Dua orang yang merupakan anak buah dari Jody Gardner dan William Mackenzie mulai melakukan tugas mereka masing-masing. Di saat mereka berdua baru saja kembali bertugas, mereka pun tidak sengaja bertemu di satu titik di mana tidak banyak pengawal lain yang berjaga di sana."Apa yang baru saja kau lakukan dari ruang kontrol, Andrew?""Bukan urusanmu!" jawab Andrew tanpa berniat menatap Steven.Steven mencibir, "Ah, kau pasti sedang melakukan-""Kau sendiri, apa yang baru saja kau lakukan dari ruang penjaga?" tanya Andrew balik sambil memasukkan ponselnya ke dalam sakunya."Itu jelas bukan urusanmu." Steven membalas dengan angkuh.Andrew tentu dengan mudah bisa menebaknya tapi dia memilih untuk tidak mengatakan apa yang dia pikirkan."Baiklah, memang lebih baik tak usah ikut campur urusan orang lain," balas Andrew dan dia berniat melangkah menjauh.Akan tetapi dia sempat mendengar Steven berkata, "Jangan gegabah! Hati-hati, Reece! Kau harus pintar memilih orang yang harus kau layani."An
"Jadi, apa yang harus saya lakukan sekarang, Jenderal?" tanya Steven usai melihat tawa sang jenderal berhenti.Jody Gardner dengan begitu tenang berkata, "Biarkan saja untuk saat ini, Stev.""Maksud Anda, kita tidak usah menyelidiki tentang Bill Stewart lagi, Jenderal?" Steven begitu keheranan dengan perubahan sikap Jody yang sangat tiba-tiba itu.Bagi anak buah kepercayaan Jody Gardner itu, pria di depannya ini terlalu cepat merubah rencana."Ya. Biarkan untuk sementara waktu. Jangan bertindak apapun.""Tapi, Jenderal. Bagaimana jika dia-""Tenanglah! Semakin lama diawasi, dia akan semakin berhati-hati. Jadi, lebih baik tunggu saja dia lengah," sahut Jody cepat-cepat.Steven pun terdiam, mencoba memahami keputusan sang jenderal. Setelah berpikir dengan lebih dalam, akhirnya dia menyimpulkan, "Anda bermaksud membuat Bill Stewart mengungkap rahasianya sendiri?"Jody tersenyum lebar, tampak begitu puas mengetahui Steven tahu apa yang dia pikirkan. "Itu baru anak buahku."Steven balas te
Bill pun kemudian kembali bersiap-siap untuk menembak ke arah sasaran yang lain. Dengan begitu sempurna dia berhasil menembak mengenai bagian jantung dari manekin itu hingga Bryan ternganga ketika melihat hasil yang tidak mungkin bisa dia kejar itu.Tapi dia mencoba untuk menenangkan diri dan juga menembak. Sesuai dugaannya, dia kembali kalah dari Bill."Pertanyaan kedua. Siapa yang kau temui saat kau berada di luar istana?" tanya Bill santai.Kali ini Bryan mulai mengerti alasan di mana Bill bertanya satu persatu.Dengan rasa takut yang mulai mencekik lehernya, Bryan menjawab, "George Wood, Penasihat Perang."Bill kemudian tersenyum puas dengan jawaban jujur itu dan kembali menembak ke arah manekin lagi. Bryan semakin tak bisa menahan rasa ketakutannya.Dia bahkan tidak berani mengangkat senjatanya lagi untuk menembak manekin sasarannya. Hingga Bill harus berkata pelan, "Giliranmu, Bryan."Tetapi Bryan masih juga tidak bergerak dan Bill terpaksa harus membantunya dengan cara memegang
