Sial. Aku terlambat!
Mata Cassie membelalak dan tubuhnya tersentak. Dengan segera dia menyibak selimut, melayangkan kaki ke atas lantai, lanjut berdiri, dan sontak menjerit ketika kedua matanya menangkap pemandangan yang tidak seharusnya dia temukan. Seorang lelaki—berambut pendek ala-ala messy hair dan bertelanjang dada—yang berdiri tepat di hadapannya pun spontan berputar. Hingga membuat lekuk perbukitan yang menghiasi dada, perut, serta lengannya terpampang jelas di depan mata.Melihat itu, kedua mata Cassie makin melebar.“Dasar mesum!” teriaknya seraya melempar bantal ke arah lelaki tersebut, tapi dengan mudah dia menangkis. Bahkan masih sempat-sempatnya dia menyambar kaus di atas sofa yang tak jauh darinya, kemudian memakai kaus tersebut dengan gerak cepat.Dirasa belum cukup, Cassie mengambil dua bungkus roti di atas nakas yang ada di samping tempat tidur, kemudian melemparnya lagi.“Pergi sana! Keluar!"Belum cukup juga, Cassie berlanjut melempar dua botol mineral yang masih penuh, hingga menimbulkan suara yang kental ketika berbenturan dengan bagian lengan milik Si Lelaki Mesum—paling tidak untuk sekarang Cassie akan menyebutnya seperti itu. Dan saking emosinya karena dia tak kunjung pergi, Cassie mengangkat vas bunga lengkap dengan air serta bunga-bunganya. Bersiap melempar.“Hei, stop, Cassie!”Cassie mendadak mematung ketika Si Lelaki Mesum menyebut namanya.Vas bunga masih terangkat sejajar dengan wajah. Mata Cassie mengintip hati-hati dari balik vas.“Ke-kenapa kamu bisa tahu namaku?""Jelas aku tahu nama kamu.""Tapi kamu siapa?""Kamu tanya aku siapa?" tanyanya balik. "Serius, Cassie?""Kenapa juga kamu bisa ada di sini? Ayo cepat jawab!” Vas bunga kembali siap untuk dilempar.“Iya oke akan aku jawab, tapi turunkan dulu vas itu,” ujar Si Lelaki Mesum dengan satu telapak tangan terangkat ke arah Cassie. Berharap dengan begitu bisa membuat Cassie tenang, tapi sayangnya Cassie tidak bisa tenang. Lagi pula, bagaimana dia bisa tenang ketika tiba-tiba saja menemukan seorang lelaki asing tanpa pakaian di dalam kamarnya?Tunggu. Kepala Cassie mulai bergerak memutar untuk melihat sekeliling: jendela besar dengan pemandangan di luar yang begitu tinggi, ranjang besi berukuran cukup untuk satu orang, televisi terpasang di dinding, kulkas mini, beberapa kursi serta sofa yang mengelilingi sebuah meja bundar, dan yang paling membuat Cassie tercengang adalah adanya beberapa luka di area lengan, adanya perban yang melilit di kepala, juga infus yang dimasukkan ke dalam punggung tangannya.Di tengah-tengah kebingungannya, kedua matanya menangkap pergerakan Si Lelaki Mesum yang hendak melangkah mendekat.“Berhenti di sana!” bentak Cassie dimana Si Lelaki Mesum langsung menutup langkah. Raut wajahnya tampak tidak senang. "Kamu masih perlu istirahat.""A-apa yang aku lakukan di sini?” tanya Cassie berangsur panik. “Maksudku, kenapa aku tiba-tiba ada di sini dan juga kamu. Kamu siapa? Kenapa bisa tahu namaku?”"Cassie, kamu tenang dulu, oke?""Gimana aku bisa tenang?!""Cassie—""Aku ngga tahu siapa kamu!"Mata Si Lelaki Mesum melebar. "Kamu … benar-benar ngga tahu aku siapa?" tanyanya memastikan.Cassie menggigit bibir. Gagang pisau semakin erat dalam genggaman. Bola