PASPOR? Ya, Liz punya, tapi belum sempat dia menjawab, Luca lebih dulu mengangkat sebuah tas berwarna biru. Tepatnya tas biru milik Liz yang berisi semua dokumen berharga yang dia kumpulkan semalam dan pria Italia itu tengah mengubek isinya.
“Oke, beres, semua yang dibutuhkan ada di sini,” ujar Luca setelah menepuk lembut tas itu. “Jessy, sana cari ponselnya.”
“Ke mana perginya skenario ramah tamah yang kita pelajari semalam?” gerutu Jessy.
“Hei! Jangan sentuh barang-barangku!” protes Liz pada mereka. Dia akan menyemburkan protes lainnya seandainya pria pirang yang Jessy panggil Stefan tidak berbalik dan membawanya ke lorong.
Liz merasa seperti anak kecil yang dirampok kakak kelas. Tidak, tunggu, apa lebih tepatnya ini penculikan?
“Tu-turunkan aku,” pinta Liz sembari bergerak gelisah dalam gendongan Stefan.
Jawaban pertama Stefan adalah memiringkan bibirnya. “Dan membiarkanmu kabur? Tidak, terima kasih, lagi pula kau lebih ringan daripada wanita hamil terakhir yang aku gendongan.”
Apa yang pria ini ocehkan? Liz tak yakin.
Jessy dan Luca menyusul tak lama kemudian. Jessy menggerutu sementara Luca dengan santai menenteng tas biru milik Liz.
“Ru-rumahku, apa yang kalian—” Liz tergagap.
“Wow, tenang-tenang, kami menguncinya kok, dan kami juga sudah menghubungi pemilik apartemen untuk mengamankan rumahmu, pokoknya beres. Ngomong-ngomong kau memang sudah bersiap pergi ya? Untung kami tidak terlambat,” ujar Jessy sambil menampilkan senyum manis.
Liz tak tahu apakah harusnya dia naik darah, menangis, atau malah bersyukur karena orang-orang ini bilang akan membantunya. Tapi mereka bahkan orang asing! Bagaimana dia bisa percaya semudah itu pada mereka?
Oke, Liz memang mengenal Jessy tapi itu hanya sebatas mengikuti sosial media dan majalahnya, dan itu jelas berbeda.
Mereka memasuki lift diiringi celotehan Jessy dalam bahasa yang tak dipahami Liz. Sementara itu, Stefan menekan tombol ke lobi setelah menurunkan Liz.
“Berapa usia kandunganmu?” tanya Stefan.
“Tiga bulan,” jawab Liz. “Ka-kau benar-benar akan membawaku ke—”
Stefan tersenyum, dan dia punya satu lesung pipi kecil di sudut bibirnya. “Italia? Rumah keluarga Robin dan Luca? Ya, tentu saja itu yang akan kami lakukan.”
“Kau pikir aku mau ikut begitu saja?” pekik Liz.
“Dan kau pikir kau punya pilihan lain?” tanya pria itu dengan satu alis terangkat.
Liz terdiam. Apa dia punya? Apa Liz punya kuasa untuk menolak orang-orang ini? Mereka jelas punya uang dan kekuasaan untuk membantu atau malah mempersulit Liz.
“Stefan,” desis Jessy, “kau membuatnya takut!”
“Aku hanya membantunya membuat pilihan yang logis. Dia toh tak akan bisa bertahan dengan mudah mengingat dia pengangguran dan tanpa sokongan,” sahut Stefan. “Kau yang bilang sendiri lebih cepat lebih baik.”
Jessy kembali mengomel dalam bahasa yang tak dipahami Liz.
Lift berdenting merdu dan pintunya membuka. Stefan meraih Liz lagi dan wanita itu memekik kaget ketika kembali digendong. Sialnya, dada bidang Stefan memberikan rasa aman bagi Liz tatkala pria itu mendekapnya.
Liz bersyukur tak banyak orang yang berada di lobi saat ini. Hanya beberapa tetangga yang tidak terlalu dia kenal. Hanya saja dia tetap merasa malu karena orang-orang itu sampai melongo menatapnya.
