Bab : 59Pertemuan Yang Mengharukan.***Saat tengah merenung, mataku menangkap sosok seseorang yang pernah kukenal sedang panik membuntuti Suster mendorong ranjang. Bukankah tadi, Silvia? Lalu, siapa yang sakit? Nuraniku mengatakan, aku harus mengejarnya. Tak ingin kehilangan kesempatan, aku pamit pada Paman sebentar untuk mengejar Silvia. Entahlah, aku tak tahu kenapa ingin mengejarnya. Yang jelas, saat ini aku sangat ingin menemuinya.Saat masuk ke lorong arah Silvia tadi, ternyata lorong sudah sangat sepi. Tak kutemukan lagi suara roda ranjang berjalan seperti tadi. Sial, aku kehilangan jejak. Aku berjalan gontai ingin kembali bersama Paman. Namun tak lama, aku melihat Silvia dari jauh, tak tahu mau kemana yang jelas dari raut wajahnya dia nampak panik sekali."Silvia!" Seketika dia menoleh mendengar panggilanku. Silvia membelalakkan matanya saat tahu bahwa aku berada di belakangnya. Aku berlari dengan tergesa dan menghampirinya."Ya Allah, Mas Rama, alhamdulillah ya Allah, akhi
Bab : 60Titik terberat bagi seorang anak.***Saat sampai di depan ruangan Salma, Mama dan Papa sudah berkumpul dengan Paman Hartono. Mama juga sudah siuman walaupun mukanya masih pucat. Paman terlihat sangat terkejut dengan kehadiran kami seperti ini, terlebih saat melihat Ibu. Begitu juga Mama dan Papa, matanya nampak tak berkedip saat melihat Ibu yang tak berdaya diatas kursi roda."Retno," lirih Paman. Mungkin syok melihat Ibu yang kurus seperti ini."Hartono, aku minta maaf kalau selama ini sudah kasar sama kamu," ucap Ibu pada Paman, lirih sekali. Dan terlihat Ibu menyeka air matanya."Sudahlah, Retno, tak perlu minta maaf seperti itu. Aku sudah ikhlas, yang penting saat ini kamu cepet sembuh," ujar Paman. Ibu menggeleng lemah. "Aku titip anak-anakku, Hartono." Aku mengusap punggungnya pelan, menguatkan kalau Ibu harus kuat dan sembuh agar bisa kembali ke rumah bersamaku."Pasti, Retno. Mereka keponakanku, aku akan menjaganya segenap jiwaku." Ibu menyuruhku mendorong kursi
Bab : 61Dibalik cobaan yang berat.***Kini, tinggal aku dan Paman Hartono yang berdiri di pemakaman Ibu. Tak lama kutemukan keberadaan Ibu, lalu kini aku kembali kehilangan untuk selama-lamanya. Tenanglah dialam sana, Bu, aku ikhlas dan ridho dengan kepergianmu. Bahagialah disana, Bu. Dan sampai kapanpun aku tetaplah milikmu."Sudah, Ram, sudah." Paman Hartono kembali merangkul bahuku ketika beberapa kali aku mencium batu nisan yang baru tertancap ini. Lantas Paman mengajakku beranjak dari tempat ini."Ibu … Ibu kenapa pergi secepat ini, Bu, hik … hik … Ibu kenapa tak menunggu kedatanganku? Hmm …." Aku terkejut ketika tiba-tiba datang seorang perempuan yang tergopoh meraung di pemakaman Ibu.Aku mencengkram bahu Paman, pertanda bahwa aku bertanya, siapa dia? Dan Paman juga sama tercengangnya denganku. Siapa wanita ini? Berpakaian baju serba hitam dan mengenakan kacamata hitam dengan selendang di bahunya. Aku dan Paman hanya mematung. Menunggu reaksi perempuan ini, dan ingin memast
Bab : 62Meminta kesempatan sekali lagi.***"Aku ikut berduka cita ya, Ram," ucap Rani yang berada disisi Salma yang lain. "Iya Ran, terima kasih." "Sabar, Ram, yang ikhlas yang legowo. Agar Ibumu tenang disana," ucap Papa yang sedari tadi mengelus bahuku."Mama …." Sania tiba-tiba memeluk Salma dengan kencang hingga Salma meringis. "Jangan, Sayang. Tuh liatin, punggung Mama masih sakit," ujarku dengan menggendong Sania. Sungguh, menggemaskan sekali tingkahnya. Dan Salma hanya tersenyum melihat tingkah Sania."Kan Sania kangen sama Mama, ayo pulang lah Ma, Sania bosen di sini terus." Sontak seisi ruangan tertawa mendengar celoteh cempreng Sania. Dan aku pun tak kalah gemas, kupeluk dan ku pencet hidungnya yang menggemaskan ini."Nanti juga pulang, Sayang. Tunggu Mama pulih dulu, ya." Salma pun bersuara juga untuk menenangkan Sania."Yaudah deh, tapi nanti Papa ikut pulang Sania, kan? Sania kangen bercanda dengan Papa," Glekk!Ku teguk ludah ini kuat-kuat. Jujur saja aku bingung
