Jessy nyaris tak kentara melirik pada si pria berambut gelap. “Kau bisa coret kata ‘agak’ itu, dia memang berengsek,” ujar pria berambut gelap dengan aksen Inggris sempurna, tapi Liz yakin di balik kacamata hitam itu ada wajah pria tampan yang sangat Italia. “Dia menipuku ...,” cicit Liz. Dia juga tak menginginkan bayi Liz, dan malah memilih untuk menyingkirkannya. “Ya ... dan entah berapa lusin wanita lain,” gumam Jessy dengan muram. “Maaf, tapi sepertinya kau adalah wanita yang paling tidak beruntung yang berurusan dengan Robin.” For God's sake, apa Robin benar-benar seburuk itu? Seandainya saja Robin tidak mengirim email keparat itu, Liz barang kali tak percaya dengan perkataan Jessy. Karena bagaimanapun juga, selama setengah tahun ini Robin begitu baik pada Liz. Wanita itu bahkan masih bisa meng
PASPOR? Ya, Liz punya, tapi belum sempat dia menjawab, Luca lebih dulu mengangkat sebuah tas berwarna biru. Tepatnya tas biru milik Liz yang berisi semua dokumen berharga yang dia kumpulkan semalam dan pria Italia itu tengah mengubek isinya. “Oke, beres, semua yang dibutuhkan ada di sini,” ujar Luca setelah menepuk lembut tas itu. “Jessy, sana cari ponselnya.” “Ke mana perginya skenario ramah tamah yang kita pelajari semalam?” gerutu Jessy. “Hei! Jangan sentuh barang-barangku!” protes Liz pada mereka. Dia akan menyemburkan protes lainnya seandainya pria pirang yang Jessy panggil Stefan tidak berbalik dan membawanya ke lorong. Liz merasa seperti anak kecil yang dirampok kakak kelas. Tidak, tunggu, apa lebih tepatnya ini penculikan? “Tu-turunkan aku,” pinta Liz sembari bergerak gelisah dalam gendongan Stefan. Jawaban pertama Stefan adalah memiringkan bibirnya. “Dan membiarkanmu kabur? Tidak, terima kasih, lagi pula kau lebih ringan darip
CALLIDA datang tak lama kemudian, membawa troli makanan yang kosong untuk memindahkan peralatan makan. Wanita itu tersenyum kecil pada Liz sebelum mulai memindahkan peralatan makan di meja ke atas troli. “Oh, biar aku bantu,” ujar Liz riang sembari meraih piring bekasnya. Tapi sang pelayan merebut piring itu dari tangan Liz. “Eh jangan, tidak perlu, ini adalah pekerjaan dan tanggung jawabku, Signorina¹. Aku mendapat bayaran untuk ini. Dan dripada kau merepotkan tanganmu dengan pekerjaan yang harusnya aku lakukan lebih baik kau tidur siang,” perintah Callida. “Aku tak ingin kau atau bayimu kenapa-kenapa.” Bibir Liz mengerucut menggemaskan mendengar perintah itu. “Aku biasa mengerjakan pekerjaan rumah sendiri di rumah ... ini seperti olahraga yang menyenangkan, Callida. Lagi pula aku tidak pernah bisa tidur siang,” keluh Liz. Yah, dia tak pernah bisa menikmati tidur siang, selalu berakhir terjaga di ranjang atau melamun ke sana kemari. Toh, selama ini L
“KATAKAN padaku bahwa dia baik-baik saja!”Niki berjengit, refleks menjauhkan ponsel dari telinganya mendengar seruan kasar tersebut. Wanita dengan fitur wajah stroberi itu mendengus kesal.“Selamat pagi juga, Mr. Martel. Sopan santun Anda sungguh tanpa cela,” sindir Niki dengan nada pedas.Pria yang meneleponnya tepat setelah Niki selesai dengan telepon Liz itu terdiam untuk beberapa saat. “Maaf,” ujarnya penuh penyesalan, “aku khawatir, sangat khawatir padanya. Apa dia mengangkat teleponmu?”“Tentu saja Liz mengangkat teleponku. Bukan aku orang berengsek yang meninggalkan dia dalam keadaan hamil muda dan patah hati berat,” ketus Niki. Itu pasti pukulan telak bagi si pria. Niki beranjak dari kursi yang dia duduki dan berjalan menuju dapur.Satu hal yang tidak disampaikan Niki pada Liz adalah alasan lain dia buru-buru kembali ke London karena Robin Martel mendesaknya mengecek keadaan Liz.
