BAB : 73Bayang-bayang masa lalu.***“Kita turun dulu, Ma. Biarkan Daffa istirahat.” Sang Papa menuntun Mamanya untuk keluar dari kamar Daffa.Daffa kini kembali dengan kesendirian di kamarnya. Ia terlihat bingung dengan keadaan yang menimpanya saat ini. Cinta tidak bisa dipaksa bukan? Namun sepertinya keadaan telah memaksanya untuk memilih dan segera mengambil keputusan atas cinta tersebut. Sungguh, perjodohan adalah hal yang tak diinginkan oleh Daffa sama sekali. Tidak mungkin ia pergi meninggalkan orang tuanya kembali. Namun kisah ruwetnya yang membuat Daffa sendiri kini dilanda dilema. Daffa berusaha memejamkan matanya berharap rasa lelah serta bingungnya hati segera menghilang seiring berjalannya waktu. Namun wajah perempuan yang pernah menguasai hatinya berkelebat sejenak di pikirannya. “Salma,” Daffa bergumam pelan.Daffa mengusap wajahnya, berharap bayangan itu hilang dari pikirannya. Namun justru bayangan itu semakin kuat. Walaupun hatinya sangat kuat dengan nama perempua
BAB : 74Sang Bibi yang pulang kampung***Melihat ponselnya yang terus berdering Zeanna berinisiatif mengangkatnya sejenak. Walaupun tanda tanya asih menyelimuti, ia sempatkan untuk melirik sang suami serta anak bungsunya yang mereka pun sama penasaran.“Kok nggak langsung diangkat, Mah? Memang siapa yang nelpon?” tanya Pak Aksa penasaran.“Bentar, Mama angkat dulu!” Tidak memberi jawaban Zeanna justru melipir dari ruangan makannya. Ia lantas mengangkat telpon yang masih dalam keadaan berdering dengan nyaringnya.“Assalamualaikum, Nyah?” Terdengar suara dari sana setelah telepon tersambung.“Waalaikumsalam, ada apa, Bi, apakah ada hal mendesak? Atau apa? Tumben Telpon,” tanya Zeanna khawatir.Sang Bibi tak pernah telepon jika sedang pulang kampung apalagi masih sepagi ini. Dan hal itu membuat Zeanna khawatir, karena memang tak biasa. Tentulah ada hal mendesak yang membuat asistennya itu berani menelpon.“Hmm … begini, Nyah,” Terdengar hembusan nafas sang Bibi yang terasa berat. Enta
BAB : 75Bertemu dengan bagian masa lalu.***“Daffa, Papa boleh minta tolong sama kamu?” tanya Papanya harap-harap cemas. Ia kini menatap mata Daffa berharap anak laki-lakinya kali ini mau membantu.“Emang ada apa, Pah?” “Begini, klien Papa dari Singapura mendadak datang ke kantor Papa hari ini. Sedangkan sekarang Papa sedang ada janji dengan Pak Handoko di luar untuk membahas proyek baru. Tolong kamu gantiin Papa menemui Pak Handoko, ya! Papa harus ke kantor hari ini.” Pinta Pak Aksa.Mata Daffa membelalak, lantas menghembuskan nafas setelah menguasai keadaan. “Duh, Pah, nggak bisa. Hari ini Daffa ada janji dengan Restu.” Tolak Daffa bingung. Ia yakin setelah ini pasti sang Papa meradang, seperti yang sudah-sudah. “Daff, proyek ini penting. Dua-duanya penting buat perusahaan kita. Jika kamu tak bisa menggantikan Papa, setidaknya kamu bisa mewakili Papa jika ada kebutuhan mendesak seperti ini. Kalau bukan kamu siapa lagi Daff, haruskah Papa mempercayakan orang lain dalam mengurus
Sampai Kapanpun, Aku Tetap Milik IbukuBAB : 76Masih dalam masa pencarian.***Daffa terkejut dengan nama yang baru saja disebutkan oleh Rama. Ia mengambil tisue lalu mengelap bajunya dan mulutnya. sungguh, entah secara kebetulan atau apa, Rama bertanya pada Daffa yang kini justru sedang mengurus kasus tersebut. Jika Rama mengenalnya, berarti memang luar biasa posisi Pak Koswara Herlambang ini.“Sory, Ram, aku terkejut sampai reflek kayak gitu,” ujar Daffa tak enak hati. “Kamu sendiri mengenal Pak Koswara?” tanyanya.Rama tak langsung menjawab. Ia justru menatap Daffa dengan kembali menyeruput kopinya. Sedikit heran dengan tingkah Daffa. Namun, bukankah itu hal yang bagus? Pikirnya.“Beliau sekarang sedang dalam masalah dengan anaknya. Namun sial, anaknya sendiri dilaporkan polisi atas tuduhan pembunuhan.” Rama menghela nafas sejenak, memberi jeda ucapannya. “Ini fitnah, aku yakin ini fitnah. Mbak Lean tak mungkin melakukan itu.”Daffa menatap dan mencermati setiap perkataan Rama. Ia
