Jezin duduk di taman dengan menaikkan satu kakinya diatas lututnya. Sangat angkuh. Mulutnya sibuk mengulum lolipop yang ada di tangannya.
Matanya tak lepas dari pintu masuk kantor penyiar. Mengabsen semua orang yang keluar masuk dari sana.
Sudah dua jam dia duduk di sana. Tapi belum ada tanda-tanda keberadaan sosok yang ia cari.
"Apa Peri lemot itu memberiku alamat palsu?" Jezin mulai jengkel.
Ia melangkahkan kaki panjangnya ke arah kantor penyiar itu. Ia memutuskan mencarinya langsung di dalam.
"Awas saja kalau Remo berani mempermainkanku. Akan aku cium dia sampai kejang-kejang. Tidak akan ada hari esok baginya."
Jezin mengeluarkan senyum pembunuhnya. Masuk ke kantor penyiar itu dengan tatapan tajamnya.
Seorang gadis dari meja informasi mengikuti Jezin dengan pandangannya. Ia seakan tersihir oleh wajah tampan bak lukisan itu. Jezin tak peduli dan melewatinya begitu saja.
"Maaf, Tuan. Ada yang bisa saya bantu." Gadis itu menghampiri Jezin. Ini pertama kalinya gadis itu melihat jezin. Sudah pasti Jezin bukan pegawai disini.
"Ah yah. Saya mencari seseorang." Jezin ingin melanjutkan lagkahnya. Namun gadis itu kembali bertanya.
"Saya akan memanggilkannya untuk Anda, Tuan. Siapa yang ingin Anda temui, Tuan?"
"Seorang gadis berambut panjang. Tingginya sedada saya. Wajahnya cantik dan berkulit putih."
Gadis itu mengedip-ngedipkan matanya bingung. Bagaimana dia akan menemukan gadis seperti yang disebutkan Jezin. Sudah pasti banyak gadis dengan ciri-ciri itu di sini.
"Maaf, Tuan. Banyak gadis dengan ciri-ciri yang Tuan sebutkan. Tuan harus menyebutkan nama orang yang Tuan cari."
"Saya tidak tau namanya." Jawabnya santai. Jezin lalu berdehem pelan.
"Haruskah aku memperlihatkan wajah gadis itu dari telapak tanganku. Apa dia tidak akan pingsan. Ah, kenapa dunia manusia begitu menyusahkan." Jezin membatin.
Gadis itu tersenyum lega mendengar Jezin tidak tau nama gadis yang ia cari. Itu menandakan dia sedang tidak mencari kekasihnya.
"Tuhan, jika Engkau memberiku kekasih setampan ini, aku janji akan menjadi gadis paling baik di dunia ini." Gadis itu tak berkedip menikmati wajah tampan Jezin.
Jezin menyadari gadis di sampingnya mulai terpikat olehnya.
"Maaf, Nona. Tapi aku tidak tertarik dengan gadis baik."
Jezin mendekat dan berbisik ditelinga gadis itu. "Kau harus menjadi gadis nakal jika ingin mendekatiku." Jezin lalu menarik ujung bibirnya. Tersenyum licik. Gadis itu tersenyum malu menyadari jarak Jezin sangat dekat dengannya.
Tidak jauh dari tempat Jezin berdiri. Sosok yang ia kenal muncul. Terlihat sangat menawan dengan dress selutut yang ia kenakan.
"Hei lihat. Dia adalah gadis yang aku cari. Cepat panggilkan untukku."
"Reni? Bagaimana Reni bisa bertemu dengan pria tampan ini?" Batin gadis itu mengerutkan kening.
"Hei Ren, seseorang mencarimu." Gadis itu menghampiri Reni.
"Aku? Siapa Sel?" Seli, nama gadis itu.
"Seorang pria tampan. Bagaimana kau menggodanya hingga dia datang ke kantor mencarimu?" Goda Seli.
"Aku memberinya minyak tokek." Reni menanggapi dengan wajah yang ia buat seserius mungkin. Lalu mereka terkekeh.
"Tapi siapa pria itu. Aku belum pernah bertemu dengannya." Timpalnya kemudian.
"Temui saja dulu."
Reni mengangguk lantas meninggalkan Seli. Ia berjalan ke arah Jezin yang sedari tadi memperhatikannya.
"Maaf, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?"
