Di dunia peri.
Ratu peri duduk di kursi kebesarannya penuh wibawa. Para peri pun tampak duduk berkumpul dengan tenang. Mereka semua menggunakan pakaian serba putih. Dan didukung nuansa sekeliling pun serba putih. Tampak bercahaya.
Jezin masuk entah dari pintu mana. Terlihat seperti noda diantara mereka dengan pakaian serba hitam yang ia kenakan. Kontras.
Duduk dengan angkuhnya di kursi yang masih kosong. Memang diperuntukkan untuknya. Melipat lengannya di depan dada.
"Aiich. Apa aku harus datang setiap kalian sedang menikmati teh kayangan. Aku sangat sibuk, tidak punya waktu untuk mendengar keluh kesah kalian." Jezin protes. Dia tampak tidak menyukai pertemuan itu.
"Perhatikan kata yang keluar dari mulut Anda, Peri Pemburu. Anda sedang di depan Ratu Peri." Salah satu peri paruh baya tidak suka dengan sikap Jezin.
"Bukan hanya Anda yang sibuk, Peri Pemburu. Kami juga sangat sibuk. Tapi ini adalah undangan rapat dari Ratu Peri. Perhatikan sikap Anda." Yang lain ikut menimpali.
Jezin tak acuh. Dia hanya mendengus kesal. Ratu peri tersenyum anggun. Dia sudah tau sifat pembangkang Jezin.
"Dan bisakah Anda menghadiri rapat dengan pakaian yang lebih sopan? Anda mencemari kesucian dunia peri dengan pakaian mengerikan Anda." Sambung yang lain.
"Aura ketampananku semakin memancar dengan pakaian yang aku kenakan. Dan ini jauh lebih baik dari pakaian yang kalian kenakan." Nada Jezin terkesan mengejek.
"Rapat ini bukan hanya untuk membahas hasil kerja kalian. Tapi juga untuk membangun kedekatan sesama peri. Ingat, seorang peri tidak boleh punya rasa dendam, benci dan serakah. Kalian adalah cerminan dari makhluk suci setelah para malaikat." Ratu peri menengahi mereka. Melihat tatapan para peri tidak suka dengan sikap Jezin.
Semua terdiam mengerti. Hanya Jezin yang bersikap masa bodoh.
"Semua yang hadir disini, peri terbaik dengan hasil kerja yang memuaskan. Saat target kerja kalian selesai, kalian akan dilantik menjadi kepala peri di divisi kalian masing-masing. " Sambung ratu peri.
"Ingat, para peri dilarang ikut campur urusan manusia dalam hal apapun. Lakukan tugas kalian dengan baik. Jika para peri ikut campur urusan manusia, kontrak kerjanya akan dicabut, dan akan diasingkan ke negri malaikat untuk menjalani hukuman."
Jezin tersenyum kecut mendengar penuturan Ratu Peri.
"Tapi aku tidak berniat melepaskan gadis itu sebelum dia merasakan bibir mautku." Batin Jezin.
"Peri pemburu, Anda akan menjadi kepala peri termuda sepanjang sejarah. Saya bangga dengan hasil kerja Anda."
"Saya akan mencetak sejarah di dunia peri. Sudah seharusnya saya mendapat sedikit penghargaan bukan?"
Ratu peri tersenyum manis. Sikap arogan Jezin masih sama.
"Apa yang Anda inginkan, Peri Pemburu?" Tanya ratu peri.
"Saya ingin melacak sendiri buruan saya. Tanpa harus menunggu target dari peri pelacak."
"Itu bukan hal yang bisa Anda atur sendiri Peri Pemburu. Struktur kerja Anda harus tertata rapi. Dan itu sudah ditentukan langsung oleh para malaikat."
Lagi-lagi Jezin mendengus kesal.
Ratu peri membuka telapak tangannya. Sedetik kemudian muncul kotak segi empat di atas telapak tangannya. Ia lalu menyodorkan Jezin kotak itu.
"Ini adalah jam yang bisa memperlihatkan target Anda 1 bulan sebelum waktu eksekusi. Anda tidak bisa melacak sendiri target Anda. Namun jika Anda sangat ingin membuang waktu berharga Anda, Anda bisa mencarinya sendiri melalui informasi yang diberikan jam ini."
