BAB : 72Antara Kinara, Salma, dan desakan dari orang tuanya.***“Enak sekali kamu Daff, bisa sesantai ini sekarang?” tanya Zeanna menghampiri Daffa ke kamarnya. Ia berkacak pinggang dan terus menggeleng melihat tingkah laku Daffa.Zeanna meradang melihat sang anak yang kini tengah berbaring santai dengan memainkan ponselnya. Daffa terlihat begitu santai seperti tanpa beban pikiran, itulah yang menyebabkan Ibu dari dua anak tersebut kesal. Bagaimana tidak, sikap Daffa yang begitu angkuh pada Kinara saat pertemuan tadi masih membekas di pikirannya. Namun sang anak justru bersikap santai seolah tidak melakukan kesalahan apapun.Daffa menaruh ponselnya, lantas memandang Mamanya sejenak. “Ada apa sih, Ma, kan tadi Daffa dah ngikutin kemauan Mama.” Dengan tanpa merasa bersalah Daffa berucap. “Seharusnya Daffa yang marah loh, Mama dah bohong sama Daffa!” imbuhnya lagi, dengan menatap manik mata sang Mama berharap ada pengertian di dalam sana.Zeanna menghembuskan nafas kasar untuk menetral
BAB : 73Bayang-bayang masa lalu.***“Kita turun dulu, Ma. Biarkan Daffa istirahat.” Sang Papa menuntun Mamanya untuk keluar dari kamar Daffa.Daffa kini kembali dengan kesendirian di kamarnya. Ia terlihat bingung dengan keadaan yang menimpanya saat ini. Cinta tidak bisa dipaksa bukan? Namun sepertinya keadaan telah memaksanya untuk memilih dan segera mengambil keputusan atas cinta tersebut. Sungguh, perjodohan adalah hal yang tak diinginkan oleh Daffa sama sekali. Tidak mungkin ia pergi meninggalkan orang tuanya kembali. Namun kisah ruwetnya yang membuat Daffa sendiri kini dilanda dilema. Daffa berusaha memejamkan matanya berharap rasa lelah serta bingungnya hati segera menghilang seiring berjalannya waktu. Namun wajah perempuan yang pernah menguasai hatinya berkelebat sejenak di pikirannya. “Salma,” Daffa bergumam pelan.Daffa mengusap wajahnya, berharap bayangan itu hilang dari pikirannya. Namun justru bayangan itu semakin kuat. Walaupun hatinya sangat kuat dengan nama perempua
BAB : 74Sang Bibi yang pulang kampung***Melihat ponselnya yang terus berdering Zeanna berinisiatif mengangkatnya sejenak. Walaupun tanda tanya asih menyelimuti, ia sempatkan untuk melirik sang suami serta anak bungsunya yang mereka pun sama penasaran.“Kok nggak langsung diangkat, Mah? Memang siapa yang nelpon?” tanya Pak Aksa penasaran.“Bentar, Mama angkat dulu!” Tidak memberi jawaban Zeanna justru melipir dari ruangan makannya. Ia lantas mengangkat telpon yang masih dalam keadaan berdering dengan nyaringnya.“Assalamualaikum, Nyah?” Terdengar suara dari sana setelah telepon tersambung.“Waalaikumsalam, ada apa, Bi, apakah ada hal mendesak? Atau apa? Tumben Telpon,” tanya Zeanna khawatir.Sang Bibi tak pernah telepon jika sedang pulang kampung apalagi masih sepagi ini. Dan hal itu membuat Zeanna khawatir, karena memang tak biasa. Tentulah ada hal mendesak yang membuat asistennya itu berani menelpon.“Hmm … begini, Nyah,” Terdengar hembusan nafas sang Bibi yang terasa berat. Enta
