"Sanada..! Tugasmu adalah membebaskan istri Kimura, yang di sandera oleh orang-orang Hakeda. Tepatnya Shaburo adalah penggerak dari semua kemelut, yang menerpa perusahaanku saat ini. Ini alamat tempat mereka di sandera telah kucatat. Tapi jangan sampai kedua orang yang menjaga sandera, sempat mengabarkan hal ini pada Shaburo atau Hakeda. Bungkam mereka dengan rapih Sanada..!" Hiroshi memberi perintah pada Sanada, yang menyimak baik-baik perintah dari Tuannya itu. Sanada menerima secarik kertas, berisi alamat tempat istri dan kedua putra Kimura di sandera. Ya, Hiroshi memang masih memiliki garis keturunan, dengan penguasa kastil Osaka di masa lalu. Kastil Osaka merupakan tempat moyangnya Sanada mengabdi, yaitu pada clan Toyotomi.Demikianlah, betapa garis keturunan masih merupakan 'lingkaran karma' berkelanjutan, bagi generasi-generasi berikutnya. Dan Elang kini telah masuk dalam lingkaran itu, sengaja ataupun tidak..! "Baik Tuan Hiroshi..! Segera akan saya bebaskan sandera itu.
'Hmm. Selama 7 jam mereka tak akan sadarkan diri. Situasi terkendali', bathin Sanada. Sanada segera keluar dari hotel itu, untuk kembali menuju kediaman Hiroshi. Sanada dengan diam-diam membayangi ketiga anggota keluarga Kimura, yang baru saja dibebaskannya dari penyanderaan. Sementara itu di kediaman Hiroshi. Nampak Elang masuk ke dalam mobil Bugatti La Voiture Noire hitam, yang dikendarai sendiri oleh Keina. Setelah Hiroshi berangkat ke kantornya, Keina memang mengajak Elang jalan-jalan ke kebun binatang Tennoji Park. Mobil itu pun meluncur keluar dari gerbang kediaman Keina. Dan tak sampai 1 jam kemudian, mereka sudah tiba di gerbang masuk Ten-Shiba. Kebun binatang ini berdiri pada tahun 1915, dan menjadi rumah bagi lebih dari ribuan satwa dari 230 jenis. Lahan kebun binatang itu luasnya kurang lebih 11 hektar. Terdapat dua pintu masuk utama menuju kebun binatang itu, yaitu Shinsekai dan Ten-Shiba. Kebun Binatang Tennoji ini menempatkan satwa dalam beberapa wilayah. Terdap
"A-apa.?! Mas Elang..! Ahh, baik..!" Keina nampak sangat terkejut dan gugup. Lalu akhirnya dia sadar, kalau Elang tidak mau identitas dirinya terekspose ke publik. Segera dia menuruti ajakan Elang, untuk segera meninggalkan lokasi itu. "Keina, apakah ada rumah makan indonesia di sekitar sini..?" tanya Elang, dia sudah kangen dengan dengan masakan negeri sendiri. "Ahh iya Mas Elang. Keina pernah baca ada restoran Bagus Indonesia di daerah Nakatsu. Kita makan siang ke sana yuk," ajak Keina bersemangat, sudah lama dia hanya bepergian seorang diri. Kini hatinya begitu senang ada Elang yang menemaninya. "Wahh, mantap Keina. Ayuk, tak jauh kan dari sini Keina?" tanya Elang. "Sekitar 20 menit dari sini ke sana mas Elang," sahut Keina. "Sedanglah itu. Kita ke sana saja ok Keina..?" "Siap Bos Elang. Hihihii," seloroh Keina, sambil langsung meluncurkan mobilnya ke arah Nakatsu. "Bisa saja kau Keina. Hehe," balas Elang terkekeh. Hatinya senang, melihat Keina sudah melupakan penolakkanny