Jezin tersenyum lebar melihat wajah cantik Reni. Jezin menikmati drama yang ia mainkan. Melihat Reni sudah tidak mengingatnya.
"Wah, Nona. Kau sangat manis saat di tempat kerja."
"Maaf, Tuan. Apa kita pernah bertemu sebelumnya? "
"Tentu saja. Tapi sepertinya kepalamu terbentur benda keras. Itulah kenapa kau sangat cepat melupakanku."
"Tapi kepala saya baik-baik saja, Tuan."
"Benarkah? Lalu, haruskah aku membuatmu mengingatku disini. Disaksikan banyak orang."
Jezin mencondongkan kepalanya mendekati Reni. Lengannya ia lipat di depan dada. Lalu mengeluarkan senyum nakalnya.
Reni bergidik ngeri melihatnya.
"Kita bicara di luar, Tuan."
Reni berjalan lebih dulu. Ia merutuki nasibnya. Bagaimana bisa dia bertemu dengan makhluk mesum seperti ini.
Mereka memilih ke kafe yang tak jauh dari kantor Reni. Tidak terlalu ramai. Cukup nyaman untuk suasana sore.
Jezin mendaratkan bokongnya tanpa menunggu dipersilahkan oleh Reni. Reni yang melihat itu mendengus tak suka. Tapi Jezin tak peduli.
"Silahkan, Tuan. Nyonya."
Seorang pelayan menyodorkan buku menu. Pandangannya tak lepas dari Jezin. Lagi-lagi Jezin memikat gadis yang melihatnya.
"Cappucino dingin 1." Reni menyodorkan kembali buku menu itu.
"Samakan saja." Jezin bahkan tanpa membuka buku menu yang disodorkan padanya. Pandangannya fokus ke arah Reni.
"Apa yang harus saya ingat mengenai Anda, Tuan?" Reni membuka suara setelah pelayan itu meninggalkan mereka.
"Menurutmu, apa yang terjadi antara kita berdua?" Jezin tersenyum nakal.
"Hahaha. Yang benar saja, Tuan. Apa yang bisa terjadi di antara kita. Aku bahkan tidak mengenal Anda."
"Berusahalah lebih keras lagi. Hubungan diantara kita sangat spesial. Aku akan sedih jika kau tidak mengingatku."
"Bisakah Anda langsung saja mengatakannya, Tuan. Saya tidak punya waktu bermain-main dengan Anda." Reni mulai kesal.
"Baiklah. Aku harap kau tidak terkejut mendengarnya."
Lagi-lagi Jezin tersenyum puas. Reni menunggu penjelasan Jezin.
"Apa kau merasa wajahku terlalu tampan?" Jezin bertanya dengan gaya sombongnya.
"Tidak juga. Biasa saja. Aku hanya merasa pernah melihat wajahmu disuatu tempat."
Jezin tersenyum kecut. Bagaimana bisa Reni tidak mempan dengan pesonanya. Ini pertama kalinya seorang gadis mengatakan dia tidak tampan.
"Lalu kenapa kau pernah mengaku-ngaku menjadi kekasihku dihadapan teman-temanku"
Reni yang mendengar pengakuan Jezin terkejut. Buat apa dia mengakui orang lain sebagai kekasihnya saat dia sudah punya kekasih. Apalagi kekasih dari pria mesum yang duduk di hadapannya ini. Bahkan ini pertama kalinya ia bertemu dengannya.
"Apa Anda gila, Tuan? Ini pertemuan pertama kita. Bagaimana mungkin saya mengaku menjadi kekasih Anda."
"Hahaha. Apa ada orang gila setampan ini?" Jezin terbahak dengan nada angkuhnya.
"Kau harus memperbaiki kesalahanmu. Kau tidak bisa asal mengakui orang setampan diriku sebagai kekasihmu. Apa kau sangat ingin memiliki kekasih setampan diriku? Tapi tidak ada yang tertarik padamu? "
"Hahaha. Anda sangat percaya diri, Tuan. Kekasihku jauh lebih tampan dari Anda. Tenang saja, saya tidak tertarik sedikitpun dengan wajah Anda yang KATANYA tampan itu." Kesabaran Reni sudah habis.
Wajah Jezin berubah serius. Ia memandang tajam gadis yang sudah berani beradu mulut dengannya. Seketika ia menampilkan senyum tipisnya. Terlihat menakutkan.
