Share

Sang Pengantin Lucchesi
Sang Pengantin Lucchesi
Penulis: Nightin Fourth

1. The Visitors

Penulis: Nightin Fourth
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

LIZ memandangi tubuhnya dari pantulan bayangan di cermin yang menempel di pintu lemari kayunya. Dibalut T-shirt putih polos dan celana katun longgar, tak ada yang terlihat salah pada diri Liz. Kecuali kantung mata tebal dan kenyataan bahwa tubuhnya tengah mengasup kehidupan lain. 

Secara naluriah Liz mengusap perutnya, merasakan tonjolan kecil yang nyaris tak kentara tertutupi kausnya.

Kandungannya sudah memasuki bulan ketiga, atau itulah yang dikatakan dokter siang tadi. Belum banyak perubahan yang ditunjukkan oleh efek kehamilannya. Namun, sebentar lagi pasti terlihat.

Dulu, Liz terkadang iseng memikirkan suatu hari nanti dirinya dalam gaun longgar dan perut buncit serta kaki bengkak, berusaha memakai kaus kaki rajut dan mengomel karena kesulitan. Liz yang masih remaja selalu berakhir terkikik membayangkan betapa dirinya yang pendek akan terlihat lucu dengan perut seperti itu.

Tapi sekarang dia tidak bisa tertawa. Wanita itu merasa takut.

Sebelumnya, ketika bersama Robin, Liz merasa yakin bisa melalui semua ini. Tapi sekarang tidak, dia tidak siap. Dengan hamil di luar nikah, sendirian, dan tabungan yang minim, Liz tidak yakin bisa bertahan.

Janji pernikahan Robin kini terasa ... tak ada artinya.

Oh bodohnya Liz ... janji itu memang tidak ada artinya!

Liz mengingat jelas raut ngeri Robin ketika wanita itu memberitahunya bahwa dia tangah mengandung. Robin tak mengatakan apa pun hingga kemudian dia pamit undur diri dengan alasan tak jelas. Itu adalah penolakan halus yang berefek bom ledak pada Liz. Wanita itu menghabiskan sisa malam dalam tangis dipelukan Niki, sahabatnya.

Esok harinya, sebuah email masuk ke akun Liz. Pesan dari Robin, isinya adalah permintaan untuk mengugurkan bayinya dan memutus hubungan yang telah mereka jalani. Sekali lagi, Liz merasa dihancurkan.

Hingga seminggu kemudian, dia melihat berita mengejutkan tentang kecelakaan seorang petinggi bank besar, yang tak lain adalah Robin.

Robin menipunya. Pria itu ternyata bukan seorang pria biasa dengan kehidupan sederhana. Selama ini yang dia tunjukkan pada Liz hanyalah kepalsuan.

Sekarang Liz harus bagaimana?

Semuanya kacau.

Wanita itu bahkan tak berani memberi kabar lagi pada ibunya. Oh, Tuhan, ibunya adalah wanita konservatif yang menganggap hamil di luar nikah adalah hal tabu. Tapi Liz menyayangi ibunya, janda malang itu pasti tengah bertanya-tanya mengapa putrinya belum memberi kabar selama sebulan terakhir.

Nanti, Liz akan memberi memberitahu ibunya, ketika wanita muda itu pulang ke rumah karena Liz tak berani menyampaikan berita ini lewat telepon.

“Maafkan aku,” cicit Liz sembari mengusap matanya yang berair. 

Liz membuka pintu lemari lalu mulai mengeluarkan pakaiannya. Memilah mana yang perlu dibawa langsung dan yang perlu dipak lewat pos. Wanita itu juga berusaha keras untuk mengabaikan pakaian Robin yang terlipat rapi di dalamnya, sisa-sisa bukti keberadaan Robin di apartemen mungil ini selama setengah tahun terakhir.

Lupakan dia, perintah Liz pada dirinya sendiri.

Wanita itu meraih koper usangnya dari atas lemari. Ritsleting koper itu baru ditarik membuka sepanjang lima sentimeter ketika bel apartemen Liz berbunyi.

“Siapa?” bisik Liz.

Orang yang menekan bel tidak mungkin Niki karena sahabatnya itu juga pernah tinggal di sini—meski sekarang dia tengah pergi ke Oxford untuk urusan pekerjaan—dia bisa langsung masuk menggunakan kunci duplikat.

