Hujan baru saja mengguyur bumi dengan derasnya. Burung berkicau riang menari kesana-kemari. Kabut menutupi sebagian puncak pengunungan.
Namun ada yang aneh. Kabut pekat pun mengepul dari balik kayu besar yang menjulang tinggi.
Sosok tampan dengan setelan serba hitam keluar dari dalam kabut. Tatapan tajam, rahang yang kokoh, hidung mancung serta kulit putihnya bercahaya dari balik setelan hitam yang ia kenakan.
Dia melirik jam tangan yang melingkar di lengan kirinya. Bukan jam pada umumnya. Jam itu memperlihatkan foto seorang gadis dengan waktu yang terus berjalan mundur.
Dia menarik ujung bibirnya membentuk senyum. Tampan, namun terlihat menakutkan.
Dia melangkahkan kaki panjangnya. Mencari sosok yang diperlihatkan oleh jam miliknya.
Pandangannya mengunci seorang gadis yang sedang memainkan ponselnya. Mengenakan seragam sekolah dengan tas tersampir di bahunya.
"Malang sekali nasibnya. Harus meninggalkan dunia ini diusia muda" Gumamnya menarik ujung bibirnya tersenyum licik. Masih dengan langkah lebarnya.
"Mau pulang gadis kecil?" dia sudah duduk di samping gadis berseragam itu.
"Ah..... Eemm... Iya. " Jawab gadis itu tergagap.
"Wah, pelajar sekarang sangat patuh. Kelas selesai langsung pulang. Gadis baik." Ia menepuk kepala gadis itu. Dengan senyuman memikat.
"Wah, Tuan. Anda sangat tampan." Gadis itu tidak berkedip.
"Benarkah? Lalu maukah kau menjadi kekasihku?"
"Tentu saja, Tuan."
Dia tersenyum puas. Tidak perlu berlama-lama. Ia sudah bisa memikat targetnya.
"Pejamkan matamu. Aku akan membuatmu melupakan semua kenangan pahitmu."
Gadis itu mengangguk mengiyakan. Ia pun meraih tengkuk gadis itu dan menyentuhkan bibirnya ke bibir gadis itu lembut. Hanya sekilas.
"Saat kau tidur nanti, kau akan melupakan segalanya."
"Termasuk dunia ini." Sambungnya dalam hati tersenyum licik.
Bruk... Bruk.... Bruk...
Tiba-tiba seseorang memukulnya dari belakang. Ia berdiri dengan kesal berusaha menghindar dari pukulan membabi-buta itu.
Ia melihat seorang gadis cantik berkaos putih dengan celana panjang yang sedang memegang payung yang ia gunakan untuk memukulnya. Wajah bulat dan hidung mancung tampak sangat menawan. Rambut panjangnya ia ikat asal-asalan.
"Dasar pria mesum," gadis cantik itu masih berusaha memukulnya. Namun ia dengan sigap menangkap payungnya.
"Apa masalahmu, Nona."
"Aku sering menemukan pria mesum sepertimu. Pria sepertimu tidak layak hidup. Enyah kau dari muka bumi ini."
"Hei, Dik. Cepat naik ke bismu. Aku akan bawa pria mesum ini ke kantor polisi. "
"Hei, Nona. Kami melakukannya atas dasar suka sama suka. Tidak ada unsur paksaan."
Orang yang melewati tempat itu mulai memperhatikan mereka.
"Kau pikir aku tidak melihatmu, Tuan Mesum. Siapa yang ingin kau bodohi. Kau berpakaian rapi. Tapi ternyata pekerjaanmu hanya melecehkan para pelajar."
Ia tersenyum kecut mendengar penuturan wanita itu. Orang-orang mulai berbisik. Entah apa yang mereka bicarakan.
"Apa kau ingin mencobanya, Nona? Kau cemburu pada pelajar itu bukan? Kau berpikir, pria setampan diriku kenapa tidak memilih dirimu," entah dari mana kepercayaan diri itu.
Wanita itu mengerutkan keningnya jijik.
"Siapa yang kau sebut tampan, Tuan Mesum. Bagiku kau hanya pria mesum pemburu paha mulus para pelajar yang tak berdaya. Tapi tenang saja, kali ini akan aku pastikan menjebloskanmu ke balik jeruji besi."