"Dia sudah punya kekasih? Bagus. Dia hanya perlu mencampakkan pria itu. Lalu aku akan datang dengan sentuhan bibir mautku." Batin Jezin dengan senyum liciknya.
"Bagaimana pun juga, aku berada di pihak yang dirugikan. Kau memaksaku mengakui dirimu sebagai kekasihku di hadapan teman-temanku. Kau harus bertanggung jawab."
"Aku tidak akan bertanggung jawab dengan hal yang tidak aku lakukan. Ini hanya pernyataan sepihak dari Anda Tuan. Siapa yang bisa menjamin Anda berkata jujur."
"Salahkan kepala kecilmu itu karena tidak mengingatnya."
"Tidak ada alasan bagiku tidak mengingat hal yang aku lalui, Tuan. Aku tidak memiliki penyakit Alzheimer. Dan aku juga tidak pernah mengalami kecelakaan. Ini murni bualan Anda." Reni meraih tasnya ingin meninggalkan tempat itu. Emosinya memuncak berbicara dengan Jezin.
"Apa yang akan kau lakukan untukku jika aku membawakan bukti padamu?"
Reni berbalik. Ia menatap Jezin tajam. Tak kalah tajam dari tatapan elang Jezin.
"Aku akan berlutut meminta maaf pada Anda, Tuan. Mungkin saat itu aku kerasukan hantu perawan yang tergila-gila pada orang kurang waras seperti Anda."
"Hahaha. Tapi aku tidak butuh maafmu."
"Lalu apa yang anda inginkan?"
"Akan aku pikirkan baik-baik." Jezin lalu berdiri menghampiri Reni berbisik di telinga Reni. "Bersiaplah. Aku harap kau mampu memenuhi janjimu. Jika tidak, ada harga yang harus kau bayar."
Jezin lalu menepuk pundak Reni dua kali. Dan tertawa puas meninggalkan tempat itu . Ia bersiul penuh kemenangan tanpa mempedulikan Reni yang terbakar amarah.
"Percaya diri sekali dia mengatakan kekasihnya lebih tampan dariku. Haruskah aku mengganti matanya dengan mata ikanikan? Sepertinya lebih baik. " Jezin mendengus kesal. Ia hanya menyembunyikan kekesalannya dihadapan Reni. Ia tidak ingin Reni merasa menang atas dirinya jika menampakkan wajah kesalnya. Dengan lihainya memasang wajah kemenangan. Namun nyatanya, dia jauh lebih kesal dari Reni.
Ia berkali-kali merutuki Reni. Entah apa yang membuatnya begitu kesal.
*****
Jezin tiba-tiba muncul di sudut kamar Remo. Ia melipat lenganya sembari mengikuti pergerakan Remo dengan pandangannya.
Remo yang menyadari kehadirannya terjingkrat kaget.
"Hei makhluk halus. Bisakah kau masuk lewat pintu. Lama-lama jantungku akan tergeletak di lantai karenamu."
"Kau yang mengajariku untuk tidak menggunakan kakiku."
"Tapi tidak untuk masuk ke rumahku. Kau harus mengetuk pintu seperti manusia."
"Tapi aku bukan manusia. Berlakukan itu untuk dirimu sendiri."
Remo melemparnya dengan buku yang ada ditangannya. Namun Jezin menangkapnya dan melemparnya ke rak berniat menggunakan kekuatannya untuk menyimpan buku itu rapi. Bukannya tersusun rapi. Ia malah membuat buku yang berjejer rapi berjatuhan ke lantai.
"Jeziiiiinnnnnn." Teriak Remo murka.
Jezin melangkah cepat keluar dari kamar Remo. Ia harus menghindari kemurkaan Remo.
"Lakukan sesuatu untukku. " Setelah lama membuat kehebohan di rumah Remo, Jezin menyandarkan tubuhnya di sofa.
"Apalagi yang kau inginkan? "
Jezin memperlihatkan hasil debat panjangnya dengan Reni. Telapak tangan bak Android bagi para peri.
"Hei, kenapa kau membohonginya? " Remo mengerutkan keningnya tidak percaya.
"Dia sangat angkuh. Dia berbeda dari gadis lain."
"Kau tidak boleh terlibat dengan urusan manusia. Kau hanya perlu melakukan tugasmu, Jezin." Remo menegaskan.