Jangan-jangan itu ibunya yang tengah berkunjung untuk mengecek keadaan Liz? Oh Tuhan, jangan sekarang.

Dengan berjingkat-jingkat, Liz berjalan tanpa menginjak lautan pakaiannya yang tersebar di lantai kamar. Bel kembali berbunyi, Liz kini berlari menuju pintu depan tapi tak langsung membukanya. Liz terlebih dahulu mengintip melalui lubang intip pintu.

Liz melihat sesuatu berwarna hitam mengilap. Apa-apan itu?

Bel kembali berbunyi, kali ini tiga kali tekan beruntun. Liz membuka pintu apartemennya dan menjerit terkejut, sebab wajahnya langsung dihadapkan dengan wajah seseorang yang setengahnya tertutup topeng hitam.

Oh tidak, tunggu, itu bukan topeng. Itu hanya kacamata hitam mengilap dengan hiasan berupa berlian di bagian bingkainya—Liz tak punya kemampuan membedakan berlian asli atau bukan tapi yang ini kelihatannya seratus persen asli.

Pemilik kacamata itu menegakkan tubuh dan Liz refleks mendongak karena sang tamu lebih tinggi setidaknya satu kepala daripada Liz. Barulah Liz menyadari bahwa tamunya adalah seorang wanita dengan rambut pirang bergelombang, tas kulit hitam—yang entah apa mereknya—dan mantel abu-abu bergaris halus super modis.

“Kau Liz? Maksudku, Elizabeth O'Hare?” tanya wanita cantik yang lebih cocok berada di catwalk suatu tempat di pusat London alih-alih lorong apartemen Liz.

“Ya,” jawab Liz.

“Oh ...,” gumam si wanita pirang. Dia lalu melepaskan kacamata hitamnya. Liz sontak merasa malu di bawah tatapan mata biru pirus dan sapuan eyeliner sempurna itu.

“Kau ... siapa?” tanya Liz.

“Oh, aku Jessamine,” jawab si wanita pirang disertai senyuman menawan bergigi rapi.

Rahang Liz nyaris jatuh berkelontang. “Kau? Jessamine? Tunggu, apa kau ini Jessy Hester yang itu?”

Untuk sesaat Liz melihat ekspresi canggung di wajah tamunya ketika wanita pirang itu mengerlingkan mata dan berdeham. “Kalau maksudmu model terbaik—menurut beberapa majalah—tahun ini, yah, ya aku memang Jessy Hester yang itu. Ngomong-ngomong kau bisa memanggilku Jessy sementara aku memanggilmu Liz, setuju?”

Liz tak bisa memberikan jawaban lain selain persetujuan. Dia juga baru sadar bahwa Jessy tidak datang sendirian, ada dua orang pria berpakaian resmi yang berdiri di belakang Jessy. Satu berambut pirang dan satu berambut gelap, keduanya memakai kacamata hitam polos. Ya Tuhan, apa mereka berdua pengawal Jessy?

“Bagus. Nah, kalau kau tidak keberatan, maukah kau mengizinkan aku bertamu sebentar?” tanya Jessy sebelum menambahkan, “ada hal penting yang harus aku bicarakan denganmu.”

Dan tentu saja Liz mengizinkan mereka masuk ke dalam rumah, yah tak setiap hari model papan atas yang kau puja bertamu ke rumahmu. Wanita berdarah campuran Irlandia-Perancis itu diam-diam mensyukuri keadaan ruang tamunya yang cukup layak untuk menerima tamu, meski mungkin sama sekali tak tampak berkelas untuk model setenar Jessy Hester, yang kini duduk di sofa hijau lumut Liz. Sementara itu, si pria pirang duduk di sebelah Jessy dan si pria berambut gelap di sofa lainnya.

Sayangnya Liz tak memiliki apa pun yang pantas disajikan untuk Jessy. Sebagian karena dua bulan terakhir nafsu makan Liz kacau—pengaruh dari trimester pertama kehamilannya—hingga dia malas membeli makanan selain makanan instan dan sebagian karena kemungkinan besar Jessy tak akan sudi memakan apa yang disajikan Liz.

“Jadi ... apa boleh kutebak kedatanganmu ke sini tentu tak ada hubungannya dengan pekerjaanmu?” tanya Liz, memecah keheningan karena Jessy tampak melamun pada tiga puluh detik pertama.

“Oh, hmm, yah sebenarnya ini ada hubungannya dengan pekerjaanku yang lain,” sahut Jessy.

