“Eh … eh, mau kemana ini? Kok rame banget?”Di depan pagar, Kevin dan rombongannya dihentikan oleh Anthony, kakak iparnya.“Kak, tolong jangan sekarang! Aku harus segera pergi!” ucap Kevin. Dia mengira, Anthony datang untuk merusuh.“Memangnya kamu mau kemana sih, Vin? Buru-buru begini? Trus mereka semua siapa? Sejak kapan kamu nyewa pengawal?”Anthony terus berceloteh, mempertanyakan tentang orang-orang yang saat ini bersama Kevin.“Hemm ….” Kevin menghela nafas sebelum menjawab satu-persatu pertanyaan dari kakak iparnya.“Iya. Aku menyewa orang-orang terlatih, Kak. Semua ini kulakukan untuk mencari keberadaan Bulan.”Mendengar perkataan Kevin, Anthony pun tertawa dengan begitu keras. Seolah mengejek usaha yang dilakukan Kevin dalam mencari putri satu-satunya.“Percuma, Vin, percuma. Bulan pasti sudah ma-ti.”Kevin geram mendengar semua itu. Tangannya mulai mengepal, hendak meninju kakak iparnya yang kini berada tepat di hadapannya. Hingga akhirnya ….“Sudah, Om! Kita harus segera pe
“Clarissa … Clarissa.”Tuan Anthony berteriak memanggil nama putrinya. Dia segera mendekat ke arah r4njang untuk melihat wajah cantik anaknya. “Benar … ini Clarissa … putriku.”Tanpa pikir panjang, Tuan Anthony lantas memeluk putrinya itu. Rasa rindu yang terpendam selama ini, kini terlampiaskan sudah. Clarissa telah kembali. Putri kesayangan Tuan Anthony telah ditemukan.Namun tiba-tiba ….“Si … siapa kalian?”Clarissa terbangun dari tidurnya karena tubuhnya terasa digoncang oleh seseorang. Setelah membuka mata, dia semakin heran melihat seorang pria paruh baya menangis dan memeluknya. Di belakang pria itu juga berdiri beberapa orang yang tak Clarissa kenal. Hanya wajah Yanti yang familiar di matanya, karena Yanti merupakan salah satu pelayan di rumah itu yang sering dilihat oleh Clarissa.“Lepaskan!”“Nak … Nak, kamu kenapa? Ini Papa, Nak.” Tuan Anthony kembali memeluk putrinya sembari mengucapkan syukur. “Terima kasih, Tuhan. Kau telah bawa putriku kembali.”Kali ini, Clarissa har
Plak!Sri ikut bergabung ke dalam kerumunan. Di pasar, Juragan Ariadi dan antek-anteknya yang masih tersisa mendapat penghakiman dari warga. Mereka semua babak belur. Luka dan penuh da-rah. Juragan Ariadi yang awalnya sangat berkuasa dan ditakuti oleh warga desa, kini terlihat layaknya seekor anak kucing yang terjepit reruntuhan. Mengerang kesakitan dengan suara lemah dan wajah penuh iba.“Ini untuk ayah dan ibuku.”Plak!Lagi-lagi, Sri menampar pipi Juragan Ariadi. Lelaki tua itu terlihat pasrah. Raganya terasa kebas, tak bisa merasakan sakit lagi.“Kau orang yang sangat jahat. Kau memfitnah keluargaku. Kau menghasut orang-orang untuk membenciku dan keluargaku. Kau juga telah mengirim kedua orangtuaku ke sisi Tuhan.”Sri berteriak di depan wajah Juragan Ariadi. Emosinya meledak-ledak, diiringi suara makian sekaligus raungan kesedihan dari warga desa. Tangis haru karena mereka bisa berkumpul kembali dengan anak-anak gadisnya yang kini telah terbebas dari jeratan Juragan Ariadi. Selain
“Ayah, Ibu … maafin, Sri, ya. Sri baru bisa datang sekarang. Sekarang kalian bisa tenang di sana.”Sri menangis di depan gundukan tanah dengan dua batu nisan tertancap di sana. Iya. Sri telah menguburkan kedua orang tuanya dengan layak. Tentu saja atas bantuan Tuan Kevin. Ayah dari Bulan itu mau membiayai serta mengurus proses pemakaman kedua orang tua Sri, yang dulunya dikuburkan secara tidak layak oleh antek-antek Juragan Ariadi.“Sekarang rumah Ayah dan Ibu sudah bagus. Sri tambahin bunga lagi biar cantik dan harum. Sri juga akan selalu kirim doa untuk kalian. Doakan Sri, ya. Semoga Sri bisa membangun hidup Sri kembali tanpa kalian.”Gadis desa itu mengusap air mata yang membanjiri pipi. Siapa yang bisa menahan kesedihan atas perpisahan dengan orang tersayang? Tentu berat. Terlebih Sri sangat begitu dekat dengan kedua orang tuanya. “Oh iya, Yah … Bu. Sri bawa seseorang ke hadapan kalian.” Sri memberi isyarat pada Satria untuk mendekat. Lelaki pujaan hatinya itupun mengangguk dan m