matanya berlarian. Jujur saja apa yang tengah dihadapi ini membuatnya takut. "A-aku … aku ngga tahu—"Kalimat Cassie terpotong begitu pintu di depan sana terbuka. Sosok wanita dan pria dewasa muncul di ambang pintu dan reaksi mereka berdua pun sama terkejutnya dengan Cassie."Mama?" Mulut Andrea—mama Cassie—terbuka seiring dengan matanya yang mengembang. "Cassie?""Papa akan panggil dokter." Edwin—papa Cassie—kembali pergi keluar sambil berlari. Begitu pula Andrea. Dengan langkah cepat Andrea mendekat ke arah Cassie. "Kamu ngga apa-apa, Sayang? Apa yang sakit? Apa yang kamu rasakan? Ayo beri tahu Mama," ujar Andrea terdengar panik. Terus-menerus mengusap kepala dan wajah anak perempuan satu-satunya. Cassie mendongak sejenak untuk melihatnya, tapi setelah itu kembali membenamkan wajah ke dalam pelukan."Aku pikir aku sendirian di sini.""Sayang …," Andrea mencium kepala Cassie, kemudian memegang kedua bahunya, lalu dengan pelan mendorong tubuh Cassie hingga terlepas dari pelukannya, "Mama senang kamu sudah sadar, tapi kamu masih harus istirahat.""Iya, tapi—" Sontak Cassie terlonjak ketika sesuatu menyentuh kedua lengannya."Ayo kembali ke tempat tidur, Cassie," ajak Si Lelaki Mesum. "Biar aku yang bantu Cassie, Ma.""Iya." Andrea tersenyum mengiakan.Jemari Cassie diam-diam mencengkeram blus yang dipakai Andrea. Menolak sentuhan tangan Si Lelaki Mesum dan justru semakin menempelkan diri pada Andrea."Kenapa, Sayang?" tanya Andrea yang merasa aneh dengan gerak-gerik anak perempuannya."Aku ngga mau sama dia," ujar Cassie menggeleng. "Loh, kenapa?""Ngga apa-apa, Ma. Mungkin Cassie lagi mau sama Mama dulu," timpal Si Lelaki Mesum dan Cassie masih memperhatikannya dengan penuh tanda tanya."Aku dengar Cassie sudah sadar," seru seseorang yang baru saja membuka pintu. Seseorang lainnya yang tidak Cassie kenal. Bukan. Bukan seseorang, melainkan sepasang pria dan wanita dewasa yang mungkin seumuran dengan kedua orang tuanya.Wanita dengan rambut digelung ini menatap Cassie dengan mata yang berbinar."Syukurlah, Cassie." Dan, wanita ini tiba-tiba saja memeluk Cassie. Pelukannya sama hangatnya dengan pelukan Andrea. Tangannya mengusap punggung Cassie dengan lembut."Dokter sedang menangani pasien yang lain, tapi setelah itu akan segera datang ke sini," ujar Edwin yang akhirnya kembali. Cassie bisa melihatnya meskipun masih berada di dalam dekapan seorang wanita yang tidak dia kenal.Cassie sama sekali tidak tahu apa yang sedang terjadi. Tidak tahu juga kenapa orang asing terus berdatangan dan bertingkah seolah dirinya begitu dekat dengan mereka."Cassie, Papa senang kamu sudah sadar."Bahkan seorang pria besar dan berkepala plontos yang bukan papanya pun menyebut dirinya sendiri sebagai papa.Alhasil, menghadapi keanehan ini isi kepala Cassie mendadak goyang."Kamu pusing, Sayang?" tanya Andrea memegangi tubuh Cassie."Berbaring saja lagi sampai dokter datang.""Mario, bantu Cassie, Nak.""Hati-hati, Mario."Si Lelaki Mesum langsung memegang kedua lengan Cassie lagi dan sontak Cassie menepisnya."Aku ngga mau! Aku ngga tahu siapa dia!" pekik Cassie segera bergelayut di salah satu lengan Andrea.Orang-orang memandang bingung."Cassie, kamu kenapa? Ini kan Mario," jelas Andrea yang