"Ahhh..!!" teriakkan tertahan serentak mereka. Semua mata mereka melirik ke arah Elang, sambil menutupi mulut mereka dengan tangan masing-masing.Elang kini hanya bisa tersenyum kecut, dia tak bisa mengelak lagi dari pandangan Hiromi. Keina yang tanggap dengan isi hati Elang segera berkata. "Ibu, pria itu memang Mas Elang. Kami baru saja jalan-jalan ke Tennoji Zoo. Bisakah ibu merahasiakan hal ini..? Karena Mas Elang tak mau hal ini tersebar, dan membuat rencananya membantu masalah Ayah gagal karena dikenali musuh," Keina berkata serius untuk meyakinkan Hiromi. Padahal hal itu sama sekali tak ada hubungannya, dengan rencana Elang dan Hiroshi. Keina hanya ingin ibunya merahasiakan hal ini.Mendengar 'tersebar'nya kabar itu, bakal mengganggu rencana penyelesaian kemelut perusahaan suaminya. Hiromi langsung mengangguk tanggap. Dia segera mendekati para pelayannya, yang sepertinya juga sudah menebak 'Elang'lah pria misterius di kebun binatang itu. Hiromi nampak berbicara serius denga
"Salam Bibi Yukari, Arata, dan Haruto. Saya Elang, teman Keina," Elang turut memberi hormat dan memperkenalkan dirinya, pada ketiga keluarga pak Kimura ini. "Terimakasih Elang," Yukari nampak tersenyum ramah, membalas penghormatan Elang. Hal yang diikuti pula oleh Arata dan Haruto. Mereka bertiga lalu melanjutkan melangkah mengikuti Hiromi, menuju ke kamar tamu yang telah disiapkan oleh Hiromi untuk mereka. "Mas Elang, saya kembali ke kamar dulu ya," ucap Keina, dia beranjak ke kamarnya dan ingin rebah sejenak di sana. "Silahkan Keina," sahut Elang, dia pun langsung menuju ke gazebo halaman belakang rumah. Ya, karena Elang telah merasakan energi Sanada di sana. Benar saja saat Elang tiba di gazebo itu, dilihatnya Sanada tengah duduk di sana. Nampak di meja kecil dalam Gazebo terdapat sebotol Mugi Shochu (minuman keras Jepang berkadar alkohol 25% - 37%), dan sebuah gelas kecil terbuat dari kayu (Riyo). Entah darimana Sanada mendapatkan itu semua, mungkin dia membelinya di toko m
Sethh..!! Staaphh..!!! Splaashh.!! Taph..!"Hahhh...?! A-apa..?!" Sanada berseru kaget bukan kepalang. Dia melihat seberkas sinar matahari masuk melalui celah di pilar balok gazebo, bekas titik shurikennya di lesatkan. Ya, shurikennya berhasil menembus balok pilar setebal 20cm x 20cm itu dengan mudahnya. Hal yang tak akan dicapainya sendiri dalam 2-3 tahun latihan se intensif apapun. Oleh karenanya Sanada langsung membungkuk penuh hormat, tanpa bisa berkata-kata pada Elang. Kini dalam hatinya sudah tunduk, dan menganggap Elang adalah guru ketiganya. "Sudahlah Tuan Sanada, saya hanya membuka simpul yang belum terbuka. Sepenuhnya dasar tenaga dalam tuan Sanada memang hebat," Elang berkata rikuh, mendapat perlakuan yang membingungkannya itu. "Elang, mulai sekarang panggil saja saya Paman. Dan di hatiku kau adalah guru ketigaku Elang," Sanada berucap penuh haru. Ya, bagi seorang petarung, tiadalah yang lebih berharga daripada peningkatan ilmunya. Dan hanya dalam waktu sepeminuman te
Jelas sudah kini, apa sebenarnya motif Yutaka Kobayashi menawar 'dokumen cetak biru' itu. Ya, dia ingin mempertahankan tekhnologi Jepang, agar tak keluar dari negerinya. Dia ingin Jepang semakin maju, dengan 'tekhnologi' yang semakin canggih. Bahkan dia bersedia berkorban harta dan nyawa, demi menjaga hal itu. Sungguh luar biasa memang, rasa 'nasionalisme' yang tertanam dalam jiwa Yutaka dan keluarganya. Sungguh dalam hatinya, dia sangat ingin menghabisi Hakeda di kediamannya tadi. Saat Hakeda menyatakan telah juga menwarkan 'cetak biru' itu, pada pihak Rusia dan Amerika. Yutaka bagai sedang menatap seorang 'pengkhianat negara', saat berhadapan dengan Hakeda. Oleh karenanya dia tak betah berlama-lama di kediaman Hakeda. "Baik ayah..!" Nanako menjawab tegas. Bukan tanpa alasan Yutaka mengutus putrinya yang cantik itu dalam misi berbahaya. Leluhurnya Fujibayashi Nagato, adalah seorang pemimpin ninja Iga di era abad ke 16. Secara turun temurun dari generasi ke generasi, keluarga