*****
"Sebagai penutup untuk sesi kita di radio Berbagi Kisah, saya akan membacakan sebuah surat cinta dari penggemar. Yang ditujukan untuk cinta pertama pengirim yang sangat ia rindukan.
Wah, saya tebak si penerima surat ini adalah cinta terindah sang pengirim. Sangat romantis.
Baik sahabat pendengar, saya akan bacakan suratnya.
Aku memandang langit dari tempatku berpijak. Dalam diam ku berdoa, agar saat ini kau pun memandang langit. Meski tatapan kita tidak bertautan, namun kita masih dapat memandang arah yang sama.
Hatiku merindu pilu. Menunggumu disini. Ingin kutumpahkan kerinduan ini, namun hanya bayangmu yang memenuhi ruangan.
Penantian ini tidak mudah. Namun ku kan terus menanti hadirmu sang pemilik hati.
Perindu senyuman gadis pohon pinus.
Semoga surat yang saya bacakan sampai pada orang yang ditujukan. Sangat menyentuh.
Baik sahabat pendengar, cukup sekian untuk hari ini. Saya Reni Angreta akan kembali besok di jam yang sama. Terima kasih telah membersamai saya, salam berbagi kisah, sehat selalu dan sampai jumpa."
Reni membuka earphone yang terpasang ditelinganya. Menandakan sesi siaran hari ini telah usai. Ia merapikan kertas yang berserakan di meja dan keluar dari ruangan penyiar.
"Terima kasih semuanya." Reni setengah membungkuk ke arah teman-teman satu timnya.
"Wah makin hari kualitas kerja kamu makin bagus. Rating kita semakin meningkat." Produser menepuk pundak Reni bangga.
"Terima kasih, Pak. Saya akan melakukan yang terbaik." Reni tersenyum puas.
"Saya permisi Pak. Saya ada janji."
"Iya, silakan."
Reni pun berlalu meninggalkan produser dan teman satu timnya. Meski ia bahagia mendapat pujian dari produser, tapi wajahnya tidak memancarkan kebahagian.
Sampai sekarang Gery tidak mau menemuinya. Gery bahkan tidak mau mengangkat telfon darinya. Reni sampai mendatangi apertemen Gary, namun hasilnya nihil.
Ini semua berkat kerja keras Jezin. Dia berhasil menciptakan keretakan dalam hubungan sepasang kekasih itu.
Reni sangat mencintai kekasihnya itu. Mereka sudah menjalin hubungan cukup lama. Selain menjadi kekasih Reni, Gery adalah teman masa sekolah Reni. Gery selalu ada saat Reni dalam masalah. Selalu melindungi Reni. Dan mereka saling mencintai.
Saat ini Reni menghampiri Seli di meja informasi. Tanpa aba-aba mendaratkan bokongnya di kursi milik Seli.
"Gedung mana yang ingin kau bakar?" Goda Seli yang melihat wajah Reni sangat tidak bersahabat.
"Aku akan bakar pria itu hidup-hidup."
"Kau akan dikutuk menjadi perawan tua jika berani menyakiti pria setampan itu." Seli memegang kedua pipinya. Mulai membayangkan wajah tampan Jezin.
"Seleramu rendah sekali." Reni memukul punggung Seli dengan tasnya.
"Bukan seleraku yang rendah. Tapi matamu yang buta. Haruskah kau melakukan oprasi kornea?"
"Ya ya ya. What ever. Tapi Sel, bagaimana jika kau membantuku mencari saudara kembarku itu."
"Hei, Nyonya. Apa kau tidak mendengar ibu tirimu yang sangat angkuh itu mengatakan kau tidak memiliki saudara kembar?"
"Lalu siapa gadis yang ada di video itu? Itu bukan aku."
"Kau ingin aku percaya kalau gadis itu hantu yang menjelma menyerupai dirimu disiang bolong?"
Reni mengedip-ngedipkan matanya sembari meneguk air liurnya yang terasa pahit. "Ya..... Bisa jadi."
"Hei, gadis bodoh. Di zaman ini kau masih percaya dengan itu. " Seli menjitak kepala Reni.
"Terima saja tawaran pria tampan itu, dan jadilah kekasihnya. Saat kau sudah mulai tidak nyaman, tinggalkan dia dan utarakan perasaanmu dengannya. Atau, kau bisa bersikap layaknya gadis gila, dan dia yang tidak akan nyaman padamu, lalu meninggalkanmu."