Atau malah mereka melongo menatap tiga orang rupawan yang mengawal Liz ini? Sesuatu seperti:
Ya Tuhan, apa itu benar-benar Jessy Hester?!
Siapa para eksekutif tampan itu?
Sejak kapan aku punya tetangga sekeren mereka?
Dan sebagainya-dan sebagainya.
Liz merutuki diri sendiri karena masih sempat-sempatnya memikirkan itu di saat seperti ini. Empat tahun tinggal dengan gadis Asia berselera humor hiper yang siapa lagi kalau bukan sahabatnya Niki membuat Liz ketularan kebiasaan aneh melucu di saat-saat urgent.
Di depan lobi, sebuah mobil hitam dan seorang pria kekar bak bodyguard resmi menunggu mereka. Pria itu membukakan mobil untuk Stefan dan Stefan mendudukkan Liz di jok penumpang dari kulit itu.
Jessy dan Luca menyusul masuk. Jessy duduk di sebelah Liz, dan para pria duduk menghadap mereka.
Luca mengatakan sesuatu pada sopir setelah si pria kekar masuk ke jok penumpang depan. Luca kemudian menekan tombol untuk menutup jendela pemisah sementara mobil mulai berjalan menjauh dari apartemen Liz.
Melaju melewati jalanan lembap London di bulan April.
***
“KALIAN menculikku,” gerutu Liz, setengah jam setelah pesawat jet pribadi keluarga Lucchesi lepas landas. Liz merasa seperti berada di dimensi yang berbeda di dalam segala kemewahan pesawat ini. Dengan kursi empuk dan selendang kasmir tersampir di sandarannya. “Aku bahkan belum mandi pagi!”
Dan dia masih memakai pakaian tadi malam sementara jam digital pesawat menunjukkan pukul sebelas tiga puluh, sebentar lagi tengah hari. Rambutnya awut-awutan, dan bercak di wajahnya pasti terlihat jelas karena Liz sama sekali tak berbedak.
Meski Niki selalu menyeletuk, “Kenapa malu? Freckles kan sedang jadi trend sekarang.” Liz tetap malu karena dia adalah wanita keturunan Irlandia dengan bercak di seluruh tubuh. Seringnya dia merasa iri dengan kulit mulus bak bayi milik Niki.
Ugh, bayi, aduh ... enam bulan lagi Liz akan memiliki bayi dan dia malah meributkan masalah kulitnya.
“Apa kau sudah sarapan?” tanya Jessy ramah.
“Belum.” Karena Liz mengalami morning sickness dan memilih menyibukkan diri dengan mengemasi barang-barangnya. “Tapi kalau pun kau hidangkan makanan untukku, aku mungkin hanya akan memuntahkannya.”
Jessy berkedip lalu meletakkan majalah fashion sebelumnya dia bolak-balik. Dia lalu bertanya, “Bagaimana kalau makanan ringan saja? Susu untuk hamil? Puding?”
“Kalian punya susu ibu hamil di pesawat?” tanya Liz terheran-heran.
“Yah, tentu saja kami menyiapkannya untukmu,” jawab Jessy. Model ternama itu lalu berbicara pada seorang pramugari. Lima menit berikutnya Liz mencicipi sesendok puding lembut dengan potongan buah jeruk di dalamnya, san kemudian menyerbu puding itu.
“Baiklah, sepertinya kau sudah cukup santai sekarang,” gumam Luca.
Liz mendongak dari piring pudingnya dengan ekspresi malu. Pipinya bersemu lebih merah lagi ketika sadar Luca dan Stefan tengah menatapnya.
“Dengar, Liz, aku akan menjelaskannya singkat saja agar kau tidak ketakutan lagi. Nanti di rumah kami, kau akan menemui ayahku dan Robin, kakek bayimu. Kuharap kau bisa bersikap kooperatif dengan kami demi ayahku,” jelas Luca.
Sayangnya Liz tidak memahami apa yang cowok itu bicarakan. “Ayahmu? Robin pernah bercerita sekali tentang dia ... namanya Matteo?”