"Ohh, kau dari Indonesia. Apakah kau menginap di hotel sekitar sini..?" tanya wanita cantik itu, tanpa menjawab pertanyaan Elang. Dia tak merasa perlu memperkenalkan namanya pada orang asing ini. "Iya benar," sahut Elang. Dan semakin di pandangnya, maka makin banyak kesamaan wajah wanita cantik itu, dengan gadis yang selalu berada di hati Elang, Nadya.! Bentuk wajah, alis mata, hidung, serta bibirnya yang merah merekah sangat mirip dengan Nadya. Hanya warna kulit dan matanya saja yang berbeda. Karena wanita ini berkulit lebih putih, dan matanya sedikit lebih sipit dari Nadya. "Sedang apa kau di sini..?" tanya wanita itu lagi, dengan tatapan tajam menyelidik. "Sedang menikmati pemandangan malam di Chishima Park ini, Nona," sahut Elang tersenyum ramah. Elang diam-diam menyelidiki tingkatan energi gadis cantik itu. Dan Elang mendapati, bahwa tingkat energi nona cantik itu masih di bawah Sanada. Dan hati Elang berharap, wanita ini tidak bersebrangan dengan dirinya.'Sayang sekali
“Ayo kita lebih cepat lagi..!" Slaph..! Ki Jagadnata memberi arahan, seraya sosoknya melesat semakin pesat bak meteor. Menuju ke arah asap hitam yang membumbung tinggi itu. Slaph..! Elang pun melesat bagai lenyap, dan tak terlihat lagi oleh Srenggana, yang tertinggal di belakang. “Uedan. !” seru Srenggana terkejut. Karena dia kini hanya bisa melihat sosok sang Guru di depannya, sedangkan Elang entah lenyap ke mana. “Tutup gerbang kota..! Jangan sampai para pemberontak itu masuk..!” seru sang pemimpin sebuah pasukan, yang tampak tengah terdesak mundur. Sosoknya telah berdarah-darah dan terluka disana sini. Namun dia tetap bertahan, seraya bergerak mundur ke arah gerbang. Nampak pasukan yang dipimpinnya hanya tersisa puluhan prajurit saja, sedangkan pasukan musuh mereka berjumlah 4 kali lipat dari pasukkan mereka. Dengan beringas dan tanpa ampun, pasukan musuh menghabisi puluhan prajurit kerajaan yang masih tersisa, satu demi satu. “Senopati Hanggada..! Masuklah..! Gerbang aka
"Tahan anak muda..!" Wush..! Sebuah gelombang energi dahsyat bercahaya kebiruan, melesat cepat ke arah Elang. Diiringi lesatan secepat kilat sosok putih, yang langsung menyambar sosok Srenggana, lalu meletakkan sosok manusia kera itu di tempat aman. Seth..! Taph..! Elang pun sontak melenting ke atas, lalu bersalto beberapa kali. Untuk menghindari gelombang pukulan sosok putih itu. Hingga akhirnya dia mendarat ringan, di sebuah puncak karang. Sepasang matanya langsung menatap tajam, ke arah sosok putih yang telah membokongnya tadi. Blaargkhs..!! Tebing karang hitam meledak ambyar dan rompal. Terkena pukulan sosok putih yang melesat tadi. Bukit Karang Waja pun kembali berguncang keras, bak dilanda lindu. Pecahan karang berhamburan melesat ke segala arah. Asap putih pun nampak mengepul, di sekitar ledakkan itu. Dan saat asap putih itu pudar tertiup angin. Maka nampaklah sebuah cekungan melesak sedalam setengah meter, di bekas pukulan itu. Dahsyat..! “Hei, pemuda asing..! Mengap