sebenarnya tidak menjelaskan apa pun.Cassie menatap Si Lelaki Mesum yang juga tengah membalas tatapannya dengan dahi mengerut. "Mario siapa? Aku ngga tahu. Aku ngga kenal," sahut Cassie bersikeras. "Aku mau pergi dari sini, Ma. Aku takut. Aku … aku ngga tahu siapa orang-orang ini."Orang-orang saling bertukar pandang. Ada semacam pemahaman yang bertukar pula di antara mereka dimana Cassie tidak diikutsertakan. Cassie dibiarkan sendirian dalam kebingungan.Edwin pun mendekat."Cassie," panggilnya pelan. Cassie mengarahkan mata besarnya pada sang papa. "Kamu tahu kenapa kamu ada di sini—di rumah sakit?"Kepala Cassie menggeleng pelan. Pandangan Edwin beralih pada Andrea, tapi tak lama setelahnya kembali lagi pada Cassie."Lalu saat ini apa yang kamu tahu?"Cassie menggigit bibir bawahnya. Menundukkan pandangan sembari menyampirkan rambut panjang bergelombangnya ke belakang telinga."Aku ngga bisa ada di sini terus, Pa. Aku harus pergi ke kampus. Aku harus ikut orientasi. Kalau ngga, aku pasti bakal ketinggalan banyak info tentang perkuliahan aku nanti.""Ya Tuhan," timpal wanita asing—yang tadi ikut memeluk Cassie—seraya menangkup mulutnya dengan telapak tangan. Mengisyaratkan ketidakpercayaan atas apa yang baru saja Cassie katakan.Edwin hendak bicara sesuatu, tapi diurungkan. Bibirnya kembali mengatup rapat."Sayang, kamu ngga lagi bercanda, 'kan?" tanya Andrea."Bercanda gimana sih, Ma?" balas Cassie kesal. "Malahan aku pikir Mama sama Papa yang lagi bercanda. Aku sama sekali ngga kenal orang-orang ini. Apalagi dia," tunjuknya tegas pada Si Lelaki Mesum. "Waktu aku bangun tadi, dia tahu-tahu ada di sini. Ngga pakai baju pula. Pasti dia mau berbuat macam-macam sama aku. Iya, 'kan? Heh, laki-laki mesum!""Cassie …." Andrea mencoba menenangkan.Si Lelaki Mesum makin terlihat tidak senang ketika lagi-lagi Cassie menyebutnya mesum. Ada tiga buah lipatan yang begitu dalam terbentuk di dahinya. Bibirnya merapat hingga membentuk satu garis tegas. Matanya menyipit menatap Cassie dan berkilat marah, meski Cassie tahu dia berusaha menahannya."Sayang, kamu benar-benar …," kalimat Andrea terputus sejenak untuk menarik napas, "Mereka ini mertua kamu, Cassie, dan ini Mario. Dia suami kamu."Detik itu juga Cassie merasa petir yang tak kasatmata menyambar telak dadanya."Su-suami?" tanya Cassie bingung seraya memandang Si Lelaki Mesum—yang rupanya bernama Mario. Dia pun membalas tatapan Cassie dengan wajah sedikit terangkat seiring dengan kedua tangan yang dijejalkan ke dalam saku celana. "Iya. Mario. Suami kamu." Andrea menekankan."Jadi maksud Mama aku udah nikah?""Tentu saja, Sayang. Bahkan pernikahan kamu sudah jalan 6 bulan. Kamu lupa itu?"Mata besar Cassie memelotot. "6 bulan?!""Hei, Sayang, ada apa dengan kamu? Kenapa kamu bisa lupa dengan Tante Lily, Om Samuel, juga Mario?"Andrea membelai kepala dan pipi Cassie di saat mata Cassie masih melekat pada Mario. Masih terlampau syok tatkala tahu lelaki itu adalah suaminya. "Cassie, kamu benar-benar ngga ingat apa pun tentang kami?" tanya wanita asing yang telah diketahui bernama Lily. Pria plontos yang juga diketahui bernama Samuel pun merangkul sang istri dengan tatapan sedih. Jadi, mereka berdua adalah mertuanya? Sungguh?Entah kenapa Cassie jadi tidak enak hati. Dia tampak seperti melakukan
