Cassie turun ke lantai bawah. Mengendap-endap layaknya seorang pencuri yang takut kepergok oleh sang pemilik rumah. Menengok ke kanan—ke area ruang tamu—tapi ternyata tidak ada siapa pun. Berlanjut berjalan ke arah kiri—yang merupakan ruang tengah atau ruang keluarga—dimana terdapat seperangkat sofa, televisi, juga meja dan kursi makan. Barulah di sebelah kanannya adalah dapur. Mungkin lebih tepatnya disebut pantry, karena terlalu bersih untuk dijadikan dapur kotor.
“Ayo, Cassie. Coba kita lihat ada apa aja di sana,” ujar Cassie bermonolog.Mengambil kesempatan dari suasana rumah yang sepi, Cassie dengan cekatan bergerak menuju kulkas. Di dalamnya hanya ada aneka buah, jus, dan botol-botol air mineral. Sangat sehat. Cassie mengambil jus kemasan kecil. Lalu ada beberapa macam roti yang ditempatkan dalam wadah roti di atas meja pantry. Cassie pun mengambil selembar roti gandum.Sejauh ini sudah dirasa cukup. Meskipun tidak yakin akan mampu membuat perutnya kenyang, tapi setidaknya cukup menyumpal perutnya agar tidak kembali mengeluarkan suara yang mengerikan.Sambil mengunyah dan meminum jus jambu dalam kemasan, Cassie mencoba mencari dapur basah atau dapur kotor atau wet kitchen, karena siapa tahu di sana dia bisa menemukan sesuatu yang lebih pantas untuk menyumpal perutnya. Namun, tidak ada. Tidak ada ruangan lagi di lantai ini. Sebenarnya ada, tapi yang pasti itu bukanlah dapur yang Cassie maksud, melainkan itu adalah kamar Mario.Eh, sebentar ….Merasa ada yang janggal, Cassie mencoba menerka-nerka berapa besar ukuran kamar Mario. Hanya ada satu pintu di ujung lantai ini dan pintu itu mengarah ke kamar lelaki itu. Tidak ada pintu lain yang menandakan adanya ruangan lain selain kamarnya. “Ish, dasar,” gerutu Cassie saat tahu ruang kamar Mario jauh lebih besar dari kamarnya. “Buat apa sih laki-laki punya kamar besar? Udah pasti karena ini rumahnya, jadi dia berhak dapat porsi kamar yang lebih besar dengan fasilitas yang lebih lengkap.”Di tengah cibiran yang dilakukan Cassie tepat di depan pintu kamar Mario, tanpa diduga pintunya pun terbuka. Akibat terkejut, jus kemasan yang masih ada di dalam genggaman Cassie tanpa sengaja tertekan hingga memuncratkan air jusnya tepat ke area leher kaus putih yang dikenakan Mario dan terciprat pula ke wajahnya. Melihat itu, mata dan mulut Cassie spontan terbuka lebar. Beruntung pekikannya tertahan oleh telapak tangannya sendiri. Hanya saja yang disayangkan adalah kakinya justru terpaku di tempat, sehingga dirinya tidak bisa kabur dari amukan Mario.“Maaf, aku ngga—”Belum selesai bicara, Mario langsung menerjang Cassie. Cassie pun melangkah mundur dengan cepat sampai punggungnya menubruk tembok.“Kamu tahu kalau aku baru aja selesai mandi dan ganti pakaian?” tanya Mario dengan pelan, lambat, tapi menekan. Sebetulnya Cassie tahu, melihat rambut messy hair-nya tampak basah dan makin terlihat 'messy'. Namun, bertolak belakang dengan apa yang dia tahu, Cassie justru berujar, “Ngga. Aku ngga tahu.”