BAB : 77Keponakan Bi Nina yang baru datang.***Sementara di sisi lain Bi Nina yang membawa keponakannya kini sudah sampai di depan rumah. Setelah melakukan perjalanan sekitar tiga jam, mereka kini tiba di rumah majikan dengan selamat tanpa hambatan yang menghalangi. Dan rasa senang pun tak dapat dihindari oleh keduanya saat kakinya melangkah masuk ke halaman rumah mewah tersebut.“Ini rumahnya, Sum. Di sini kita kerja sekarang,” ujar Bi Nina sembari melangkah pelan.“Wah … ini sih istana Bi, bukan rumah. Baru kali ini Sumi melihat rumah sebesar ini.”Gadis berkepang dua itu manggut-manggut melihat keindahan rumah calon majikannya itu. Ia benar-benar terpesona dengan pemandangan di sekitar halaman rumah. Sungguh menyejukkan mata bagi siapapun yang memandang. Bagaimana tidak, ia seperti melihat taman yang indah rapi dan terawat seperti di kota-kota besar. Tas ransel yang dipegangnya pun ia letakkan sejenak, karena suasana seakan menghipnotisnya.Di samping rumah terlihat pohon yang ta
BAB : 78Disangka maling di rumah sendiri, karena ulah konyol sang asisten baru.***Zeanna berdiri memperhatikan Bi Nina dan keponakannya yang tengah memasak seraya bersenda gurau. Mereka tampak senang dan ceria padahal baru saja melakukan perjalanan yang lumayan melelahkan, sehingga akhirnya Zeanna berdehem.“Ini yang saya ceritakan kemarin itu, Nyonya. Ini keponakan saya,” Bi Nina memperkenalkan Sumi pada majikannya. “Sini, Sum!” panggil Bi Nina, dan Sumi pun langsung menghampiri majikan yang berdiri memperhatikannya. “Nama saya Sumiati, Bu, eh, Nyonya,” ujar Sumiati memperkenalkan diri dengan mencium tangan majikannya. Sumi sudah biasa mencium tangan pada orang yang lebih tua, dan tak terkecuali pada majikannya.“Terserah kamu manggil saya gimana, Sum. Saya sih sebenarnya lebih nyaman dipanggil Ibu, daripada dipanggil Nyonya. Kesannya itu kok kayak gimana gitu, tapi Bibi masih saja manggil Nyonya.” Papar Zeanna.“Gimana lagi toh, Nyah, udah biasa manggil kayak gitu. Susah mulut
BAB : 79Drama konyol gadis berkepang dua***“Kamu mau maling pasti kan? Ayo ngaku! Aku bilangin Nyonya nanti baru tau rasa kamu!” Daffa yang meronta mendadak berhenti mendengar suara perempuan asing yang kini sedang mendekapnya dari belakang.“Heh, kamu ini siapa sih? Dasar gila! Lepasin nggak?” Daffa menggertak, dengan masih meronta.“Enak aja lepasin. Nyonya dan penghuni rumah ini harus tau kalau kamu mau maling di rumah ini!” kekeh perempuan di belakang Daffa.Daffa yang mendengar itu reflek tersenyum. Ia tersenyum geli karena dianggap maling di rumahnya sendiri. Namun terlintas pikiran isengnya muncul, ingin mengerjai perempuan di belakang yang menurutnya aneh ini.“Kalau aku mau maling emang kenapa? Orang rumah udah pada tidur, kesempatan untuk mengambil barang-barang di rumah ini. Kalau kamu mau, kita bisa bagi dua! Tapi tolong, jangan berisik!” usul Daffa dengan hati yang menggelitik. Ia merasa ini kejadian yang sangat lucu, apalagi posisi perempuan itu masih mendekapnya dar
BAB : 80Panggilannya mengingatkan masa lalu.***Daffa merebahkan diri di ranjangnya setelah rasa lelah yang mendera. Hari ini adalah hari yang paling berkesan bagi Daffa. Bagaimana tidak, Daffa yang diutus sang Papa untuk menggantikan urusannya namun justru bertemu dengan seseorang bagian dari masa lalunya, Rama Mahendra.Mata Daffa menerawang, menatap langit-langit kamarnya yang sebelumnya memang tidak ada apapun, namun di matanya kini justru senyum Salma menari-nari di atas sana. Mungkin semua orang akan menilai bahwa Daffa gila atau bucin, atau bahkan membuang waktunya untuk terus meresapi masa lalu. Namun tak seperti itu kenyataannya.Daffa memang masih terus mengingat Salma, namun bukan berarti ia tidak ingin menikah. Entahlah, rasanya untuk saat ini Daffa belum bisa membuka hatinya untuk perempuan lain, bahkan Kinara sekalipun. Lebih tepatnya belum ada yang bisa mencairkan kebekuan hatinya.Entah karena masih mencintai Salma, atau karena rasa enggan untuk mendekati wanita. Cin