"Memang dasar laki-laki mesum!" "Hei, stop sebut aku mesum!""Ya apa lagi kalau bukan mesum?!" balas Cassie tak mau kalah. Semakin menarik selimut menutup seluruh tubuh, hingga yang tampak di dirinya hanyalah kepalanya yang menyembul dari dalam selimut.Mario menegapkan tubuhnya dengan bersungut-sungut. Selama ini belum ada satu orang pun perempuan yang dengan berani menendangnya dan lucunya, rekor itu sekarang terpecahkan oleh seorang perempuan bernama Cassie, istrinya sendiri."Kalaupun kita memang pernah … ng … pernah lakuin itu, memang ada baiknya aku lupain aja! Aku ngga akan mau ingat-ingat lagi!" "Oh, kamu memang ngga perlu repot-repot mengingat soal itu, karena sebenarnya kamu sendiri pun juga berusaha untuk ngga pernah ingat soal pernikahan ini!” sahut Mario kesal. Masih emosi akibat tendangan Cassie tadi.Cassie merespons dengan dahi mengerut. "Maksudnya?""Kita ngga pernah melakukan apa pun." "Apa pun?" tanya Cassie memastikan ulang. "Tapi ... kita kan udah nikah," lanjut
“Aku kasih ide untuk bercerai?” Mario terdiam sejenak. Menarik napas panjang, lalu mengembuskan perlahan. Setelah itu barulah dengan yakin dia berujar, “Iya.”“Ngga mungkin,” tampik Cassie tak kalah yakin. “Aku ngga mungkin pernah berpikiran begitu. Aku ngga mau jadi janda,” akunya sambil bergidik ngeri membayangkan statusnya berubah menjadi seekstrem itu di umur yang masih muda.Mario mendengkus. “Memangnya cuma kamu yang bakal punya status begitu? Aku sendiri juga akan menyandang status duda, tapi mau ngga mau kita harus bercerai. Kita ngga bisa terus-menerus mempertahankan rumah tangga yang ngga ada landasan perasaan apa pun.”“Ya tapi cerai bukan jawabannya.”“Lalu apa?”Pertanyaan Mario benar-benar mendesak Cassie. Sudah tertekan dengan kenyataan bahwa dirinya sudah menikah, berumur empat tahun lebih tua, ditambah pula dengan kenyataan jika dirinya sempat memiliki ide untuk bercerai. Apa benar semudah itukah gagasan tersebut terlontar dari bibirnya? Saking tidak kuatnya dihantam
"Benarkah itu?"Andrea bertanya tidak percaya. Tangannya mencengkeram erat punggung tangan Edwin yang berada di atas pahanya. Baik Andrea maupun Edwin, keduanya langsung menoleh ke arah Cassie yang sedang tertidur. Andrea mendesah berat."Kenapa di saat seperti ini Cassie justru ingat laki-laki itu?" keluhnya menundukkan kepala."Tenang, Ma. Ini kan cuma sementara. Mario juga sudah ada di sini. Sudah pasti Mario ngga akan biarkan Cassie terus-terusan ingat laki-laki jahat itu."Emosi yang sepertinya sudah terpendam sekian lama, mendadak kembali meledak. Terlihat dari ekspresi Edwin beserta nada bicaranya. "Ya, tapi … rasanya belum siap kalau harus menceritakan dari awal pada Cassie, Pa. Bagaimana kalau dia menangis sesenggukan kayak dulu lagi? Ngga mau makan, ngga mau keluar kamar, ngga mau pergi kuliah. Apalagi kondisi Cassie yang seperti sekarang. Mustahil kita cerita ke dia yang sebenarnya."Andrea membenamkan wajahnya ke dalam telapak tangan. Edwin yang duduk di sampingnya, hany
