"Benarkah itu?"
Andrea bertanya tidak percaya. Tangannya mencengkeram erat punggung tangan Edwin yang berada di atas pahanya. Baik Andrea maupun Edwin, keduanya langsung menoleh ke arah Cassie yang sedang tertidur. Andrea mendesah berat."Kenapa di saat seperti ini Cassie justru ingat laki-laki itu?" keluhnya menundukkan kepala."Tenang, Ma. Ini kan cuma sementara. Mario juga sudah ada di sini. Sudah pasti Mario ngga akan biarkan Cassie terus-terusan ingat laki-laki jahat itu."Emosi yang sepertinya sudah terpendam sekian lama, mendadak kembali meledak. Terlihat dari ekspresi Edwin beserta nada bicaranya. "Ya, tapi … rasanya belum siap kalau harus menceritakan dari awal pada Cassie, Pa. Bagaimana kalau dia menangis sesenggukan kayak dulu lagi? Ngga mau makan, ngga mau keluar kamar, ngga mau pergi kuliah. Apalagi kondisi Cassie yang seperti sekarang. Mustahil kita cerita ke dia yang sebenarnya."Andrea membenamkan wajahnya ke dalam telapak tangan. Edwin yang duduk di sampingnya, hanya mampu berusaha menenangkan dengan mengelus pelan punggung sang istri.Jujur saja Mario tidak mengerti. Bahkan mendengar nama Jonathan pun tidak pernah. Tadinya ingin segera membahas dengan Cassie, tapi perawat sudah lebih dulu datang untuk mengantarkan makan siang. Mario pun meminta Cassie untuk menghabiskan makan siangnya sebelum akhirnya membicarakan tentang Jonathan. Namun, alih-alih menunggu Cassie selesai makan, Mario justru pergi keluar kamar dan menunggu di kursi yang ada di luar. Lalu ketika para orang tua akhirnya datang dan mereka masuk kembali ke dalam kamar, Cassie rupanya sudah tertidur. Beruntung Lily dan Samuel sudah memutuskan untuk pulang lebih dulu. Melihat reaksi Andrea dan Edwin yang tidak terlalu baik ketika mendengar nama Jonathan, tampaknya memang ada baiknya Lily dan Samuel tidak tahu tentang lelaki itu.Bohong jika Mario tidak penasaran, jadi dia bertanya saja."Maaf, Ma, Pa. Memangnya ada apa dengan Jonathan? Dia benar masih jadi pacar Cassie?"Wajah Andrea terangkat. Lupa jika Mario tidak tahu perihal itu."Kamu belum dengar apa pun tentang Jonathan ya?"Mario menggelengkan kepala. “Apa mungkin Mama dan Papa tahu?”“Oh, Lily dan Samuel hanya tahu kalau Cassie baru saja putus dan begitu terpukul, tapi mereka ngga tahu apa pun tentang Jonathan. Kami sendiri pun juga berusaha untuk tidak membahas-bahas apa pun lagi tentang laki-laki itu, karena tidak ingin membuat Cassie teringat lagi,” jawab Andrea."Jadi, Jonathan itu … dia mantan pacar Cassie," jelas Edwin mengambil alih kesempatan Andrea menjelaskan lebih lanjut. "Mereka sudah pacaran sejak SMA dan akhirnya putus ngga lama setelah Cassie masuk kuliah. Jonathan sebenarnya juga kuliah di ALBIU, hanya saja dia mengambil jurusan yang berbeda dengan Cassie dan mereka pun putus karena Cassie tahu Jonathan selingkuh dengan perempuan lain."Mario terdiam. Dari sekian banyak anggota tubuhnya, hanya bola matanya yang bergerak, bergulir ke berbagai arah. "Cassie sangat menyayangi Jonathan," ungkap Andrea. "Mama tahu itu karena Cassie selalu cerita apa pun soal Jonathan pada Mama dan ketika Cassie tahu kalau ternyata Jonathan selingkuh dengan perempuan lain … dia benar-benar sedih, Mario.""Tapi untungnya kamu datang tepat waktu," timpal Edwin dengan cepat. Mario tersenyum tipis. “Aku pikir Papa terlalu berlebihan. Aku pulang ke Bandung memang karena kuliahku di Singapore udah selesai.”"Papa ngga