Netra biru sang model menatap ke atas kepala Liz. Apa yang dia lihat? Puncak kepala Liz yang berambut berantakan? Oh, bukan. Pasti foto keluarga yang digantung di dinding. Foto yang berisi potret Liz, ibunya, dan adik Liz di hari kelulusannya di universitas.

“Apa—tepatnya—itu?” tanya Liz.

Jessy menghela napas, mencoba melemaskan bahunya. “Robin Lucchesi memberitahuku bahwa kau tengah hamil muda, tepat sebelum kecelakaan itu, jadi aku datang ke sini untuk menjemputmu. Mulai sekarang keluarga Lucchesi akan mengurus keperluanmu dan calon bayimu.”

“Apa katamu?” tanya Liz serta merta.

Bab terkait

  • Sang Pengantin Lucchesi   2. Wha-What Do You Want?

    “BEGINI, kami tahu kau sedang dalam kesulitan dan itu karena Robin. Dia memang agak ... err berengsek.” Dalam jeda sebelum kata berengsek, Jessy nyaris tak kentara melirik pada si pria berambut gelap. “Kau bisa coret kata ‘agak’ itu, dia memang berengsek,” ujar pria berambut gelap dengan aksen Inggris sempurna, tapi Liz yakin di balik kacamata hitam itu ada wajah pria tampan yang sangat Italia. “Dia menipuku ...,” cicit Liz. Dia juga tak menginginkan bayi Liz, dan malah memilih untuk menyingkirkannya. “Ya ... dan entah berapa lusin wanita lain,” gumam Jessy dengan muram. “Maaf, tapi sepertinya kau adalah wanita yang paling tidak beruntung yang berurusan dengan Robin.” For God's sake, apa Robin benar-benar seburuk itu? Seandainya saja Robin tidak mengirim email keparat itu, Liz barang kali tak percaya dengan perkataan Jessy. Karena bagaimanapun juga, selama setengah tahun ini Robin begitu baik pada Liz. Wanita itu bahkan masih bisa meng

  • Sang Pengantin Lucchesi   3. And Do You Think That You Have Another Choice?

    PASPOR? Ya, Liz punya, tapi belum sempat dia menjawab, Luca lebih dulu mengangkat sebuah tas berwarna biru. Tepatnya tas biru milik Liz yang berisi semua dokumen berharga yang dia kumpulkan semalam dan pria Italia itu tengah mengubek isinya. “Oke, beres, semua yang dibutuhkan ada di sini,” ujar Luca setelah menepuk lembut tas itu. “Jessy, sana cari ponselnya.” “Ke mana perginya skenario ramah tamah yang kita pelajari semalam?” gerutu Jessy. “Hei! Jangan sentuh barang-barangku!” protes Liz pada mereka. Dia akan menyemburkan protes lainnya seandainya pria pirang yang Jessy panggil Stefan tidak berbalik dan membawanya ke lorong. Liz merasa seperti anak kecil yang dirampok kakak kelas. Tidak, tunggu, apa lebih tepatnya ini penculikan? “Tu-turunkan aku,” pinta Liz sembari bergerak gelisah dalam gendongan Stefan. Jawaban pertama Stefan adalah memiringkan bibirnya. “Dan membiarkanmu kabur? Tidak, terima kasih, lagi pula kau lebih ringan darip

  • Sang Pengantin Lucchesi   4. Lucchesi's Palazzo

    KAMAR mandi pesawat jet pribadi itu sangat bagus, yah, sama seperti seisi pesawat yang bahkan jauh lebih mewah daripada apartemen Liz. Hanya saja berada di sana membuatnya tegang. Sepanjang perjalanan Liz bertanya-tanya apa yang menunggunya di Italia? Keluarga kaya raya? Wah, kalau yang itu sepertinya sudah jelas. Nah, bagaimana kalau keluarga kaya raya yang tiran? Liz gugup memikirkan kemungkinan itu. Tapi rasanya tak baik mencegah keluarga bayinya dekat dengannya. Jessy toh bilang bahwa mereka berniat membantu Liz, meski Liz merasa seperti tengah terlibat dalam adegan penculikan tak masuk akal. Lagi pula Liz yakin keluarga Robin tak akan menyakiti Liz maupun calon bayinya. Kini dari balik kaca mobil, Liz memandangi teras dengan tiang marmer putih yang dililiti tumbuhan wisteria itu. Deretan lampu bundar bersinar kuning pucat membuat tempat itu semakin eksotis dengan tembok yang tertimpa efek bayangan dari dedaunan wisteria. Berlatar langit gelap malam