BAB : 75Bertemu dengan bagian masa lalu.***“Daffa, Papa boleh minta tolong sama kamu?” tanya Papanya harap-harap cemas. Ia kini menatap mata Daffa berharap anak laki-lakinya kali ini mau membantu.“Emang ada apa, Pah?” “Begini, klien Papa dari Singapura mendadak datang ke kantor Papa hari ini. Sedangkan sekarang Papa sedang ada janji dengan Pak Handoko di luar untuk membahas proyek baru. Tolong kamu gantiin Papa menemui Pak Handoko, ya! Papa harus ke kantor hari ini.” Pinta Pak Aksa.Mata Daffa membelalak, lantas menghembuskan nafas setelah menguasai keadaan. “Duh, Pah, nggak bisa. Hari ini Daffa ada janji dengan Restu.” Tolak Daffa bingung. Ia yakin setelah ini pasti sang Papa meradang, seperti yang sudah-sudah. “Daff, proyek ini penting. Dua-duanya penting buat perusahaan kita. Jika kamu tak bisa menggantikan Papa, setidaknya kamu bisa mewakili Papa jika ada kebutuhan mendesak seperti ini. Kalau bukan kamu siapa lagi Daff, haruskah Papa mempercayakan orang lain dalam mengurus
Sampai Kapanpun, Aku Tetap Milik IbukuBAB : 76Masih dalam masa pencarian.***Daffa terkejut dengan nama yang baru saja disebutkan oleh Rama. Ia mengambil tisue lalu mengelap bajunya dan mulutnya. sungguh, entah secara kebetulan atau apa, Rama bertanya pada Daffa yang kini justru sedang mengurus kasus tersebut. Jika Rama mengenalnya, berarti memang luar biasa posisi Pak Koswara Herlambang ini.“Sory, Ram, aku terkejut sampai reflek kayak gitu,” ujar Daffa tak enak hati. “Kamu sendiri mengenal Pak Koswara?” tanyanya.Rama tak langsung menjawab. Ia justru menatap Daffa dengan kembali menyeruput kopinya. Sedikit heran dengan tingkah Daffa. Namun, bukankah itu hal yang bagus? Pikirnya.“Beliau sekarang sedang dalam masalah dengan anaknya. Namun sial, anaknya sendiri dilaporkan polisi atas tuduhan pembunuhan.” Rama menghela nafas sejenak, memberi jeda ucapannya. “Ini fitnah, aku yakin ini fitnah. Mbak Lean tak mungkin melakukan itu.”Daffa menatap dan mencermati setiap perkataan Rama. Ia
BAB : 77Keponakan Bi Nina yang baru datang.***Sementara di sisi lain Bi Nina yang membawa keponakannya kini sudah sampai di depan rumah. Setelah melakukan perjalanan sekitar tiga jam, mereka kini tiba di rumah majikan dengan selamat tanpa hambatan yang menghalangi. Dan rasa senang pun tak dapat dihindari oleh keduanya saat kakinya melangkah masuk ke halaman rumah mewah tersebut.“Ini rumahnya, Sum. Di sini kita kerja sekarang,” ujar Bi Nina sembari melangkah pelan.“Wah … ini sih istana Bi, bukan rumah. Baru kali ini Sumi melihat rumah sebesar ini.”Gadis berkepang dua itu manggut-manggut melihat keindahan rumah calon majikannya itu. Ia benar-benar terpesona dengan pemandangan di sekitar halaman rumah. Sungguh menyejukkan mata bagi siapapun yang memandang. Bagaimana tidak, ia seperti melihat taman yang indah rapi dan terawat seperti di kota-kota besar. Tas ransel yang dipegangnya pun ia letakkan sejenak, karena suasana seakan menghipnotisnya.Di samping rumah terlihat pohon yang ta
BAB : 78Disangka maling di rumah sendiri, karena ulah konyol sang asisten baru.***Zeanna berdiri memperhatikan Bi Nina dan keponakannya yang tengah memasak seraya bersenda gurau. Mereka tampak senang dan ceria padahal baru saja melakukan perjalanan yang lumayan melelahkan, sehingga akhirnya Zeanna berdehem.“Ini yang saya ceritakan kemarin itu, Nyonya. Ini keponakan saya,” Bi Nina memperkenalkan Sumi pada majikannya. “Sini, Sum!” panggil Bi Nina, dan Sumi pun langsung menghampiri majikan yang berdiri memperhatikannya. “Nama saya Sumiati, Bu, eh, Nyonya,” ujar Sumiati memperkenalkan diri dengan mencium tangan majikannya. Sumi sudah biasa mencium tangan pada orang yang lebih tua, dan tak terkecuali pada majikannya.“Terserah kamu manggil saya gimana, Sum. Saya sih sebenarnya lebih nyaman dipanggil Ibu, daripada dipanggil Nyonya. Kesannya itu kok kayak gimana gitu, tapi Bibi masih saja manggil Nyonya.” Papar Zeanna.“Gimana lagi toh, Nyah, udah biasa manggil kayak gitu. Susah mulut
