Reni mondar-mandir di depan pintu apartemen Gery sambil mengotak-atik telfon genggam miliknya. Sesekali ia menempelkan benda pipih itu ke telinganya. Namun tak ada respon dari ujung sana.
Sudah tiga hari setelah kejadian itu. Dan Gery masih tidak bisa dihubungi. Dia juga tidak ada di apartemennya. Reni sangat cemas dibuatnya.
"Ayolah Gery. Jangan lakukan ini. Aku khawatir sama kamu." Reni berbicara sendiri masih mengotak-atik telfon genggamnya.
Sudah hampir tiga jam dia menunggu di sana. Namun Gery belum memperlihatkan batang hidungnya.
Gery pribadi yang arogan. Tidak suka diusik. Cenderung kasar, dan tidak suka miliknya dimiliki orang lain. Maklum, dia tumbuh dalam lingkup keluarga kaya. Ibunya sangat memanjakan dirinya. Di usianya yang sudah menginjak 28 tahun, dia masih seenaknya masuk kerja. Kerja saat dia ingin saja.
Namun dia sangat baik pada Reni. Gery satu-satunya sandaran Reni saat ayahnya meninggal dunia dan mulai mendapat perlakuan tidak menyenangkan oleh ibu dan saudara tirinya.
Gery menjadi tempat Reni berlindung. Gery adalah segalanya bagi Reni.
Reni mulai lelah. Ia butuh istrahat. Ia harus tetap fresh besok untuk melakukan siaran. Perutnya juga dari tadi berbunyi nyaring. Ia pun meninggalkan apartemen Gery dengan perasan hampa.
Reni menyusuri jalan menuju rumahnya tertunduk lesu. Langkahnya pelan. Ia seakan menghitung langkahnya di bawah penerangan lampu jalan yang agak redup.
Rumahnya terletak di pinggiran kota. Setelah turun dari bus, ia harus berjalanan kaki selama lima menit hingga mencapai rumah.
Tanpa ia sadari, seseorang mengikutinya dari belakang. Kaki panjang, rahang kokoh, dipadu dengan pakaian serba hitam membuatnya terlihat seperti pembunuh berantai.
Jezin, ia membuntuti Reni sejak pulang dari kantor. Saat Reni menunggu di depan apartemen Gery, ia memakai mode tak terlihatnya dan terus mengomel karena terlalu lama disana.
"Kenapa kau harus membuang waktumu menunggu orang yang tak peduli padamu? Dasar gadis bodoh. Apa susahnya melepas pria sepertinya?" Dumelnya kesal.
Jezin menghentikan langkahnya. Matanya tertuju pada seorang pria yang berjongkok di depan pagar rumah Reni.
Reni mengangkat kepalanya dan langsung berhambur memeluk sosok itu.
"Bodoh. Aku baru pulang dari apartemenmu. Aku menunggumu disana sangat lama." Reni masih memeluk Gery erat. Gery pun balas memeluk Reni. Mereka terlihat melepas rindu yang sangat lama mereka pendam. Tanpa sadar ada sepasang mata yang mengawasi mereka tak suka.
"Aku ingin pergi jauh darimu. Aku membencimu karena menghianatiku. Tapi aku tidak bisa, Ren. Aku sangat mencintaimu." Gery mempererat pelukannya.
"Aku berani bersumpah, Ger. Aku tidak pernah selingkuh darimu. Aku tidak tau bagaimana itu terjadi. Itu bukan aku. Aku bersumpah."
Gery mengurai pelukannya. "Apa kau pernah bertemu dengan orang itu sebelumnya?"
"Aku hanya menemuinya satu kali. Dia datang ke kantor dan ingin bertemu denganku. Lalu kami bicara di kafe. Tapi sikapnya memang aneh. Dia mengatakan hal-hal yang tidak pernah aku lakukan. Dan mengatakan kepalaku terbentur, karena itu aku tidak mengingatnya."
"Apa kepalamu pernah terbentur?"
