"Ger, aku..." suara Reni bergetar. Ia menyebut nama Gery lembut. Menambah gejolak hasrat Gery yang kian membara.
Gery mengecup ringan telinga Reni setelah berbisik. Lalu kembali memandang wajah Reni yang sedang memejamkan matanya.
Tatapannya tertutup kabut gairah. Ia sudah tidak bisa menahan hasratnya untuk tidak menerkam gadis yang ada di dalam dekapannya.
Gery mulai mengecup kening Reni lembut. Lalu bibirnya turun menyentuh ujung hidung Reni. Namun sebuah suara di dapur menghentikan aksinya.
Prank. Prank.
Kedua makhluk yang sedang terbuai api asmara itu kaget. Mereka saling memandang beberapa saat tanpa mengeluarkan suara. Lalu memutuskan menghampiri asal suara tersebut.
"Jangan mendekat, Ren. Banyak pecahan kaca," Gery yang sampai lebih dulu menahan Reni yang mengekor dibelakangnya.
Bola mata Reni membesar. "Siapa yang menjatuhkan barang-barang ini?"
Beberapa gelas dan teko kaca hanc
Suara bel apartemen Jezin menggema memenuhi ruangan. Tapi si empunya dengan santai mengabaikan bel yang bunyi berkali-kali. Ia masih sibuk merapikan kemeja hitam yang ia kenakan di depan cermin. Bibirnya menampilkan senyum tipis. Sempurnah.Jezin lalu berjalan menghampiri pintu yang sedari tadi memanggil-manggil dirinya. Jezin tau pasti, siapa yang berdiri di depan pintu apartemennya.Beberapa jam sebelumnya, ia sudah mendapat telfon dan mendengar kalau Reni akan datang untuk menepati janjinya. Ia merasa kemenangan kembali berpihak padanya.Jezin membuka pintu dan menampilkan wajah datarnya. Ia meneliti setiap wajah Reni yang melemparkan senyum manis padanya.Memar diwajah Reni mulai memudar. Dan sudah tidak ada lagi luka baru. Semenjak kejadian itu, Jezin selalu mengikuti Reni diam-diam. Bukan hanya ke kediaman Gery, tapi Jezin pun mengikuti Reni pulang ke rumahnya. Jezin tidak mau, Reni kembali mendapatkan luka seperti terakhir kali.
Langkah Reni terhenti mendengar ancaman dari Jezin. Ia mengepalkan tangannya geram dan berbalik. "Lakukan apa pun yang ingin kamu lakukan!" prilaku dan kata-kata sopan Reni sirna seketika. Jezin yang mendengar itu tertawa hambar. Tadinya ia sangat percaya diri Reni akan menerima semuanya dengan suka rela demi mempertahankan pekerjaan teman-temannya. Namun kali ini ia lagi-lagi mendapat penolakan. "Apa kau pikir semua bisa kau dapatkan dengan uang? Kau salah." Reni kembali melanjutkan langkahnya setelah menampilkan wajah mengejek pada Jezin yang terus menatapnya dengan mata elang. "Jadilah pria yang bertabat, Tuan Jezin yang terhormat," ucap Reni sebelum benar-benar menghilang dari pandangan Jezin. Jezin melipat kedua lengannya di depan dada sembari tersenyum kecut. Ia mencoba berusaha tenang mendapat penolakan yang kesekian kalinya dari Reni. Yang baginya, itu adalah sebuah penghinaan. Tapi ada yang
Bola mata Reni membesar mendengar penuturan Rey. Kakinya bergetar. Ia seakan tidak bisa berdiri tegak."Apa sekarang kau puas karena sudah mengorbankan teman-temanmu demi harga dirimu itu? Aku kasihan dengan mereka yang memiliki teman tanpa rasa peduli seperti dirimu." Rey tersenyum mengejek menampilkan deretan giginya."Kau masih tau di mana pintu keluar kan? Aku rasa kita sudah tidak punya alasan lagi untuk bertemu."Reni berbalik dan keluar dari ruangan Rey. Ia kehilangan kata-kata untuk melawan dan menuntut pekerjaan teman-temannya dikembalikan.Reni berjalan gontai keluar dari gedung itu. Ia berhenti sejenak tepat di depan gedung yang menjulang tinggi di hadapannya. Kepalanya sedikit mendongak memandang gedung itu hingga ke lantai paling atas.Gedung itu hanya memiliki 12 lantai, namun terkesan mewah dengan interior bangunan ala kebarat-baratan. Tidak semua dari bangunan itu digunakan untuk penyiaran radio. Ada beberapa