  • Sang Pengantin Lucchesi   5. The Fact

    PONSEL wanita bersurai merah itu masih bergetar dengan nama Robin terpampang di layar dengan huruf-huruf default warna putih. Satu hal yang Liz pahami adalah dia lupa memblokir nomor telepon Robin. Robin, kekasih Liz. Robin yang mengkhianati Liz dengan permintaannya untuk mengugurkan buah hati mereka. Kini Liz tercabik dalam perasaan benci dan kerinduan yang amat sangat hingga rasanya menyakitkan. Mengapa sekarang Robin meneleponnya? Apa pria itu tahu Liz di sini? Apa pria itu baik-baik saja? Apa bahkan Robin berada di rumah ini? Liz menahan napas ketika panggilan telepon itu mati pada dering ke tujuh. Entah karena dia bersyukur Robin mematikan panggilan atau malah kecewa karena tidak mengangkat telepon itu. Ponsel Liz kembali berdering dan wanita itu nyaris memekik karena kejadian barusan berbarengan dengan pintu kamar yang diketuk. Ya Tuhan, Liz merasa seperti anak remaja yang ketahuan mencuri uang dari dompet orang tuanya. Buru-buru dia ubah ponsel

  • Sang Pengantin Lucchesi   6. His Wife

    “KA-KAU? Robin sudah menikah? Denganmu?!” Liz tergagap sementara kedua tangannya mencengkeram kedua lengan Jessy demi menahan tubuhnya agar tidak ambruk. “Liz ... oh, dengarkan aku dulu, Liz, kita bahas itu nanti saja,” bujuk Jessy. “Tapi ... tapi kau istrinya! Bagaimana bisa kau begitu—” Liz tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Bagaimana bisa Jessy bersikap begitu baik pada Liz? Wanita itu sama sekali tak menjukkan jenus ketidaksukaan maupun kesombongan apa pun pada Liz. Jessy mencoba berteman dengan Liz, menghiburnya di pesawat dengan percakapan santai, bahkan mendandani Liz serta memilihkan apa-apa saja yang kini dikenakan oleh wanita yang kini tengah mengandung bukti perselingkuhan Robin dari Jessy. Liz sontak merasa malu pada Jessy. Kenangan manis selama enam bulan sejak pertemuan pertamanya dengan Robin kini kembali runtuh. Bagaimana bisa pria itu berlaku seperti ini? Sejak awal Liz bertanya-tanya apa hubungannya sang model tenar itu deng

  • Sang Pengantin Lucchesi   7. Hester

    PADA pagi berikutnya, Liz mendapati kantung matanya semakin parah. Sembap karena campuran bekas menangis, lelah, dan stres. Julukan rubah berbintik yang dianugrahkan Niki dengan murah hati pada Liz kini mungkin harus diubah menjadi panda berbintik.Semua itu juga jelas bukan kombinasi yang bagus untuk bayinya. Oh bayinya yang malang ....Callida, yang ternyata dulunya juga bekerja sebagai pengasuh bayi di keluarga Lucchesi, menasehati Liz agar merilekskan diri dan jangan memikirkan hal yang berat-berat. Seakan itu mudah untuk dilakukan begitu saja. Mendorong semua pikiran berat yang mendominasi ke belakang kepala.Tapi serius, ya ampun! Memangnya Liz bisa bersantai sementara segunung masalah ruwet ini menantinya?! Liz bahkan tak tahu mukanya harus ditaruh di mana jika nanti Jessy menemuinya.Liz adalah selingkuhan suaminya yang kini mengandung bayi pria itu. Bayi yang jelas-jelas menjadi musuh bagi pernikahan Robin dan Jessy.Itu jugalah alasan dia