"B-baik, Penasihat Perang," jawab Bryan pada akhirnya karena tentu saja dia tidak ingin kehilangan nyawanya yang amat sangat berharga baginya.Bill baru saja akan memerintah pria itu untuk melakukan sesuatu tetapi hal itu terpaksa harus dia tunda karena Andrew mengganggunya dengan masuk ke ruangan itu."Reece, bukankah aku sudah bilang jangan masuk?" ucap Bill.Andrew membungkukkan kepala dan berkata, "Ampun, Penasihat Perang. Tapi seorang utusan dari Raja Keannu baru saja datang ke sini dan menyampaikan pesan dari sang raja yang berupa undangan makan malam untuk Anda."Bill sedikit agak kecewa karena tidak langsung bisa menghukum Bryan. Tapi, urusan raja tentu tak mungkin ditunda lagi sehingga dia pun melepaskan Bryan untuk sementara waktu.Usai Bryan meninggalkan area gedung latihan itu, Bill segera bersiap-siap untuk menghadiri acara makan malam itu."Siapa saja yang diundang oleh raja?" tanya Bill."Hanya Anda dan Jody Gardner, Jenderal."Bill tidak terlihat heran sama sekali teta
"Iya, Jenderal Gardner." Keannu Wellington justru menoleh kepada Bill yang tidak bergerak ketika mendengar pernyataan dari sang raja.Sementara itu, Jody Gardner dengan segera memprotes, "Anda tidak bisa memiliki dua Jenderal Perang di dalam satu kerajaan, Yang Mulia.""Kenapa tidak bisa? Ini dalam keadaan yang sangat terdesak, apa kau berharap aku tidak akan berbuat apa-apa dan hanya mengirim kau ke salah satu kerajaan itu? Lalu, bagaimana jika terjadi perang secara bersamaan?" balas Keannu dengan tatapan tajam kepada sang jenderal perang itu.Jody Gardner agaknya sedikit mengetahui jika rajanya telah memiliki keputusan yang tidak mungkin bisa diganggu gugat, tapi dia masih ingin mencoba untuk menggagalkan keputusan itu, "Yang Mulia, mereka tidak mungkin menyerang bersamaan karena pasti mereka juga memiliki strategi yang berbeda.""Kau tidak bisa menjamin hal itu, Jenderal Gardner. Kau tahu sendiri selama menjabat sebagai seorang Jenderal Perang, tak ada satupun kepastian mereka kapa
Setelah mengatakan hal itu, Bill mundur dengan begitu tenangnya dan berkata, "Selamat malam, Jenderal Gardner."Jody Gardner membeku di tempatnya dan tidak membalas ucapan Bill. Dia hanya melihat orang yang sebentar lagi akan berbagi jabatan dengannya itu berjalan menjauh dari tempatnya berdiri.Pria itu kemudian memberang marah, "Brengsek, apa dia pikir aku tidak bisa mengatasi perang itu tanpa strategi yang dia miliki?"Jody meludah sembarangan dan dengan begitu jengkelnya kembali ke kediamannya."Bagaimana acara makan malamnya, Jenderal?" tanya Steven dengan senyum lebar yang dia miliki tanpa sadar bila jenderalnya sedang dipenuhi oleh amarah."Raja Keannu akan mengangkat Bill Stewart menjadi Jenderal Perang dalam waktu dekat."Steven mengernyitkan dahi, seakan tidak mempercayai apa saja yang baru saja dia dengar sehingga dia bertanya untuk memastikan, "Bill Stewart akan diangkat menjadi Jenderal Perang, Jenderal?" Jody yang sudah sangat kesal kini dibuat semakin kesal karena kebo
"Cassie bisa menunggu," jawab Bill.Sesungguhnya berat baginya meninggalkan Cassandra lebih lama lagi, tapi mengingat tugasnya tentu saja dia tidak bisa mengabaikan kewajibannya ini begitu saja. Di tangannya, ada nyawa jutaan penduduk yang bisa saja terancam jika dia sampai gagal melawan musuh Kerajaan Ans De Lou."Saya akan memerintah beberapa pengawal terpercaya untuk melindungi Nyonya Cassandra selama Anda dalam medan perang, Jenderal," kata Andrew.Bill mengangguk, merasa begitu terbantu. "Kau selalu bisa menenangkanku, Reece.""Sudah menjadi tugas saya, Jenderal."Kedua pria itu kemudian terdiam selama beberapa saat, sebelum Andrew bertanya kembali, "Jenderal, apa Anda tetap akan menyembunyikan identitas asli walaupun telah mendapatkan gelar Anda kembali?""Ya."Sebelum Andrew sempat bertanya lagi, Bill mendahuluinya, "Kau seharusnya tahu alasannya.""Si pembunuh itu, Jenderal?""Ya. Harus aku pastikan dulu, sebelum aku mengungkap jati diriku. Sebelum aku mengetahuinya, biarkan s