Hujan baru saja mengguyur bumi dengan derasnya. Burung berkicau riang menari kesana-kemari. Kabut menutupi sebagian puncak pengunungan. Namun ada yang aneh. Kabut pekat pun mengepul dari balik kayu besar yang menjulang tinggi. Sosok tampan dengan setelan serba hitam keluar dari dalam kabut. Tatapan tajam, rahang yang kokoh, hidung mancung serta kulit putihnya bercahaya dari balik setelan hitam yang ia kenakan. Dia melirik jam tangan yang melingkar di lengan kirinya. Bukan jam pada umumnya. Jam itu memperlihatkan foto seorang gadis dengan waktu yang terus berjalan mundur. Dia menarik ujung bibirnya membentuk senyum. Tampan, namun terlihat menakutkan. Dia melangkahkan kaki panjangnya. Mencari sosok yang diperlihatkan oleh jam miliknya. Pandangannya mengunci seorang gadis yang sedang memainkan ponselnya. Mengenakan seragam sekolah dengan tas tersampir di bahunya. "Malang sekali nasibnya. H
Jezin duduk di taman dengan menaikkan satu kakinya diatas lututnya. Sangat angkuh. Mulutnya sibuk mengulum lolipop yang ada di tangannya.Matanya tak lepas dari pintu masuk kantor penyiar. Mengabsen semua orang yang keluar masuk dari sana.Sudah dua jam dia duduk di sana. Tapi belum ada tanda-tanda keberadaan sosok yang ia cari."Apa Peri lemot itu memberiku alamat palsu?" Jezin mulai jengkel.Ia melangkahkan kaki panjangnya ke arah kantor penyiar itu. Ia memutuskan mencarinya langsung di dalam."Awas saja kalau Remo berani mempermainkanku. Akan aku cium dia sampai kejang-kejang. Tidak akan ada hari esok baginya."Jezin mengeluarkan senyum pembunuhnya. Masuk ke kantor penyiar itu dengan tatapan tajamnya.Seorang gadis dari meja informasi mengikuti Jezin dengan pandangannya. Ia seakan tersihir oleh wajah tampan bak lukisan itu. Jezin tak peduli dan melewatinya begitu saja."Maaf, Tuan. A
Kali ini Jezin sudah tidak mau menghabiskan waktunya menunggu di taman. Ia memilih langsung menghampiri Seli di meja informasi."Selamat datang, Tuan. Senang bertemu dengan Anda kembali. " Seli mengembangkam senyum manisnya."Saya ingin bertemu gadis itu." Tanpa basa-basi, Jezin mengutarakan niatnya."Gadis mana yang Tuan maksud?" Seli bertanya tenang. Meski ia tau, Renilah gadis yang ingin ditemui Jezin."Gadis yang aku temui beberapa hari yang lalu.""Maaf, Tuan. Anda harus menyebutkan nama orang yang ingin Anda temui. Banyak tamu yang datang sili berganti. Dan saya tidak bisa mengingat semua karyawan yang ditemui oleh setiap tamu.""Haruskah aku masuk ke dalam dan menyeretnya sendiri?" Nada Jezin terdengar mengancam."Anda tidak di izinkan masuk tanpa persetujuan orang yang ingin Anda temui, Tuan." Seli berusaha tenang. Bukan tanpa sebab Seli bersikap begitu. Ia juga sempat mendapat ancaman dari Reni j
Di dunia peri.Ratu peri duduk di kursi kebesarannya penuh wibawa. Para peri pun tampak duduk berkumpul dengan tenang. Mereka semua menggunakan pakaian serba putih. Dan didukung nuansa sekeliling pun serba putih. Tampak bercahaya.Jezin masuk entah dari pintu mana. Terlihat seperti noda diantara mereka dengan pakaian serba hitam yang ia kenakan. Kontras.Duduk dengan angkuhnya di kursi yang masih kosong. Memang diperuntukkan untuknya. Melipat lengannya di depan dada."Aiich. Apa aku harus datang setiap kalian sedang menikmati teh kayangan. Aku sangat sibuk, tidak punya waktu untuk mendengar keluh kesah kalian." Jezin protes. Dia tampak tidak menyukai pertemuan itu."Perhatikan kata yang keluar dari mulut Anda, Peri Pemburu. Anda sedang di depan Ratu Peri." Salah satu peri paruh baya tidak suka dengan sikap Jezin."Bukan hanya Anda yang sibuk, Peri Pemburu. Kami juga sangat sibuk. Tapi ini adalah undangan r
Reni mondar-mandir di depan pintu apartemen Gery sambil mengotak-atik telfon genggam miliknya. Sesekali ia menempelkan benda pipih itu ke telinganya. Namun tak ada respon dari ujung sana. Sudah tiga hari setelah kejadian itu. Dan Gery masih tidak bisa dihubungi. Dia juga tidak ada di apartemennya. Reni sangat cemas dibuatnya. "Ayolah Gery. Jangan lakukan ini. Aku khawatir sama kamu." Reni berbicara sendiri masih mengotak-atik telfon genggamnya. Sudah hampir tiga jam dia menunggu di sana. Namun Gery belum memperlihatkan batang hidungnya. Gery pribadi yang arogan. Tidak suka diusik. Cenderung kasar, dan tidak suka miliknya dimiliki orang lain. Maklum, dia tumbuh dalam lingkup keluarga kaya. Ibunya sangat memanjakan dirinya. Di usianya yang sudah menginjak 28 tahun, dia masih seenaknya masuk kerja. Kerja saat dia ingin saja. Namun dia sangat baik pada Reni. Gery satu-satunya sandaran Reni saat ayahnya meninggal dunia