“Aku sama sekali ngga ingat semua itu,” aku Cassie memandang sayu layar ponsel yang telah berubah hitam. “Kenapa aku ngga bisa ingat apa pun yang terjadi 4 tahun belakangan ini?”Mario menghela napas. Mau tak mau menghampiri Cassie yang hanya bisa menunduk pasrah meratapi nasib. Jika tidak disudahi dengan segera, perempuan itu pasti akan menangis dan apabila hal tersebut benar terjadi, tentunya akan membuat Mario repot. Terlebih apabila Andrea dan Edwin tiba-tiba kembali.“Kamu ngga perlu berusaha ingat. Kamu hanya cukup tahu aja,” cetus Mario mengutip perkataan dokter kemarin. Mengambil ponsel dari tangan Cassie, lalu memasukkannya ke dalam saku celana. “Untuk sementara hp ini aku pegang. Kelihatannya kamu harus fokus ke pemulihan ingatan kamu dulu.”Sekian detik berlalu Mario menunggu respons dari Cassie, tapi yang ada perempuan itu hanya berdiam diri menundukkan kepala. Matanya menatap kosong ke arah lantai. Mario sampai memiring-miringkan kepala untuk melihat wajah Cassie dan yang
Cassie tidak tahu ada di mana dia sekarang. Bandung bagaikan kota asing baginya. Walau kenyataannya dia sudah empat tahun berada di Bandung untuk kuliah, tapi ingatan selama empat tahun itu sama sekali tidak muncul. Bagaikan ruang kosong. Ingatannya benar-benar berhenti di momen dimana dia telah lulus SMA dan bersiap untuk hari pertama pelaksanaan orientasi di kampus barunya. Bahkan keinginan untuk datang ke ALBIU pun masih ada. Masih merasa harus pergi ke sana. Pintu gerbang terbuka. Mario melanjutkan membawa mobilnya dan tak lama kemudian kembali berhenti. Cassie masih sibuk memperhatikan sekeliling melalui kaca depan mobil. Jadi, ini rumah Mario? Atau bisa dibilang rumahnya dan Mario? Menarik. Unik. Rumah ini didesain seperti menyerupai beberapa balok yang disusun hingga membentuk sebuah bangunan tiga lantai yang simetris. Baru melihat bagian depannya saja Cassie sudah menyukainya.“Ayo turun,” ajak Mario usai mematikan mesin mobil. “Ngga bisa juga lepas seat belt?”Cassie mende
Cassie turun ke lantai bawah. Mengendap-endap layaknya seorang pencuri yang takut kepergok oleh sang pemilik rumah. Menengok ke kanan—ke area ruang tamu—tapi ternyata tidak ada siapa pun. Berlanjut berjalan ke arah kiri—yang merupakan ruang tengah atau ruang keluarga—dimana terdapat seperangkat sofa, televisi, juga meja dan kursi makan. Barulah di sebelah kanannya adalah dapur. Mungkin lebih tepatnya disebut pantry, karena terlalu bersih untuk dijadikan dapur kotor. “Ayo, Cassie. Coba kita lihat ada apa aja di sana,” ujar Cassie bermonolog.Mengambil kesempatan dari suasana rumah yang sepi, Cassie dengan cekatan bergerak menuju kulkas. Di dalamnya hanya ada aneka buah, jus, dan botol-botol air mineral. Sangat sehat. Cassie mengambil jus kemasan kecil. Lalu ada beberapa macam roti yang ditempatkan dalam wadah roti di atas meja pantry. Cassie pun mengambil selembar roti gandum.Sejauh ini sudah dirasa cukup. Meskipun tidak yakin akan mampu membuat perutnya kenyang, tapi setidaknya cu