"Tidak. Aku baik-baik saja. Ger, tolong percaya padaku. Aku tidak menghianatimu." Reni memandang Gery penuh keyakinan.
"Aku percaya. Lupakan apa yang sudah terjadi. Aku yakin, dia hanya orang yang ingin menghancurkan hubungan kita." Gery membelai rambut Reni penuh kasih. Reni tersenyum bahagia diiringi anggukan. Ia kembali masuk ke dalam pelukan Gery.
"Ger, aku lapar. Dari tadi aku belum makan karen menunggumu." Reni mengeluh manja. Masih memeluk Gery.
"Gadis bodoh. Ini sudah jam 10 malam dan kau belum makan. Ayo, aku akan membelilanmu makanan enak."
Mereka pun bergandengan tangan meninggalkan tempat itu. Jezin tersenyum pahit melihat pemandangan yang disajikan Gery dan Reni. Ia sangat ingin menghampiri mereka dan melepaskan tautan tangan mereka. Keberadaannya bahkan tidak mereka sadari karena terlalu hanyut dalam kebahagiaan.
"Kenapa aku harus berdiri di sini dan menyaksikan sikap konyol mereka? Hahaha. " Jezin terbahak. Namun itu tidak mencerminkan hatinya.
"Kita lihat sekuat apa cinta kalian." Jezin mengeluarkan senyum liciknya. Matanya terus mengikuti sepasang anak manusia yang tengah berbahagia itu.
*****
Hari ini para pegawai di kantor penyiar sangat sibuk. Mereka kedatangan tamu spesial yang akan melakukan wawancara saat on air nanti. Segala sesuatu dipersiapkan dengan sempurnah. Mereka tidak ingin ada kesalahan saat acara mengudara.
Tidak hanya pada sistem, mereka juga merubah interior ruangan. Mengganti lukisan dan hiasan ruangan. Mereka sangat antusias.
Reni pun tak kalah sibuk. Ia tampak mempersiapkan script yang akan ia tanyakan nanti pada tamu yang akan menemaninya selama on air.
"Kapan tamu kita datang, Pak?" Tanya Reni pada produser
"Sebentar lagi. Tolong perhatikan naskahmu, Reni. Menurut informasi, tamu kita sangat mudah tersinggung. Dia punya tempramen buruk."
"Saya akan melakukan yang terbaik, Pak. Tapi saya dengar-dengar tamu kita masih sangat muda, Pak."
"Betul. Beliau adalah CEO muda dari perusahaan asing yang cabangnya merajai pasar indrustri fashion di negara kita. Tas seharga 3 M yang di pakai atris cantik Semi di fashion show kemarin malam dari brand beliau."
"Wah. Luar biasa."
"Aku percayakan padamu Reni. Lakukan yang terbaik. Jangan sampai ada kesalahan sedikit pun. Kunjungan orang-orang ternama seperti ini sangat kita butuhkan. Rating kita akan melonjak drastis."
"Saya akan melakukan yang terbaik Pak."
"Terima kasih." Produser menepuk pundak Reni memberi semangat dan berlalu.
Reni manarik nafas panjang. Baru kali ini dia akan melakukan sesi wawancara dengan orang asing. Biasanya, stasiun radionya hanya melakukan wawancara dengan pengusaha lokal, artis dan tokoh-tokoh publik.
Reni melangkah ke ruang ganti. Memilih gaun yang pas ia kenakan malam ini. Dia harus terlihat elegan, sopan dan tentunya cantik.
"Ini gaun Anda untuk siang ini, Nyonya."
Reni berbalik. Ia mendengar suara yang tak asing di telinganya. Dia menemukan Seli berjalan menghampirinya sembari membawa kotak kado berukuran besar.
Reni membuka tutup kotak itu penasaran. "Siapa yang memberikanmu gaun secantik ini, Sel?" Reni mengangkat gaun itu takjub.
Gaun selutut berwarna hitam yang tampak sangat mewah dengan kain motif timbul. Bagian depan dan belakangnya tertutup sempurnah. Sopan.