berlebihan. Kehadiran kamu membuat kami berpikir bahwa mungkin memang sudah takdirnya Cassie putus dengan Jonathan dan berakhir dengan kamu. Jadi Papa sangat berharap, kamu benar-benar bisa menjaga Cassie.""Benar, Mario,” timpal Andrea. “Memang kami tahu kalau sampai sekarang kamu mungkin masih sulit menerima, tapi Mama yakin kalian berdua bisa melewatinya," lanjut Andrea tersenyum seraya menggenggam halus kedua tangan Mario yang saling mengepal di atas paha.Edwin menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. Melipat kedua tangannya di depan dada diikuti dengan embusan napas berat."Jadi yang paling penting sekarang adalah bagaimana membahas tentang Jonathan di depan Cassie?" "Apa kita biarkan saja Cassie berpikir kalau dia masih pacaran dengan Jonathan? Toh mereka berdua kan sudah ngga pernah ketemu dan ngga pernah saling kontak lagi. Kita biarkan saja seperti itu sampai ingatan Cassie pulih dan dia tahu tentang Jonathan dengan sendirinya. Semoga saja tidak lama." Andrea berharap, meskipun kedengarannya ragu."Ngga bisa begitu, Ma. Cassie akan komentar apa tentang kita kalau dia tahu kita justru menikahkan dia di saat dia masih dengan Jonathan? Itu justru akan memunculkan masalah baru."Edwin tidak setuju dengan ide Andrea. Terlalu riskan. Melihat Mario yang hanya diam saja seperti sedang berpikir, Edwin akhirnya memilih bertanya pada menantunya itu."Apa kamu ada saran lain, Mario?" tanya Edwin di tengah pikiran Mario yang melayang-layang.Dari posisi duduk yang tadinya agak membungkuk, Mario menegapkan punggungnya. "Menurut Mario mungkin bisa diberitahukan aja kalau mereka berdua memang sudah putus, tapi jangan memberi tahu alasannya yang sebenarnya …." Kalimatnya langsung menggantung ketika menemukan kulit di sekitaran wajah Edwin mulai mengerut. "Maksudnya, bisa dipikirkan alasan lain yang jauh lebih baik. Supaya Cassie ngga terlalu syok dan justru membuat pikirannya makin kacau."Merasa saran dari Mario ada benarnya, Edwin manggut-manggut pertanda setuju. "Kelihatannya biar ini jadi urusan Mario aja, Pa,” cetus Mario kemudian. “Mama dan Papa ngga perlu memikirkan soal Jonathan ini lagi. Biar Mario sendiri yang tangani.”Bicara dengan orang tua—terlebih itu adalah mertuanya—sangatlah tidak mudah. Butuh keberanian juga keyakinan dan pastinya semua itu dilakukan dengan tetap mencerminkan sosok seorang menantu yang baik.Edwin dan Andrea saling bertukar pandang."Kamu yakin bisa menangani Cassie kalau dia terus-menerus membahas tentang Jonathan?" tanya Andrea."Akan Mario usahakan.""Karena kamu yang akan terus bersama dengan dia terhitung mulai besok.""Ngga masalah, Pa."Edwin dan Andrea saling pandang sekali lagi."Oke kalau begitu. Papa percayakan semuanya sama kamu, Mario," ujar Edwin menepuk-nepuk pelan bahu Mario—menantu kesayangannya.💐💐💐Tak henti-hentinya Cassie memandangi, memutar-mutar, dan membolak-balikkan ponsel di tangannya. Kaget ketika layar ponsel langsung menyala ketika dihadapkan di depan wajahnya. "Ini bukan hp-ku," ujar Cassie mengembalikan ponselnya pada Mario."Itu hp kamu." Mario bersikeras. Sedang sibuk membereskan koper.“Tapi aku ngga pernah punya hp sebagus ini.”Mario menghela napas. “Kalau udah kubilang itu hp-mu ya hp-mu.”Menerima sikap ketus Mario, Cassie hanya bisa memberengut. “Dengar aku, Cassie. Mulai hari ini cuma aku orang yang bisa kamu percaya. Orang tuamu akan pulang ke Jakarta. Ngga ada siapa pun lagi yang kamu kenal di Bandung ini kecuali aku.”Cassie mengerucutkan bibir seraya melirik sinis ke arah suaminya.