BAB : 79Drama konyol gadis berkepang dua***“Kamu mau maling pasti kan? Ayo ngaku! Aku bilangin Nyonya nanti baru tau rasa kamu!” Daffa yang meronta mendadak berhenti mendengar suara perempuan asing yang kini sedang mendekapnya dari belakang.“Heh, kamu ini siapa sih? Dasar gila! Lepasin nggak?” Daffa menggertak, dengan masih meronta.“Enak aja lepasin. Nyonya dan penghuni rumah ini harus tau kalau kamu mau maling di rumah ini!” kekeh perempuan di belakang Daffa.Daffa yang mendengar itu reflek tersenyum. Ia tersenyum geli karena dianggap maling di rumahnya sendiri. Namun terlintas pikiran isengnya muncul, ingin mengerjai perempuan di belakang yang menurutnya aneh ini.“Kalau aku mau maling emang kenapa? Orang rumah udah pada tidur, kesempatan untuk mengambil barang-barang di rumah ini. Kalau kamu mau, kita bisa bagi dua! Tapi tolong, jangan berisik!” usul Daffa dengan hati yang menggelitik. Ia merasa ini kejadian yang sangat lucu, apalagi posisi perempuan itu masih mendekapnya dar
BAB : 154.ENDING.***Suasana pernikahan begitu ramai dan ceria, terlihat di wajah cerah sang pengantin. Daffa dan Lean, yang begitu banyak melewati jurang terjal, akhirnya mencapai kebahagian, dengan mengikat janji suci sakral kebahagiaan mereka. Zeanna mendekat, dengan wajah bahagia plus haru, memandang sendu pada sang menantu.“Duh, mantu Mama cantik banget sih. Iya kan Pah?” ujar Mama mertua yang kini tengah berada di depan Lean.“Makasih, Ma, Pa,” sahut Lean dengan senyum malu malu. “Selamat Lean sayang, kamu sekarang udah jadi istri orang, Nak. Jadi tidurnya udah nggak sendiri lagi, udah nggak sama Bibi juga. Jadi Bibi minta, kamu kalau tidur nggak boleh ngigau ya,” ujar Bibi sambil memeluk Lean.Mendengar ucapan Bibi spontan mertua Lean tertawa. “Bibi mah kalau ngucapin selamat ya udah, selamat aja! Nggak usah bahas tidurnya Lean juga kali!” Lean menggerutu, pura pura manyun.“Ye, Bibi kan cuma bilangin.” Mulut Bibi mencebik, membuat Lean sendiri gemas lantas memeluknya.“Le,
BAB : 153Ketika Pernikahan Terjadi.***~Lima Bulan Kemudian.“Mbak Lean cantik banget. Subhanallah, cantiknya…!” puji MUA yang menangani Lean saat ini. “Soalnya Mbak Lean tuh dari sananya udah cantik, jadi dipoles sedikit aja udah luar biasa cantiknya. Aku yakin, nanti suami Mbak Lean nggak berkedip lihatnya!” Imbuhnya lagi, sembari merapikan baju yang dikenakan oleh Lean kali ini. “Ah, Mbak terlalu berlebihan deh, semua wanita kalau dirias seperti pasti cantik, kan.” Sambil tersenyum di depan cermin Lean berucap.“Itu mah pasti. Tapi nggak tau lo Mbak, sebagai MUA aku seneng rias Mbak Lean tuh. Cantik!” ucap MUA lagi.“Saya keluar sebentar ya, Mbak. Bentaran!” Pamitnya, lantas berlalu pergi meninggalkan Lean yang masih mematut diri di cermin.Perempuan cantik dengan berbalut kebaya putih nan megah itu tengah mematut diri di cermin. Ya, Leandita Herlambang kini akan segera melepas masa lajangnya hari ini. Mengikrarkan janji suci di depan penghulu dengan seseorang yang dicintai adal