Luca mengangkat bahu lalu menjawab, “Satu bintang emas untukmu, benar. Ayahku menghormati hubungan kekeluargaan, dan dia benar-benar ingin bayimu menyandang nama Lucchesi. Jadi, kau tidak boleh mengatakan apa pun yang menjurus ke menjauhkan ayahku dari cucunya. Atau kau akan menyesal.”
Atau kau akan menyesal. Kalimat itu berdegung di telinga Liz dan dia kembali merasa ketakutan.
KAMAR mandi pesawat jet pribadi itu sangat bagus, yah, sama seperti seisi pesawat yang bahkan jauh lebih mewah daripada apartemen Liz. Hanya saja berada di sana membuatnya tegang. Sepanjang perjalanan Liz bertanya-tanya apa yang menunggunya di Italia? Keluarga kaya raya? Wah, kalau yang itu sepertinya sudah jelas. Nah, bagaimana kalau keluarga kaya raya yang tiran? Liz gugup memikirkan kemungkinan itu. Tapi rasanya tak baik mencegah keluarga bayinya dekat dengannya. Jessy toh bilang bahwa mereka berniat membantu Liz, meski Liz merasa seperti tengah terlibat dalam adegan penculikan tak masuk akal. Lagi pula Liz yakin keluarga Robin tak akan menyakiti Liz maupun calon bayinya. Kini dari balik kaca mobil, Liz memandangi teras dengan tiang marmer putih yang dililiti tumbuhan wisteria itu. Deretan lampu bundar bersinar kuning pucat membuat tempat itu semakin eksotis dengan tembok yang tertimpa efek bayangan dari dedaunan wisteria. Berlatar langit gelap malam
PONSEL wanita bersurai merah itu masih bergetar dengan nama Robin terpampang di layar dengan huruf-huruf default warna putih. Satu hal yang Liz pahami adalah dia lupa memblokir nomor telepon Robin. Robin, kekasih Liz. Robin yang mengkhianati Liz dengan permintaannya untuk mengugurkan buah hati mereka. Kini Liz tercabik dalam perasaan benci dan kerinduan yang amat sangat hingga rasanya menyakitkan. Mengapa sekarang Robin meneleponnya? Apa pria itu tahu Liz di sini? Apa pria itu baik-baik saja? Apa bahkan Robin berada di rumah ini? Liz menahan napas ketika panggilan telepon itu mati pada dering ke tujuh. Entah karena dia bersyukur Robin mematikan panggilan atau malah kecewa karena tidak mengangkat telepon itu. Ponsel Liz kembali berdering dan wanita itu nyaris memekik karena kejadian barusan berbarengan dengan pintu kamar yang diketuk. Ya Tuhan, Liz merasa seperti anak remaja yang ketahuan mencuri uang dari dompet orang tuanya. Buru-buru dia ubah ponsel
“KA-KAU? Robin sudah menikah? Denganmu?!” Liz tergagap sementara kedua tangannya mencengkeram kedua lengan Jessy demi menahan tubuhnya agar tidak ambruk. “Liz ... oh, dengarkan aku dulu, Liz, kita bahas itu nanti saja,” bujuk Jessy. “Tapi ... tapi kau istrinya! Bagaimana bisa kau begitu—” Liz tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Bagaimana bisa Jessy bersikap begitu baik pada Liz? Wanita itu sama sekali tak menjukkan jenus ketidaksukaan maupun kesombongan apa pun pada Liz. Jessy mencoba berteman dengan Liz, menghiburnya di pesawat dengan percakapan santai, bahkan mendandani Liz serta memilihkan apa-apa saja yang kini dikenakan oleh wanita yang kini tengah mengandung bukti perselingkuhan Robin dari Jessy. Liz sontak merasa malu pada Jessy. Kenangan manis selama enam bulan sejak pertemuan pertamanya dengan Robin kini kembali runtuh. Bagaimana bisa pria itu berlaku seperti ini? Sejak awal Liz bertanya-tanya apa hubungannya sang model tenar itu deng