“Oke. Berarti sekarang kamu udah tahu, ‘kan?”Cassie mengerjap saat Mario tahu-tahu mendekatkan wajah dan meletakkan kedua tangan di tembok yang ada di belakangnya. Membuat wajah Cassie terkunci. Tidak bisa berpaling. Entah aroma apa yang menguar dari tubuh Mario—mungkin parfum atau sabun atau sampo—yang pasti cukup membuat Cassie terhanyut dalam aromanya."I-iya," jawab Cassie gugup."Lalu ini gimana?" Mario menunjuk noda di bajunya dengan gerakan kepala.Cassie melihat bagian leher kaus Mario."Kamu tinggal ganti baju lagi," jawab Cassie polos."Oh, tinggal ganti baju?" tanya Mario dan Cassie mengangguk pelan. "Kalau boleh aku tahu, memangnya kenapa kamu bisa ada di depan pintu kamar ini? Bukannya kamu ngga berniat untuk mampir?"Cassie mengerling. Menolak bertatapan dengan Mario. Namun sialnya, Mario justru menggoda Cassie dimana kepalanya bergerak mengikuti ke mana matanya pergi."A-aku tadi lagi cari dapur.""Kenapa cari dapur? Kamu lapar?""Udah ngga." Cassie dengan cepat menjawab. "Oke kalau begitu. Kamu mau aku ganti baju, ‘kan?"Mario menarik tangannya dari tembok. Salah jika Cassie berpikir situasi meresahkan ini sudah berakhir, sebab Mario justru melepas kausnya hingga yang tersisa hanyalah celana training jogger hitam yang menggantung di pinggulnya. Menyebabkan abs-nya yang sempurna terpampang secara cuma-cuma dan itu benar-benar membuat mata Cassie terkunci untuk terus memandang ke sana. "Sebagai seorang istri yang baik, bisa tolong kamu ambilkan baju gantinya di dalam kamar?"Mario memberikan kaus kotornya pada Cassie yang masih mematung. Mendapati Cassie justru melamun, Mario pun menghela napas."Helloo, Cassie." Mario melambai-lambaikan gumpalan kausnya di depan wajah Cassie.Cassie tersentak dan refleks mengambil kaus yang ada di tangan Mario. Tidak begitu jelas dengan apa yang sebenarnya sang suami minta, Cassie malah menggunakan kaus tersebut untuk membersihkan cipratan air jus yang ada di wajah Mario. Dilakukannya dengan teramat pelan, lembut, dan penuh kehati-hatian. Seakan tidak ingin wajah suaminya itu tergores oleh bahan kaus yang tidak terlalu halus.Menerima perlakuan itu, berganti Mario yang membeku menatap perempuan di depannya.Suara nyaring sesuatu yang terjatuh ke lantai, sontak menjadikan keduanya tersadar. Mario dan Cassie pun secara bersamaan menoleh ke arah suara tadi berasal. Seorang ibu-ibu berpakaian daster dengan rambut dicepol, tengah membungkuk di area tangga untuk mengambil sapu yang tergeletak di lantai. Memperhatikan momen Cassie dan Mario sambil menyengir canggung.Mario mundur selangkah dari Cassie."Kenapa, Bi?" tanyanya pada Bi Endah—asisten rumah tangga Mario dan Cassie."Umm, anu, Pak ….""Anu apa?" tanya Mario berjalan melenggang menuju pantry dan membuka kulkas. Masa bodoh dengan tubuh bagian atasnya yang terekspos."Untuk makan siang, apa Bu Cassie ada pantangan makanan dari dokter?""Aku?" sahut Cassie menunjuk diri sendiri. Mario melirik padanya di tengah proses meneguk air mineral dari botol. "Oh, ngga ada. Aku bisa bebas makan apa pun.""Tolong cepat siapkan di meja makan ya, Bi. Cassie udah terlalu lapar," perintah Mario santai."Baik, Pak." "Oya, Bi," panggil Mario lagi saat Bi Endah hendak pergi. "Itu ada baju kotor saya, tolong dicuci."Paham dengan apa yang dimaksud Mario, Cassie pun berujar, "Oh, ini." Sambil berjalan menghampiri Bi Endah."Aduh, Bu Cassie,” ujar Bi Endah saat menerima pakaian kotor dari Cassie. “Saya senang banget lihat Bu Cassie baik-baik aja dan bisa pulang lagi ke sini. Hati-hati ya, Bu. Jangan sampai kecelakaan lagi. Tuh kan jadi luka-luka begini. Sedih