"Apa kau gila? Sampai kapan pun aku tidak akan menerima tawaran pria itu. Cintaku hanya untuk Gery."
Seli memejamkan matanya mendapat bentakan dari Reni.
"Aku akan cari cara lain untuk mengusir pria mesum itu. Sekarang yang terpenting adalah, membuktikan pada Gery kalau itu buka aku. Aku tidak pernah selingkuh darinya."
Reni menunggu Seli hingga jam kerjanya berakhir. Mereka ingin makan bersama. Reni menghabiskan waktunya merutuki Jezin kesal. Mulutnya tak henti-henti menyebutnya pria mesum. Dasar pria mesum.
*****
Jezin melempar jam yang diberikan ratu peri ke meja yang ada diruangannya. Suasana hatinya kurang baik setelah menghadiri rapat dengan para peri.
"Apa untungnya bagiku mengetahui siapa targetku. Aku ingin menentukan targetku. Bukan mengetahui siapa targetku. Arrggh."
Tak lebih baik dari Reni. Jezin juga merutuki hari sialnya.
Jezin sangat ingin mengunci Reni sebagai targetnya. Agar ia bisa memberi Reni pelajaran tanpa harus melanggar peraturan dunia peri. Namun hadiah yang ia minta ditolak oleh Ratu peri.
"Ada banyak cara menaklukkan dunia manusia. Aku tidak akan membiarkanmu lolos begitu saja gadis angkuh." Jezin menatap gadis yang tertawa lepas di dalam video yang ada diponselnya. Senyum indah Reni memancar dari sana.
Ia menghentikan aktifitasnya itu dan beralih melihat jam yang melingkar di lengannya. Ada notifikasi masuk. Yah, saatnya berburu.
Reni mondar-mandir di depan pintu apartemen Gery sambil mengotak-atik telfon genggam miliknya. Sesekali ia menempelkan benda pipih itu ke telinganya. Namun tak ada respon dari ujung sana. Sudah tiga hari setelah kejadian itu. Dan Gery masih tidak bisa dihubungi. Dia juga tidak ada di apartemennya. Reni sangat cemas dibuatnya. "Ayolah Gery. Jangan lakukan ini. Aku khawatir sama kamu." Reni berbicara sendiri masih mengotak-atik telfon genggamnya. Sudah hampir tiga jam dia menunggu di sana. Namun Gery belum memperlihatkan batang hidungnya. Gery pribadi yang arogan. Tidak suka diusik. Cenderung kasar, dan tidak suka miliknya dimiliki orang lain. Maklum, dia tumbuh dalam lingkup keluarga kaya. Ibunya sangat memanjakan dirinya. Di usianya yang sudah menginjak 28 tahun, dia masih seenaknya masuk kerja. Kerja saat dia ingin saja. Namun dia sangat baik pada Reni. Gery satu-satunya sandaran Reni saat ayahnya meninggal dunia
"Apa yang kamu lakukan disini?" Muka Reni berubah tegang. "Apa maksud kamu, Nona? Tentu saja saya datang untuk memenuhi undangan wawancara saya." Jezin berdiri balas menatap Reni dengan wajah tanpa bersalah. Senyum kemenangan terukir di wajah tampannya. Reni kelimpungan. Ia tidak menyangka pria mesum yang berdiri di depannya ini adalah tamu kehormatan di kantornya. Reni memegang kepalanya bingung. Ingin rasanya dia membatalkan sesi wawancara ini. Tapi bagaimana bisa? Dia hanya seorang penyiar disini. Dia tidak punya hak. Lagi pula, dia akan langsung ditendang dari kantor jika melakukan kesalahan dengan tamu terhormat ini. "Buat diri Anda nyaman Tuan. Perkenalkan, ini Reni. Penyiar terbaik di stasiun kami. Reni yang akan menemani Anda dalam sesi wawancara, Tuan." Produser menghampiri Reni dan Jezin. Reni hanya diam membatu. Jezin merespon dengan senyuman miringnya. "Kenapa, Reni?" Produser melihat waj