  • Sang Pengantin Lucchesi   8. Friend Like Sister

    “NIKI?!” pekik Liz. Menyadari pemilik suara khas si penelepon.Bukan Robin, puji Tuhan ... terima kasih!Detik berikutnya Liz mendengar suara marah dari penelepon yang tak lain tak bukan adalah sahabatnya, Nicoletta Adirangga. “Jawab pertanyaanku dulu, dasar Vixen Berbintik! Mengapa kau malah berada di beberapa kilometer dari Florence alih-alih di Tipperary¹? Apa yang terjadi dengan tiket penerbangan ke Irlandia-mu? Dan bagaimana kau bisa sampai ke Italia? Apa Robin bajingan keparat itu menculikmu atau mafia antah berantah yang melakukannya?!”Liz menjauhkan ponsel dari telinganya dan meringis. Niki mengucapkan semua itu tanpa jeda untuk menarik napas. Siapa yang mengira gadis manis maskot game terkenal itu bisa menyemburkan kalimat sepanjang kereta api beserta batu baranya sekalian?Stefan memandanginya dan bertanya tanpa suara, Temanmu? Liz mengangguk pada Stefan sebagai jawaban.“Err, bagaimana kau tahu aku di

  • Sang Pengantin Lucchesi   9. Old Cloud

    “KATAKAN padaku bahwa dia baik-baik saja!”Niki berjengit, refleks menjauhkan ponsel dari telinganya mendengar seruan kasar tersebut. Wanita dengan fitur wajah stroberi itu mendengus kesal.“Selamat pagi juga, Mr. Martel. Sopan santun Anda sungguh tanpa cela,” sindir Niki dengan nada pedas.Pria yang meneleponnya tepat setelah Niki selesai dengan telepon Liz itu terdiam untuk beberapa saat. “Maaf,” ujarnya penuh penyesalan, “aku khawatir, sangat khawatir padanya. Apa dia mengangkat teleponmu?”“Tentu saja Liz mengangkat teleponku. Bukan aku orang berengsek yang meninggalkan dia dalam keadaan hamil muda dan patah hati berat,” ketus Niki. Itu pasti pukulan telak bagi si pria. Niki beranjak dari kursi yang dia duduki dan berjalan menuju dapur.Satu hal yang tidak disampaikan Niki pada Liz adalah alasan lain dia buru-buru kembali ke London karena Robin Martel mendesaknya mengecek keadaan Liz.

Bab terbaru

  • Sang Pengantin Lucchesi   10. Oh Dear ....

    CALLIDA datang tak lama kemudian, membawa troli makanan yang kosong untuk memindahkan peralatan makan. Wanita itu tersenyum kecil pada Liz sebelum mulai memindahkan peralatan makan di meja ke atas troli. “Oh, biar aku bantu,” ujar Liz riang sembari meraih piring bekasnya. Tapi sang pelayan merebut piring itu dari tangan Liz. “Eh jangan, tidak perlu, ini adalah pekerjaan dan tanggung jawabku, Signorina¹. Aku mendapat bayaran untuk ini. Dan dripada kau merepotkan tanganmu dengan pekerjaan yang harusnya aku lakukan lebih baik kau tidur siang,” perintah Callida. “Aku tak ingin kau atau bayimu kenapa-kenapa.” Bibir Liz mengerucut menggemaskan mendengar perintah itu. “Aku biasa mengerjakan pekerjaan rumah sendiri di rumah ... ini seperti olahraga yang menyenangkan, Callida. Lagi pula aku tidak pernah bisa tidur siang,” keluh Liz. Yah, dia tak pernah bisa menikmati tidur siang, selalu berakhir terjaga di ranjang atau melamun ke sana kemari. Toh, selama ini L

  • Sang Pengantin Lucchesi   9. Old Cloud

    “KATAKAN padaku bahwa dia baik-baik saja!”Niki berjengit, refleks menjauhkan ponsel dari telinganya mendengar seruan kasar tersebut. Wanita dengan fitur wajah stroberi itu mendengus kesal.“Selamat pagi juga, Mr. Martel. Sopan santun Anda sungguh tanpa cela,” sindir Niki dengan nada pedas.Pria yang meneleponnya tepat setelah Niki selesai dengan telepon Liz itu terdiam untuk beberapa saat. “Maaf,” ujarnya penuh penyesalan, “aku khawatir, sangat khawatir padanya. Apa dia mengangkat teleponmu?”“Tentu saja Liz mengangkat teleponku. Bukan aku orang berengsek yang meninggalkan dia dalam keadaan hamil muda dan patah hati berat,” ketus Niki. Itu pasti pukulan telak bagi si pria. Niki beranjak dari kursi yang dia duduki dan berjalan menuju dapur.Satu hal yang tidak disampaikan Niki pada Liz adalah alasan lain dia buru-buru kembali ke London karena Robin Martel mendesaknya mengecek keadaan Liz.