“NIKI?!” pekik Liz. Menyadari pemilik suara khas si penelepon.Bukan Robin, puji Tuhan ... terima kasih!Detik berikutnya Liz mendengar suara marah dari penelepon yang tak lain tak bukan adalah sahabatnya, Nicoletta Adirangga. “Jawab pertanyaanku dulu, dasar Vixen Berbintik! Mengapa kau malah berada di beberapa kilometer dari Florence alih-alih di Tipperary¹? Apa yang terjadi dengan tiket penerbangan ke Irlandia-mu? Dan bagaimana kau bisa sampai ke Italia? Apa Robin bajingan keparat itu menculikmu atau mafia antah berantah yang melakukannya?!”Liz menjauhkan ponsel dari telinganya dan meringis. Niki mengucapkan semua itu tanpa jeda untuk menarik napas. Siapa yang mengira gadis manis maskot game terkenal itu bisa menyemburkan kalimat sepanjang kereta api beserta batu baranya sekalian?Stefan memandanginya dan bertanya tanpa suara, Temanmu? Liz mengangguk pada Stefan sebagai jawaban.“Err, bagaimana kau tahu aku di
PADA pagi berikutnya, Liz mendapati kantung matanya semakin parah. Sembap karena campuran bekas menangis, lelah, dan stres. Julukan rubah berbintik yang dianugrahkan Niki dengan murah hati pada Liz kini mungkin harus diubah menjadi panda berbintik.Semua itu juga jelas bukan kombinasi yang bagus untuk bayinya. Oh bayinya yang malang ....Callida, yang ternyata dulunya juga bekerja sebagai pengasuh bayi di keluarga Lucchesi, menasehati Liz agar merilekskan diri dan jangan memikirkan hal yang berat-berat. Seakan itu mudah untuk dilakukan begitu saja. Mendorong semua pikiran berat yang mendominasi ke belakang kepala.Tapi serius, ya ampun! Memangnya Liz bisa bersantai sementara segunung masalah ruwet ini menantinya?! Liz bahkan tak tahu mukanya harus ditaruh di mana jika nanti Jessy menemuinya.Liz adalah selingkuhan suaminya yang kini mengandung bayi pria itu. Bayi yang jelas-jelas menjadi musuh bagi pernikahan Robin dan Jessy.Itu jugalah alasan dia
“KA-KAU? Robin sudah menikah? Denganmu?!” Liz tergagap sementara kedua tangannya mencengkeram kedua lengan Jessy demi menahan tubuhnya agar tidak ambruk. “Liz ... oh, dengarkan aku dulu, Liz, kita bahas itu nanti saja,” bujuk Jessy. “Tapi ... tapi kau istrinya! Bagaimana bisa kau begitu—” Liz tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Bagaimana bisa Jessy bersikap begitu baik pada Liz? Wanita itu sama sekali tak menjukkan jenus ketidaksukaan maupun kesombongan apa pun pada Liz. Jessy mencoba berteman dengan Liz, menghiburnya di pesawat dengan percakapan santai, bahkan mendandani Liz serta memilihkan apa-apa saja yang kini dikenakan oleh wanita yang kini tengah mengandung bukti perselingkuhan Robin dari Jessy. Liz sontak merasa malu pada Jessy. Kenangan manis selama enam bulan sejak pertemuan pertamanya dengan Robin kini kembali runtuh. Bagaimana bisa pria itu berlaku seperti ini? Sejak awal Liz bertanya-tanya apa hubungannya sang model tenar itu deng
PONSEL wanita bersurai merah itu masih bergetar dengan nama Robin terpampang di layar dengan huruf-huruf default warna putih. Satu hal yang Liz pahami adalah dia lupa memblokir nomor telepon Robin. Robin, kekasih Liz. Robin yang mengkhianati Liz dengan permintaannya untuk mengugurkan buah hati mereka. Kini Liz tercabik dalam perasaan benci dan kerinduan yang amat sangat hingga rasanya menyakitkan. Mengapa sekarang Robin meneleponnya? Apa pria itu tahu Liz di sini? Apa pria itu baik-baik saja? Apa bahkan Robin berada di rumah ini? Liz menahan napas ketika panggilan telepon itu mati pada dering ke tujuh. Entah karena dia bersyukur Robin mematikan panggilan atau malah kecewa karena tidak mengangkat telepon itu. Ponsel Liz kembali berdering dan wanita itu nyaris memekik karena kejadian barusan berbarengan dengan pintu kamar yang diketuk. Ya Tuhan, Liz merasa seperti anak remaja yang ketahuan mencuri uang dari dompet orang tuanya. Buru-buru dia ubah ponsel