saya lihatnya. Tapi ngga apa-apa, Bu. Bu Cassie tetap cantik. Hehe."Bi Endah terus saja berceloteh. Cassie yang sempat terkejut oleh serangan tiba-tiba dari Bi Endah, hanya mampu menatap dengan bingung. Sesekali melirik Mario yang justru menunduk sambil mengusap-usap kening. Tidak menduga bahwa rumahnya akan dihuni oleh dua orang wanita yang membuatnya pusing."Pokoknya apa pun makanan yang mau Bu Cassie makan, pasti saya buatin dan makan siang kali ini bakal saya buatin yang paling enak. Soalnya makanan di rumah sakit, pasti buat Bu Cassie ngga selera makan, ‘kan?”“Umm … iya,” jawab Cassie ragu, meskipun apa yang dikatakan Bi Endah ada benarnya. “Ditunggu ya, Bu. Permisi, Pak Mario," tutur Bi Endah ramah pada Mario, dimana matanya masih sempat-sempatnya mencuri pemandangan gratis sang majikan untuk yang terakhir kali.Cassie mengusap bagian belakang telinganya. "Itu tadi ….""Bi Endah. Asisten rumah tangga di sini," jelas Mario. "Orangnya memang begitu. Bawel. Beda sama Pak Dicky yang kalem. Waktu kamu pertama kali datang ke sini, kamu juga kaget. Tapi lama-lama juga biasa. Kalau Pak Dicky, dia security di sini, tapi bisa juga merangkap sebagai supir. And by the way, dari awal mereka berdua juga udah tahu kalau kita pisah kamar.”"Oh," balas Cassie singkat, tapi setelahnya terlonjak di tempat saat tahu Mario sudah berdiri di dekatnya. "A-aku pergi ke kamar dulu aja."Cassie pergi dengan cepat, tapi selang beberapa langkah langsung kembali berhenti karena dirasa ada yang harus disampaikan sebelum dia benar-benar pergi."Mario," panggilnya seraya berputar.Entah kenapa saat menyebut nama itu, Cassie merasa agak aneh. Begitu pula dengan Mario. Suara Cassie yang tengah memanggil namanya, berhasil membawanya kembali ke momen sebelum Cassie mengalami kecelakaan."Boleh aku minta tolong sesuatu?" lanjut Cassie menyampaikan maksudnya.Mario mendengarkan sembari melipat kedua tangan di dada. Menjadikan otot-otot di kedua lengan juga dadanya semakin menjadi-jadi. Cassie pun mencoba untuk fokus."Apa?" tanya Mario.Cassie berdeham dan menelan ludah."Kalau memang aku dan kamu diam-diam punya seseorang yang penting di luar sana dan kita benar-benar ngga setuju dengan pernikahan ini, bisa tolong kamu jangan bertingkah seenaknya di depanku?" Mario seketika mengernyit. Tidak peduli seperti apa reaksi Mario, Cassie tetap melanjutkan. "Contohnya tadi. Kamu ngga bisa main lepas baju begitu aja di depanku, karena aku mesti jaga hati dan mataku untuk Jonathan. Dan harusnya kamu juga mesti jaga tubuhmu itu untuk perempuanmu sendiri. Bukannya justru diumbar-umbar ke perempuan lain yang bukan siapa-siapa kamu,” tutur Cassie memberi jeda sekian detik sebelum meneruskan kalimatnya. “Kamu … paham maksud aku, ‘kan?"Mario bersungut-sungut masuk ke dalam walk in closet di dalam kamarnya. Mengambil kaus oblong putih favoritnya yang berada di tumpukan paling atas salah satu lemari. Baru saja memasukkan kepalanya ke dalam lubang leher kaus, dengan cepat Mario melepasnya lagi dan melempar kaus tersebut ke lantai dengan sekuat tenaga.“Argh! Benar-benar perempuan itu,” gerutunya menggeram seraya mengacak-acak rambut. Ditendangnya lagi kaus yang sudah terkapar tak berdaya, kemudian duduk di sofa panjang yang ada di tengah ruangan. Di sanalah Mario menghela napas panjang seraya menyugar rambutnya yang masih setengah basah.“Jaga tubuhmu untuk perempuanmu sendiri dan jangan diumbar—shit! Kenapa kesannya kayak gue yang kurang ajar di sini?”Mario beranjak dari kursi dengan gusar dan berdiri di depan cermin besar. Memandang tubuh atletis dan proporsionalnya di sana.“Ini rumah gue, jadi gue bebas melakukan apa pun di sini. Termasuk buka baju di depan dia dan dia yang harusnya belajar untuk jaga pikiran!” pr