"Aku tidak serendah apa yang otak mesummu pikirkan." Reni menatap Jezin dengan wajah memerah. Rasa takutnya entah menguap kemana. Jezin ikut berdiri sejajar dengan Reni. Meraba pelan pipinya yang meninggalkan rasa perih. "Benarkah? Lalu seperti apa dirimu? Gadis yang masih tersegel? Hah, bukankah sudah tidak ada gadis seperti itu di dunia manusia?" nada Jezin penuh dengan ejekan. "Jangan samakan aku dengan orang mesum sepertimu. Apa kau mengira dengan wajahmu itu kau bisa mendekati gadis manapun yang kau mau? Kau salah. Itu tidak berpengaruh bagiku. Bahkan wajahmu itu terlihat menjijikkan dimataku." Dari balik dinding cermin, produser dan para kru melihat kekacauan itu. Mereka saling melempar tatapan penasaran apa yang terjadi di dalam sana. Mereka pun bergegas menghampiri Reni dan Jezin. "Apa yang terjadi, Ren?" Produser sampai lebih dulu. Disusul dengan kru yang lain. "Maaf, Pak. Saya tidak bisa melanjut
"Kamu dipecat."Rey meletakkan sebuah amplop putih di atas mejanya. Mata Reni tertuju pada amplop itu, sudah dapat ia pastikan apa isi dari amplop tersebut."Anda tidak bisa memecat saya semudah itu, Pak. Kinerja saya baik. Dan yang terjadi hari ini bukan sepenuhnya salah saya." Reni memberanikan diri menatap Rey. Menyuarakan ketidak adilan yang ia alami."Lalu apa itu salah saya?" Rey bersandar di kursi kebesarannya. Matanya meneliti raut cemas Reni. "Apa kau tau bagaimana kita sangat menantikan wawancara ini? Para kru bahkan sampai lembur untuk mempersiapkan banyak hal agar wawancara ini berjalan lancar. Tapi kau tidak memikirkan kerja keras mereka dan mengacaukan semuanya.""Pak, Tuan Jezin bukan orang baik. Dia mengatakan hal-hal yang melecehkan saya. Dia adalah iblis yang bersembunyi di balik wajah rupawannya. Dia memanfaatkan kekuasaannya untuk melecehkan orang-orang lemah. Bapak jangan tertipu."Brak...Rey men
Reni menghampiri posko keamanan apartment setelah turun dari mobil Seli. Ia menyuruh Seli untuk pulang duluan. Reni kasian jika Seli juga harus terlibat lebih dalam.Meski Seli merasa tidak tega membiarkan Reni sendiri, namun dia akhirnya melajukan mobilnya meninggalkan tempat itu karena paksaan Reni."Selamat sore, Pak.""Selamat sore, Nona. Ada yang bisa saya bantu?" Pria paruh baya itu menjawab Reni ramah."Saya ingin ke apartment Tuan Jezin, Pak.""Dengan Nona Reni?"Reni mengerutkan keningnya heran. Bagaimana petugas keamanan di apartment elit ini mengenal namanya?"Tuan Jezin berpesan, jika dia akan kedatangan tamu wanita yang bernama Reni." Pria itu menjelaskan setelah melihat wajah keheranan Reni.Reni tersenyum hambar mendengar penjelasan pria itu.Reni jalan bersisian dengan pria yang seumuran dengan ayahnya itu. Pria paruh baya itu lalu menekan tombol lift dan mempersilahkan Reni masuk
Reni berusaha mengumpulkan kesadarannya saat merasa tubuhnya diguyur air. Ia tertidur setelah lelah menangis dan melawan rasa dingin di pojok kamar mandi.Ia mengerjap, mendapati sosok kakak tirinya di bawah cahaya lampu yang tengah berdiri terus menyiraminya.Lely tersenyum puas melihat Reni meringkuk lemah di lantai yang dingin itu. Tanpa peduli dengan keadaan Reni, ia terus menyiramnya dengan shower hingga Reni bangkit dari lantai.Jam sudah menunjuk pukul 7 pagi. Sudah waktunya Reni menyiapkan sarapan untuk kakak dan mamanya.."Apa kau pikir karena terkurung di sini kau akan bebas dari rutinitasmu?" Lely melempar shower yang ada di tangannya ke sembarang arah."Cepat turun dan siapkan sarapan kami! Aku lapar," titahnya berlalu keluar. Reni masih berusaha bangkit dari lantai. Ia merasa sekujur tubuhnya sakit. Dan wajahnya perih.Ia tertatih meninggalkan kamar mandi yang semalaman menjadi saksi kepedihannya. K