  • Sang Pengantin Lucchesi   8. Friend Like Sister

    “NIKI?!” pekik Liz. Menyadari pemilik suara khas si penelepon.Bukan Robin, puji Tuhan ... terima kasih!Detik berikutnya Liz mendengar suara marah dari penelepon yang tak lain tak bukan adalah sahabatnya, Nicoletta Adirangga. “Jawab pertanyaanku dulu, dasar Vixen Berbintik! Mengapa kau malah berada di beberapa kilometer dari Florence alih-alih di Tipperary¹? Apa yang terjadi dengan tiket penerbangan ke Irlandia-mu? Dan bagaimana kau bisa sampai ke Italia? Apa Robin bajingan keparat itu menculikmu atau mafia antah berantah yang melakukannya?!”Liz menjauhkan ponsel dari telinganya dan meringis. Niki mengucapkan semua itu tanpa jeda untuk menarik napas. Siapa yang mengira gadis manis maskot game terkenal itu bisa menyemburkan kalimat sepanjang kereta api beserta batu baranya sekalian?Stefan memandanginya dan bertanya tanpa suara, Temanmu? Liz mengangguk pada Stefan sebagai jawaban.“Err, bagaimana kau tahu aku di

  • Sang Pengantin Lucchesi   7. Hester

    PADA pagi berikutnya, Liz mendapati kantung matanya semakin parah. Sembap karena campuran bekas menangis, lelah, dan stres. Julukan rubah berbintik yang dianugrahkan Niki dengan murah hati pada Liz kini mungkin harus diubah menjadi panda berbintik.Semua itu juga jelas bukan kombinasi yang bagus untuk bayinya. Oh bayinya yang malang ....Callida, yang ternyata dulunya juga bekerja sebagai pengasuh bayi di keluarga Lucchesi, menasehati Liz agar merilekskan diri dan jangan memikirkan hal yang berat-berat. Seakan itu mudah untuk dilakukan begitu saja. Mendorong semua pikiran berat yang mendominasi ke belakang kepala.Tapi serius, ya ampun! Memangnya Liz bisa bersantai sementara segunung masalah ruwet ini menantinya?! Liz bahkan tak tahu mukanya harus ditaruh di mana jika nanti Jessy menemuinya.Liz adalah selingkuhan suaminya yang kini mengandung bayi pria itu. Bayi yang jelas-jelas menjadi musuh bagi pernikahan Robin dan Jessy.Itu jugalah alasan dia

  • Sang Pengantin Lucchesi   6. His Wife

    “KA-KAU? Robin sudah menikah? Denganmu?!” Liz tergagap sementara kedua tangannya mencengkeram kedua lengan Jessy demi menahan tubuhnya agar tidak ambruk. “Liz ... oh, dengarkan aku dulu, Liz, kita bahas itu nanti saja,” bujuk Jessy. “Tapi ... tapi kau istrinya! Bagaimana bisa kau begitu—” Liz tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Bagaimana bisa Jessy bersikap begitu baik pada Liz? Wanita itu sama sekali tak menjukkan jenus ketidaksukaan maupun kesombongan apa pun pada Liz. Jessy mencoba berteman dengan Liz, menghiburnya di pesawat dengan percakapan santai, bahkan mendandani Liz serta memilihkan apa-apa saja yang kini dikenakan oleh wanita yang kini tengah mengandung bukti perselingkuhan Robin dari Jessy. Liz sontak merasa malu pada Jessy. Kenangan manis selama enam bulan sejak pertemuan pertamanya dengan Robin kini kembali runtuh. Bagaimana bisa pria itu berlaku seperti ini? Sejak awal Liz bertanya-tanya apa hubungannya sang model tenar itu deng

  • Sang Pengantin Lucchesi   5. The Fact

    PONSEL wanita bersurai merah itu masih bergetar dengan nama Robin terpampang di layar dengan huruf-huruf default warna putih. Satu hal yang Liz pahami adalah dia lupa memblokir nomor telepon Robin. Robin, kekasih Liz. Robin yang mengkhianati Liz dengan permintaannya untuk mengugurkan buah hati mereka. Kini Liz tercabik dalam perasaan benci dan kerinduan yang amat sangat hingga rasanya menyakitkan. Mengapa sekarang Robin meneleponnya? Apa pria itu tahu Liz di sini? Apa pria itu baik-baik saja? Apa bahkan Robin berada di rumah ini? Liz menahan napas ketika panggilan telepon itu mati pada dering ke tujuh. Entah karena dia bersyukur Robin mematikan panggilan atau malah kecewa karena tidak mengangkat telepon itu. Ponsel Liz kembali berdering dan wanita itu nyaris memekik karena kejadian barusan berbarengan dengan pintu kamar yang diketuk. Ya Tuhan, Liz merasa seperti anak remaja yang ketahuan mencuri uang dari dompet orang tuanya. Buru-buru dia ubah ponsel