"Aku hanya ingin sedikit menghukumnya. Dia sangat angkuh." Jezin berusaha meyakinkan Remo.
"Bukankah para peri tidak menyukai wanita angkuh?"
"Itu hanya dari kacamata pribadimu. Kau merasa dia angkuh karena dia tidak tertarik dengan ketampananmu."
"Hei. Kali ini saja. Bantu aku." Jezin menampilkan senyum memelasnya.
Remo menatapnya tidak tega. Yah. Hubungan mereka memang sedekat itu.
"Apa yang harus aku lakukan?" Jawab Remo berat.
"Masukkan sesuatu yang menampilkan dia menyeretku dan mengaku sebagai kekasihku pada benda ini." Jezin melemparkan telfon genggam ke arah Remo.
"Aku tidak tau cara menggunakan benda ini." Remo membolak-balikkan benda pipih itu.
"Kau kira aku tau menggunakannya?" Jezin mendengus malas.
"Aku melihat manusia selalu menekan benda ini. Seperti ini." Remo menekan layar benda yang ada ditangannya itu. Seperti orang yang sedang mengetik.
"Kau salah. Mereka selalu menyimpan benda itu di telinga mereka. Lalu berbicara sendiri."
Remo masih meneliti benda yang ada ditangannya itu.
"Bagaimana bisa kau menyuruhku menggunakan benda aneh ini."
"Aku tidak menyuruhmu menggunakan benda itu. Aku hanya ingin kau memasukkan pengakuan gadis itu ke dalam sana. Aku lihat manusia menggunakan benda itu untuk melihat apa yang ingin mereka lihat."
"Sepertinya aku harus menyeret gadis itu lalu memasukkannya ke dalam sini."
"Maka dia akan tau rencana kita, Peri Lemot."
"Lalu?"
Tidak ada cara lain, mereka harus belajar menggunakan benda itu. Hal itu menjadi langkah awal untuk menjerat Reni.
Andai saja mereka tidak takut rencananya ketahuan, Remo sudah pasti langsung menyulap Reni memasuki benda pipih itu. Sangat menyusahkan.
Kali ini Jezin sudah tidak mau menghabiskan waktunya menunggu di taman. Ia memilih langsung menghampiri Seli di meja informasi."Selamat datang, Tuan. Senang bertemu dengan Anda kembali. " Seli mengembangkam senyum manisnya."Saya ingin bertemu gadis itu." Tanpa basa-basi, Jezin mengutarakan niatnya."Gadis mana yang Tuan maksud?" Seli bertanya tenang. Meski ia tau, Renilah gadis yang ingin ditemui Jezin."Gadis yang aku temui beberapa hari yang lalu.""Maaf, Tuan. Anda harus menyebutkan nama orang yang ingin Anda temui. Banyak tamu yang datang sili berganti. Dan saya tidak bisa mengingat semua karyawan yang ditemui oleh setiap tamu.""Haruskah aku masuk ke dalam dan menyeretnya sendiri?" Nada Jezin terdengar mengancam."Anda tidak di izinkan masuk tanpa persetujuan orang yang ingin Anda temui, Tuan." Seli berusaha tenang. Bukan tanpa sebab Seli bersikap begitu. Ia juga sempat mendapat ancaman dari Reni j
Di dunia peri.Ratu peri duduk di kursi kebesarannya penuh wibawa. Para peri pun tampak duduk berkumpul dengan tenang. Mereka semua menggunakan pakaian serba putih. Dan didukung nuansa sekeliling pun serba putih. Tampak bercahaya.Jezin masuk entah dari pintu mana. Terlihat seperti noda diantara mereka dengan pakaian serba hitam yang ia kenakan. Kontras.Duduk dengan angkuhnya di kursi yang masih kosong. Memang diperuntukkan untuknya. Melipat lengannya di depan dada."Aiich. Apa aku harus datang setiap kalian sedang menikmati teh kayangan. Aku sangat sibuk, tidak punya waktu untuk mendengar keluh kesah kalian." Jezin protes. Dia tampak tidak menyukai pertemuan itu."Perhatikan kata yang keluar dari mulut Anda, Peri Pemburu. Anda sedang di depan Ratu Peri." Salah satu peri paruh baya tidak suka dengan sikap Jezin."Bukan hanya Anda yang sibuk, Peri Pemburu. Kami juga sangat sibuk. Tapi ini adalah undangan r