“Ada,” sahut Cassie. “Jonathan. Dia satu kampus sama aku di ALBIU. Bahkan aku jauh lebih tahu dia dan jauh lebih percaya sama dia dibanding kamu!”Pergerakan tangan Mario terhenti. Sungguh saat ini juga ingin sekali dia memberi tahu Cassie dengan lantang bahwa pacarnya itu tidak sebaik yang dirinya pikir dan dia tidak benar-benar mengenal pacarnya dengan baik. Bahwa kenyataannya dia telah dibohongi. Bahwa kenyataannya dia telah diselingkuhi dan perasaannya telah disakiti. Namun, tidak. Mario tidak bisa memberi tahu Cassie perihal itu. Tidak dengan cara memberi tahu alasan yang sebenarnya kenapa mereka berdua bisa putus.“Ngga ada kontak Jonathan di sini,” cetus Cassie usai mengubrak-abrik isi ponsel yang katanya adalah miliknya. Bahkan chat Jonathan di W******p pun tidak ada. Semua tentang Jonathan hilang hingga ke foto-foto, baik itu yang ada di dalam galeri maupun di dalam media sosial.Mario sudah selesai merapikan barang-barang. Siap untuk pulang. Tinggal menunggu Andrea dan Edwin yang belum juga kembali dari ruangan dokter.“Pasti udah kamu hapus," ujar Cassie kemudian. "Pasti kamu berusaha buat jauhin aku dari Jonathan. Iya, ‘kan?”“Jangan asal omong,” timpal Mario tak terima dituduh. “Udah kubilang kalau kita ngga setuju dengan pernikahan ini, jadi buat apa aku repot-repot jauhin kamu sama pacar kamu itu.”Cassie masih mengutak-atik ponselnya.“Ini juga bukan nomorku. Aku hafal nomorku. Kenapa nomorku bisa beda?” tanyanya mendongak pada Mario. Menagih jawaban.Mario berkacak pinggang.“Bisa tolong jangan tanya aku tentang keanehan yang ada di hp-mu? Karena aku sama sekali ngga pernah berurusan dengan barang-barangmu,” cetusnya kesal. Ini baru pagi hari. Belum juga sampai di rumah, tapi Cassie sudah berhasil memancing emosinya. “Asal kamu tahu, dari kita ketemu dan akhirnya menikah, aku baru tahu soal Jonathan kemarin. Dari kamu juga dari orang tuamu.”Kedua lengan Mario berganti terlipat di dada. Waktunya mengatakan apa yang bisa dia jelaskan terkait hubungan antara Cassie dengan Jonathan.“Kamu dan Jonathan udah putus, Cassie. Kamu sama sekali ngga ingat itu?”Mendengar apa yang barusan dikatakan oleh Mario, mata Cassie melebar. Tangannya yang memegang ponsel menggantung di udara. Kulit wajahnya meregang seiring dengan mulutnya yang terbuka.“Pu-putus?” Saking tidak percayanya, kata itu terasa sulit untuk diucapkan. “Tapi kenapa? Selama ini aku ngga pernah ada masalah apa pun sama Jonathan.”“Jangan tanya aku, oke? Itu hubungan kalian dan cuma itu yang aku tahu dari Mama dan Papa-mu.”Cassie beranjak dari tempat tidur dengan gegabah sambil mengutak-atik ponselnya lagi. Berusaha menemukan secuil informasi tentang Jonathan di sana.“Ngga mungkin. Aku ngga mungkin udah putus.” Cassie berkeras. Kakinya melangkah mondar-mandir tanpa arah.“Jadi kamu merasa kalau kamu belum putus sama dia?” “Belum!”“Hei, santai,” sahut Mario sedikit terkesiap mendengar Cassie membentak. “Oke. Biar aku bantu kamu berpikir. Karena kamu ngga setuju dengan pernikahan kita, mungkin sebenarnya kamu memang belum benar-benar putus sama Jonathan. Mungkin kamu cuma break atau bahkan mungkin hubungan kalian diam-diam masih berjalan, makanya kamu memberi ide agar kita bercerai supaya nantinya kamu bisa kembali ke Jonathan.”Cassie mematung di tempat.