Mario bersungut-sungut masuk ke dalam walk in closet di dalam kamarnya. Mengambil kaus oblong putih favoritnya yang berada di tumpukan paling atas salah satu lemari. Baru saja memasukkan kepalanya ke dalam lubang leher kaus, dengan cepat Mario melepasnya lagi dan melempar kaus tersebut ke lantai dengan sekuat tenaga.“Argh! Benar-benar perempuan itu,” gerutunya menggeram seraya mengacak-acak rambut. Ditendangnya lagi kaus yang sudah terkapar tak berdaya, kemudian duduk di sofa panjang yang ada di tengah ruangan. Di sanalah Mario menghela napas panjang seraya menyugar rambutnya yang masih setengah basah.“Jaga tubuhmu untuk perempuanmu sendiri dan jangan diumbar—shit! Kenapa kesannya kayak gue yang kurang ajar di sini?”Mario beranjak dari kursi dengan gusar dan berdiri di depan cermin besar. Memandang tubuh atletis dan proporsionalnya di sana.“Ini rumah gue, jadi gue bebas melakukan apa pun di sini. Termasuk buka baju di depan dia dan dia yang harusnya belajar untuk jaga pikiran!” pr
Berlanjut hingga makan malam. Cassie tidak kunjung keluar dari kamar. Niatnya hanya ingin mengerjai perempuan itu, malah Mario sendiri yang dikerjai oleh perasaan waswas dikarenakan Cassie yang sama sekali belum makan sejak siang. Bukannya apa-apa, tapi jika dia sakit, apa yang akan dikatakan orang tuanya nanti? Terlebih Mario pula yang harus bertanggung jawab. Sudah pasti akan teramat sangat merepotkan. “Masih belum ada respons juga, Bi?” tanya Mario saat menemukan Bi Endah kembali turun dengan nampan yang masih penuh dengan lauk makan malam.Sebelumnya Mario memang meminta Bi Endah mengantarkan makanan untuk Cassie. Siapa tahu dia tidak ingin makan di bawah bersama Mario, tapi tetap akan mau makan di dalam kamarnya. Namun faktanya, perempuan itu masih saja mengurung diri.Bahkan Mario sampai memilih bekerja di meja makan, karena dari posisi itulah dia bisa melihat dengan jelas pintu kamar Cassie. Hanya saja memang sejak tadi pintu itu tidak pernah terbuka. “Iya, Pak. Bu Cassie ngg
Mario bersungut-sungut masuk ke dalam walk in closet di dalam kamarnya. Mengambil kaus oblong putih favoritnya yang berada di tumpukan paling atas salah satu lemari. Baru saja memasukkan kepalanya ke dalam lubang leher kaus, dengan cepat Mario melepasnya lagi dan melempar kaus tersebut ke lantai dengan sekuat tenaga.“Argh! Benar-benar perempuan itu,” gerutunya menggeram seraya mengacak-acak rambut. Ditendangnya lagi kaus yang sudah terkapar tak berdaya, kemudian duduk di sofa panjang yang ada di tengah ruangan. Di sanalah Mario menghela napas panjang seraya menyugar rambutnya yang masih setengah basah.“Jaga tubuhmu untuk perempuanmu sendiri dan jangan diumbar—shit! Kenapa kesannya kayak gue yang kurang ajar di sini?”Mario beranjak dari kursi dengan gusar dan berdiri di depan cermin besar. Memandang tubuh atletis dan proporsionalnya di sana.“Ini rumah gue, jadi gue bebas melakukan apa pun di sini. Termasuk buka baju di depan dia dan dia yang harusnya belajar untuk jaga pikiran!” pr
Cassie turun ke lantai bawah. Mengendap-endap layaknya seorang pencuri yang takut kepergok oleh sang pemilik rumah. Menengok ke kanan—ke area ruang tamu—tapi ternyata tidak ada siapa pun. Berlanjut berjalan ke arah kiri—yang merupakan ruang tengah atau ruang keluarga—dimana terdapat seperangkat sofa, televisi, juga meja dan kursi makan. Barulah di sebelah kanannya adalah dapur. Mungkin lebih tepatnya disebut pantry, karena terlalu bersih untuk dijadikan dapur kotor. “Ayo, Cassie. Coba kita lihat ada apa aja di sana,” ujar Cassie bermonolog.Mengambil kesempatan dari suasana rumah yang sepi, Cassie dengan cekatan bergerak menuju kulkas. Di dalamnya hanya ada aneka buah, jus, dan botol-botol air mineral. Sangat sehat. Cassie mengambil jus kemasan kecil. Lalu ada beberapa macam roti yang ditempatkan dalam wadah roti di atas meja pantry. Cassie pun mengambil selembar roti gandum.Sejauh ini sudah dirasa cukup. Meskipun tidak yakin akan mampu membuat perutnya kenyang, tapi setidaknya cu