Dia hanya tersenyum lebar mendengar penuturan gadis itu. Menampilkan deretan giginya yang rapi. Dia melihat tidak ada rasa takut di mata gadis itu. Namun tidak ada yang bisa membuatnya masuk ke dalam kurungan yang diperuntukkan untuk manusia lemah.
"Aku juga sangat ingin masuk ke tempat itu, Nona. Tapi sayangnya, belum ada yang bisa membawaku ke sana. Aku sangat menantikan tawaranmu, Nona manis." Dia menampilkan senyum terliciknya. Menjentikkan jemarinya. Seketika semua yang ada disekitarnya berhenti. Hanya dirinya yang bisa bergerak.
Ia menepuk kepala gadis itu lembut.
"Aku menantikan pertemuan kita selanjutnya, Nona. Tapi, apa kau siap dengan bibir mautku? Hahahaha. " Ia berbisik di telinga gadis itu dan berlalu dengan tertawa puas.
******
Jezin, seorang pemburu nyawa dari kalangan peri. Jezin ditugaskan untuk memburu para gadis yang mencapakkan laki-laki yang tulus mencintai mereka.
Di dunia peri, laki-laki memiliki perasaan yang rapuh. Lemah saat dihadapkan dengan masalah hati, dan selalu menjadi pihak yang tersakiti.
Para peri tidak ingin di dunia manusia terjadi hal serupa. Mereka turun tangan berpihak pada makhluk adam untuk menghukum setiap gadis tak berprasaan yang selalu menyakiti hati laki-laki.
Dan itu menjadi alasan Jezin dikirim ke dunia manusia. Jezin adalah pembunuh sadis tanpa menorehkan luka. Hanya dengan mengecup ringan bibir buruannya, sudah dipastikan tidak ada hari esok baginya.
Jezin pemburu paling handal dikalangan para peri. Belum ada wanita yang bisa menolak pesonanya. Berkat anugrah wajah tampannya, ia selalu sukses menjalankan misinya. Dan itu menjadi poin plus baginya di hadapan Ratu Peri.
Jezin melihat pantulan dirinya di cermin. Mengusap lembut bibirnya yang kembali berhasil menjatuhkan korban. Jezin tersenyum puas.
Jezin berjalan menuju meja, mengambil stiker angka dan menempelnya di dinding yang hampir penuh dengan stiker serupa.
"993. Wah. Sepertinya aku akan menjadi ketua peri diusia muda. Kenapa tugas ini sangat mudah bagiku."
Jezin memasukkan kedua tangannya ke saku celananya. Melihat deretan angka yang ia tempel serapi mungkin. Sebuah prestasi luar biasa. Membingkai senyum sempurnah di wajahnya.
"Kamu akan menjadi gadis ke 1000. Tunggu aku gadis manis, angka kematianmu akan ikut serta menghiasi dinding ini."
Jezin merasa sedikit kesal akibat ulah gadis siang tadi. Pria setampan dirinya harus menerima julukan pria mesum. Jezin juga harus menahan malu menjadi bahan tontonan gratis pengguna jalan. Ditambah lagi dia harus menerima pukulan membabi buta dari gadis itu.
Harga dirinya tidak membiarkan gadis itu lolos begitu saja. Jezin harus memberinya pelajaran. Gadis itu harus sadar siapa yang ia hadapi.
"Apa? Aku tidak tampan? Aku pria mesum? Hahaha." Jezin terbahak. Perkataan gadis itu masih terus terngiang di telinganya.
"Kau akan jatuh cinta padaku. Akan aku pastikan itu."
Jezin kembali muncul di tengah kabut lebat. Ia keluar dari dalam pohon besar yang menjulang tinggi. Benar. Ia tinggal di dalam sana. Di mata manusia biasa, itu hanya sebatang pohon. Namun di dunia peri, di dalam pohon itu, rumah mewah Jezin berdiri kokoh. Bak mension di dunia manusia.
Jezin menemui seseorang.
"Carikan wanita ini untukku!" Titahnya membuka telapak tangannya. Muncul wajah gadis itu yang tengah memukulnya.
"Waw. Sejarah akan mencatat. Kau baru saja dilecehkan seorang wanita." Remo meledeknya. Remo seorang peri mata-mata.
"Tidak akan kubiarkan dia lolos."
"Menyentuh manusia yang tidak bersalah melanggar peraturan dunia peri. Kau akan dihukum." Remo mengingatkan.
"Aku akan bermain cantik. Tenang saja. Tidak akan kusia-siakan kerja kerasku menguap begitu saja."