“Lihat, ‘kan? Diam-diam kamu sendiri pun rupanya punya alasan kuat untuk kita bercerai, Cassie.”“Aku sama sekali ngga ingat semua itu,” aku Cassie memandang sayu layar ponsel yang telah berubah hitam. “Kenapa aku ngga bisa ingat apa pun yang terjadi 4 tahun belakangan ini?”Mario menghela napas. Mau tak mau menghampiri Cassie yang hanya bisa menunduk pasrah meratapi nasib. Jika tidak disudahi dengan segera, perempuan itu pasti akan menangis dan apabila hal tersebut benar terjadi, tentunya akan membuat Mario repot. Terlebih apabila Andrea dan Edwin tiba-tiba kembali.“Kamu ngga perlu berusaha ingat. Kamu hanya cukup tahu aja,” cetus Mario mengutip perkataan dokter kemarin. Mengambil ponsel dari tangan Cassie, lalu memasukkannya ke dalam saku celana. “Untuk sementara hp ini aku pegang. Kelihatannya kamu harus fokus ke pemulihan ingatan kamu dulu.”Sekian detik berlalu Mario menunggu respons dari Cassie, tapi yang ada perempuan itu hanya berdiam diri menundukkan kepala. Matanya menatap kosong ke arah lantai. Mario sampai memiring-miringkan kepala untuk melihat wajah Cassie dan yang
Cassie tidak tahu ada di mana dia sekarang. Bandung bagaikan kota asing baginya. Walau kenyataannya dia sudah empat tahun berada di Bandung untuk kuliah, tapi ingatan selama empat tahun itu sama sekali tidak muncul. Bagaikan ruang kosong. Ingatannya benar-benar berhenti di momen dimana dia telah lulus SMA dan bersiap untuk hari pertama pelaksanaan orientasi di kampus barunya. Bahkan keinginan untuk datang ke ALBIU pun masih ada. Masih merasa harus pergi ke sana. Pintu gerbang terbuka. Mario melanjutkan membawa mobilnya dan tak lama kemudian kembali berhenti. Cassie masih sibuk memperhatikan sekeliling melalui kaca depan mobil. Jadi, ini rumah Mario? Atau bisa dibilang rumahnya dan Mario? Menarik. Unik. Rumah ini didesain seperti menyerupai beberapa balok yang disusun hingga membentuk sebuah bangunan tiga lantai yang simetris. Baru melihat bagian depannya saja Cassie sudah menyukainya.“Ayo turun,” ajak Mario usai mematikan mesin mobil. “Ngga bisa juga lepas seat belt?”Cassie mende
Cassie turun ke lantai bawah. Mengendap-endap layaknya seorang pencuri yang takut kepergok oleh sang pemilik rumah. Menengok ke kanan—ke area ruang tamu—tapi ternyata tidak ada siapa pun. Berlanjut berjalan ke arah kiri—yang merupakan ruang tengah atau ruang keluarga—dimana terdapat seperangkat sofa, televisi, juga meja dan kursi makan. Barulah di sebelah kanannya adalah dapur. Mungkin lebih tepatnya disebut pantry, karena terlalu bersih untuk dijadikan dapur kotor. “Ayo, Cassie. Coba kita lihat ada apa aja di sana,” ujar Cassie bermonolog.Mengambil kesempatan dari suasana rumah yang sepi, Cassie dengan cekatan bergerak menuju kulkas. Di dalamnya hanya ada aneka buah, jus, dan botol-botol air mineral. Sangat sehat. Cassie mengambil jus kemasan kecil. Lalu ada beberapa macam roti yang ditempatkan dalam wadah roti di atas meja pantry. Cassie pun mengambil selembar roti gandum.Sejauh ini sudah dirasa cukup. Meskipun tidak yakin akan mampu membuat perutnya kenyang, tapi setidaknya cu
