“Sayang … kamu cantik sekali hari ini.”“Terima kasih, Mas.”Seorang wanita berpakaian pelayan menghampiri sepasang suami istri yang tengah menikmati pemandangan alam di depannya.“Ada apa, Asih? Kenapa kamu ganggu saya?”“Maaf, Tuan. Tapi ada kabar buruk.”Lelaki paruh baya yang diperkirakan berusia 53 tahun itu mulai memasang wajah tegang. Ia yang awalnya duduk di bangku taman bersama istri mudanya, pun berdiri dan mendekat ke arah pelayannya.“Kabar buruk apa?”“Salah satu tawanan hilang, Tuan.”“Apa?”“Benar. Lelaki yang bernama Lingga telah menghilang.”Mendengar itu, lelaki yang sangat berkuasa di daerahnya itu pun terlihat geram. Dia lantas menyuruh semua pengawalnya mencari keberadaan lelaki itu. Dia seperti pemburu yang ingin mengepung mangsa buruannya.“Sebentar, ya, Sayang. Mas ada kerjaan penting.”Lelaki paruh baya itu mengelus rambut istrinya dan mendaratkan kecupan di pucuk kepalanya. Lantas ia segera berlari menuju ke dalam rumah—dengan beberapa pengawal mengikuti lang
“Aku dimana?”Lingga tersadar dari pingsannya. Dia melihat sekujur tubuhnya tengah terbalut dedaunan hijau yang mulai mengering. Seperti dejavu. Dulu, dia juga sempat mengalami hal seperti ini saat diobati oleh orang tua Sri.“Loh, udah bangun, Mas? Sebentar! Biar saya bantu duduk!”Dua jirigen besar yang dipikulnya, ditaruh begitu saja di lantai tanah. Pria desa itu lantas menghampiri Lingga yang tengah terbaring lemas.“Aku dimana? Mas ini siapa? Mas bukan antek-antek Juragan Ariadi, ‘kan?” tanya Lingga dengan penuh kekhawatiran.Pria itu menggeleng sembari tersenyum.“Perkenalkan ... nama saya Jaka, Mas. Saya bukan antek-antek Juragan Ariadi.”Sebenarnya Lingga ragu akan ucapan lelaki itu. Orang-orang di desa ini patut dicurigai. Dia tak ingin tertipu seperti ia dan teman-temannya dulu yang mudah ditipu oleh Paijo.“Gak apa, Mas. Wajar kalau Mas belum bisa percaya dengan ucapan saya. Yang pasti, saya hanya berniat menolong Mas. Dan saya juga bukan antek-antek Juragan. Saya justru s
“Berhenti!!!”Jaka menghentikan langkahnya dengan ragu-ragu. Dia meihat kedatangan dua orang pengawal berbadan kekar yang berjalan ke arahnya dan juga kakek di sampingnya.“Jualan apa kalian?” tanya para pengawal dengan wajah mengintimidasi.“Saya jualan ayam potong, Pak. Ini ayam hutan,” jawab sang kakek terlebih dahulu.Para pengawal melihat-lihat dagangan milik sang kakek. Lantas membeli dua potong ayam dari gerobaknya. Sekarang, giliran Jaka. “Jualan apa kamu?” tanya salah seorang pengawal.“I … ini, Pak. Saya jualan sayuran dan juga jamur hutan.”“Wah enak nih dimasak sama da-ging ayam hutan ini, Lon,” ucap salah seorang pengawal ke teman di sampingnya. Tapi sang teman tak menggubris ucapannya. Tatapannya begitu tajam—menusuk ke arah Jaka.“Kenapa kamu terlihat gugup?” tanya pengawal itu. Ketika teman di sampingnya terlihat lebih fokus pada barang dagangan Jaka, tapi tidak dengannya. Pengawal yang bernama Londo itu justru lebih fokus pada gerak-gerik Jaka yang baginya sangat me
“Semua biaya sudah saya tanggung, ya, Mas.”“Terima kasih, Mas. Terima kasih.”Jaka sangat berterima kasih pada seorang Mantri muda bernama Iman. Pria penyelamat itu tak hanya pandai, namun juga baik hati. Jaka dan Lingga beruntung bertemu dengannya. Saking terharunya akan kebaikan Iman, Jaka sampai bersujud di kaki Iman. Namun Mantri muda itu dengan cepat menyuruh Jaka berdiri.“Sudah, Mas! Gak usah seperti itu! Sebagai sesama saudara, kita harus saling tolong-menolong,” ucap Iman dengan senyum termanisnya.“Ya, ampun, Mas. Kamu pria yang baik. Kamu malaikat yang dikirim Tuhan untuk menyelamatkan nyawa Lingga. Terima kasih, Mas.”Iman mengangguk. Dia menerima semua ucapan terima kasih dari Jaka. Hatinya juga sangat bahagia karena dia dipilih Tuhan untuk melakukan hal baik ini.“Saya pulang dulu, ya, Mas. Masih ada pekerjaan yang menanti di desa. Semoga Mas Lingga cepat sadar dan membaik. Mas gak apa-apa di sini sendirian?” ucap Iman.Jaka langsung mengangguk cepat. Dia tak ingin mere