"Wajah gadis itu seperti menyembunyikan kesedihan."
Jezin tersenyum miring. "Kau bersimpati padanya."
"Tentu saja. Aku seorang peri. Dan seorang peri harus memiliki hati seluas samudra."
"Hahaha. Aku juga seorang peri. Namun hatiku hanya seukuran telapak tanganku."
"Itu karena kau peri berdarah dingin."
"Apa pun itu. Cepat katakan di mana gadis ini?"
Remo memejamkan matanya. Pandangan matanya seakan membawanya berkelana mencari keberadaan seorang gadis.
"Saat kau melewati gedung itu, kau akan menemukan taman. Di depan taman ada gedung penyiar radio. Dia bekerja di sana."
Remo menunjuk puncak gedung pencakar langit. Mereka hanya bisa melihat sedikit puncak gedung tersebut karena terhalang jarak yang sangat jauh.
"Hahaha. Kau ingin aku ke tempat sejauh itu?"
Jezin menoleh tak percaya pada Remo.
"Apa perlu kau tanyakan lagi padaku? Bukankah kau yang begitu tak tahu diri datang menanyakan keberadaan gadis itu? "
Jezin meneguk liurnya.
"Maksudku, kenapa dia begitu jauh diujung dunia sana."
"Lalu, kau ingin aku menyeretnya ke hadapanmu?"
"Maukah kau? " Jezin memasang wajah imutnya.
"Aku setuju dengan gadis itu. Kau tidak ada tampannya sedikit pun." Remo bergidik ngeri melihat Jezin menggodanya dengan wajah sok imutnya.
"Sepertinya, otakmu hanya kau pake untuk mencium gadis yang ingin kau buruh. Bukankah kau seorang peri? Kau hanya perlu menjentikkan jarimu lalu berubah menjadi asap. Kau tidak perlu memakai kaki panjangmu itu kesana."
"Ah. Betul juga. Kau sangat cerdas, Remo."
Tanpa pikir panjang lagi Jezin menjetikkan jarinya, seketika menjadi gumpalan asap kecil. Ia tidak peduli jika ada orang yang melihat aksinya.
Remo yang melihat itu gelagapan kesal. Ia menoleh ke kiri ke kanan takut seseorang menyaksikan mereka.
"Dasar peri gila." Umpatnya. Namun langsung ikut menjentikkan jarinya.
Kalau kau bisa, aku juga bisa. Kilahnya
Mereka pun menjelma menjadi asap tanpa api. Menuju tujuan mereka masing-masing.
******
Jezin duduk di taman dengan menaikkan satu kakinya diatas lututnya. Sangat angkuh. Mulutnya sibuk mengulum lolipop yang ada di tangannya.Matanya tak lepas dari pintu masuk kantor penyiar. Mengabsen semua orang yang keluar masuk dari sana.Sudah dua jam dia duduk di sana. Tapi belum ada tanda-tanda keberadaan sosok yang ia cari."Apa Peri lemot itu memberiku alamat palsu?" Jezin mulai jengkel.Ia melangkahkan kaki panjangnya ke arah kantor penyiar itu. Ia memutuskan mencarinya langsung di dalam."Awas saja kalau Remo berani mempermainkanku. Akan aku cium dia sampai kejang-kejang. Tidak akan ada hari esok baginya."Jezin mengeluarkan senyum pembunuhnya. Masuk ke kantor penyiar itu dengan tatapan tajamnya.Seorang gadis dari meja informasi mengikuti Jezin dengan pandangannya. Ia seakan tersihir oleh wajah tampan bak lukisan itu. Jezin tak peduli dan melewatinya begitu saja."Maaf, Tuan. A
Kali ini Jezin sudah tidak mau menghabiskan waktunya menunggu di taman. Ia memilih langsung menghampiri Seli di meja informasi."Selamat datang, Tuan. Senang bertemu dengan Anda kembali. " Seli mengembangkam senyum manisnya."Saya ingin bertemu gadis itu." Tanpa basa-basi, Jezin mengutarakan niatnya."Gadis mana yang Tuan maksud?" Seli bertanya tenang. Meski ia tau, Renilah gadis yang ingin ditemui Jezin."Gadis yang aku temui beberapa hari yang lalu.""Maaf, Tuan. Anda harus menyebutkan nama orang yang ingin Anda temui. Banyak tamu yang datang sili berganti. Dan saya tidak bisa mengingat semua karyawan yang ditemui oleh setiap tamu.""Haruskah aku masuk ke dalam dan menyeretnya sendiri?" Nada Jezin terdengar mengancam."Anda tidak di izinkan masuk tanpa persetujuan orang yang ingin Anda temui, Tuan." Seli berusaha tenang. Bukan tanpa sebab Seli bersikap begitu. Ia juga sempat mendapat ancaman dari Reni j