"Sepertinya gaun dari Gery. Tadi kurirnya hanya mengatakan hadiah untuk Nona Reni. Apa kalian sudah baikan?"
"Em. Gery percaya kalau itu bukan diriku."
"Seharusnya aku tidak ikut pusing saat kalian bertengkar. Itu hanya buang-buang waktu dan tenagaku. Buktinya kalian pasangan yang tidak bisa dipisahkan."
"Hahaha. Aku mencintaimu. " Reni memberikan simbol hati ke arah Seli.
Seli hanya bergidik ngeri. "Apa kau akan memakai gaun itu saat on air?"
"Tentu saja. Aku harus terlihat cantik di depan tamu terhormat kita. Aku akan memakainya dan berfoto untuk Gery." Reni tersenyum nakal.
"Ya ya ya. Lakukan apa yang kau mau untuk merayakan kebahagiaanmu karena Gerymu sudah kembali." Seli memutar tubuhnya berlalu meninggalkan Reni.
"Terima kasih sayangku. Aku akan mentraktirmu malam ini." Reni setengah berteriak.
Seli yang sudah hilang ditelan pintu kembali menongolkan kepalanya dari balik pintu. "Aku ingin makan steak di restoran seberang malam ini. Katanya steak di sana enak."
"Dasar kamu. Giliran dapat traktir pilih yang mahal."
"Aku juga mencintaimu. Aku menuggumu. " Seli balas memberikan simbol cinta ke Reni dan menghilang dari balik pintu.
Reni hanya tersenyum geli melihat tingkah sahabatnya itu. Ia lalu melanjutkan mengganti pakaiannya dengan gaun yang baru saja ia terima.
Reni keluar dari ruang ganti menuju ruang penyiar. Visualnya malam ini terlihat sangat anggun. Ia menggulung rambutnya membiarkan leher jenjangnya terekspos bebas. Make up sederhana, ia padukan dengan aksesoris kecil yang melingkar di lehernya.
Waktu on air sisa 10 menit lagi. Tamu yang akan membersamainya siang ini pasti sudah menunggu di ruang penyiar.
"Reni, tamunya sudah menunggu di dalam." Produser menghampirinya yang terlihat sangat buru-buru.
"Baik, Pak. Saya langsung masuk saja Pak."
Reni berlalu. Ia mengatur nafas agar tidak gugup. Dan berjalan menghampiri pria yang duduk membelakanginya.
"Mohon maaf membuat Anda menunggu, Tuan." Reni sedikit membungkuk dan meletakkan cript yang ia bawa ke atas meja.
Muka yang tadinya dihiasi senyuman cantik tiba-tiba berubah tegang. Ia mengerutkan kening tak percaya dengan apa yang dia lihat.
"Apa yang kamu lakukan di sini?"
"Apa yang kamu lakukan disini?" Muka Reni berubah tegang. "Apa maksud kamu, Nona? Tentu saja saya datang untuk memenuhi undangan wawancara saya." Jezin berdiri balas menatap Reni dengan wajah tanpa bersalah. Senyum kemenangan terukir di wajah tampannya. Reni kelimpungan. Ia tidak menyangka pria mesum yang berdiri di depannya ini adalah tamu kehormatan di kantornya. Reni memegang kepalanya bingung. Ingin rasanya dia membatalkan sesi wawancara ini. Tapi bagaimana bisa? Dia hanya seorang penyiar disini. Dia tidak punya hak. Lagi pula, dia akan langsung ditendang dari kantor jika melakukan kesalahan dengan tamu terhormat ini. "Buat diri Anda nyaman Tuan. Perkenalkan, ini Reni. Penyiar terbaik di stasiun kami. Reni yang akan menemani Anda dalam sesi wawancara, Tuan." Produser menghampiri Reni dan Jezin. Reni hanya diam membatu. Jezin merespon dengan senyuman miringnya. "Kenapa, Reni?" Produser melihat waj