Mario bersungut-sungut masuk ke dalam walk in closet di dalam kamarnya. Mengambil kaus oblong putih favoritnya yang berada di tumpukan paling atas salah satu lemari. Baru saja memasukkan kepalanya ke dalam lubang leher kaus, dengan cepat Mario melepasnya lagi dan melempar kaus tersebut ke lantai dengan sekuat tenaga.“Argh! Benar-benar perempuan itu,” gerutunya menggeram seraya mengacak-acak rambut. Ditendangnya lagi kaus yang sudah terkapar tak berdaya, kemudian duduk di sofa panjang yang ada di tengah ruangan. Di sanalah Mario menghela napas panjang seraya menyugar rambutnya yang masih setengah basah.“Jaga tubuhmu untuk perempuanmu sendiri dan jangan diumbar—shit! Kenapa kesannya kayak gue yang kurang ajar di sini?”Mario beranjak dari kursi dengan gusar dan berdiri di depan cermin besar. Memandang tubuh atletis dan proporsionalnya di sana.“Ini rumah gue, jadi gue bebas melakukan apa pun di sini. Termasuk buka baju di depan dia dan dia yang harusnya belajar untuk jaga pikiran!” pr
Berlanjut hingga makan malam. Cassie tidak kunjung keluar dari kamar. Niatnya hanya ingin mengerjai perempuan itu, malah Mario sendiri yang dikerjai oleh perasaan waswas dikarenakan Cassie yang sama sekali belum makan sejak siang. Bukannya apa-apa, tapi jika dia sakit, apa yang akan dikatakan orang tuanya nanti? Terlebih Mario pula yang harus bertanggung jawab. Sudah pasti akan teramat sangat merepotkan. “Masih belum ada respons juga, Bi?” tanya Mario saat menemukan Bi Endah kembali turun dengan nampan yang masih penuh dengan lauk makan malam.Sebelumnya Mario memang meminta Bi Endah mengantarkan makanan untuk Cassie. Siapa tahu dia tidak ingin makan di bawah bersama Mario, tapi tetap akan mau makan di dalam kamarnya. Namun faktanya, perempuan itu masih saja mengurung diri.Bahkan Mario sampai memilih bekerja di meja makan, karena dari posisi itulah dia bisa melihat dengan jelas pintu kamar Cassie. Hanya saja memang sejak tadi pintu itu tidak pernah terbuka. “Iya, Pak. Bu Cassie ngg
Sial. Aku terlambat!Mata Cassie membelalak dan tubuhnya tersentak. Dengan segera dia menyibak selimut, melayangkan kaki ke atas lantai, lanjut berdiri, dan sontak menjerit ketika kedua matanya menangkap pemandangan yang tidak seharusnya dia temukan. Seorang lelaki—berambut pendek ala-ala messy hair dan bertelanjang dada—yang berdiri tepat di hadapannya pun spontan berputar. Hingga membuat lekuk perbukitan yang menghiasi dada, perut, serta lengannya terpampang jelas di depan mata.Melihat itu, kedua mata Cassie makin melebar.“Dasar mesum!” teriaknya seraya melempar bantal ke arah lelaki tersebut, tapi dengan mudah dia menangkis. Bahkan masih sempat-sempatnya dia menyambar kaus di atas sofa yang tak jauh darinya, kemudian memakai kaus tersebut dengan gerak cepat.Dirasa belum cukup, Cassie mengambil dua bungkus roti di atas nakas yang ada di samping tempat tidur, kemudian melemparnya lagi.“Pergi sana! Keluar!"Belum cukup juga, Cassie berlanjut melempar dua botol mineral yang masih p
"Su-suami?" tanya Cassie bingung seraya memandang Si Lelaki Mesum—yang rupanya bernama Mario. Dia pun membalas tatapan Cassie dengan wajah sedikit terangkat seiring dengan kedua tangan yang dijejalkan ke dalam saku celana. "Iya. Mario. Suami kamu." Andrea menekankan."Jadi maksud Mama aku udah nikah?""Tentu saja, Sayang. Bahkan pernikahan kamu sudah jalan 6 bulan. Kamu lupa itu?"Mata besar Cassie memelotot. "6 bulan?!""Hei, Sayang, ada apa dengan kamu? Kenapa kamu bisa lupa dengan Tante Lily, Om Samuel, juga Mario?"Andrea membelai kepala dan pipi Cassie di saat mata Cassie masih melekat pada Mario. Masih terlampau syok tatkala tahu lelaki itu adalah suaminya. "Cassie, kamu benar-benar ngga ingat apa pun tentang kami?" tanya wanita asing yang telah diketahui bernama Lily. Pria plontos yang juga diketahui bernama Samuel pun merangkul sang istri dengan tatapan sedih. Jadi, mereka berdua adalah mertuanya? Sungguh?Entah kenapa Cassie jadi tidak enak hati. Dia tampak seperti melakukan