"Ger, aku..." suara Reni bergetar. Ia menyebut nama Gery lembut. Menambah gejolak hasrat Gery yang kian membara.Gery mengecup ringan telinga Reni setelah berbisik. Lalu kembali memandang wajah Reni yang sedang memejamkan matanya.Tatapannya tertutup kabut gairah. Ia sudah tidak bisa menahan hasratnya untuk tidak menerkam gadis yang ada di dalam dekapannya.Gery mulai mengecup kening Reni lembut. Lalu bibirnya turun menyentuh ujung hidung Reni. Namun sebuah suara di dapur menghentikan aksinya.Prank. Prank.Kedua makhluk yang sedang terbuai api asmara itu kaget. Mereka saling memandang beberapa saat tanpa mengeluarkan suara. Lalu memutuskan menghampiri asal suara tersebut."Jangan mendekat, Ren. Banyak pecahan kaca," Gery yang sampai lebih dulu menahan Reni yang mengekor dibelakangnya.Bola mata Reni membesar. "Siapa yang menjatuhkan barang-barang ini?"Beberapa gelas dan teko kaca hanc
Suara bel apartemen Jezin menggema memenuhi ruangan. Tapi si empunya dengan santai mengabaikan bel yang bunyi berkali-kali. Ia masih sibuk merapikan kemeja hitam yang ia kenakan di depan cermin. Bibirnya menampilkan senyum tipis. Sempurnah.Jezin lalu berjalan menghampiri pintu yang sedari tadi memanggil-manggil dirinya. Jezin tau pasti, siapa yang berdiri di depan pintu apartemennya.Beberapa jam sebelumnya, ia sudah mendapat telfon dan mendengar kalau Reni akan datang untuk menepati janjinya. Ia merasa kemenangan kembali berpihak padanya.Jezin membuka pintu dan menampilkan wajah datarnya. Ia meneliti setiap wajah Reni yang melemparkan senyum manis padanya.Memar diwajah Reni mulai memudar. Dan sudah tidak ada lagi luka baru. Semenjak kejadian itu, Jezin selalu mengikuti Reni diam-diam. Bukan hanya ke kediaman Gery, tapi Jezin pun mengikuti Reni pulang ke rumahnya. Jezin tidak mau, Reni kembali mendapatkan luka seperti terakhir kali.
Bola mata Reni membesar mendengar penuturan Rey. Kakinya bergetar. Ia seakan tidak bisa berdiri tegak."Apa sekarang kau puas karena sudah mengorbankan teman-temanmu demi harga dirimu itu? Aku kasihan dengan mereka yang memiliki teman tanpa rasa peduli seperti dirimu." Rey tersenyum mengejek menampilkan deretan giginya."Kau masih tau di mana pintu keluar kan? Aku rasa kita sudah tidak punya alasan lagi untuk bertemu."Reni berbalik dan keluar dari ruangan Rey. Ia kehilangan kata-kata untuk melawan dan menuntut pekerjaan teman-temannya dikembalikan.Reni berjalan gontai keluar dari gedung itu. Ia berhenti sejenak tepat di depan gedung yang menjulang tinggi di hadapannya. Kepalanya sedikit mendongak memandang gedung itu hingga ke lantai paling atas.Gedung itu hanya memiliki 12 lantai, namun terkesan mewah dengan interior bangunan ala kebarat-baratan. Tidak semua dari bangunan itu digunakan untuk penyiaran radio. Ada beberapa
Langkah Reni terhenti mendengar ancaman dari Jezin. Ia mengepalkan tangannya geram dan berbalik. "Lakukan apa pun yang ingin kamu lakukan!" prilaku dan kata-kata sopan Reni sirna seketika. Jezin yang mendengar itu tertawa hambar. Tadinya ia sangat percaya diri Reni akan menerima semuanya dengan suka rela demi mempertahankan pekerjaan teman-temannya. Namun kali ini ia lagi-lagi mendapat penolakan. "Apa kau pikir semua bisa kau dapatkan dengan uang? Kau salah." Reni kembali melanjutkan langkahnya setelah menampilkan wajah mengejek pada Jezin yang terus menatapnya dengan mata elang. "Jadilah pria yang bertabat, Tuan Jezin yang terhormat," ucap Reni sebelum benar-benar menghilang dari pandangan Jezin. Jezin melipat kedua lengannya di depan dada sembari tersenyum kecut. Ia mencoba berusaha tenang mendapat penolakan yang kesekian kalinya dari Reni. Yang baginya, itu adalah sebuah penghinaan. Tapi ada yang