“Nak, wajahmu cantik sekali. Saya boleh pegang?”Tanpa persetujuan sang empunya raga, tiba-tiba wanita paruh baya berpakaian lusuh, me-ra-ba dan meng-e-lus pipi seorang gadis cantik kuliahan.“Heh, Bu … tolong yang sopan, ya! Ayo, Nad, kita pergi!”Tangan wanita paruh baya itu dihempaskan oleh seseorang yang sepertinya merupakan teman dari gadis cantik itu.“Kenapa Rit? Gak boleh gitu! Aku gak apa-apa, kok.”“Ya ampun, Nadya. Masa wajah mulvsmu itu mau dirab4-rab4 oleh wanita tua itu? Lihat tangannya! Lihat pakaiannya! Gembel banget, ‘kan? Pasti semua yang ada di dirinya itu penuh kuman. Kamu mau wajahmu jadi jerawatan?”“Hush! Gak boleh gitu! Mungkin saja anaknya mirip denganku. Atau saat muda, wajahnya mirip denganku. Kalau kuperhatikan, wajah Ibu itu memang sedikit mirip denganku.”Rita yang merupakan sahabat dari Nadya pun terlihat keheranan. Berkali-kali dia memandang wajah Nadya dan kemudian beralih pada wanita paruh baya penjual kerupuk.“Kamu sudah gil4, Nad?” Rita menempelkan
“Titiknya sudah benar, Kak?” tanya seorang supir pada penumpangnya.“Hemm … benar, Mas. Tapi boleh gak bawa saya muter-muter kota dulu?” pinta seorang gadis, selaku penumpang.“Muter-muter kota? Tapi, Kak ... tarifnya nanti tidak sesuai.”“Gampang itu. Nanti saya lebihkan.”Setelah mendengar jawaban dari penumpangnya, supir taksi online itupun mulai lega. Kini, dia siap membawa penumpangnya berkeliling-keliling kota seperti yang dia inginkan.Sepanjang perjalanan, sang supir mencuri-curi pandang ke arah belakang lewat spion tengah, melihat penumpangnya yang duduk di kursi belakang.Gadis cantik itu bernama Nadya. Dia baru saja melarikan diri dari rumahnya karena menentang perjodohan. “Mbak lagi ada masalah, ya?” Sang supir memberanikan diri untuk bertanya. Tetapi pertanyaannya itu tak mendapatkan jawaban. Nadya begitu cuek bahkan tak berpaling sedikitpun. Wanita itu tetap melempar pandangannya ke arah jalan yang mereka lalui. Karena merasa tak digubris, supir itupun merasa jengkel.
“Terima kasih, Mas.”Hanya itu yang bisa Nadya ucapkan di tengah gempuran hujan. Entah lelaki muda itu mendengar ucapannya atau tidak.Jedug!!!Mereka kini melalui jalanan yang rusak. Nadya hampir saja terjatuh jika tak langsung memeluk tubuh pemuda itu. Ia terpaksa melakukan ini untuk membuat dirinya tak terjatuh ke jalan.“Maaf, Mas,” ucap Nadya, sesaat setelah dia memeluk pinggang lelaki itu. Tapi lagi-lagi tak ada sahutan. Nadya merasa tak enak hati. Karena mengira, pemuda itu terpaksa mengantarkan dirinya pulang dengan menempuh jarak yang lumayan jauh. Nadya berpikir, dirinya sangat merepotkan.Di kiri dan kanan jalan yang mereka lalui saat ini adalah hamparan sawah dengan gubuk-gubuk petani yang kosong saat malam. Sangat sepi. Beruntung hujan mulai reda walau menyisakan rintik yang membasahi tubuh. Tapi paling tidak, mereka berdua bisa menembus jalanan sepi dengan lebih cepat tanpa terhalang oleh derasnya hujan.Bruuuk!Tiba-tiba motor yang dikendarai lelaki itu oleng dan terjat
“Saya, Ibu dari pasien atas nama Nadya. Dimana? Dimana anak saya sekarang?” Bulan terlihat panik, dia tak sabar ingin bertemu dengan putri kesayangannya.“Putri Ibu dan suaminya masih ada di IGD, Bu. Mari saya antar.”Jantung Bulan berdegup lebih cepat ketika mendengar ucapan perawat. Suami? Suami dari anaknya? Apa maksud perkataan pihak rumah sakit ini?Tapi langkah kakinya tetap mengikuti sang perawat yang sebentar lagi akan mempertemukan dirinya dengan Nadya.“Sayang … bagaimana keadaanmu, Nak?”Bulan terus memeriksa tubuh anaknya dan menanyakan kondisi kesehatannya sekarang. Sang suami, Jaka, terus mendampinginya sembari me-nge-lus lembut rambut putri sambungnya.Sejurus kemudian, tatapan ta-jam Bulan lontarkan pada lelaki muda yang masih terbaring di ranjang rumah sakit.“Siapa dia, Nak? Katakan!” Bulan bertanya pada anaknya tanpa menatap mata sang putri. Pandangannya justru terus ditujukan pada lelaki muda yang kini tengah memberikan senyuman tipis padanya.“Ma … sabar! Ini rum