BAB : 152Rahasia Tentang Kinara.***Daffa langsung mengambil ponselnya ketika ada pesan yang masuk. Ia membuka pesan tersebut, senyumnya mengembang karena ternyata Restu yang berkirim pesan. Namun matanya seketika membulat setelah melihat apa isi pesan tersebut."Kenapa, Daff?" tanya Zeanna ketika melihat raut wajah Daffa yang terlihat tak bersahabat."Kinara, Mah. Ternyata Kinara selama ini menjadi istri simpanan Koswara. Ini Restu yang baru saja mengabari." Papar Daffa, yang membuat sang Mama tercengang seketika."Kinara, Daff?" tanya Zeanna seakan tak percaya. Lean memilih diam, karena sebelumnya sudah menduga ke arah situ. Jika tidak ada sesuatu, mana mungkin Kinara terus dibelanya. Ternyata ini rahasianya."Mama mending baca sendiri, deh! Restu sudah menyita semua yang dimiliki oleh Kinara, termasuk rumah mewah yang ia tempati saat ini. Karena semua adalah milik Lean." Daffa melirik ke arah Lean seraya memberikan ponselnya pada Mamanya."Dan media sosial adalah hukuman yang pa
BAB : 151Mengunjungi orang yang kita cintai dalam keadaan sudah berada di pusara, itu sangatlah mengiris hati.***“Mama, semoga Mama tenang di sana, Ma! Lean ikhlas melepas Mama!” ucap Lean di depan pusara sang Mama.Pagi ini Lean dengan ditemani oleh Daffa sedang berziarah di makam sang Mama. Air mata Lean kembali luruh melihat sang Mama yang kini benar benar telah tiada. Sedangkan sejak tadi Daffa menenangkan Lean dengan terus mengelus punggungnya. Setelah lima hari pasca pulang dari rumah sakit, Daffa baru berani membawa Lean bepergian. Selain takut Lean kelelahan, ia juga takut luka Lean masih belum sembuh benar.“Sabar ya, Le.” Daffa terus menguatkan Lean yang terlihat rapuh. Ia mengelus pundak Lean yang sejak tadi berguncang. Sungguh, ia tak kuasa melihat Lean yang terus menangis seperti ini. Hatinya perih, melihat orang terkasihnya sedih. Sudah banyak air mata yang Lean tumpahkan, dan sekarang kembali ditumpahkan di pusara sang Mama.“Lean pamit ya, Ma,” Lean mencium pusara
BAB : 150Setelah Kepulangan Lean.***~Satu minggu kemudian.Pagi ini terlihat sangat cerah, secerah hati Daffa dan Lean karena sedang berkemas pulang. Daffa sedang berkemas, sedangkan Lean baru saja keluar dari kamar mandi dengan keadaan yang lebih segar. Namun masih ada yang mengganjal hati Daffa, sehingga wajahnya terlihat murung. Lean yang menyadari itu langsung mendekat.“Mas kenapa? Kok kayak sedih gitu?” tanyanya.“Kamu yakin, mau pulang ke rumahmu Le? Lukamu masih belum sembuh banget lo, nanti kalau ada apa apa dengan kamu gimana?” tanya Daffa khawatir.“Lean nggak enak lah, Mas, sama Mama. Kalau dulu Lean ke rumahmu kan karena menjadi Sumi, terus sekarang apa alasanku untuk tetap bertahan di sana?” tanya Lean.“Ya tapi kan ada Bi Nina yang pasti juga kangen sama kamu Le. Mama aja nggak papa kok, kamu tinggal di rumah,” Rayu Daffa yang merasa berat pisah dengan Lean.“Nanti kalau Bibi kangen, tolong anterin ke rumah ya Mas! Bi Nina sangat sayang dengan Lean, ya… walaupun ia m
BAB : 149Pengusiran Brenda dan Laura. Dan di sini, Laura merasakan pontang panting karena tak mempunyai pegangan.***"Maaf, para Bapak ke sini mau mencari siapa?" tanya Brenda yang kini merasa menjadi tuan rumah. "Perkenalkan, kami adalah orang suruhan Bu Lean. Boleh kami masuk?" tanyanya dengan menatap Brenda.Brenda merasa tercekat mendengar nama Lean. Bagaimana bisa Lean masih hidup? Bukankah waktu itu Koswara telah menembaknya? Walaupun akhirnya Koswara tertangkap polisi, dan kini Brenda yang menjadi pemenangnya. Ia hanya mematung di tempat karena syok. Syok menghadapi kenyataan, bahwa ternyata Lean masih hidup."Boleh kami masuk, Bu?" Brenda tersentak mendengar laki laki berumur 40 tahunan itu kembali memanggil."Bo-boleh, silahkan!" Brenda mempersilahkan mereka masuk, walau dengan tergagap.Mereka yang berjumlah empat orang pun kini masuk ke dalam rumah dan duduk berhadap hadapan dengan Brenda. "Begini, Bu. Kami mendapat tugas dari Bu Lean bahwa Bu Brenda dan juga Laura sege