Berlanjut hingga makan malam. Cassie tidak kunjung keluar dari kamar. Niatnya hanya ingin mengerjai perempuan itu, malah Mario sendiri yang dikerjai oleh perasaan waswas dikarenakan Cassie yang sama sekali belum makan sejak siang. Bukannya apa-apa, tapi jika dia sakit, apa yang akan dikatakan orang tuanya nanti? Terlebih Mario pula yang harus bertanggung jawab. Sudah pasti akan teramat sangat merepotkan. “Masih belum ada respons juga, Bi?” tanya Mario saat menemukan Bi Endah kembali turun dengan nampan yang masih penuh dengan lauk makan malam.Sebelumnya Mario memang meminta Bi Endah mengantarkan makanan untuk Cassie. Siapa tahu dia tidak ingin makan di bawah bersama Mario, tapi tetap akan mau makan di dalam kamarnya. Namun faktanya, perempuan itu masih saja mengurung diri.Bahkan Mario sampai memilih bekerja di meja makan, karena dari posisi itulah dia bisa melihat dengan jelas pintu kamar Cassie. Hanya saja memang sejak tadi pintu itu tidak pernah terbuka. “Iya, Pak. Bu Cassie ngg
Sial. Aku terlambat!Mata Cassie membelalak dan tubuhnya tersentak. Dengan segera dia menyibak selimut, melayangkan kaki ke atas lantai, lanjut berdiri, dan sontak menjerit ketika kedua matanya menangkap pemandangan yang tidak seharusnya dia temukan. Seorang lelaki—berambut pendek ala-ala messy hair dan bertelanjang dada—yang berdiri tepat di hadapannya pun spontan berputar. Hingga membuat lekuk perbukitan yang menghiasi dada, perut, serta lengannya terpampang jelas di depan mata.Melihat itu, kedua mata Cassie makin melebar.“Dasar mesum!” teriaknya seraya melempar bantal ke arah lelaki tersebut, tapi dengan mudah dia menangkis. Bahkan masih sempat-sempatnya dia menyambar kaus di atas sofa yang tak jauh darinya, kemudian memakai kaus tersebut dengan gerak cepat.Dirasa belum cukup, Cassie mengambil dua bungkus roti di atas nakas yang ada di samping tempat tidur, kemudian melemparnya lagi.“Pergi sana! Keluar!"Belum cukup juga, Cassie berlanjut melempar dua botol mineral yang masih p
"Su-suami?" tanya Cassie bingung seraya memandang Si Lelaki Mesum—yang rupanya bernama Mario. Dia pun membalas tatapan Cassie dengan wajah sedikit terangkat seiring dengan kedua tangan yang dijejalkan ke dalam saku celana. "Iya. Mario. Suami kamu." Andrea menekankan."Jadi maksud Mama aku udah nikah?""Tentu saja, Sayang. Bahkan pernikahan kamu sudah jalan 6 bulan. Kamu lupa itu?"Mata besar Cassie memelotot. "6 bulan?!""Hei, Sayang, ada apa dengan kamu? Kenapa kamu bisa lupa dengan Tante Lily, Om Samuel, juga Mario?"Andrea membelai kepala dan pipi Cassie di saat mata Cassie masih melekat pada Mario. Masih terlampau syok tatkala tahu lelaki itu adalah suaminya. "Cassie, kamu benar-benar ngga ingat apa pun tentang kami?" tanya wanita asing yang telah diketahui bernama Lily. Pria plontos yang juga diketahui bernama Samuel pun merangkul sang istri dengan tatapan sedih. Jadi, mereka berdua adalah mertuanya? Sungguh?Entah kenapa Cassie jadi tidak enak hati. Dia tampak seperti melakukan