Di dunia peri.Ratu peri duduk di kursi kebesarannya penuh wibawa. Para peri pun tampak duduk berkumpul dengan tenang. Mereka semua menggunakan pakaian serba putih. Dan didukung nuansa sekeliling pun serba putih. Tampak bercahaya.Jezin masuk entah dari pintu mana. Terlihat seperti noda diantara mereka dengan pakaian serba hitam yang ia kenakan. Kontras.Duduk dengan angkuhnya di kursi yang masih kosong. Memang diperuntukkan untuknya. Melipat lengannya di depan dada."Aiich. Apa aku harus datang setiap kalian sedang menikmati teh kayangan. Aku sangat sibuk, tidak punya waktu untuk mendengar keluh kesah kalian." Jezin protes. Dia tampak tidak menyukai pertemuan itu."Perhatikan kata yang keluar dari mulut Anda, Peri Pemburu. Anda sedang di depan Ratu Peri." Salah satu peri paruh baya tidak suka dengan sikap Jezin."Bukan hanya Anda yang sibuk, Peri Pemburu. Kami juga sangat sibuk. Tapi ini adalah undangan r
Reni mondar-mandir di depan pintu apartemen Gery sambil mengotak-atik telfon genggam miliknya. Sesekali ia menempelkan benda pipih itu ke telinganya. Namun tak ada respon dari ujung sana. Sudah tiga hari setelah kejadian itu. Dan Gery masih tidak bisa dihubungi. Dia juga tidak ada di apartemennya. Reni sangat cemas dibuatnya. "Ayolah Gery. Jangan lakukan ini. Aku khawatir sama kamu." Reni berbicara sendiri masih mengotak-atik telfon genggamnya. Sudah hampir tiga jam dia menunggu di sana. Namun Gery belum memperlihatkan batang hidungnya. Gery pribadi yang arogan. Tidak suka diusik. Cenderung kasar, dan tidak suka miliknya dimiliki orang lain. Maklum, dia tumbuh dalam lingkup keluarga kaya. Ibunya sangat memanjakan dirinya. Di usianya yang sudah menginjak 28 tahun, dia masih seenaknya masuk kerja. Kerja saat dia ingin saja. Namun dia sangat baik pada Reni. Gery satu-satunya sandaran Reni saat ayahnya meninggal dunia
"Apa yang kamu lakukan disini?" Muka Reni berubah tegang. "Apa maksud kamu, Nona? Tentu saja saya datang untuk memenuhi undangan wawancara saya." Jezin berdiri balas menatap Reni dengan wajah tanpa bersalah. Senyum kemenangan terukir di wajah tampannya. Reni kelimpungan. Ia tidak menyangka pria mesum yang berdiri di depannya ini adalah tamu kehormatan di kantornya. Reni memegang kepalanya bingung. Ingin rasanya dia membatalkan sesi wawancara ini. Tapi bagaimana bisa? Dia hanya seorang penyiar disini. Dia tidak punya hak. Lagi pula, dia akan langsung ditendang dari kantor jika melakukan kesalahan dengan tamu terhormat ini. "Buat diri Anda nyaman Tuan. Perkenalkan, ini Reni. Penyiar terbaik di stasiun kami. Reni yang akan menemani Anda dalam sesi wawancara, Tuan." Produser menghampiri Reni dan Jezin. Reni hanya diam membatu. Jezin merespon dengan senyuman miringnya. "Kenapa, Reni?" Produser melihat waj
"Aku tidak serendah apa yang otak mesummu pikirkan." Reni menatap Jezin dengan wajah memerah. Rasa takutnya entah menguap kemana. Jezin ikut berdiri sejajar dengan Reni. Meraba pelan pipinya yang meninggalkan rasa perih. "Benarkah? Lalu seperti apa dirimu? Gadis yang masih tersegel? Hah, bukankah sudah tidak ada gadis seperti itu di dunia manusia?" nada Jezin penuh dengan ejekan. "Jangan samakan aku dengan orang mesum sepertimu. Apa kau mengira dengan wajahmu itu kau bisa mendekati gadis manapun yang kau mau? Kau salah. Itu tidak berpengaruh bagiku. Bahkan wajahmu itu terlihat menjijikkan dimataku." Dari balik dinding cermin, produser dan para kru melihat kekacauan itu. Mereka saling melempar tatapan penasaran apa yang terjadi di dalam sana. Mereka pun bergegas menghampiri Reni dan Jezin. "Apa yang terjadi, Ren?" Produser sampai lebih dulu. Disusul dengan kru yang lain. "Maaf, Pak. Saya tidak bisa melanjut