PADA pagi berikutnya, Liz mendapati kantung matanya semakin parah. Sembap karena campuran bekas menangis, lelah, dan stres. Julukan rubah berbintik yang dianugrahkan Niki dengan murah hati pada Liz kini mungkin harus diubah menjadi panda berbintik.Semua itu juga jelas bukan kombinasi yang bagus untuk bayinya. Oh bayinya yang malang ....Callida, yang ternyata dulunya juga bekerja sebagai pengasuh bayi di keluarga Lucchesi, menasehati Liz agar merilekskan diri dan jangan memikirkan hal yang berat-berat. Seakan itu mudah untuk dilakukan begitu saja. Mendorong semua pikiran berat yang mendominasi ke belakang kepala.Tapi serius, ya ampun! Memangnya Liz bisa bersantai sementara segunung masalah ruwet ini menantinya?! Liz bahkan tak tahu mukanya harus ditaruh di mana jika nanti Jessy menemuinya.Liz adalah selingkuhan suaminya yang kini mengandung bayi pria itu. Bayi yang jelas-jelas menjadi musuh bagi pernikahan Robin dan Jessy.Itu jugalah alasan dia
“NIKI?!” pekik Liz. Menyadari pemilik suara khas si penelepon.Bukan Robin, puji Tuhan ... terima kasih!Detik berikutnya Liz mendengar suara marah dari penelepon yang tak lain tak bukan adalah sahabatnya, Nicoletta Adirangga. “Jawab pertanyaanku dulu, dasar Vixen Berbintik! Mengapa kau malah berada di beberapa kilometer dari Florence alih-alih di Tipperary¹? Apa yang terjadi dengan tiket penerbangan ke Irlandia-mu? Dan bagaimana kau bisa sampai ke Italia? Apa Robin bajingan keparat itu menculikmu atau mafia antah berantah yang melakukannya?!”Liz menjauhkan ponsel dari telinganya dan meringis. Niki mengucapkan semua itu tanpa jeda untuk menarik napas. Siapa yang mengira gadis manis maskot game terkenal itu bisa menyemburkan kalimat sepanjang kereta api beserta batu baranya sekalian?Stefan memandanginya dan bertanya tanpa suara, Temanmu? Liz mengangguk pada Stefan sebagai jawaban.“Err, bagaimana kau tahu aku di
“KATAKAN padaku bahwa dia baik-baik saja!”Niki berjengit, refleks menjauhkan ponsel dari telinganya mendengar seruan kasar tersebut. Wanita dengan fitur wajah stroberi itu mendengus kesal.“Selamat pagi juga, Mr. Martel. Sopan santun Anda sungguh tanpa cela,” sindir Niki dengan nada pedas.Pria yang meneleponnya tepat setelah Niki selesai dengan telepon Liz itu terdiam untuk beberapa saat. “Maaf,” ujarnya penuh penyesalan, “aku khawatir, sangat khawatir padanya. Apa dia mengangkat teleponmu?”“Tentu saja Liz mengangkat teleponku. Bukan aku orang berengsek yang meninggalkan dia dalam keadaan hamil muda dan patah hati berat,” ketus Niki. Itu pasti pukulan telak bagi si pria. Niki beranjak dari kursi yang dia duduki dan berjalan menuju dapur.Satu hal yang tidak disampaikan Niki pada Liz adalah alasan lain dia buru-buru kembali ke London karena Robin Martel mendesaknya mengecek keadaan Liz.