"Memang dasar laki-laki mesum!" "Hei, stop sebut aku mesum!""Ya apa lagi kalau bukan mesum?!" balas Cassie tak mau kalah. Semakin menarik selimut menutup seluruh tubuh, hingga yang tampak di dirinya hanyalah kepalanya yang menyembul dari dalam selimut.Mario menegapkan tubuhnya dengan bersungut-sungut. Selama ini belum ada satu orang pun perempuan yang dengan berani menendangnya dan lucunya, rekor itu sekarang terpecahkan oleh seorang perempuan bernama Cassie, istrinya sendiri."Kalaupun kita memang pernah … ng … pernah lakuin itu, memang ada baiknya aku lupain aja! Aku ngga akan mau ingat-ingat lagi!" "Oh, kamu memang ngga perlu repot-repot mengingat soal itu, karena sebenarnya kamu sendiri pun juga berusaha untuk ngga pernah ingat soal pernikahan ini!” sahut Mario kesal. Masih emosi akibat tendangan Cassie tadi.Cassie merespons dengan dahi mengerut. "Maksudnya?""Kita ngga pernah melakukan apa pun." "Apa pun?" tanya Cassie memastikan ulang. "Tapi ... kita kan udah nikah," lanjut
“Aku kasih ide untuk bercerai?” Mario terdiam sejenak. Menarik napas panjang, lalu mengembuskan perlahan. Setelah itu barulah dengan yakin dia berujar, “Iya.”“Ngga mungkin,” tampik Cassie tak kalah yakin. “Aku ngga mungkin pernah berpikiran begitu. Aku ngga mau jadi janda,” akunya sambil bergidik ngeri membayangkan statusnya berubah menjadi seekstrem itu di umur yang masih muda.Mario mendengkus. “Memangnya cuma kamu yang bakal punya status begitu? Aku sendiri juga akan menyandang status duda, tapi mau ngga mau kita harus bercerai. Kita ngga bisa terus-menerus mempertahankan rumah tangga yang ngga ada landasan perasaan apa pun.”“Ya tapi cerai bukan jawabannya.”“Lalu apa?”Pertanyaan Mario benar-benar mendesak Cassie. Sudah tertekan dengan kenyataan bahwa dirinya sudah menikah, berumur empat tahun lebih tua, ditambah pula dengan kenyataan jika dirinya sempat memiliki ide untuk bercerai. Apa benar semudah itukah gagasan tersebut terlontar dari bibirnya? Saking tidak kuatnya dihantam
"Benarkah itu?"Andrea bertanya tidak percaya. Tangannya mencengkeram erat punggung tangan Edwin yang berada di atas pahanya. Baik Andrea maupun Edwin, keduanya langsung menoleh ke arah Cassie yang sedang tertidur. Andrea mendesah berat."Kenapa di saat seperti ini Cassie justru ingat laki-laki itu?" keluhnya menundukkan kepala."Tenang, Ma. Ini kan cuma sementara. Mario juga sudah ada di sini. Sudah pasti Mario ngga akan biarkan Cassie terus-terusan ingat laki-laki jahat itu."Emosi yang sepertinya sudah terpendam sekian lama, mendadak kembali meledak. Terlihat dari ekspresi Edwin beserta nada bicaranya. "Ya, tapi … rasanya belum siap kalau harus menceritakan dari awal pada Cassie, Pa. Bagaimana kalau dia menangis sesenggukan kayak dulu lagi? Ngga mau makan, ngga mau keluar kamar, ngga mau pergi kuliah. Apalagi kondisi Cassie yang seperti sekarang. Mustahil kita cerita ke dia yang sebenarnya."Andrea membenamkan wajahnya ke dalam telapak tangan. Edwin yang duduk di sampingnya, hany