KAMAR mandi pesawat jet pribadi itu sangat bagus, yah, sama seperti seisi pesawat yang bahkan jauh lebih mewah daripada apartemen Liz. Hanya saja berada di sana membuatnya tegang. Sepanjang perjalanan Liz bertanya-tanya apa yang menunggunya di Italia? Keluarga kaya raya? Wah, kalau yang itu sepertinya sudah jelas. Nah, bagaimana kalau keluarga kaya raya yang tiran? Liz gugup memikirkan kemungkinan itu. Tapi rasanya tak baik mencegah keluarga bayinya dekat dengannya. Jessy toh bilang bahwa mereka berniat membantu Liz, meski Liz merasa seperti tengah terlibat dalam adegan penculikan tak masuk akal. Lagi pula Liz yakin keluarga Robin tak akan menyakiti Liz maupun calon bayinya. Kini dari balik kaca mobil, Liz memandangi teras dengan tiang marmer putih yang dililiti tumbuhan wisteria itu. Deretan lampu bundar bersinar kuning pucat membuat tempat itu semakin eksotis dengan tembok yang tertimpa efek bayangan dari dedaunan wisteria. Berlatar langit gelap malam
PASPOR? Ya, Liz punya, tapi belum sempat dia menjawab, Luca lebih dulu mengangkat sebuah tas berwarna biru. Tepatnya tas biru milik Liz yang berisi semua dokumen berharga yang dia kumpulkan semalam dan pria Italia itu tengah mengubek isinya. “Oke, beres, semua yang dibutuhkan ada di sini,” ujar Luca setelah menepuk lembut tas itu. “Jessy, sana cari ponselnya.” “Ke mana perginya skenario ramah tamah yang kita pelajari semalam?” gerutu Jessy. “Hei! Jangan sentuh barang-barangku!” protes Liz pada mereka. Dia akan menyemburkan protes lainnya seandainya pria pirang yang Jessy panggil Stefan tidak berbalik dan membawanya ke lorong. Liz merasa seperti anak kecil yang dirampok kakak kelas. Tidak, tunggu, apa lebih tepatnya ini penculikan? “Tu-turunkan aku,” pinta Liz sembari bergerak gelisah dalam gendongan Stefan. Jawaban pertama Stefan adalah memiringkan bibirnya. “Dan membiarkanmu kabur? Tidak, terima kasih, lagi pula kau lebih ringan darip
“BEGINI, kami tahu kau sedang dalam kesulitan dan itu karena Robin. Dia memang agak ... err berengsek.” Dalam jeda sebelum kata berengsek, Jessy nyaris tak kentara melirik pada si pria berambut gelap. “Kau bisa coret kata ‘agak’ itu, dia memang berengsek,” ujar pria berambut gelap dengan aksen Inggris sempurna, tapi Liz yakin di balik kacamata hitam itu ada wajah pria tampan yang sangat Italia. “Dia menipuku ...,” cicit Liz. Dia juga tak menginginkan bayi Liz, dan malah memilih untuk menyingkirkannya. “Ya ... dan entah berapa lusin wanita lain,” gumam Jessy dengan muram. “Maaf, tapi sepertinya kau adalah wanita yang paling tidak beruntung yang berurusan dengan Robin.” For God's sake, apa Robin benar-benar seburuk itu? Seandainya saja Robin tidak mengirim email keparat itu, Liz barang kali tak percaya dengan perkataan Jessy. Karena bagaimanapun juga, selama setengah tahun ini Robin begitu baik pada Liz. Wanita itu bahkan masih bisa meng