Cassie tidak tahu ada di mana dia sekarang. Bandung bagaikan kota asing baginya. Walau kenyataannya dia sudah empat tahun berada di Bandung untuk kuliah, tapi ingatan selama empat tahun itu sama sekali tidak muncul. Bagaikan ruang kosong. Ingatannya benar-benar berhenti di momen dimana dia telah lulus SMA dan bersiap untuk hari pertama pelaksanaan orientasi di kampus barunya. Bahkan keinginan untuk datang ke ALBIU pun masih ada. Masih merasa harus pergi ke sana. Pintu gerbang terbuka. Mario melanjutkan membawa mobilnya dan tak lama kemudian kembali berhenti. Cassie masih sibuk memperhatikan sekeliling melalui kaca depan mobil. Jadi, ini rumah Mario? Atau bisa dibilang rumahnya dan Mario? Menarik. Unik. Rumah ini didesain seperti menyerupai beberapa balok yang disusun hingga membentuk sebuah bangunan tiga lantai yang simetris. Baru melihat bagian depannya saja Cassie sudah menyukainya.“Ayo turun,” ajak Mario usai mematikan mesin mobil. “Ngga bisa juga lepas seat belt?”Cassie mende
“Aku sama sekali ngga ingat semua itu,” aku Cassie memandang sayu layar ponsel yang telah berubah hitam. “Kenapa aku ngga bisa ingat apa pun yang terjadi 4 tahun belakangan ini?”Mario menghela napas. Mau tak mau menghampiri Cassie yang hanya bisa menunduk pasrah meratapi nasib. Jika tidak disudahi dengan segera, perempuan itu pasti akan menangis dan apabila hal tersebut benar terjadi, tentunya akan membuat Mario repot. Terlebih apabila Andrea dan Edwin tiba-tiba kembali.“Kamu ngga perlu berusaha ingat. Kamu hanya cukup tahu aja,” cetus Mario mengutip perkataan dokter kemarin. Mengambil ponsel dari tangan Cassie, lalu memasukkannya ke dalam saku celana. “Untuk sementara hp ini aku pegang. Kelihatannya kamu harus fokus ke pemulihan ingatan kamu dulu.”Sekian detik berlalu Mario menunggu respons dari Cassie, tapi yang ada perempuan itu hanya berdiam diri menundukkan kepala. Matanya menatap kosong ke arah lantai. Mario sampai memiring-miringkan kepala untuk melihat wajah Cassie dan yang
"Benarkah itu?"Andrea bertanya tidak percaya. Tangannya mencengkeram erat punggung tangan Edwin yang berada di atas pahanya. Baik Andrea maupun Edwin, keduanya langsung menoleh ke arah Cassie yang sedang tertidur. Andrea mendesah berat."Kenapa di saat seperti ini Cassie justru ingat laki-laki itu?" keluhnya menundukkan kepala."Tenang, Ma. Ini kan cuma sementara. Mario juga sudah ada di sini. Sudah pasti Mario ngga akan biarkan Cassie terus-terusan ingat laki-laki jahat itu."Emosi yang sepertinya sudah terpendam sekian lama, mendadak kembali meledak. Terlihat dari ekspresi Edwin beserta nada bicaranya. "Ya, tapi … rasanya belum siap kalau harus menceritakan dari awal pada Cassie, Pa. Bagaimana kalau dia menangis sesenggukan kayak dulu lagi? Ngga mau makan, ngga mau keluar kamar, ngga mau pergi kuliah. Apalagi kondisi Cassie yang seperti sekarang. Mustahil kita cerita ke dia yang sebenarnya."Andrea membenamkan wajahnya ke dalam telapak tangan. Edwin yang duduk di sampingnya, hany