BAB : 63Kembali Merajut Cinta.***Tak terasa sudah seminggu Salma berada di rumah sakit ini. Dan sore ini Dokter sudah mengizinkan Salma pulang. Selama seminggu ini aku menjaga Salma, dan kadang bergantian dengan Mama. Paman dan Fera sudah balik ke Bandung, karena pekerjaan yang tak bisa ditinggal lama. Aku sudah mengikrarkan untuk rujuk kembali dengan Salma, dan disaksikan oleh kerabat terdekat kami. Dan mulai saat ini aku akan menjaganya dengan sepenuh hatiku."Yee … Mama sama Papa udah pulang." Sania terlihat senang sekali melihat kedatangan kami. Ya, Papa yang menjemput kami di rumah sakit sedangkan Mama dan Sania menunggu dirumah. Salma turun dari mobil dengan dituntun oleh Mama, luka di punggungnya sudah lumayan kering tapi harus rutin minum obat sampai benar-benar pulih."Kamu istirahat ya, Sayang! Jangan banyak bergerak dulu, Mas mau pulang ke kontrakan," ucapku setelah mengantarkan Salma untuk istirahat. "Kok, aku mau ditinggal lagi, Mas?" ucapnya sembari bersiap ingin m
Sampai Kapanpun, Aku Tetap Milik IbukuSEASON 2BAB : 64Daffa Biantara dan bayang-bayang masa lalunya. ***Dalam keheningan malam serta kelap kelip lampu yang mewarnai kota, tampak seorang lelaki yang merenung di tengah kesunyian. Dia adalah Daffa Biantara, seseorang yang pernah merasakan sakit hati dua tahun yang lalu. Seseorang yang pernah membawa luka serta cintanya di negeri yang jauh dari kekasihnya. seseorang yang kini masih membawa cinta pada perempuan yang jelas tidak akan menjadi miliknya. Daffa pergi membawa luka sebab kesalahpahaman yang merajai. kendati begitu ia sadar bahwa cinta memang tak harus memiliki. Dua tahun telah berlalu Daffa masih setia dengan kesendiriannya. Bandung adalah kediamannya saat ini setelah ia menghabiskan waktu selama satu tahun di Singapura. Berkali-kali pengacara muda nan handal itu menghela nafas menentramkan hatinya yang gundah. Namun sesak masih merajai dikala mengingat satu nama yang membuatnya luka. Salma Dewantari. Nama itulah yang sampa
BAB : 65Kembalinya Daffa.***"Daffa, Daffa, bangun sayang! Daffa anak Mama beneran pulang ternyata."Sayup-sayup terdengar suara sang Mama membuat mata Daffa mengerjap. Matanya mendadak silau karena hordeng yang berada di kamarnya ditarik oleh sang Mama. Ya, tidur dini hari membuat Daffa terserang kantuk luar biasa. Setelah melakukan kewajiban dua rakaat, Daffa melanjutkan kembali mimpi di ranjangnya."Mama kenapa semalam bohongi, Daffa?" setelah mengumpulkan nyawa dan menguasai keadaan, Daffa bertanya pada Mamanya."Maaf, Daffa, habisnya Mama kangen sama kamu. Kamu kalau nggak digituin pasti nggak pulang, iya 'kan?" "Iya tapi kan nggak gitu juga, Ma." "Udah, nggak usah pake tapi. Sekarang kamu dah di rumah nggak boleh pergi-pergi lagi. Mandi, habis itu turun, Mama sama Papa tunggu di bawah!"Belum dijawab oleh Daffa, sang Mama lantas pergi meninggalkan anak laki-lakinya yang masih terlihat lesu. Zeanna, adalah pemilik nama sang Mama yang menolak tua tersebut. Energik, serta gesit
BAB : 66Kasus yang tengah diperbincangkan.***Zeanna tampak kaget dengan kehadiran sang anak yang ia rindukan, dan kini berada di hadapannya. Sang anak yang sangat ia dambakan agar segera menikah. Mata Zeanna pun tak luput dari penampilan anaknya yang terlihat gagah, dengan mengenakan baju berbahan kaos dilapisi oleh jas hitam yang menempel di badannya, serta celana cargo yang menambah badan kekarnya terlihat semakin keren. Begitulah pemikiran Zeanna melihat Daffa Biantara, anaknya laki-lakinya kali ini."Eh, Daffa ngagetin aja. Duduk dulu, Sayang!" titah Zeanna kikuk. Zeanna terlihat salah tingkah ketika anak lelakinya memergoki sedang bermesraan. Walaupun Daffa sendiri sudah terbiasa melihat orang tuanya seperti itu. Pun sang Papa, terus menggaruk rambutnya yang mendadak gatal. Mungkin."Tadi Mama sama Papa katanya ingin bicara, ada apa? Tumben sesiang ini Papa ada di rumah, nggak ke kantor?" tanya Daffa setelah duduk di hadapan orang tuanya."Nanti siangan ajalah, Daff, nggak ad