  • Sang Pengantin Lucchesi   4. Lucchesi's Palazzo

    KAMAR mandi pesawat jet pribadi itu sangat bagus, yah, sama seperti seisi pesawat yang bahkan jauh lebih mewah daripada apartemen Liz. Hanya saja berada di sana membuatnya tegang. Sepanjang perjalanan Liz bertanya-tanya apa yang menunggunya di Italia? Keluarga kaya raya? Wah, kalau yang itu sepertinya sudah jelas. Nah, bagaimana kalau keluarga kaya raya yang tiran? Liz gugup memikirkan kemungkinan itu. Tapi rasanya tak baik mencegah keluarga bayinya dekat dengannya. Jessy toh bilang bahwa mereka berniat membantu Liz, meski Liz merasa seperti tengah terlibat dalam adegan penculikan tak masuk akal. Lagi pula Liz yakin keluarga Robin tak akan menyakiti Liz maupun calon bayinya. Kini dari balik kaca mobil, Liz memandangi teras dengan tiang marmer putih yang dililiti tumbuhan wisteria itu. Deretan lampu bundar bersinar kuning pucat membuat tempat itu semakin eksotis dengan tembok yang tertimpa efek bayangan dari dedaunan wisteria. Berlatar langit gelap malam

  • Sang Pengantin Lucchesi   3. And Do You Think That You Have Another Choice?

    PASPOR? Ya, Liz punya, tapi belum sempat dia menjawab, Luca lebih dulu mengangkat sebuah tas berwarna biru. Tepatnya tas biru milik Liz yang berisi semua dokumen berharga yang dia kumpulkan semalam dan pria Italia itu tengah mengubek isinya. “Oke, beres, semua yang dibutuhkan ada di sini,” ujar Luca setelah menepuk lembut tas itu. “Jessy, sana cari ponselnya.” “Ke mana perginya skenario ramah tamah yang kita pelajari semalam?” gerutu Jessy. “Hei! Jangan sentuh barang-barangku!” protes Liz pada mereka. Dia akan menyemburkan protes lainnya seandainya pria pirang yang Jessy panggil Stefan tidak berbalik dan membawanya ke lorong. Liz merasa seperti anak kecil yang dirampok kakak kelas. Tidak, tunggu, apa lebih tepatnya ini penculikan? “Tu-turunkan aku,” pinta Liz sembari bergerak gelisah dalam gendongan Stefan. Jawaban pertama Stefan adalah memiringkan bibirnya. “Dan membiarkanmu kabur? Tidak, terima kasih, lagi pula kau lebih ringan darip

  • Sang Pengantin Lucchesi   2. Wha-What Do You Want?

    “BEGINI, kami tahu kau sedang dalam kesulitan dan itu karena Robin. Dia memang agak ... err berengsek.” Dalam jeda sebelum kata berengsek, Jessy nyaris tak kentara melirik pada si pria berambut gelap. “Kau bisa coret kata ‘agak’ itu, dia memang berengsek,” ujar pria berambut gelap dengan aksen Inggris sempurna, tapi Liz yakin di balik kacamata hitam itu ada wajah pria tampan yang sangat Italia. “Dia menipuku ...,” cicit Liz. Dia juga tak menginginkan bayi Liz, dan malah memilih untuk menyingkirkannya. “Ya ... dan entah berapa lusin wanita lain,” gumam Jessy dengan muram. “Maaf, tapi sepertinya kau adalah wanita yang paling tidak beruntung yang berurusan dengan Robin.” For God's sake, apa Robin benar-benar seburuk itu? Seandainya saja Robin tidak mengirim email keparat itu, Liz barang kali tak percaya dengan perkataan Jessy. Karena bagaimanapun juga, selama setengah tahun ini Robin begitu baik pada Liz. Wanita itu bahkan masih bisa meng

DMCA.com Protection Status