"Gila? Kenapa kau sebut aku gila?" Keannu bertanya dengan tenang."Lihat sendiri apa yang sudah kau lakukan!" Monica terlihat tak percaya. Suaminya itu bahkan tak sedikit pun merasa bersalah.Keannu mengangkat bahu, "Apa salahnya? Aku hanya ingin melihat siapa yang terbaik. Mereka itu-""Jelas Jenderal Mackenzie lebih baik.""Belum tentu.""Apanya yang belum tentu? Kau memanggilnya lagi karena sadar dirinyalah yang bisa melindungi kerajaan kita lebih baik dibandingkan dengan Jody Gardner kan? Lalu, kenapa kau mengetesnya lagi?" Monica tampak tak bisa lagi menahan kemarahan.Keannu membalas dengan begitu tenang, "Aku tidak mengetes. Ketahuilah, Monica. Ini aku lakukan demi mencari Jenderal Perang terbaik untuk ke depannya.""Tapi kau mengirim mereka ke medan perang. Bagaimana kalau ... kalau ....""Kalau salah satu dari mereka kalah dalam perang?"Monica menatap sang suami dengan tajam. Kini Monica semakin mengerti bahwa Keannu Wellington memanglah tak terlalu menganggap penting nyawa
Pada awalnya Michelle Veren tidak memahami apa yang ditanyakan oleh James Gardner. Namun, ketika dia melihat air muka sang jenderal, dia langsung tahu yang dimaksud tentu saja waktu tentang kepergian tiga orang yang sedang mereka cari.Sehingga, sang pemilik butik Veren itu pun menjawab, “Sekitar satu jam yang lalu, Jenderal Gardner.”Mendengar jawaban itu, Reiner langsung lemas. Tapi, itu berbanding terbalik dengan James yang malah penuh semangat. Hal tersebut bisa terlihat dari James yang malah berkata, “Ayo, Rei. Kita kejar dia.”Reiner menatap sedih ke arah sahabat baiknya itu dan membalas, “Tidak akan terkejar, James. Itu sudah terlalu lama.”James malah tidak mendengarkan ucapan Reiner dan memerintah beberapa anak buahnya, “Siapkan mobil, kita kejar mereka.”“James,” Reiner memanggil pelan.James mengabaikan panggilan itu dan tetap berkata pada anak buahnya yang masih diam menunggu, “Cari tahu melalui CCTV saat ini mereka sudah berada di daerah mana. Mereka … pasti terlihat ji
Sayangnya semuanya itu telah terlambat disadari oleh gadis muda itu. Semua perkataan dari gadis bernama Alice Porter itu jelas-jelas didengar oleh Reiner Anderson dan James Gardner.Dengan raut wajah menggelap James pun berkata, “Nona, kau-”“Tidak, tidak. Aku hanya salah berbicara, aku … aku tidak tahu apapun. Kalian salah dengar,” kata Alice yang wajahnya kian memucat. Apalagi ketika dia melihat bagaimana aura James Gardner, sang jenderal perang yang menakutkan itu, dia semakin kesulitan untuk bernapas.Reiner pun juga sudah tidak bisa menahan diri sehingga berkata dengan nada jengkel, “Katakan apa saja yang kau ketahui atau kau … akan tahu betapa mengerikannya jika kau berhadapan dengan kami berdua.”“Aku tidak peduli kau itu seorang wanita. Aku masih bisa mencarikan sebuah hukuman yang pantas diterima olehmu,” lanjut Reiner dengan dingin.Alice menelan ludah dengan kasar. Tentu gadis muda itu sangat kebingungan. Terlebih lagi, saat itu tidak ada yang mencoba membantu dirinya sam