"Memang dasar laki-laki mesum!" "Hei, stop sebut aku mesum!""Ya apa lagi kalau bukan mesum?!" balas Cassie tak mau kalah. Semakin menarik selimut menutup seluruh tubuh, hingga yang tampak di dirinya hanyalah kepalanya yang menyembul dari dalam selimut.Mario menegapkan tubuhnya dengan bersungut-sungut. Selama ini belum ada satu orang pun perempuan yang dengan berani menendangnya dan lucunya, rekor itu sekarang terpecahkan oleh seorang perempuan bernama Cassie, istrinya sendiri."Kalaupun kita memang pernah … ng … pernah lakuin itu, memang ada baiknya aku lupain aja! Aku ngga akan mau ingat-ingat lagi!" "Oh, kamu memang ngga perlu repot-repot mengingat soal itu, karena sebenarnya kamu sendiri pun juga berusaha untuk ngga pernah ingat soal pernikahan ini!” sahut Mario kesal. Masih emosi akibat tendangan Cassie tadi.Cassie merespons dengan dahi mengerut. "Maksudnya?""Kita ngga pernah melakukan apa pun." "Apa pun?" tanya Cassie memastikan ulang. "Tapi ... kita kan udah nikah," lanjut
Berlanjut hingga makan malam. Cassie tidak kunjung keluar dari kamar. Niatnya hanya ingin mengerjai perempuan itu, malah Mario sendiri yang dikerjai oleh perasaan waswas dikarenakan Cassie yang sama sekali belum makan sejak siang. Bukannya apa-apa, tapi jika dia sakit, apa yang akan dikatakan orang tuanya nanti? Terlebih Mario pula yang harus bertanggung jawab. Sudah pasti akan teramat sangat merepotkan. “Masih belum ada respons juga, Bi?” tanya Mario saat menemukan Bi Endah kembali turun dengan nampan yang masih penuh dengan lauk makan malam.Sebelumnya Mario memang meminta Bi Endah mengantarkan makanan untuk Cassie. Siapa tahu dia tidak ingin makan di bawah bersama Mario, tapi tetap akan mau makan di dalam kamarnya. Namun faktanya, perempuan itu masih saja mengurung diri.Bahkan Mario sampai memilih bekerja di meja makan, karena dari posisi itulah dia bisa melihat dengan jelas pintu kamar Cassie. Hanya saja memang sejak tadi pintu itu tidak pernah terbuka. “Iya, Pak. Bu Cassie ngg
Mario bersungut-sungut masuk ke dalam walk in closet di dalam kamarnya. Mengambil kaus oblong putih favoritnya yang berada di tumpukan paling atas salah satu lemari. Baru saja memasukkan kepalanya ke dalam lubang leher kaus, dengan cepat Mario melepasnya lagi dan melempar kaus tersebut ke lantai dengan sekuat tenaga.“Argh! Benar-benar perempuan itu,” gerutunya menggeram seraya mengacak-acak rambut. Ditendangnya lagi kaus yang sudah terkapar tak berdaya, kemudian duduk di sofa panjang yang ada di tengah ruangan. Di sanalah Mario menghela napas panjang seraya menyugar rambutnya yang masih setengah basah.“Jaga tubuhmu untuk perempuanmu sendiri dan jangan diumbar—shit! Kenapa kesannya kayak gue yang kurang ajar di sini?”Mario beranjak dari kursi dengan gusar dan berdiri di depan cermin besar. Memandang tubuh atletis dan proporsionalnya di sana.“Ini rumah gue, jadi gue bebas melakukan apa pun di sini. Termasuk buka baju di depan dia dan dia yang harusnya belajar untuk jaga pikiran!” pr