"Aku tidak serendah apa yang otak mesummu pikirkan." Reni menatap Jezin dengan wajah memerah. Rasa takutnya entah menguap kemana. Jezin ikut berdiri sejajar dengan Reni. Meraba pelan pipinya yang meninggalkan rasa perih. "Benarkah? Lalu seperti apa dirimu? Gadis yang masih tersegel? Hah, bukankah sudah tidak ada gadis seperti itu di dunia manusia?" nada Jezin penuh dengan ejekan. "Jangan samakan aku dengan orang mesum sepertimu. Apa kau mengira dengan wajahmu itu kau bisa mendekati gadis manapun yang kau mau? Kau salah. Itu tidak berpengaruh bagiku. Bahkan wajahmu itu terlihat menjijikkan dimataku." Dari balik dinding cermin, produser dan para kru melihat kekacauan itu. Mereka saling melempar tatapan penasaran apa yang terjadi di dalam sana. Mereka pun bergegas menghampiri Reni dan Jezin. "Apa yang terjadi, Ren?" Produser sampai lebih dulu. Disusul dengan kru yang lain. "Maaf, Pak. Saya tidak bisa melanjut
"Kamu dipecat."Rey meletakkan sebuah amplop putih di atas mejanya. Mata Reni tertuju pada amplop itu, sudah dapat ia pastikan apa isi dari amplop tersebut."Anda tidak bisa memecat saya semudah itu, Pak. Kinerja saya baik. Dan yang terjadi hari ini bukan sepenuhnya salah saya." Reni memberanikan diri menatap Rey. Menyuarakan ketidak adilan yang ia alami."Lalu apa itu salah saya?" Rey bersandar di kursi kebesarannya. Matanya meneliti raut cemas Reni. "Apa kau tau bagaimana kita sangat menantikan wawancara ini? Para kru bahkan sampai lembur untuk mempersiapkan banyak hal agar wawancara ini berjalan lancar. Tapi kau tidak memikirkan kerja keras mereka dan mengacaukan semuanya.""Pak, Tuan Jezin bukan orang baik. Dia mengatakan hal-hal yang melecehkan saya. Dia adalah iblis yang bersembunyi di balik wajah rupawannya. Dia memanfaatkan kekuasaannya untuk melecehkan orang-orang lemah. Bapak jangan tertipu."Brak...Rey men
Reni menghampiri posko keamanan apartment setelah turun dari mobil Seli. Ia menyuruh Seli untuk pulang duluan. Reni kasian jika Seli juga harus terlibat lebih dalam.Meski Seli merasa tidak tega membiarkan Reni sendiri, namun dia akhirnya melajukan mobilnya meninggalkan tempat itu karena paksaan Reni."Selamat sore, Pak.""Selamat sore, Nona. Ada yang bisa saya bantu?" Pria paruh baya itu menjawab Reni ramah."Saya ingin ke apartment Tuan Jezin, Pak.""Dengan Nona Reni?"Reni mengerutkan keningnya heran. Bagaimana petugas keamanan di apartment elit ini mengenal namanya?"Tuan Jezin berpesan, jika dia akan kedatangan tamu wanita yang bernama Reni." Pria itu menjelaskan setelah melihat wajah keheranan Reni.Reni tersenyum hambar mendengar penjelasan pria itu.Reni jalan bersisian dengan pria yang seumuran dengan ayahnya itu. Pria paruh baya itu lalu menekan tombol lift dan mempersilahkan Reni masuk
Reni berusaha mengumpulkan kesadarannya saat merasa tubuhnya diguyur air. Ia tertidur setelah lelah menangis dan melawan rasa dingin di pojok kamar mandi.Ia mengerjap, mendapati sosok kakak tirinya di bawah cahaya lampu yang tengah berdiri terus menyiraminya.Lely tersenyum puas melihat Reni meringkuk lemah di lantai yang dingin itu. Tanpa peduli dengan keadaan Reni, ia terus menyiramnya dengan shower hingga Reni bangkit dari lantai.Jam sudah menunjuk pukul 7 pagi. Sudah waktunya Reni menyiapkan sarapan untuk kakak dan mamanya.."Apa kau pikir karena terkurung di sini kau akan bebas dari rutinitasmu?" Lely melempar shower yang ada di tangannya ke sembarang arah."Cepat turun dan siapkan sarapan kami! Aku lapar," titahnya berlalu keluar. Reni masih berusaha bangkit dari lantai. Ia merasa sekujur tubuhnya sakit. Dan wajahnya perih.Ia tertatih meninggalkan kamar mandi yang semalaman menjadi saksi kepedihannya. K