Suara bel apartemen Jezin menggema memenuhi ruangan. Tapi si empunya dengan santai mengabaikan bel yang bunyi berkali-kali. Ia masih sibuk merapikan kemeja hitam yang ia kenakan di depan cermin. Bibirnya menampilkan senyum tipis. Sempurnah.Jezin lalu berjalan menghampiri pintu yang sedari tadi memanggil-manggil dirinya. Jezin tau pasti, siapa yang berdiri di depan pintu apartemennya.Beberapa jam sebelumnya, ia sudah mendapat telfon dan mendengar kalau Reni akan datang untuk menepati janjinya. Ia merasa kemenangan kembali berpihak padanya.Jezin membuka pintu dan menampilkan wajah datarnya. Ia meneliti setiap wajah Reni yang melemparkan senyum manis padanya.Memar diwajah Reni mulai memudar. Dan sudah tidak ada lagi luka baru. Semenjak kejadian itu, Jezin selalu mengikuti Reni diam-diam. Bukan hanya ke kediaman Gery, tapi Jezin pun mengikuti Reni pulang ke rumahnya. Jezin tidak mau, Reni kembali mendapatkan luka seperti terakhir kali.
"Ger, aku..." suara Reni bergetar. Ia menyebut nama Gery lembut. Menambah gejolak hasrat Gery yang kian membara.Gery mengecup ringan telinga Reni setelah berbisik. Lalu kembali memandang wajah Reni yang sedang memejamkan matanya.Tatapannya tertutup kabut gairah. Ia sudah tidak bisa menahan hasratnya untuk tidak menerkam gadis yang ada di dalam dekapannya.Gery mulai mengecup kening Reni lembut. Lalu bibirnya turun menyentuh ujung hidung Reni. Namun sebuah suara di dapur menghentikan aksinya.Prank. Prank.Kedua makhluk yang sedang terbuai api asmara itu kaget. Mereka saling memandang beberapa saat tanpa mengeluarkan suara. Lalu memutuskan menghampiri asal suara tersebut."Jangan mendekat, Ren. Banyak pecahan kaca," Gery yang sampai lebih dulu menahan Reni yang mengekor dibelakangnya.Bola mata Reni membesar. "Siapa yang menjatuhkan barang-barang ini?"Beberapa gelas dan teko kaca hanc
Reni berusaha mengumpulkan kesadarannya saat merasa tubuhnya diguyur air. Ia tertidur setelah lelah menangis dan melawan rasa dingin di pojok kamar mandi.Ia mengerjap, mendapati sosok kakak tirinya di bawah cahaya lampu yang tengah berdiri terus menyiraminya.Lely tersenyum puas melihat Reni meringkuk lemah di lantai yang dingin itu. Tanpa peduli dengan keadaan Reni, ia terus menyiramnya dengan shower hingga Reni bangkit dari lantai.Jam sudah menunjuk pukul 7 pagi. Sudah waktunya Reni menyiapkan sarapan untuk kakak dan mamanya.."Apa kau pikir karena terkurung di sini kau akan bebas dari rutinitasmu?" Lely melempar shower yang ada di tangannya ke sembarang arah."Cepat turun dan siapkan sarapan kami! Aku lapar," titahnya berlalu keluar. Reni masih berusaha bangkit dari lantai. Ia merasa sekujur tubuhnya sakit. Dan wajahnya perih.Ia tertatih meninggalkan kamar mandi yang semalaman menjadi saksi kepedihannya. K