Reni mondar-mandir di depan pintu apartemen Gery sambil mengotak-atik telfon genggam miliknya. Sesekali ia menempelkan benda pipih itu ke telinganya. Namun tak ada respon dari ujung sana. Sudah tiga hari setelah kejadian itu. Dan Gery masih tidak bisa dihubungi. Dia juga tidak ada di apartemennya. Reni sangat cemas dibuatnya. "Ayolah Gery. Jangan lakukan ini. Aku khawatir sama kamu." Reni berbicara sendiri masih mengotak-atik telfon genggamnya. Sudah hampir tiga jam dia menunggu di sana. Namun Gery belum memperlihatkan batang hidungnya. Gery pribadi yang arogan. Tidak suka diusik. Cenderung kasar, dan tidak suka miliknya dimiliki orang lain. Maklum, dia tumbuh dalam lingkup keluarga kaya. Ibunya sangat memanjakan dirinya. Di usianya yang sudah menginjak 28 tahun, dia masih seenaknya masuk kerja. Kerja saat dia ingin saja. Namun dia sangat baik pada Reni. Gery satu-satunya sandaran Reni saat ayahnya meninggal dunia
"Apa yang kamu lakukan disini?" Muka Reni berubah tegang. "Apa maksud kamu, Nona? Tentu saja saya datang untuk memenuhi undangan wawancara saya." Jezin berdiri balas menatap Reni dengan wajah tanpa bersalah. Senyum kemenangan terukir di wajah tampannya. Reni kelimpungan. Ia tidak menyangka pria mesum yang berdiri di depannya ini adalah tamu kehormatan di kantornya. Reni memegang kepalanya bingung. Ingin rasanya dia membatalkan sesi wawancara ini. Tapi bagaimana bisa? Dia hanya seorang penyiar disini. Dia tidak punya hak. Lagi pula, dia akan langsung ditendang dari kantor jika melakukan kesalahan dengan tamu terhormat ini. "Buat diri Anda nyaman Tuan. Perkenalkan, ini Reni. Penyiar terbaik di stasiun kami. Reni yang akan menemani Anda dalam sesi wawancara, Tuan." Produser menghampiri Reni dan Jezin. Reni hanya diam membatu. Jezin merespon dengan senyuman miringnya. "Kenapa, Reni?" Produser melihat waj
"Aku tidak serendah apa yang otak mesummu pikirkan." Reni menatap Jezin dengan wajah memerah. Rasa takutnya entah menguap kemana. Jezin ikut berdiri sejajar dengan Reni. Meraba pelan pipinya yang meninggalkan rasa perih. "Benarkah? Lalu seperti apa dirimu? Gadis yang masih tersegel? Hah, bukankah sudah tidak ada gadis seperti itu di dunia manusia?" nada Jezin penuh dengan ejekan. "Jangan samakan aku dengan orang mesum sepertimu. Apa kau mengira dengan wajahmu itu kau bisa mendekati gadis manapun yang kau mau? Kau salah. Itu tidak berpengaruh bagiku. Bahkan wajahmu itu terlihat menjijikkan dimataku." Dari balik dinding cermin, produser dan para kru melihat kekacauan itu. Mereka saling melempar tatapan penasaran apa yang terjadi di dalam sana. Mereka pun bergegas menghampiri Reni dan Jezin. "Apa yang terjadi, Ren?" Produser sampai lebih dulu. Disusul dengan kru yang lain. "Maaf, Pak. Saya tidak bisa melanjut
"Kamu dipecat."Rey meletakkan sebuah amplop putih di atas mejanya. Mata Reni tertuju pada amplop itu, sudah dapat ia pastikan apa isi dari amplop tersebut."Anda tidak bisa memecat saya semudah itu, Pak. Kinerja saya baik. Dan yang terjadi hari ini bukan sepenuhnya salah saya." Reni memberanikan diri menatap Rey. Menyuarakan ketidak adilan yang ia alami."Lalu apa itu salah saya?" Rey bersandar di kursi kebesarannya. Matanya meneliti raut cemas Reni. "Apa kau tau bagaimana kita sangat menantikan wawancara ini? Para kru bahkan sampai lembur untuk mempersiapkan banyak hal agar wawancara ini berjalan lancar. Tapi kau tidak memikirkan kerja keras mereka dan mengacaukan semuanya.""Pak, Tuan Jezin bukan orang baik. Dia mengatakan hal-hal yang melecehkan saya. Dia adalah iblis yang bersembunyi di balik wajah rupawannya. Dia memanfaatkan kekuasaannya untuk melecehkan orang-orang lemah. Bapak jangan tertipu."Brak...Rey men