"Ger, aku..." suara Reni bergetar. Ia menyebut nama Gery lembut. Menambah gejolak hasrat Gery yang kian membara.Gery mengecup ringan telinga Reni setelah berbisik. Lalu kembali memandang wajah Reni yang sedang memejamkan matanya.Tatapannya tertutup kabut gairah. Ia sudah tidak bisa menahan hasratnya untuk tidak menerkam gadis yang ada di dalam dekapannya.Gery mulai mengecup kening Reni lembut. Lalu bibirnya turun menyentuh ujung hidung Reni. Namun sebuah suara di dapur menghentikan aksinya.Prank. Prank.Kedua makhluk yang sedang terbuai api asmara itu kaget. Mereka saling memandang beberapa saat tanpa mengeluarkan suara. Lalu memutuskan menghampiri asal suara tersebut."Jangan mendekat, Ren. Banyak pecahan kaca," Gery yang sampai lebih dulu menahan Reni yang mengekor dibelakangnya.Bola mata Reni membesar. "Siapa yang menjatuhkan barang-barang ini?"Beberapa gelas dan teko kaca hanc
Suara bel apartemen Jezin menggema memenuhi ruangan. Tapi si empunya dengan santai mengabaikan bel yang bunyi berkali-kali. Ia masih sibuk merapikan kemeja hitam yang ia kenakan di depan cermin. Bibirnya menampilkan senyum tipis. Sempurnah.Jezin lalu berjalan menghampiri pintu yang sedari tadi memanggil-manggil dirinya. Jezin tau pasti, siapa yang berdiri di depan pintu apartemennya.Beberapa jam sebelumnya, ia sudah mendapat telfon dan mendengar kalau Reni akan datang untuk menepati janjinya. Ia merasa kemenangan kembali berpihak padanya.Jezin membuka pintu dan menampilkan wajah datarnya. Ia meneliti setiap wajah Reni yang melemparkan senyum manis padanya.Memar diwajah Reni mulai memudar. Dan sudah tidak ada lagi luka baru. Semenjak kejadian itu, Jezin selalu mengikuti Reni diam-diam. Bukan hanya ke kediaman Gery, tapi Jezin pun mengikuti Reni pulang ke rumahnya. Jezin tidak mau, Reni kembali mendapatkan luka seperti terakhir kali.
Langkah Reni terhenti mendengar ancaman dari Jezin. Ia mengepalkan tangannya geram dan berbalik. "Lakukan apa pun yang ingin kamu lakukan!" prilaku dan kata-kata sopan Reni sirna seketika. Jezin yang mendengar itu tertawa hambar. Tadinya ia sangat percaya diri Reni akan menerima semuanya dengan suka rela demi mempertahankan pekerjaan teman-temannya. Namun kali ini ia lagi-lagi mendapat penolakan. "Apa kau pikir semua bisa kau dapatkan dengan uang? Kau salah." Reni kembali melanjutkan langkahnya setelah menampilkan wajah mengejek pada Jezin yang terus menatapnya dengan mata elang. "Jadilah pria yang bertabat, Tuan Jezin yang terhormat," ucap Reni sebelum benar-benar menghilang dari pandangan Jezin. Jezin melipat kedua lengannya di depan dada sembari tersenyum kecut. Ia mencoba berusaha tenang mendapat penolakan yang kesekian kalinya dari Reni. Yang baginya, itu adalah sebuah penghinaan. Tapi ada yang