'Sepertinya sosok itu mempunyai tujuan khusus masuk ke dimensi ini. Tapi darimana dan siapa dia..?' analisa bathin Elang, seraya bertanya-tanya. Slaphh..! Sosok Permadi tiba juga di tempat itu, dengan menerapkan aji 'Layang Samudera' tingkat puncaknya. "Rupanya kau merasakannya juga Permadi," ucap Elang tenang, pada Permadi yang baru tiba di sampingnya kini. "Benar Elang, sosok putih itu begitu mengerikkan," sahut Permadi. "Dia datang dari dimensi yang berbeda dengan kita Permadi. Lihatlah ke angkasa," ucap Elang. "Wahh..! Sepertinya kita kedatangan tamu tak biasa Elang.!" seru Permadi. "Permadi mari berbagi tugas. Sepertinya ini akan menimbulkan gejolak baik di dimensi kita, maupun dimensi sosok itu berasal. Aku sendiri belum tahu, dimensi apa yang berada di balik gerbang dimensi yang terbuka itu." "Baik Elang. Apa tugasku..?" tanya Permadi. "Aku akan menembus masuk ke dimensi mereka, dan kau lacaklah sosok putih yang barusan masuk ke dimensi kita itu. Jika aku agak lama b
Malam pertama di kamar pengantin Elang dan Nadya berlangsung dengan lembut, dan penuh kebahagiaan. "Ahh, Mas Elang...lakukanlah sekarangss..Nadya sudah tak tahan sayank.." desah Nadya, terdengar lirih bergetar penuh hasrat malam itu. Perlahan Elang mulai 'menyarungkan' kerisnya, pada 'warangka' yang sekian lama ini dicarinya, "Akhshh..! Pelan-pelan Mas Elang.! Oughss.." rintihan kesakitan terdengar dari bibir Nadya, saat 'keris sakti' Elang mengoyak 'pagar ayunya'. Dan akhirnya pada suatu waktu, Elang dan Nadya pun mencapai orgasmenya secara bersamaan. Dua raga saling mendekap dan mengejang hebat, serta saling menyemaikan 'benih-benih' asmara mereka. "Ouhghs.! Mas E..langg.." "Akshhh.! Nadya..hh..!" Tanpa terasakan kain penutup 'cincin Naga Asmara' pun terbakar lenyap dengan sendirinya. Kini cincin Naga Asmara melingkar bebas di jari manis Elang. Memancarkan cahaya biru dan merah nan gemerlap indah menyala. Elang yang baru saja selesai menikmati sisa-sisa klimaksnya, menjadi
'Sungguh mulia hatimu Mas Elang', bisik haru Nadya, tak terasa menitik buliran air mata di sudut kedua matanya. Di genggamnya erat tangan Elang, yang kini berada di sisinya itu."Nadya, mari kita antarkan mereka ke hotel akomodasi tamu yang telah kusiapkan. Biarlah mereka saling melepas rasa kangen mereka di sana dulu," Elang berkata pelan pada Nadya. "Baik Mas Elang. Ayuk Ibu, Bimo, Nina. Nadya antar ke tempat kalian dulu ya," ajak Nadya ramah seraya tersenyum. "Baik Mbak Nadya, Mas Elang. Sekali lagi kami ucapkan terimakasih sedalam-dalamnya, atas kebaikkan kalian. Tsk..tsk.!" ucap Maya serak, terharu dan bahagia. Akhirnya sedan berkelas yang dikemudikan Nadya pun meluncur. Menuju hotel berbintang yang telah disiapkan oleh Elang. *** Dua hari kemudian. Pendopo Ndalem Ngabean, yang terletak di kecamatan Kraton, Yogyakarta. Pada pagi itu sudah terhias indah. Sebuah pendopo dengan area yang cukup luas dan asri. Nuansa jawa klasik sangat mendominasi gedung itu. Suara riuh renda
"Nah ya..! Olahraga berdua ajah, nggak ngajak-ngajak Wiwik..! Om Elang sama Mas Bimo curang..! Huhh..!" Wiwik datang-datang langsung merajuk sebal pada Elang dan Bimo. Karena merasa tak diajak olahraga bersama. "Hehe. Wiwik tambah cakep kalau lagi ngambek ya Bim..?" ledek Elang, sambil nyengir pada ponakkannya itu. "Iya Om. Hahaha," sahut Bimo tertawa, melihat Wiwik yang menjebikan bibirnya pada mereka. "Huhh..! Om Elang sama Mas Bimo dipanggil Nenek, disuruh sarapan dulu," ucap Wiwik ketus, sambil berbalik masuk ke dalam rumah. Namun tak urung hatinya senang juga, dibilang cakep sama omnya itu. Usai sarapan, mandi dan berganti baju, Elang langsung mengajak Bimo ke rumah Nadya, dengan mengendarai motornya. Sebelum ke rumah Nadya, Elang memang sudah mengontak Nadya. Dia meminta bantuan Nadya, untuk mengantarkan dia dan Bimo ke stasiun Tugu. Sesampainya Elang dan Bimo di kediaman Nadya, tampak Nadya sudah bersiap untuk langsung berangkat mengantarkan mereka ke stasiun Tugu. Nadya