Reni menghampiri posko keamanan apartment setelah turun dari mobil Seli. Ia menyuruh Seli untuk pulang duluan. Reni kasian jika Seli juga harus terlibat lebih dalam.Meski Seli merasa tidak tega membiarkan Reni sendiri, namun dia akhirnya melajukan mobilnya meninggalkan tempat itu karena paksaan Reni."Selamat sore, Pak.""Selamat sore, Nona. Ada yang bisa saya bantu?" Pria paruh baya itu menjawab Reni ramah."Saya ingin ke apartment Tuan Jezin, Pak.""Dengan Nona Reni?"Reni mengerutkan keningnya heran. Bagaimana petugas keamanan di apartment elit ini mengenal namanya?"Tuan Jezin berpesan, jika dia akan kedatangan tamu wanita yang bernama Reni." Pria itu menjelaskan setelah melihat wajah keheranan Reni.Reni tersenyum hambar mendengar penjelasan pria itu.Reni jalan bersisian dengan pria yang seumuran dengan ayahnya itu. Pria paruh baya itu lalu menekan tombol lift dan mempersilahkan Reni masuk
Reni berusaha mengumpulkan kesadarannya saat merasa tubuhnya diguyur air. Ia tertidur setelah lelah menangis dan melawan rasa dingin di pojok kamar mandi.Ia mengerjap, mendapati sosok kakak tirinya di bawah cahaya lampu yang tengah berdiri terus menyiraminya.Lely tersenyum puas melihat Reni meringkuk lemah di lantai yang dingin itu. Tanpa peduli dengan keadaan Reni, ia terus menyiramnya dengan shower hingga Reni bangkit dari lantai.Jam sudah menunjuk pukul 7 pagi. Sudah waktunya Reni menyiapkan sarapan untuk kakak dan mamanya.."Apa kau pikir karena terkurung di sini kau akan bebas dari rutinitasmu?" Lely melempar shower yang ada di tangannya ke sembarang arah."Cepat turun dan siapkan sarapan kami! Aku lapar," titahnya berlalu keluar. Reni masih berusaha bangkit dari lantai. Ia merasa sekujur tubuhnya sakit. Dan wajahnya perih.Ia tertatih meninggalkan kamar mandi yang semalaman menjadi saksi kepedihannya. K
Bola mata Reni membesar mendengar penuturan Rey. Kakinya bergetar. Ia seakan tidak bisa berdiri tegak."Apa sekarang kau puas karena sudah mengorbankan teman-temanmu demi harga dirimu itu? Aku kasihan dengan mereka yang memiliki teman tanpa rasa peduli seperti dirimu." Rey tersenyum mengejek menampilkan deretan giginya."Kau masih tau di mana pintu keluar kan? Aku rasa kita sudah tidak punya alasan lagi untuk bertemu."Reni berbalik dan keluar dari ruangan Rey. Ia kehilangan kata-kata untuk melawan dan menuntut pekerjaan teman-temannya dikembalikan.Reni berjalan gontai keluar dari gedung itu. Ia berhenti sejenak tepat di depan gedung yang menjulang tinggi di hadapannya. Kepalanya sedikit mendongak memandang gedung itu hingga ke lantai paling atas.Gedung itu hanya memiliki 12 lantai, namun terkesan mewah dengan interior bangunan ala kebarat-baratan. Tidak semua dari bangunan itu digunakan untuk penyiaran radio. Ada beberapa