CALLIDA datang tak lama kemudian, membawa troli makanan yang kosong untuk memindahkan peralatan makan. Wanita itu tersenyum kecil pada Liz sebelum mulai memindahkan peralatan makan di meja ke atas troli. “Oh, biar aku bantu,” ujar Liz riang sembari meraih piring bekasnya. Tapi sang pelayan merebut piring itu dari tangan Liz. “Eh jangan, tidak perlu, ini adalah pekerjaan dan tanggung jawabku, Signorina¹. Aku mendapat bayaran untuk ini. Dan dripada kau merepotkan tanganmu dengan pekerjaan yang harusnya aku lakukan lebih baik kau tidur siang,” perintah Callida. “Aku tak ingin kau atau bayimu kenapa-kenapa.” Bibir Liz mengerucut menggemaskan mendengar perintah itu. “Aku biasa mengerjakan pekerjaan rumah sendiri di rumah ... ini seperti olahraga yang menyenangkan, Callida. Lagi pula aku tidak pernah bisa tidur siang,” keluh Liz. Yah, dia tak pernah bisa menikmati tidur siang, selalu berakhir terjaga di ranjang atau melamun ke sana kemari. Toh, selama ini L
LIZ memandangi tubuhnya dari pantulan bayangan di cermin yang menempel di pintu lemari kayunya. Dibalut T-shirt putih polos dan celana katun longgar, tak ada yang terlihat salah pada diri Liz. Kecuali kantung mata tebal dan kenyataan bahwa tubuhnya tengah mengasup kehidupan lain. Secara naluriah Liz mengusap perutnya, merasakan tonjolan kecil yang nyaris tak kentara tertutupi kausnya. Kandungannya sudah memasuki bulan ketiga, atau itulah yang dikatakan dokter siang tadi. Belum banyak perubahan yang ditunjukkan oleh efek kehamilannya. Namun, sebentar lagi pasti terlihat. Dulu, Liz terkadang iseng memikirkan suatu hari nanti dirinya dalam gaun longgar dan perut buncit serta kaki bengkak, berusaha memakai kaus kaki rajut dan mengomel karena kesulitan. Liz yang masih remaja selalu berakhir terkikik membayangkan betapa dirinya yang pendek akan terlihat lucu dengan perut seperti itu. Tapi sekarang dia tidak bisa tertawa. Wanita itu merasa takut.
CALLIDA datang tak lama kemudian, membawa troli makanan yang kosong untuk memindahkan peralatan makan. Wanita itu tersenyum kecil pada Liz sebelum mulai memindahkan peralatan makan di meja ke atas troli. “Oh, biar aku bantu,” ujar Liz riang sembari meraih piring bekasnya. Tapi sang pelayan merebut piring itu dari tangan Liz. “Eh jangan, tidak perlu, ini adalah pekerjaan dan tanggung jawabku, Signorina¹. Aku mendapat bayaran untuk ini. Dan dripada kau merepotkan tanganmu dengan pekerjaan yang harusnya aku lakukan lebih baik kau tidur siang,” perintah Callida. “Aku tak ingin kau atau bayimu kenapa-kenapa.” Bibir Liz mengerucut menggemaskan mendengar perintah itu. “Aku biasa mengerjakan pekerjaan rumah sendiri di rumah ... ini seperti olahraga yang menyenangkan, Callida. Lagi pula aku tidak pernah bisa tidur siang,” keluh Liz. Yah, dia tak pernah bisa menikmati tidur siang, selalu berakhir terjaga di ranjang atau melamun ke sana kemari. Toh, selama ini L
“KATAKAN padaku bahwa dia baik-baik saja!”Niki berjengit, refleks menjauhkan ponsel dari telinganya mendengar seruan kasar tersebut. Wanita dengan fitur wajah stroberi itu mendengus kesal.“Selamat pagi juga, Mr. Martel. Sopan santun Anda sungguh tanpa cela,” sindir Niki dengan nada pedas.Pria yang meneleponnya tepat setelah Niki selesai dengan telepon Liz itu terdiam untuk beberapa saat. “Maaf,” ujarnya penuh penyesalan, “aku khawatir, sangat khawatir padanya. Apa dia mengangkat teleponmu?”“Tentu saja Liz mengangkat teleponku. Bukan aku orang berengsek yang meninggalkan dia dalam keadaan hamil muda dan patah hati berat,” ketus Niki. Itu pasti pukulan telak bagi si pria. Niki beranjak dari kursi yang dia duduki dan berjalan menuju dapur.Satu hal yang tidak disampaikan Niki pada Liz adalah alasan lain dia buru-buru kembali ke London karena Robin Martel mendesaknya mengecek keadaan Liz.