Klikh..! "Ya halo," sapa Elang. "Assalamualaikum. Benarkah ini nomor Mas Elang..?" tanya suara wanita di sana. "Wa'alaikumsalam. Ya benar, ini Elang Prayoga," insting Elang langsung mengatakan, jika wanita itu adalah orang yang ditunggunya. "MasyaAllah..! Ternyata mimpi itu benar..! Ini Maya Lestari Mas Elang. Ibu Bimo. Tsk, tskk..!" Suara terkejut di iringi isak tangis terdengar di sana. "Baik Bu Maya, datang sajalah ke Jogjakarta ya. Katakan saja Ibu naik apa dari sana, biar nanti saya jemput di terminal atau di stasiun Tugu." Elang tersenyum senang, saat mengetahui ibu Bimo mau mengikuti 'sugesti', yang diberikan lewat mimpinya dua malam yang lalu. Ya, dengan kemampuannya yang sekarang. Elang memang memiliki kemampuan, untuk masuk ke dalam mimpi seseorang. Layaknya Ki Buyut Sandaka dulu, yang merasuk ke mimpinya. Elang telah men'sugesti' pada Maya Lestari, untuk menghubungi nomor ponselnya yang diberikan lewat mimpi. Dia juga menyatakan Bimo putra Maya berada bersamanya.
"Mas Elang, mmhh.." Nadya langsung mencium tangan Elang lalu memeluknya. Tak lama kemudian, Elang pun pamit kembali ke rumah sang Nenek. Dia ingin beristirahat sejenak, dari kesibukkannya yang melelahkan akhir-akhir ini. Hari menjelang senja, saat dia tiba di rumah sang Nenek. Diparkirkannya motor sport biru, yang baru dibelinya dua hari yang lalu, di garasi samping rumah sang Nenek. Kemarin sebelum keberangkatannya ke Bogor, Elang memang menitipkan motor itu di rumah Nadya. Ya, Elang menganggap tak perlu lagi mengambil motornya di rumah Reva. 'Biarlah, motor itu jadi kenang-kenangan untuk Reva', bathinnya. "Ehh, Om Elang sudah pulang," Wiwik yang melihat Elang pulang langsung menghampiri, dan mencium tangan Elang. Elang langsung masuk dan mencium tangan sang Nenek dan Bibinya. Lalu dia melangkah masuk ke kamarnya. Namun baru saja Elang hendak merebahkan dirinya di ranjang, 'Elang, apakah kau sedang sibuk..?' suara bathin Permadi menyapanya, dari kediamannya di Surabaya. Ela
"Hahhhh...!!!" seruan kaget terdengar serentak, dari seluruh anggota GASStreet di pertemuan itu. "Boss Permadi, jangan tinggalkan kami...!!" terdengar beberapa teriakkan dari mereka. "Kami akan tetap ikut bos Permadi, walau GASStreet dibubarkan..!!" "Kami siap mati untukmu Boss..! Jangan pergi..!!" Kini bahkan ada sebagian yang hadir mulai berteriak dengan suara serak dan mata berair. Ya, bagi mereka semua, Permadi adalah pendobrak pintu 'kejayaan'. Sosok yang memberikan mereka rasa keyakinan dan kebanggaan diri, untuk bergerak lebih maju ke depannya. Dengan dibubarkannya GASStreet dan mundurnya Permadi. Maka mereka semua bagai merasakan, 'pintu kejayaan dan kebanggaan' tertutup kembali untuk mereka. 'Suram..!' pikir mereka semua. Kembali Permadi mengangkat tangannya, dan suasana kembali hening seketika. "Namun saya juga membuka pintu. Bagi kalian yang masih ingin bergabung dengan usaha yang akan saya rintis. Saya dan sahabat saya akan membuka sebuah usaha yang bergerak di b