Langkah Reni terhenti mendengar ancaman dari Jezin. Ia mengepalkan tangannya geram dan berbalik. "Lakukan apa pun yang ingin kamu lakukan!" prilaku dan kata-kata sopan Reni sirna seketika. Jezin yang mendengar itu tertawa hambar. Tadinya ia sangat percaya diri Reni akan menerima semuanya dengan suka rela demi mempertahankan pekerjaan teman-temannya. Namun kali ini ia lagi-lagi mendapat penolakan. "Apa kau pikir semua bisa kau dapatkan dengan uang? Kau salah." Reni kembali melanjutkan langkahnya setelah menampilkan wajah mengejek pada Jezin yang terus menatapnya dengan mata elang. "Jadilah pria yang bertabat, Tuan Jezin yang terhormat," ucap Reni sebelum benar-benar menghilang dari pandangan Jezin. Jezin melipat kedua lengannya di depan dada sembari tersenyum kecut. Ia mencoba berusaha tenang mendapat penolakan yang kesekian kalinya dari Reni. Yang baginya, itu adalah sebuah penghinaan. Tapi ada yang
Suara bel apartemen Jezin menggema memenuhi ruangan. Tapi si empunya dengan santai mengabaikan bel yang bunyi berkali-kali. Ia masih sibuk merapikan kemeja hitam yang ia kenakan di depan cermin. Bibirnya menampilkan senyum tipis. Sempurnah.Jezin lalu berjalan menghampiri pintu yang sedari tadi memanggil-manggil dirinya. Jezin tau pasti, siapa yang berdiri di depan pintu apartemennya.Beberapa jam sebelumnya, ia sudah mendapat telfon dan mendengar kalau Reni akan datang untuk menepati janjinya. Ia merasa kemenangan kembali berpihak padanya.Jezin membuka pintu dan menampilkan wajah datarnya. Ia meneliti setiap wajah Reni yang melemparkan senyum manis padanya.Memar diwajah Reni mulai memudar. Dan sudah tidak ada lagi luka baru. Semenjak kejadian itu, Jezin selalu mengikuti Reni diam-diam. Bukan hanya ke kediaman Gery, tapi Jezin pun mengikuti Reni pulang ke rumahnya. Jezin tidak mau, Reni kembali mendapatkan luka seperti terakhir kali.
"Ger, aku..." suara Reni bergetar. Ia menyebut nama Gery lembut. Menambah gejolak hasrat Gery yang kian membara.Gery mengecup ringan telinga Reni setelah berbisik. Lalu kembali memandang wajah Reni yang sedang memejamkan matanya.Tatapannya tertutup kabut gairah. Ia sudah tidak bisa menahan hasratnya untuk tidak menerkam gadis yang ada di dalam dekapannya.Gery mulai mengecup kening Reni lembut. Lalu bibirnya turun menyentuh ujung hidung Reni. Namun sebuah suara di dapur menghentikan aksinya.Prank. Prank.Kedua makhluk yang sedang terbuai api asmara itu kaget. Mereka saling memandang beberapa saat tanpa mengeluarkan suara. Lalu memutuskan menghampiri asal suara tersebut."Jangan mendekat, Ren. Banyak pecahan kaca," Gery yang sampai lebih dulu menahan Reni yang mengekor dibelakangnya.Bola mata Reni membesar. "Siapa yang menjatuhkan barang-barang ini?"Beberapa gelas dan teko kaca hanc
Reni berusaha mengumpulkan kesadarannya saat merasa tubuhnya diguyur air. Ia tertidur setelah lelah menangis dan melawan rasa dingin di pojok kamar mandi.Ia mengerjap, mendapati sosok kakak tirinya di bawah cahaya lampu yang tengah berdiri terus menyiraminya.Lely tersenyum puas melihat Reni meringkuk lemah di lantai yang dingin itu. Tanpa peduli dengan keadaan Reni, ia terus menyiramnya dengan shower hingga Reni bangkit dari lantai.Jam sudah menunjuk pukul 7 pagi. Sudah waktunya Reni menyiapkan sarapan untuk kakak dan mamanya.."Apa kau pikir karena terkurung di sini kau akan bebas dari rutinitasmu?" Lely melempar shower yang ada di tangannya ke sembarang arah."Cepat turun dan siapkan sarapan kami! Aku lapar," titahnya berlalu keluar. Reni masih berusaha bangkit dari lantai. Ia merasa sekujur tubuhnya sakit. Dan wajahnya perih.Ia tertatih meninggalkan kamar mandi yang semalaman menjadi saksi kepedihannya. K