BAB : 148Amarah yang Masih Memuncak.***“Iya benar, Ma? Kemarin Salma ke sini?” Kini sang Papa yang bertanya, membuat kuping Daffa berdengung seketika.“Iya benar lo, Pa. Salma itu temannya Lean ternyata. Dan suami Salma, yang dulu pernah menjadi saingan Daffa, sekarang justru berteman baik. Dunia ini kadang lucu ya, Pa, hahaha….” Zeanna tertawa, diikuti sang Papa yang juga tertawa.Perempuan cantik yang sedari tadi diam mendengarkan pun terkikik pelan, karena merasa lucu. Walaupun sejujurnya ia pun kaget, tak menyangka Salma yang anggun kalem seperti itu dulu pernah punya hubungan spesial dengan seorang Daffa.“Daffa mau keluar dulu, Mah, gerah!” Daffa keluar meninggalkan keluarganya yang sedang berkumpul. Lelaki tampan yang merupakan mantan Salma itu merasa malu sama Lean ketika masa lalunya terbongkar begitu saja.“Daffa kayaknya ngambek deh, Mah. Mama sih, pake membahas Salma. Tuh anaknya jadi ngambek kan?” protes Pak Aksa pada Zeanna.“Kan Mama cuma mau berbagi cerita dengan Le
BAB : 147Kedatangan sang calon mertua, serta kabar masa lalu yang membuat Lean terkejut.***“Mas, Lean pengen ke kamar mandi. Lean pengen pipis,” keluh Lean malam ini. Daffa yang sedang memainkan HP nya langsung menghampiri Lean.“Yaudah, sama Mas aja ke kamar mandinya.” tawar Daffa yang berusaha membangunkan Lean dari pembaringannya.“Masa sama Mas, sih! Ntar Mas lihat dong, panggilin suster aja deh!” pinta Lean setelah berhasil duduk, walaupun kadang meringis menahan rasa sakit.“Iya, bentar.” Daffa memencet tombol untuk memanggil suster agar segera menghampirinya.Memang jika Lean ingin ke kamar mandi, Daffa selalu memanggil suster untuk membantunya. Selain takut terkena lukanya, mana mungkin Lean mengizinkan. Seperti sekarang ini mereka tengah menunggu suster, dan tak lama, suster pun berada di depan mereka.“Ada yang bisa dibantu?” tawar suster tersebut. Suster mendekati Lean yang membutuhkan pertolongan.“Ini pengen ke kamar mandi katanya, Sus,” jelas Daffa pada suster. Dan su
BAB 146. Hilang Percaya Diri.***Keadaan Lean sudah semakin membaik, dan ia sekarang sudah dipindahkan ke ruangan perawatan. Daffa yang tak beranjak sedikitpun selalu menemaninya. Restu yang sudah selesai mengurus tugasnya, siang ini langsung meluncur ke rumah sakit menemui Lean dan tentunya, Daffa.“Alhamdulillah, Lean, kamu sudah melewati masa kritis juga masa koma. Tak terbayang gimana perasaan Daffa kemarin,” Restu melirik Daffa yang sedang menikmati pemandangan lewat jendela.“Lo kalau mau ngucapin cepet sembuh, ucapin aja langsung. Nggak usah melebar kemana mana!” protes Daffa. Ia tahu Restu memang tujuannya meledek, walaupun memang yang diucapkannya benar.“Yee, memang benar kan? Maaf Lean, baru ini aku bisa menjenguk kamu. Kemarin benar benar sibuk ngurusin kasus, jadi baru sempat sekarang,” Sesal Restu.“Iya, nggak papa, Bang. Toh sekarang juga bisa menjenguk Lean kan, Lean nggak papa,” ucap Lean. “Oh ya, Daff, besok lo jangan cari gue ya, gue ada acara besok. Jadi mungkin