Reni menghampiri posko keamanan apartment setelah turun dari mobil Seli. Ia menyuruh Seli untuk pulang duluan. Reni kasian jika Seli juga harus terlibat lebih dalam.Meski Seli merasa tidak tega membiarkan Reni sendiri, namun dia akhirnya melajukan mobilnya meninggalkan tempat itu karena paksaan Reni."Selamat sore, Pak.""Selamat sore, Nona. Ada yang bisa saya bantu?" Pria paruh baya itu menjawab Reni ramah."Saya ingin ke apartment Tuan Jezin, Pak.""Dengan Nona Reni?"Reni mengerutkan keningnya heran. Bagaimana petugas keamanan di apartment elit ini mengenal namanya?"Tuan Jezin berpesan, jika dia akan kedatangan tamu wanita yang bernama Reni." Pria itu menjelaskan setelah melihat wajah keheranan Reni.Reni tersenyum hambar mendengar penjelasan pria itu.Reni jalan bersisian dengan pria yang seumuran dengan ayahnya itu. Pria paruh baya itu lalu menekan tombol lift dan mempersilahkan Reni masuk
"Kamu dipecat."Rey meletakkan sebuah amplop putih di atas mejanya. Mata Reni tertuju pada amplop itu, sudah dapat ia pastikan apa isi dari amplop tersebut."Anda tidak bisa memecat saya semudah itu, Pak. Kinerja saya baik. Dan yang terjadi hari ini bukan sepenuhnya salah saya." Reni memberanikan diri menatap Rey. Menyuarakan ketidak adilan yang ia alami."Lalu apa itu salah saya?" Rey bersandar di kursi kebesarannya. Matanya meneliti raut cemas Reni. "Apa kau tau bagaimana kita sangat menantikan wawancara ini? Para kru bahkan sampai lembur untuk mempersiapkan banyak hal agar wawancara ini berjalan lancar. Tapi kau tidak memikirkan kerja keras mereka dan mengacaukan semuanya.""Pak, Tuan Jezin bukan orang baik. Dia mengatakan hal-hal yang melecehkan saya. Dia adalah iblis yang bersembunyi di balik wajah rupawannya. Dia memanfaatkan kekuasaannya untuk melecehkan orang-orang lemah. Bapak jangan tertipu."Brak...Rey men
"Aku tidak serendah apa yang otak mesummu pikirkan." Reni menatap Jezin dengan wajah memerah. Rasa takutnya entah menguap kemana. Jezin ikut berdiri sejajar dengan Reni. Meraba pelan pipinya yang meninggalkan rasa perih. "Benarkah? Lalu seperti apa dirimu? Gadis yang masih tersegel? Hah, bukankah sudah tidak ada gadis seperti itu di dunia manusia?" nada Jezin penuh dengan ejekan. "Jangan samakan aku dengan orang mesum sepertimu. Apa kau mengira dengan wajahmu itu kau bisa mendekati gadis manapun yang kau mau? Kau salah. Itu tidak berpengaruh bagiku. Bahkan wajahmu itu terlihat menjijikkan dimataku." Dari balik dinding cermin, produser dan para kru melihat kekacauan itu. Mereka saling melempar tatapan penasaran apa yang terjadi di dalam sana. Mereka pun bergegas menghampiri Reni dan Jezin. "Apa yang terjadi, Ren?" Produser sampai lebih dulu. Disusul dengan kru yang lain. "Maaf, Pak. Saya tidak bisa melanjut
"Apa yang kamu lakukan disini?" Muka Reni berubah tegang. "Apa maksud kamu, Nona? Tentu saja saya datang untuk memenuhi undangan wawancara saya." Jezin berdiri balas menatap Reni dengan wajah tanpa bersalah. Senyum kemenangan terukir di wajah tampannya. Reni kelimpungan. Ia tidak menyangka pria mesum yang berdiri di depannya ini adalah tamu kehormatan di kantornya. Reni memegang kepalanya bingung. Ingin rasanya dia membatalkan sesi wawancara ini. Tapi bagaimana bisa? Dia hanya seorang penyiar disini. Dia tidak punya hak. Lagi pula, dia akan langsung ditendang dari kantor jika melakukan kesalahan dengan tamu terhormat ini. "Buat diri Anda nyaman Tuan. Perkenalkan, ini Reni. Penyiar terbaik di stasiun kami. Reni yang akan menemani Anda dalam sesi wawancara, Tuan." Produser menghampiri Reni dan Jezin. Reni hanya diam membatu. Jezin merespon dengan senyuman miringnya. "Kenapa, Reni?" Produser melihat waj