Reni menghampiri posko keamanan apartment setelah turun dari mobil Seli. Ia menyuruh Seli untuk pulang duluan. Reni kasian jika Seli juga harus terlibat lebih dalam.Meski Seli merasa tidak tega membiarkan Reni sendiri, namun dia akhirnya melajukan mobilnya meninggalkan tempat itu karena paksaan Reni."Selamat sore, Pak.""Selamat sore, Nona. Ada yang bisa saya bantu?" Pria paruh baya itu menjawab Reni ramah."Saya ingin ke apartment Tuan Jezin, Pak.""Dengan Nona Reni?"Reni mengerutkan keningnya heran. Bagaimana petugas keamanan di apartment elit ini mengenal namanya?"Tuan Jezin berpesan, jika dia akan kedatangan tamu wanita yang bernama Reni." Pria itu menjelaskan setelah melihat wajah keheranan Reni.Reni tersenyum hambar mendengar penjelasan pria itu.Reni jalan bersisian dengan pria yang seumuran dengan ayahnya itu. Pria paruh baya itu lalu menekan tombol lift dan mempersilahkan Reni masuk
"Kamu dipecat."Rey meletakkan sebuah amplop putih di atas mejanya. Mata Reni tertuju pada amplop itu, sudah dapat ia pastikan apa isi dari amplop tersebut."Anda tidak bisa memecat saya semudah itu, Pak. Kinerja saya baik. Dan yang terjadi hari ini bukan sepenuhnya salah saya." Reni memberanikan diri menatap Rey. Menyuarakan ketidak adilan yang ia alami."Lalu apa itu salah saya?" Rey bersandar di kursi kebesarannya. Matanya meneliti raut cemas Reni. "Apa kau tau bagaimana kita sangat menantikan wawancara ini? Para kru bahkan sampai lembur untuk mempersiapkan banyak hal agar wawancara ini berjalan lancar. Tapi kau tidak memikirkan kerja keras mereka dan mengacaukan semuanya.""Pak, Tuan Jezin bukan orang baik. Dia mengatakan hal-hal yang melecehkan saya. Dia adalah iblis yang bersembunyi di balik wajah rupawannya. Dia memanfaatkan kekuasaannya untuk melecehkan orang-orang lemah. Bapak jangan tertipu."Brak...Rey men
"Aku tidak serendah apa yang otak mesummu pikirkan." Reni menatap Jezin dengan wajah memerah. Rasa takutnya entah menguap kemana. Jezin ikut berdiri sejajar dengan Reni. Meraba pelan pipinya yang meninggalkan rasa perih. "Benarkah? Lalu seperti apa dirimu? Gadis yang masih tersegel? Hah, bukankah sudah tidak ada gadis seperti itu di dunia manusia?" nada Jezin penuh dengan ejekan. "Jangan samakan aku dengan orang mesum sepertimu. Apa kau mengira dengan wajahmu itu kau bisa mendekati gadis manapun yang kau mau? Kau salah. Itu tidak berpengaruh bagiku. Bahkan wajahmu itu terlihat menjijikkan dimataku." Dari balik dinding cermin, produser dan para kru melihat kekacauan itu. Mereka saling melempar tatapan penasaran apa yang terjadi di dalam sana. Mereka pun bergegas menghampiri Reni dan Jezin. "Apa yang terjadi, Ren?" Produser sampai lebih dulu. Disusul dengan kru yang lain. "Maaf, Pak. Saya tidak bisa melanjut
"Apa yang kamu lakukan disini?" Muka Reni berubah tegang. "Apa maksud kamu, Nona? Tentu saja saya datang untuk memenuhi undangan wawancara saya." Jezin berdiri balas menatap Reni dengan wajah tanpa bersalah. Senyum kemenangan terukir di wajah tampannya. Reni kelimpungan. Ia tidak menyangka pria mesum yang berdiri di depannya ini adalah tamu kehormatan di kantornya. Reni memegang kepalanya bingung. Ingin rasanya dia membatalkan sesi wawancara ini. Tapi bagaimana bisa? Dia hanya seorang penyiar disini. Dia tidak punya hak. Lagi pula, dia akan langsung ditendang dari kantor jika melakukan kesalahan dengan tamu terhormat ini. "Buat diri Anda nyaman Tuan. Perkenalkan, ini Reni. Penyiar terbaik di stasiun kami. Reni yang akan menemani Anda dalam sesi wawancara, Tuan." Produser menghampiri Reni dan Jezin. Reni hanya diam membatu. Jezin merespon dengan senyuman miringnya. "Kenapa, Reni?" Produser melihat waj