“Eh … eh, mau kemana ini? Kok rame banget?”Di depan pagar, Kevin dan rombongannya dihentikan oleh Anthony, kakak iparnya.“Kak, tolong jangan sekarang! Aku harus segera pergi!” ucap Kevin. Dia mengira, Anthony datang untuk merusuh.“Memangnya kamu mau kemana sih, Vin? Buru-buru begini? Trus mereka semua siapa? Sejak kapan kamu nyewa pengawal?”Anthony terus berceloteh, mempertanyakan tentang orang-orang yang saat ini bersama Kevin.“Hemm ….” Kevin menghela nafas sebelum menjawab satu-persatu pertanyaan dari kakak iparnya.“Iya. Aku menyewa orang-orang terlatih, Kak. Semua ini kulakukan untuk mencari keberadaan Bulan.”Mendengar perkataan Kevin, Anthony pun tertawa dengan begitu keras. Seolah mengejek usaha yang dilakukan Kevin dalam mencari putri satu-satunya.“Percuma, Vin, percuma. Bulan pasti sudah ma-ti.”Kevin geram mendengar semua itu. Tangannya mulai mengepal, hendak meninju kakak iparnya yang kini berada tepat di hadapannya. Hingga akhirnya ….“Sudah, Om! Kita harus segera pe
“Clarissa … Clarissa.”Tuan Anthony berteriak memanggil nama putrinya. Dia segera mendekat ke arah r4njang untuk melihat wajah cantik anaknya. “Benar … ini Clarissa … putriku.”Tanpa pikir panjang, Tuan Anthony lantas memeluk putrinya itu. Rasa rindu yang terpendam selama ini, kini terlampiaskan sudah. Clarissa telah kembali. Putri kesayangan Tuan Anthony telah ditemukan.Namun tiba-tiba ….“Si … siapa kalian?”Clarissa terbangun dari tidurnya karena tubuhnya terasa digoncang oleh seseorang. Setelah membuka mata, dia semakin heran melihat seorang pria paruh baya menangis dan memeluknya. Di belakang pria itu juga berdiri beberapa orang yang tak Clarissa kenal. Hanya wajah Yanti yang familiar di matanya, karena Yanti merupakan salah satu pelayan di rumah itu yang sering dilihat oleh Clarissa.“Lepaskan!”“Nak … Nak, kamu kenapa? Ini Papa, Nak.” Tuan Anthony kembali memeluk putrinya sembari mengucapkan syukur. “Terima kasih, Tuhan. Kau telah bawa putriku kembali.”Kali ini, Clarissa har
Plak!Sri ikut bergabung ke dalam kerumunan. Di pasar, Juragan Ariadi dan antek-anteknya yang masih tersisa mendapat penghakiman dari warga. Mereka semua babak belur. Luka dan penuh da-rah. Juragan Ariadi yang awalnya sangat berkuasa dan ditakuti oleh warga desa, kini terlihat layaknya seekor anak kucing yang terjepit reruntuhan. Mengerang kesakitan dengan suara lemah dan wajah penuh iba.“Ini untuk ayah dan ibuku.”Plak!Lagi-lagi, Sri menampar pipi Juragan Ariadi. Lelaki tua itu terlihat pasrah. Raganya terasa kebas, tak bisa merasakan sakit lagi.“Kau orang yang sangat jahat. Kau memfitnah keluargaku. Kau menghasut orang-orang untuk membenciku dan keluargaku. Kau juga telah mengirim kedua orangtuaku ke sisi Tuhan.”Sri berteriak di depan wajah Juragan Ariadi. Emosinya meledak-ledak, diiringi suara makian sekaligus raungan kesedihan dari warga desa. Tangis haru karena mereka bisa berkumpul kembali dengan anak-anak gadisnya yang kini telah terbebas dari jeratan Juragan Ariadi. Selain
“Ayah, Ibu … maafin, Sri, ya. Sri baru bisa datang sekarang. Sekarang kalian bisa tenang di sana.”Sri menangis di depan gundukan tanah dengan dua batu nisan tertancap di sana. Iya. Sri telah menguburkan kedua orang tuanya dengan layak. Tentu saja atas bantuan Tuan Kevin. Ayah dari Bulan itu mau membiayai serta mengurus proses pemakaman kedua orang tua Sri, yang dulunya dikuburkan secara tidak layak oleh antek-antek Juragan Ariadi.“Sekarang rumah Ayah dan Ibu sudah bagus. Sri tambahin bunga lagi biar cantik dan harum. Sri juga akan selalu kirim doa untuk kalian. Doakan Sri, ya. Semoga Sri bisa membangun hidup Sri kembali tanpa kalian.”Gadis desa itu mengusap air mata yang membanjiri pipi. Siapa yang bisa menahan kesedihan atas perpisahan dengan orang tersayang? Tentu berat. Terlebih Sri sangat begitu dekat dengan kedua orang tuanya. “Oh iya, Yah … Bu. Sri bawa seseorang ke hadapan kalian.” Sri memberi isyarat pada Satria untuk mendekat. Lelaki pujaan hatinya itupun mengangguk dan m