"Kamu dipecat."Rey meletakkan sebuah amplop putih di atas mejanya. Mata Reni tertuju pada amplop itu, sudah dapat ia pastikan apa isi dari amplop tersebut."Anda tidak bisa memecat saya semudah itu, Pak. Kinerja saya baik. Dan yang terjadi hari ini bukan sepenuhnya salah saya." Reni memberanikan diri menatap Rey. Menyuarakan ketidak adilan yang ia alami."Lalu apa itu salah saya?" Rey bersandar di kursi kebesarannya. Matanya meneliti raut cemas Reni. "Apa kau tau bagaimana kita sangat menantikan wawancara ini? Para kru bahkan sampai lembur untuk mempersiapkan banyak hal agar wawancara ini berjalan lancar. Tapi kau tidak memikirkan kerja keras mereka dan mengacaukan semuanya.""Pak, Tuan Jezin bukan orang baik. Dia mengatakan hal-hal yang melecehkan saya. Dia adalah iblis yang bersembunyi di balik wajah rupawannya. Dia memanfaatkan kekuasaannya untuk melecehkan orang-orang lemah. Bapak jangan tertipu."Brak...Rey men
Reni menghampiri posko keamanan apartment setelah turun dari mobil Seli. Ia menyuruh Seli untuk pulang duluan. Reni kasian jika Seli juga harus terlibat lebih dalam.Meski Seli merasa tidak tega membiarkan Reni sendiri, namun dia akhirnya melajukan mobilnya meninggalkan tempat itu karena paksaan Reni."Selamat sore, Pak.""Selamat sore, Nona. Ada yang bisa saya bantu?" Pria paruh baya itu menjawab Reni ramah."Saya ingin ke apartment Tuan Jezin, Pak.""Dengan Nona Reni?"Reni mengerutkan keningnya heran. Bagaimana petugas keamanan di apartment elit ini mengenal namanya?"Tuan Jezin berpesan, jika dia akan kedatangan tamu wanita yang bernama Reni." Pria itu menjelaskan setelah melihat wajah keheranan Reni.Reni tersenyum hambar mendengar penjelasan pria itu.Reni jalan bersisian dengan pria yang seumuran dengan ayahnya itu. Pria paruh baya itu lalu menekan tombol lift dan mempersilahkan Reni masuk
Bola mata Reni membesar mendengar penuturan Rey. Kakinya bergetar. Ia seakan tidak bisa berdiri tegak."Apa sekarang kau puas karena sudah mengorbankan teman-temanmu demi harga dirimu itu? Aku kasihan dengan mereka yang memiliki teman tanpa rasa peduli seperti dirimu." Rey tersenyum mengejek menampilkan deretan giginya."Kau masih tau di mana pintu keluar kan? Aku rasa kita sudah tidak punya alasan lagi untuk bertemu."Reni berbalik dan keluar dari ruangan Rey. Ia kehilangan kata-kata untuk melawan dan menuntut pekerjaan teman-temannya dikembalikan.Reni berjalan gontai keluar dari gedung itu. Ia berhenti sejenak tepat di depan gedung yang menjulang tinggi di hadapannya. Kepalanya sedikit mendongak memandang gedung itu hingga ke lantai paling atas.Gedung itu hanya memiliki 12 lantai, namun terkesan mewah dengan interior bangunan ala kebarat-baratan. Tidak semua dari bangunan itu digunakan untuk penyiaran radio. Ada beberapa