“Aku sama sekali ngga ingat semua itu,” aku Cassie memandang sayu layar ponsel yang telah berubah hitam. “Kenapa aku ngga bisa ingat apa pun yang terjadi 4 tahun belakangan ini?”Mario menghela napas. Mau tak mau menghampiri Cassie yang hanya bisa menunduk pasrah meratapi nasib. Jika tidak disudahi dengan segera, perempuan itu pasti akan menangis dan apabila hal tersebut benar terjadi, tentunya akan membuat Mario repot. Terlebih apabila Andrea dan Edwin tiba-tiba kembali.“Kamu ngga perlu berusaha ingat. Kamu hanya cukup tahu aja,” cetus Mario mengutip perkataan dokter kemarin. Mengambil ponsel dari tangan Cassie, lalu memasukkannya ke dalam saku celana. “Untuk sementara hp ini aku pegang. Kelihatannya kamu harus fokus ke pemulihan ingatan kamu dulu.”Sekian detik berlalu Mario menunggu respons dari Cassie, tapi yang ada perempuan itu hanya berdiam diri menundukkan kepala. Matanya menatap kosong ke arah lantai. Mario sampai memiring-miringkan kepala untuk melihat wajah Cassie dan yang
Berlanjut hingga makan malam. Cassie tidak kunjung keluar dari kamar. Niatnya hanya ingin mengerjai perempuan itu, malah Mario sendiri yang dikerjai oleh perasaan waswas dikarenakan Cassie yang sama sekali belum makan sejak siang. Bukannya apa-apa, tapi jika dia sakit, apa yang akan dikatakan orang tuanya nanti? Terlebih Mario pula yang harus bertanggung jawab. Sudah pasti akan teramat sangat merepotkan. “Masih belum ada respons juga, Bi?” tanya Mario saat menemukan Bi Endah kembali turun dengan nampan yang masih penuh dengan lauk makan malam.Sebelumnya Mario memang meminta Bi Endah mengantarkan makanan untuk Cassie. Siapa tahu dia tidak ingin makan di bawah bersama Mario, tapi tetap akan mau makan di dalam kamarnya. Namun faktanya, perempuan itu masih saja mengurung diri.Bahkan Mario sampai memilih bekerja di meja makan, karena dari posisi itulah dia bisa melihat dengan jelas pintu kamar Cassie. Hanya saja memang sejak tadi pintu itu tidak pernah terbuka. “Iya, Pak. Bu Cassie ngg
Mario bersungut-sungut masuk ke dalam walk in closet di dalam kamarnya. Mengambil kaus oblong putih favoritnya yang berada di tumpukan paling atas salah satu lemari. Baru saja memasukkan kepalanya ke dalam lubang leher kaus, dengan cepat Mario melepasnya lagi dan melempar kaus tersebut ke lantai dengan sekuat tenaga.“Argh! Benar-benar perempuan itu,” gerutunya menggeram seraya mengacak-acak rambut. Ditendangnya lagi kaus yang sudah terkapar tak berdaya, kemudian duduk di sofa panjang yang ada di tengah ruangan. Di sanalah Mario menghela napas panjang seraya menyugar rambutnya yang masih setengah basah.“Jaga tubuhmu untuk perempuanmu sendiri dan jangan diumbar—shit! Kenapa kesannya kayak gue yang kurang ajar di sini?”Mario beranjak dari kursi dengan gusar dan berdiri di depan cermin besar. Memandang tubuh atletis dan proporsionalnya di sana.“Ini rumah gue, jadi gue bebas melakukan apa pun di sini. Termasuk buka baju di depan dia dan dia yang harusnya belajar untuk jaga pikiran!” pr