“NIKI?!” pekik Liz. Menyadari pemilik suara khas si penelepon.Bukan Robin, puji Tuhan ... terima kasih!Detik berikutnya Liz mendengar suara marah dari penelepon yang tak lain tak bukan adalah sahabatnya, Nicoletta Adirangga. “Jawab pertanyaanku dulu, dasar Vixen Berbintik! Mengapa kau malah berada di beberapa kilometer dari Florence alih-alih di Tipperary¹? Apa yang terjadi dengan tiket penerbangan ke Irlandia-mu? Dan bagaimana kau bisa sampai ke Italia? Apa Robin bajingan keparat itu menculikmu atau mafia antah berantah yang melakukannya?!”Liz menjauhkan ponsel dari telinganya dan meringis. Niki mengucapkan semua itu tanpa jeda untuk menarik napas. Siapa yang mengira gadis manis maskot game terkenal itu bisa menyemburkan kalimat sepanjang kereta api beserta batu baranya sekalian?Stefan memandanginya dan bertanya tanpa suara, Temanmu? Liz mengangguk pada Stefan sebagai jawaban.“Err, bagaimana kau tahu aku di
PADA pagi berikutnya, Liz mendapati kantung matanya semakin parah. Sembap karena campuran bekas menangis, lelah, dan stres. Julukan rubah berbintik yang dianugrahkan Niki dengan murah hati pada Liz kini mungkin harus diubah menjadi panda berbintik.Semua itu juga jelas bukan kombinasi yang bagus untuk bayinya. Oh bayinya yang malang ....Callida, yang ternyata dulunya juga bekerja sebagai pengasuh bayi di keluarga Lucchesi, menasehati Liz agar merilekskan diri dan jangan memikirkan hal yang berat-berat. Seakan itu mudah untuk dilakukan begitu saja. Mendorong semua pikiran berat yang mendominasi ke belakang kepala.Tapi serius, ya ampun! Memangnya Liz bisa bersantai sementara segunung masalah ruwet ini menantinya?! Liz bahkan tak tahu mukanya harus ditaruh di mana jika nanti Jessy menemuinya.Liz adalah selingkuhan suaminya yang kini mengandung bayi pria itu. Bayi yang jelas-jelas menjadi musuh bagi pernikahan Robin dan Jessy.Itu jugalah alasan dia
“KA-KAU? Robin sudah menikah? Denganmu?!” Liz tergagap sementara kedua tangannya mencengkeram kedua lengan Jessy demi menahan tubuhnya agar tidak ambruk. “Liz ... oh, dengarkan aku dulu, Liz, kita bahas itu nanti saja,” bujuk Jessy. “Tapi ... tapi kau istrinya! Bagaimana bisa kau begitu—” Liz tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Bagaimana bisa Jessy bersikap begitu baik pada Liz? Wanita itu sama sekali tak menjukkan jenus ketidaksukaan maupun kesombongan apa pun pada Liz. Jessy mencoba berteman dengan Liz, menghiburnya di pesawat dengan percakapan santai, bahkan mendandani Liz serta memilihkan apa-apa saja yang kini dikenakan oleh wanita yang kini tengah mengandung bukti perselingkuhan Robin dari Jessy. Liz sontak merasa malu pada Jessy. Kenangan manis selama enam bulan sejak pertemuan pertamanya dengan Robin kini kembali runtuh. Bagaimana bisa pria itu berlaku seperti ini? Sejak awal Liz bertanya-tanya apa hubungannya sang model tenar itu deng
PONSEL wanita bersurai merah itu masih bergetar dengan nama Robin terpampang di layar dengan huruf-huruf default warna putih. Satu hal yang Liz pahami adalah dia lupa memblokir nomor telepon Robin. Robin, kekasih Liz. Robin yang mengkhianati Liz dengan permintaannya untuk mengugurkan buah hati mereka. Kini Liz tercabik dalam perasaan benci dan kerinduan yang amat sangat hingga rasanya menyakitkan. Mengapa sekarang Robin meneleponnya? Apa pria itu tahu Liz di sini? Apa pria itu baik-baik saja? Apa bahkan Robin berada di rumah ini? Liz menahan napas ketika panggilan telepon itu mati pada dering ke tujuh. Entah karena dia bersyukur Robin mematikan panggilan atau malah kecewa karena tidak mengangkat telepon itu. Ponsel Liz kembali berdering dan wanita itu nyaris memekik karena kejadian barusan berbarengan dengan pintu kamar yang diketuk. Ya Tuhan, Liz merasa seperti anak remaja yang ketahuan mencuri uang dari dompet orang tuanya. Buru-buru dia ubah ponsel