Cassie turun ke lantai bawah. Mengendap-endap layaknya seorang pencuri yang takut kepergok oleh sang pemilik rumah. Menengok ke kanan—ke area ruang tamu—tapi ternyata tidak ada siapa pun. Berlanjut berjalan ke arah kiri—yang merupakan ruang tengah atau ruang keluarga—dimana terdapat seperangkat sofa, televisi, juga meja dan kursi makan. Barulah di sebelah kanannya adalah dapur. Mungkin lebih tepatnya disebut pantry, karena terlalu bersih untuk dijadikan dapur kotor. “Ayo, Cassie. Coba kita lihat ada apa aja di sana,” ujar Cassie bermonolog.Mengambil kesempatan dari suasana rumah yang sepi, Cassie dengan cekatan bergerak menuju kulkas. Di dalamnya hanya ada aneka buah, jus, dan botol-botol air mineral. Sangat sehat. Cassie mengambil jus kemasan kecil. Lalu ada beberapa macam roti yang ditempatkan dalam wadah roti di atas meja pantry. Cassie pun mengambil selembar roti gandum.Sejauh ini sudah dirasa cukup. Meskipun tidak yakin akan mampu membuat perutnya kenyang, tapi setidaknya cu
Cassie tidak tahu ada di mana dia sekarang. Bandung bagaikan kota asing baginya. Walau kenyataannya dia sudah empat tahun berada di Bandung untuk kuliah, tapi ingatan selama empat tahun itu sama sekali tidak muncul. Bagaikan ruang kosong. Ingatannya benar-benar berhenti di momen dimana dia telah lulus SMA dan bersiap untuk hari pertama pelaksanaan orientasi di kampus barunya. Bahkan keinginan untuk datang ke ALBIU pun masih ada. Masih merasa harus pergi ke sana. Pintu gerbang terbuka. Mario melanjutkan membawa mobilnya dan tak lama kemudian kembali berhenti. Cassie masih sibuk memperhatikan sekeliling melalui kaca depan mobil. Jadi, ini rumah Mario? Atau bisa dibilang rumahnya dan Mario? Menarik. Unik. Rumah ini didesain seperti menyerupai beberapa balok yang disusun hingga membentuk sebuah bangunan tiga lantai yang simetris. Baru melihat bagian depannya saja Cassie sudah menyukainya.“Ayo turun,” ajak Mario usai mematikan mesin mobil. “Ngga bisa juga lepas seat belt?”Cassie mende
“Aku sama sekali ngga ingat semua itu,” aku Cassie memandang sayu layar ponsel yang telah berubah hitam. “Kenapa aku ngga bisa ingat apa pun yang terjadi 4 tahun belakangan ini?”Mario menghela napas. Mau tak mau menghampiri Cassie yang hanya bisa menunduk pasrah meratapi nasib. Jika tidak disudahi dengan segera, perempuan itu pasti akan menangis dan apabila hal tersebut benar terjadi, tentunya akan membuat Mario repot. Terlebih apabila Andrea dan Edwin tiba-tiba kembali.“Kamu ngga perlu berusaha ingat. Kamu hanya cukup tahu aja,” cetus Mario mengutip perkataan dokter kemarin. Mengambil ponsel dari tangan Cassie, lalu memasukkannya ke dalam saku celana. “Untuk sementara hp ini aku pegang. Kelihatannya kamu harus fokus ke pemulihan ingatan kamu dulu.”Sekian detik berlalu Mario menunggu respons dari Cassie, tapi yang ada perempuan itu hanya berdiam diri menundukkan kepala. Matanya menatap kosong ke arah lantai. Mario sampai memiring-miringkan kepala untuk melihat wajah Cassie dan yang
"Benarkah itu?"Andrea bertanya tidak percaya. Tangannya mencengkeram erat punggung tangan Edwin yang berada di atas pahanya. Baik Andrea maupun Edwin, keduanya langsung menoleh ke arah Cassie yang sedang tertidur. Andrea mendesah berat."Kenapa di saat seperti ini Cassie justru ingat laki-laki itu?" keluhnya menundukkan kepala."Tenang, Ma. Ini kan cuma sementara. Mario juga sudah ada di sini. Sudah pasti Mario ngga akan biarkan Cassie terus-terusan ingat laki-laki jahat itu."Emosi yang sepertinya sudah terpendam sekian lama, mendadak kembali meledak. Terlihat dari ekspresi Edwin beserta nada bicaranya. "Ya, tapi … rasanya belum siap kalau harus menceritakan dari awal pada Cassie, Pa. Bagaimana kalau dia menangis sesenggukan kayak dulu lagi? Ngga mau makan, ngga mau keluar kamar, ngga mau pergi kuliah. Apalagi kondisi Cassie yang seperti sekarang. Mustahil kita cerita ke dia yang sebenarnya."Andrea membenamkan wajahnya ke dalam telapak tangan. Edwin yang duduk di sampingnya, hany