Pertanyaan James tersebut seketika membuat Reiner terdiam selama beberapa saat. Dia terpaku menatap ke arah butik itu dengan air muka bingung.Sementara James tidak ingin membuang waktu lebih banyak sehingga tanpa kata dia berjalan cepat menuju ke arah butik yang dimiliki oleh Michelle Veren, seorang desainer wanita berusia empat puluh tahun yang cukup terkenal di negara itu.Reiner pun tidak hanya bengong dan berdiam diri, meratapi ketidaktelitiannya. Dia mengikuti James dengan berlari-lari kecil tepat di belakang James tanpa kata.Begitu James lebih cepat darinya mencapai pintu, dia langsung melihat dua penjaga butik yang membukakan pintu itu untuk mereka.“Ada yang bisa saya bantu?” salah satu penjaga butik itu bertanya pada James.“Saya mencari Putri Rowena. Di mana dia sekarang?” James balik bertanya tanpa basa-basi seraya mengedarkan dua matanya ke segala penjuru lantai satu butik itu.Meskipun saat itu ada sebuah rasa curiga yang mencuat di dalam kepala James, pria muda itu leb
Reiner tidak kunjung menjawab pertanyaan James. Dia malah menampilkan ekspresi wajah yang terlihat ragu-ragu sekaligus bingung.Tentu saja hal itu membuat James menjadi semakin kesal. “Ayolah, katakan cepat! Apa yang aneh dari Putri Rowena?” desak James dengan tidak sabar.Reiner menelan ludah dan menggaruk telinganya sebelum menjawab, “Yah, aku tidak yakin apa ini memang aneh buatmu. Tapi … menurutku ini sangat aneh.”James menggertakkan giginya lantaran semakin jengkel dan tidak sabar.Beruntunglah, dia tidak perlu bertanya lagi karena Reiner menambahkan, “Jadi, menurut laporan dia pergi ke luar istana.”Mendengar jawaban Reiner, James sontak mendengus kasar. “Apa yang aneh dari hal itu? Setahuku dia memang sering pergi ke luar istana.”Reiner mendesah pelan, “Memang. Tapi, kali ini … beberapa jam yang lalu, dia pergi tanpa pengawal. Dan dia … pergi membawa putra mereka, Pangeran Kharel.”Seketika James melotot kaget, “Apa? Kau … yakin?”“Iya, James. Dan-”“Bagaimana mungkin? Raja
Gary Davis tidak menjawab pertanyaan Xylan. Dia hanya memasang ekspresi memelas. Hal itu seketika menimbulkan rasa bersalah pada diri Xylan Wellington.Oh, tidak. Apa yang sudah aku lakukan? Apa … aku sudah berlebihan karena telah menaruh curiga pada asisten pribadiku sendiri? Xylan membatin seraya menatap wajah polos Gary.Sang raja muda itu mendesah pelan. Dia pun kembali berpikir keras. Dia mencoba mengingat segala hal tentang Gary. Dia tidak pernah membuat kesalahan, tak sekalipun. Dia juga tidak pernah melakukan hal yang mencurigakan selama ini. Astaga, apa aku sudah salah mencurigai seseorang? pikir Xylan.Akan tetapi, dia menggelengkan kepalanya dengan cepat saat dia menyadari sesuatu.Tapi, tunggu dulu. James Gardnerlah yang mencurigai dia. Dia tidak mungkin berbicara sembarangan. Kalau tidak, tidak mungkin dia bisa terpilih menjadi wakil jenderal perang. Instingnya pasti sangat kuat sehingga dia memiliki kecurigaan pada Gary Davis, Xylan berpikir serius.Dia lalu menatap k
Ben tidak tahu bagaimana dia harus menanggapi perkataan temannya itu, tapi yang bisa dia lakukan hanyalah pergi mendekati James lalu menepuk punggungnya dengan perlahan berulang kali dengan tujuan menenangkan sang sahabat.“Dia benar-benar tidak akan kembali, Ben.”“Tidak. Itu hanya-”“Dia tidak akan memberi pesan semacam itu jika dia tidak serius dengan ucapannya,” James memotong ucapan Ben.Ben mendesah pelan, “James, yang aku maksud adalah … dia mungkin tidak ingin dicari lagi karena dia ingin pulang sendiri ke istana.”Perkataan Ben tersebut membuat James yang semula begitu sangat kalut menegakkan punggungnya. Jenderal perang itu kemudian menoleh ke arah Ben dan menanggapi, “Apa maksudmu?”Ben sebetulnya tidak yakin atas apa yang dia pikirkan tapi dia tetap menyampaikan buah pikirnya itu, “Menurutku … dia hanya mau pulang sendiri.”James terdiam, berusaha mencerna ucapan temannya.“Begini saja … bagaimana kalau kita pulang saja ke istana, siapa yang tahu kalau mungkin Riley benar-