Cassie turun ke lantai bawah. Mengendap-endap layaknya seorang pencuri yang takut kepergok oleh sang pemilik rumah. Menengok ke kanan—ke area ruang tamu—tapi ternyata tidak ada siapa pun. Berlanjut berjalan ke arah kiri—yang merupakan ruang tengah atau ruang keluarga—dimana terdapat seperangkat sofa, televisi, juga meja dan kursi makan. Barulah di sebelah kanannya adalah dapur. Mungkin lebih tepatnya disebut pantry, karena terlalu bersih untuk dijadikan dapur kotor. “Ayo, Cassie. Coba kita lihat ada apa aja di sana,” ujar Cassie bermonolog.Mengambil kesempatan dari suasana rumah yang sepi, Cassie dengan cekatan bergerak menuju kulkas. Di dalamnya hanya ada aneka buah, jus, dan botol-botol air mineral. Sangat sehat. Cassie mengambil jus kemasan kecil. Lalu ada beberapa macam roti yang ditempatkan dalam wadah roti di atas meja pantry. Cassie pun mengambil selembar roti gandum.Sejauh ini sudah dirasa cukup. Meskipun tidak yakin akan mampu membuat perutnya kenyang, tapi setidaknya cu
Cassie tidak tahu ada di mana dia sekarang. Bandung bagaikan kota asing baginya. Walau kenyataannya dia sudah empat tahun berada di Bandung untuk kuliah, tapi ingatan selama empat tahun itu sama sekali tidak muncul. Bagaikan ruang kosong. Ingatannya benar-benar berhenti di momen dimana dia telah lulus SMA dan bersiap untuk hari pertama pelaksanaan orientasi di kampus barunya. Bahkan keinginan untuk datang ke ALBIU pun masih ada. Masih merasa harus pergi ke sana. Pintu gerbang terbuka. Mario melanjutkan membawa mobilnya dan tak lama kemudian kembali berhenti. Cassie masih sibuk memperhatikan sekeliling melalui kaca depan mobil. Jadi, ini rumah Mario? Atau bisa dibilang rumahnya dan Mario? Menarik. Unik. Rumah ini didesain seperti menyerupai beberapa balok yang disusun hingga membentuk sebuah bangunan tiga lantai yang simetris. Baru melihat bagian depannya saja Cassie sudah menyukainya.“Ayo turun,” ajak Mario usai mematikan mesin mobil. “Ngga bisa juga lepas seat belt?”Cassie mende
“Aku sama sekali ngga ingat semua itu,” aku Cassie memandang sayu layar ponsel yang telah berubah hitam. “Kenapa aku ngga bisa ingat apa pun yang terjadi 4 tahun belakangan ini?”Mario menghela napas. Mau tak mau menghampiri Cassie yang hanya bisa menunduk pasrah meratapi nasib. Jika tidak disudahi dengan segera, perempuan itu pasti akan menangis dan apabila hal tersebut benar terjadi, tentunya akan membuat Mario repot. Terlebih apabila Andrea dan Edwin tiba-tiba kembali.“Kamu ngga perlu berusaha ingat. Kamu hanya cukup tahu aja,” cetus Mario mengutip perkataan dokter kemarin. Mengambil ponsel dari tangan Cassie, lalu memasukkannya ke dalam saku celana. “Untuk sementara hp ini aku pegang. Kelihatannya kamu harus fokus ke pemulihan ingatan kamu dulu.”Sekian detik berlalu Mario menunggu respons dari Cassie, tapi yang ada perempuan itu hanya berdiam diri menundukkan kepala. Matanya menatap kosong ke arah lantai. Mario sampai memiring-miringkan kepala untuk melihat wajah Cassie dan yang
"Benarkah itu?"Andrea bertanya tidak percaya. Tangannya mencengkeram erat punggung tangan Edwin yang berada di atas pahanya. Baik Andrea maupun Edwin, keduanya langsung menoleh ke arah Cassie yang sedang tertidur. Andrea mendesah berat."Kenapa di saat seperti ini Cassie justru ingat laki-laki itu?" keluhnya menundukkan kepala."Tenang, Ma. Ini kan cuma sementara. Mario juga sudah ada di sini. Sudah pasti Mario ngga akan biarkan Cassie terus-terusan ingat laki-laki jahat itu."Emosi yang sepertinya sudah terpendam sekian lama, mendadak kembali meledak. Terlihat dari ekspresi Edwin beserta nada bicaranya. "Ya, tapi … rasanya belum siap kalau harus menceritakan dari awal pada Cassie, Pa. Bagaimana kalau dia menangis sesenggukan kayak dulu lagi? Ngga mau makan, ngga mau keluar kamar, ngga mau pergi kuliah. Apalagi kondisi Cassie yang seperti sekarang. Mustahil kita cerita ke dia yang sebenarnya."Andrea membenamkan wajahnya ke dalam telapak tangan. Edwin yang duduk di sampingnya, hany