Langkah Reni terhenti mendengar ancaman dari Jezin. Ia mengepalkan tangannya geram dan berbalik. "Lakukan apa pun yang ingin kamu lakukan!" prilaku dan kata-kata sopan Reni sirna seketika. Jezin yang mendengar itu tertawa hambar. Tadinya ia sangat percaya diri Reni akan menerima semuanya dengan suka rela demi mempertahankan pekerjaan teman-temannya. Namun kali ini ia lagi-lagi mendapat penolakan. "Apa kau pikir semua bisa kau dapatkan dengan uang? Kau salah." Reni kembali melanjutkan langkahnya setelah menampilkan wajah mengejek pada Jezin yang terus menatapnya dengan mata elang. "Jadilah pria yang bertabat, Tuan Jezin yang terhormat," ucap Reni sebelum benar-benar menghilang dari pandangan Jezin. Jezin melipat kedua lengannya di depan dada sembari tersenyum kecut. Ia mencoba berusaha tenang mendapat penolakan yang kesekian kalinya dari Reni. Yang baginya, itu adalah sebuah penghinaan. Tapi ada yang
Suara bel apartemen Jezin menggema memenuhi ruangan. Tapi si empunya dengan santai mengabaikan bel yang bunyi berkali-kali. Ia masih sibuk merapikan kemeja hitam yang ia kenakan di depan cermin. Bibirnya menampilkan senyum tipis. Sempurnah.Jezin lalu berjalan menghampiri pintu yang sedari tadi memanggil-manggil dirinya. Jezin tau pasti, siapa yang berdiri di depan pintu apartemennya.Beberapa jam sebelumnya, ia sudah mendapat telfon dan mendengar kalau Reni akan datang untuk menepati janjinya. Ia merasa kemenangan kembali berpihak padanya.Jezin membuka pintu dan menampilkan wajah datarnya. Ia meneliti setiap wajah Reni yang melemparkan senyum manis padanya.Memar diwajah Reni mulai memudar. Dan sudah tidak ada lagi luka baru. Semenjak kejadian itu, Jezin selalu mengikuti Reni diam-diam. Bukan hanya ke kediaman Gery, tapi Jezin pun mengikuti Reni pulang ke rumahnya. Jezin tidak mau, Reni kembali mendapatkan luka seperti terakhir kali.
"Ger, aku..." suara Reni bergetar. Ia menyebut nama Gery lembut. Menambah gejolak hasrat Gery yang kian membara.Gery mengecup ringan telinga Reni setelah berbisik. Lalu kembali memandang wajah Reni yang sedang memejamkan matanya.Tatapannya tertutup kabut gairah. Ia sudah tidak bisa menahan hasratnya untuk tidak menerkam gadis yang ada di dalam dekapannya.Gery mulai mengecup kening Reni lembut. Lalu bibirnya turun menyentuh ujung hidung Reni. Namun sebuah suara di dapur menghentikan aksinya.Prank. Prank.Kedua makhluk yang sedang terbuai api asmara itu kaget. Mereka saling memandang beberapa saat tanpa mengeluarkan suara. Lalu memutuskan menghampiri asal suara tersebut."Jangan mendekat, Ren. Banyak pecahan kaca," Gery yang sampai lebih dulu menahan Reni yang mengekor dibelakangnya.Bola mata Reni membesar. "Siapa yang menjatuhkan barang-barang ini?"Beberapa gelas dan teko kaca hanc
Reni berusaha mengumpulkan kesadarannya saat merasa tubuhnya diguyur air. Ia tertidur setelah lelah menangis dan melawan rasa dingin di pojok kamar mandi.Ia mengerjap, mendapati sosok kakak tirinya di bawah cahaya lampu yang tengah berdiri terus menyiraminya.Lely tersenyum puas melihat Reni meringkuk lemah di lantai yang dingin itu. Tanpa peduli dengan keadaan Reni, ia terus menyiramnya dengan shower hingga Reni bangkit dari lantai.Jam sudah menunjuk pukul 7 pagi. Sudah waktunya Reni menyiapkan sarapan untuk kakak dan mamanya.."Apa kau pikir karena terkurung di sini kau akan bebas dari rutinitasmu?" Lely melempar shower yang ada di tangannya ke sembarang arah."Cepat turun dan siapkan sarapan kami! Aku lapar," titahnya berlalu keluar. Reni masih berusaha bangkit dari lantai. Ia merasa sekujur tubuhnya sakit. Dan wajahnya perih.Ia tertatih meninggalkan kamar mandi yang semalaman menjadi saksi kepedihannya. K