Ricky Drilon hanya bisa terbengong-bengong saat mendengarkan pertanyaan itu.Oh, dia sering kali mendapati dirinya dalam sebuah situasi yang membingungkan. Tapi, dia tidak pernah merasa tertekan sekalipun.Padahal dia pun sangat sering dihadapkan pada sebuah pilihan yang sulit. Namun, lagi-lagi hal-hal semacam itu bisa diselesaikannya dengan baik tanpa adanya pergolakan batin.Akan tetapi, satu pertanyaan yang dilontarkan oleh Riley Mackenzie berhasil membuatnya berada di dalam fase tersulitnya. “Kenapa kau diam saja? Siapa yang akan kau patuhi? Aku atau Jenderal Gardner?” Riley mengulang kembali pertanyaannya itu.Ricky menelan ludah dengan kasar, semakin bingung.Dahinya pun berkerut, jelas menunjukkan sebuah kebimbangan yang sangat besar. Berulang kali dia merapikan rambutnya hanya dalam satu menit saja. Hal itu membuat Riley tersenyum aneh, “Jadi, bagaimana? Kau akan memilih untuk mematuhi siapa?” Ricky menggigit giginya sendiri.Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Dan k
Ricky tidak langsung menjawab pertanyaan James, dia justru kembali menoleh ke arah Steven, saudara laki-lakinya. Dari tatapan matanya, terlihat sangat jelas laki-laki muda itu meminta persetujuan dari Ricky.Rupanya, kebiasaan itu disadari oleh James Gardner sehingga dengan raut wajah jengkel dia pun berkomentar, “Ayolah! Apa kalian harus berdiskusi terlebih dulu sebelum menjawab pertanyaan sederhana seperti yang aku tanyakan tadi?”“Apa kalian tidak memiliki pendapat kalian sendiri?” James melanjutkan dengan nada dingin.Wajah Ricky dan Steven memerah dengan sempurna.Ben meringis melihat ketegasan James itu tapi dia tidak membuat sebuah interupsi. Tidak ingin membuat James menjadi semakin marah, pada akhirnya Ricky pun menjawab, “Jika itu orang biasa, kemungkinan besar kita masih bisa mengejarnya. Namun, jika itu Jenderal Mackenzie, saya ….”Pria muda itu tidak berani melanjutkan perkataannya. Dari raut wajahnya dia terlihat ragu-ragu hingga James yang melanjutkan perkataannya deng
Benedict Arkitson seketika terdiam membeku seperti sebuah patung seolah tidak berani menggerakkan badannya sedikitpun. Prajurit senior kelas satu yang usianya telah menginjak tiga puluh empat tahun itu hanya bisa terhenyak tanpa bisa mengeluarkan sebuah bantahan apapun terhadap penjelasan prajurit junior itu.Dia berpikir jika dia tidak memiliki alasan lagi untuk meragukan perkataan Lory Blackwell. Sedangkan James Gardner yang anehnya luar biasa terlihat muram itu malah membuang muka ke arah lain, seakan enggan menatap mata Lory Blackwell yang sedang menatap dirinya dengan tatapan polos. Sang jenderal perang muda itu kemudian berkata, “Itu Riley. Itu pasti dia, tidak mungkin salah.”Lory tersenyum puas dan mengangguk dengan penuh kelegaan. Pemuda itu menghela napas panjang setelah pernyataannya tidak diragukan lagi.Akan tetapi, dia justru melihat raut wajah sedih James Gardner yang tidak bisa disembunyikan oleh sang jenderal perang.Dia bahkan mendengar James bergumam pelan, “Itu