“Aku kasih ide untuk bercerai?” Mario terdiam sejenak. Menarik napas panjang, lalu mengembuskan perlahan. Setelah itu barulah dengan yakin dia berujar, “Iya.”“Ngga mungkin,” tampik Cassie tak kalah yakin. “Aku ngga mungkin pernah berpikiran begitu. Aku ngga mau jadi janda,” akunya sambil bergidik ngeri membayangkan statusnya berubah menjadi seekstrem itu di umur yang masih muda.Mario mendengkus. “Memangnya cuma kamu yang bakal punya status begitu? Aku sendiri juga akan menyandang status duda, tapi mau ngga mau kita harus bercerai. Kita ngga bisa terus-menerus mempertahankan rumah tangga yang ngga ada landasan perasaan apa pun.”“Ya tapi cerai bukan jawabannya.”“Lalu apa?”Pertanyaan Mario benar-benar mendesak Cassie. Sudah tertekan dengan kenyataan bahwa dirinya sudah menikah, berumur empat tahun lebih tua, ditambah pula dengan kenyataan jika dirinya sempat memiliki ide untuk bercerai. Apa benar semudah itukah gagasan tersebut terlontar dari bibirnya? Saking tidak kuatnya dihantam
"Memang dasar laki-laki mesum!" "Hei, stop sebut aku mesum!""Ya apa lagi kalau bukan mesum?!" balas Cassie tak mau kalah. Semakin menarik selimut menutup seluruh tubuh, hingga yang tampak di dirinya hanyalah kepalanya yang menyembul dari dalam selimut.Mario menegapkan tubuhnya dengan bersungut-sungut. Selama ini belum ada satu orang pun perempuan yang dengan berani menendangnya dan lucunya, rekor itu sekarang terpecahkan oleh seorang perempuan bernama Cassie, istrinya sendiri."Kalaupun kita memang pernah … ng … pernah lakuin itu, memang ada baiknya aku lupain aja! Aku ngga akan mau ingat-ingat lagi!" "Oh, kamu memang ngga perlu repot-repot mengingat soal itu, karena sebenarnya kamu sendiri pun juga berusaha untuk ngga pernah ingat soal pernikahan ini!” sahut Mario kesal. Masih emosi akibat tendangan Cassie tadi.Cassie merespons dengan dahi mengerut. "Maksudnya?""Kita ngga pernah melakukan apa pun." "Apa pun?" tanya Cassie memastikan ulang. "Tapi ... kita kan udah nikah," lanjut
"Su-suami?" tanya Cassie bingung seraya memandang Si Lelaki Mesum—yang rupanya bernama Mario. Dia pun membalas tatapan Cassie dengan wajah sedikit terangkat seiring dengan kedua tangan yang dijejalkan ke dalam saku celana. "Iya. Mario. Suami kamu." Andrea menekankan."Jadi maksud Mama aku udah nikah?""Tentu saja, Sayang. Bahkan pernikahan kamu sudah jalan 6 bulan. Kamu lupa itu?"Mata besar Cassie memelotot. "6 bulan?!""Hei, Sayang, ada apa dengan kamu? Kenapa kamu bisa lupa dengan Tante Lily, Om Samuel, juga Mario?"Andrea membelai kepala dan pipi Cassie di saat mata Cassie masih melekat pada Mario. Masih terlampau syok tatkala tahu lelaki itu adalah suaminya. "Cassie, kamu benar-benar ngga ingat apa pun tentang kami?" tanya wanita asing yang telah diketahui bernama Lily. Pria plontos yang juga diketahui bernama Samuel pun merangkul sang istri dengan tatapan sedih. Jadi, mereka berdua adalah mertuanya? Sungguh?Entah kenapa Cassie jadi tidak enak hati. Dia tampak seperti melakukan