“Aku kasih ide untuk bercerai?” Mario terdiam sejenak. Menarik napas panjang, lalu mengembuskan perlahan. Setelah itu barulah dengan yakin dia berujar, “Iya.”“Ngga mungkin,” tampik Cassie tak kalah yakin. “Aku ngga mungkin pernah berpikiran begitu. Aku ngga mau jadi janda,” akunya sambil bergidik ngeri membayangkan statusnya berubah menjadi seekstrem itu di umur yang masih muda.Mario mendengkus. “Memangnya cuma kamu yang bakal punya status begitu? Aku sendiri juga akan menyandang status duda, tapi mau ngga mau kita harus bercerai. Kita ngga bisa terus-menerus mempertahankan rumah tangga yang ngga ada landasan perasaan apa pun.”“Ya tapi cerai bukan jawabannya.”“Lalu apa?”Pertanyaan Mario benar-benar mendesak Cassie. Sudah tertekan dengan kenyataan bahwa dirinya sudah menikah, berumur empat tahun lebih tua, ditambah pula dengan kenyataan jika dirinya sempat memiliki ide untuk bercerai. Apa benar semudah itukah gagasan tersebut terlontar dari bibirnya? Saking tidak kuatnya dihantam
"Memang dasar laki-laki mesum!" "Hei, stop sebut aku mesum!""Ya apa lagi kalau bukan mesum?!" balas Cassie tak mau kalah. Semakin menarik selimut menutup seluruh tubuh, hingga yang tampak di dirinya hanyalah kepalanya yang menyembul dari dalam selimut.Mario menegapkan tubuhnya dengan bersungut-sungut. Selama ini belum ada satu orang pun perempuan yang dengan berani menendangnya dan lucunya, rekor itu sekarang terpecahkan oleh seorang perempuan bernama Cassie, istrinya sendiri."Kalaupun kita memang pernah … ng … pernah lakuin itu, memang ada baiknya aku lupain aja! Aku ngga akan mau ingat-ingat lagi!" "Oh, kamu memang ngga perlu repot-repot mengingat soal itu, karena sebenarnya kamu sendiri pun juga berusaha untuk ngga pernah ingat soal pernikahan ini!” sahut Mario kesal. Masih emosi akibat tendangan Cassie tadi.Cassie merespons dengan dahi mengerut. "Maksudnya?""Kita ngga pernah melakukan apa pun." "Apa pun?" tanya Cassie memastikan ulang. "Tapi ... kita kan udah nikah," lanjut
"Su-suami?" tanya Cassie bingung seraya memandang Si Lelaki Mesum—yang rupanya bernama Mario. Dia pun membalas tatapan Cassie dengan wajah sedikit terangkat seiring dengan kedua tangan yang dijejalkan ke dalam saku celana. "Iya. Mario. Suami kamu." Andrea menekankan."Jadi maksud Mama aku udah nikah?""Tentu saja, Sayang. Bahkan pernikahan kamu sudah jalan 6 bulan. Kamu lupa itu?"Mata besar Cassie memelotot. "6 bulan?!""Hei, Sayang, ada apa dengan kamu? Kenapa kamu bisa lupa dengan Tante Lily, Om Samuel, juga Mario?"Andrea membelai kepala dan pipi Cassie di saat mata Cassie masih melekat pada Mario. Masih terlampau syok tatkala tahu lelaki itu adalah suaminya. "Cassie, kamu benar-benar ngga ingat apa pun tentang kami?" tanya wanita asing yang telah diketahui bernama Lily. Pria plontos yang juga diketahui bernama Samuel pun merangkul sang istri dengan tatapan sedih. Jadi, mereka berdua adalah mertuanya? Sungguh?Entah kenapa Cassie jadi tidak enak hati. Dia tampak seperti melakukan