KAMAR mandi pesawat jet pribadi itu sangat bagus, yah, sama seperti seisi pesawat yang bahkan jauh lebih mewah daripada apartemen Liz. Hanya saja berada di sana membuatnya tegang. Sepanjang perjalanan Liz bertanya-tanya apa yang menunggunya di Italia? Keluarga kaya raya? Wah, kalau yang itu sepertinya sudah jelas. Nah, bagaimana kalau keluarga kaya raya yang tiran? Liz gugup memikirkan kemungkinan itu. Tapi rasanya tak baik mencegah keluarga bayinya dekat dengannya. Jessy toh bilang bahwa mereka berniat membantu Liz, meski Liz merasa seperti tengah terlibat dalam adegan penculikan tak masuk akal. Lagi pula Liz yakin keluarga Robin tak akan menyakiti Liz maupun calon bayinya. Kini dari balik kaca mobil, Liz memandangi teras dengan tiang marmer putih yang dililiti tumbuhan wisteria itu. Deretan lampu bundar bersinar kuning pucat membuat tempat itu semakin eksotis dengan tembok yang tertimpa efek bayangan dari dedaunan wisteria. Berlatar langit gelap malam
PASPOR? Ya, Liz punya, tapi belum sempat dia menjawab, Luca lebih dulu mengangkat sebuah tas berwarna biru. Tepatnya tas biru milik Liz yang berisi semua dokumen berharga yang dia kumpulkan semalam dan pria Italia itu tengah mengubek isinya. “Oke, beres, semua yang dibutuhkan ada di sini,” ujar Luca setelah menepuk lembut tas itu. “Jessy, sana cari ponselnya.” “Ke mana perginya skenario ramah tamah yang kita pelajari semalam?” gerutu Jessy. “Hei! Jangan sentuh barang-barangku!” protes Liz pada mereka. Dia akan menyemburkan protes lainnya seandainya pria pirang yang Jessy panggil Stefan tidak berbalik dan membawanya ke lorong. Liz merasa seperti anak kecil yang dirampok kakak kelas. Tidak, tunggu, apa lebih tepatnya ini penculikan? “Tu-turunkan aku,” pinta Liz sembari bergerak gelisah dalam gendongan Stefan. Jawaban pertama Stefan adalah memiringkan bibirnya. “Dan membiarkanmu kabur? Tidak, terima kasih, lagi pula kau lebih ringan darip
“BEGINI, kami tahu kau sedang dalam kesulitan dan itu karena Robin. Dia memang agak ... err berengsek.” Dalam jeda sebelum kata berengsek, Jessy nyaris tak kentara melirik pada si pria berambut gelap. “Kau bisa coret kata ‘agak’ itu, dia memang berengsek,” ujar pria berambut gelap dengan aksen Inggris sempurna, tapi Liz yakin di balik kacamata hitam itu ada wajah pria tampan yang sangat Italia. “Dia menipuku ...,” cicit Liz. Dia juga tak menginginkan bayi Liz, dan malah memilih untuk menyingkirkannya. “Ya ... dan entah berapa lusin wanita lain,” gumam Jessy dengan muram. “Maaf, tapi sepertinya kau adalah wanita yang paling tidak beruntung yang berurusan dengan Robin.” For God's sake, apa Robin benar-benar seburuk itu? Seandainya saja Robin tidak mengirim email keparat itu, Liz barang kali tak percaya dengan perkataan Jessy. Karena bagaimanapun juga, selama setengah tahun ini Robin begitu baik pada Liz. Wanita itu bahkan masih bisa meng