Reni menghampiri posko keamanan apartment setelah turun dari mobil Seli. Ia menyuruh Seli untuk pulang duluan. Reni kasian jika Seli juga harus terlibat lebih dalam.Meski Seli merasa tidak tega membiarkan Reni sendiri, namun dia akhirnya melajukan mobilnya meninggalkan tempat itu karena paksaan Reni."Selamat sore, Pak.""Selamat sore, Nona. Ada yang bisa saya bantu?" Pria paruh baya itu menjawab Reni ramah."Saya ingin ke apartment Tuan Jezin, Pak.""Dengan Nona Reni?"Reni mengerutkan keningnya heran. Bagaimana petugas keamanan di apartment elit ini mengenal namanya?"Tuan Jezin berpesan, jika dia akan kedatangan tamu wanita yang bernama Reni." Pria itu menjelaskan setelah melihat wajah keheranan Reni.Reni tersenyum hambar mendengar penjelasan pria itu.Reni jalan bersisian dengan pria yang seumuran dengan ayahnya itu. Pria paruh baya itu lalu menekan tombol lift dan mempersilahkan Reni masuk
"Kamu dipecat."Rey meletakkan sebuah amplop putih di atas mejanya. Mata Reni tertuju pada amplop itu, sudah dapat ia pastikan apa isi dari amplop tersebut."Anda tidak bisa memecat saya semudah itu, Pak. Kinerja saya baik. Dan yang terjadi hari ini bukan sepenuhnya salah saya." Reni memberanikan diri menatap Rey. Menyuarakan ketidak adilan yang ia alami."Lalu apa itu salah saya?" Rey bersandar di kursi kebesarannya. Matanya meneliti raut cemas Reni. "Apa kau tau bagaimana kita sangat menantikan wawancara ini? Para kru bahkan sampai lembur untuk mempersiapkan banyak hal agar wawancara ini berjalan lancar. Tapi kau tidak memikirkan kerja keras mereka dan mengacaukan semuanya.""Pak, Tuan Jezin bukan orang baik. Dia mengatakan hal-hal yang melecehkan saya. Dia adalah iblis yang bersembunyi di balik wajah rupawannya. Dia memanfaatkan kekuasaannya untuk melecehkan orang-orang lemah. Bapak jangan tertipu."Brak...Rey men
"Aku tidak serendah apa yang otak mesummu pikirkan." Reni menatap Jezin dengan wajah memerah. Rasa takutnya entah menguap kemana. Jezin ikut berdiri sejajar dengan Reni. Meraba pelan pipinya yang meninggalkan rasa perih. "Benarkah? Lalu seperti apa dirimu? Gadis yang masih tersegel? Hah, bukankah sudah tidak ada gadis seperti itu di dunia manusia?" nada Jezin penuh dengan ejekan. "Jangan samakan aku dengan orang mesum sepertimu. Apa kau mengira dengan wajahmu itu kau bisa mendekati gadis manapun yang kau mau? Kau salah. Itu tidak berpengaruh bagiku. Bahkan wajahmu itu terlihat menjijikkan dimataku." Dari balik dinding cermin, produser dan para kru melihat kekacauan itu. Mereka saling melempar tatapan penasaran apa yang terjadi di dalam sana. Mereka pun bergegas menghampiri Reni dan Jezin. "Apa yang terjadi, Ren?" Produser sampai lebih dulu. Disusul dengan kru yang lain. "Maaf, Pak. Saya tidak bisa melanjut
"Apa yang kamu lakukan disini?" Muka Reni berubah tegang. "Apa maksud kamu, Nona? Tentu saja saya datang untuk memenuhi undangan wawancara saya." Jezin berdiri balas menatap Reni dengan wajah tanpa bersalah. Senyum kemenangan terukir di wajah tampannya. Reni kelimpungan. Ia tidak menyangka pria mesum yang berdiri di depannya ini adalah tamu kehormatan di kantornya. Reni memegang kepalanya bingung. Ingin rasanya dia membatalkan sesi wawancara ini. Tapi bagaimana bisa? Dia hanya seorang penyiar disini. Dia tidak punya hak. Lagi pula, dia akan langsung ditendang dari kantor jika melakukan kesalahan dengan tamu terhormat ini. "Buat diri Anda nyaman Tuan. Perkenalkan, ini Reni. Penyiar terbaik di stasiun kami. Reni yang akan menemani Anda dalam sesi wawancara, Tuan." Produser menghampiri Reni dan Jezin. Reni hanya diam membatu. Jezin merespon dengan senyuman miringnya. "Kenapa, Reni?" Produser melihat waj