“Aku kasih ide untuk bercerai?” Mario terdiam sejenak. Menarik napas panjang, lalu mengembuskan perlahan. Setelah itu barulah dengan yakin dia berujar, “Iya.”“Ngga mungkin,” tampik Cassie tak kalah yakin. “Aku ngga mungkin pernah berpikiran begitu. Aku ngga mau jadi janda,” akunya sambil bergidik ngeri membayangkan statusnya berubah menjadi seekstrem itu di umur yang masih muda.Mario mendengkus. “Memangnya cuma kamu yang bakal punya status begitu? Aku sendiri juga akan menyandang status duda, tapi mau ngga mau kita harus bercerai. Kita ngga bisa terus-menerus mempertahankan rumah tangga yang ngga ada landasan perasaan apa pun.”“Ya tapi cerai bukan jawabannya.”“Lalu apa?”Pertanyaan Mario benar-benar mendesak Cassie. Sudah tertekan dengan kenyataan bahwa dirinya sudah menikah, berumur empat tahun lebih tua, ditambah pula dengan kenyataan jika dirinya sempat memiliki ide untuk bercerai. Apa benar semudah itukah gagasan tersebut terlontar dari bibirnya? Saking tidak kuatnya dihantam
"Memang dasar laki-laki mesum!" "Hei, stop sebut aku mesum!""Ya apa lagi kalau bukan mesum?!" balas Cassie tak mau kalah. Semakin menarik selimut menutup seluruh tubuh, hingga yang tampak di dirinya hanyalah kepalanya yang menyembul dari dalam selimut.Mario menegapkan tubuhnya dengan bersungut-sungut. Selama ini belum ada satu orang pun perempuan yang dengan berani menendangnya dan lucunya, rekor itu sekarang terpecahkan oleh seorang perempuan bernama Cassie, istrinya sendiri."Kalaupun kita memang pernah … ng … pernah lakuin itu, memang ada baiknya aku lupain aja! Aku ngga akan mau ingat-ingat lagi!" "Oh, kamu memang ngga perlu repot-repot mengingat soal itu, karena sebenarnya kamu sendiri pun juga berusaha untuk ngga pernah ingat soal pernikahan ini!” sahut Mario kesal. Masih emosi akibat tendangan Cassie tadi.Cassie merespons dengan dahi mengerut. "Maksudnya?""Kita ngga pernah melakukan apa pun." "Apa pun?" tanya Cassie memastikan ulang. "Tapi ... kita kan udah nikah," lanjut
"Su-suami?" tanya Cassie bingung seraya memandang Si Lelaki Mesum—yang rupanya bernama Mario. Dia pun membalas tatapan Cassie dengan wajah sedikit terangkat seiring dengan kedua tangan yang dijejalkan ke dalam saku celana. "Iya. Mario. Suami kamu." Andrea menekankan."Jadi maksud Mama aku udah nikah?""Tentu saja, Sayang. Bahkan pernikahan kamu sudah jalan 6 bulan. Kamu lupa itu?"Mata besar Cassie memelotot. "6 bulan?!""Hei, Sayang, ada apa dengan kamu? Kenapa kamu bisa lupa dengan Tante Lily, Om Samuel, juga Mario?"Andrea membelai kepala dan pipi Cassie di saat mata Cassie masih melekat pada Mario. Masih terlampau syok tatkala tahu lelaki itu adalah suaminya. "Cassie, kamu benar-benar ngga ingat apa pun tentang kami?" tanya wanita asing yang telah diketahui bernama Lily. Pria plontos yang juga diketahui bernama Samuel pun merangkul sang istri dengan tatapan sedih. Jadi, mereka berdua adalah mertuanya? Sungguh?Entah kenapa Cassie jadi tidak enak hati. Dia tampak seperti melakukan