“Kur4ng 4jar, ya, kamu!”Plak!Begitu cepat tamp4ran keras melayang ke pipi Nanda. Semua orang yang ada di sana terkejut.“Apa-apaan ini, Tante?”Nanda bertanya bingung sembari memegangi pipinya yang kini terasa nyeri.“Marni ….”Tiba-tiba dari arah belakang, terdengar suara keras memanggil nama adik bungsu Jaka. Dia adalah wanita yang melahirkan Nanda ke dunia ini.Tangan Bulan gemetar. Dia begitu emosi melihat pemandangan di depannya. Dimana wanita yang membuatnya trauma selama ini tengah menyakiti anak kesayangannya.“Marni, apa-apaan kamu?”Di saat istrinya masih tetap di tempat, Jaka justru sudah lebih dulu menghampiri Marni.“Anakmu ini telah bicara tak sopan padaku, Mas.”Marni berusaha membela diri.“Apa yang kamu katakan ke Tantemu, Nan?”Kini Jaka berbalik ke arah putranya yang sudah remaja.“A … aku hanya ….”“Katakan saja!”Mendengar titah sang ayah, Nanda lantas menarik nafas dan langsung menjelaskan kronologinya. “Benar, ‘kan? Anakmu itu tak sopan. Kamu sudah dengar dar
“Wah, Mas-nya tampan sekali.”Bulan menoleh ke belakang. Dia mendapati seorang perempuan paruh baya yang memandang suaminya dengan penuh kekaguman. Bahkan rasa kagumnya itu disampaikannya secara terang-terangan.“Kalian penghuni baru di komplek ini, ya?” Ibu-ibu itu menghampiri Bulan dan suaminya, Lingga. Tetangga yang belum dikenalnya itu terus memperhatikan Lingga dari atas sampai bawah. Tentu saja dengan mata berbinar dan senyum terkembang. Bulan merasa risih akan tatapan wanita itu.“Iya. Kami penghuni baru di komplek ini.”“Ooh … kalian ngontrak apa beli? Setahu saya, rumah ini milik Nyonya Darmi.”“Kami membelinya, Bu,” ucap Bulan sekenanya saja. Sebab kesan pertama bertemu tetangga barunya itu tak cukup baik. Hal itu yang menyebabkan Bulan tak begitu suka berlama-lama berbicara dengannya.“Oh, ya. Kenalin ... nama saya Sulis.”Wanita itu menyodorkan tangannya pada Lingga. Entah sengaja atau tidak, Bulan seperti diabaikan.“Eh, iya, Bu. Nama saya Lingga. Salam kenal, ya. Dan in
Saat mengamati keadaan sekitar, Bulan tak melihat hal atau orang yang mencurigakan. Komplek perumahan ini memang tak memiliki pagar hingga orang-orang yang ingin bertamu ataupun berbuat tak baik bisa langsung menuju teras rumah.Sepertinya orang-orang di komplek ini masih ada di dalam rumahnya masing-masing. Tak ada yang keluar saat Bulan sedang marah-marah karena kotoran kucing misterius.Harusnya, saat-saat seperti ini, dia bisa menghirup udara segar dengan dalam. Tapi sekarang mana bisa? Kotoran kucing ini mengganggu penciuman.“Gila. Pagi-pagi sudah dikasi tugas bersihin kotoran kucing. Gak tahu apa aku lagi lapar. Kalau kutahu siapa pelakunya, kan kuhajar.” Bulan ngedumel sambil terus membersihkan kotoran itu.“Sayang, kamu di sini, toh?” Lingga sudah bangun dan dia mendapati istrinya sedang menyapu di teras rumah.“Aku laper, Sayang,” lanjut Lingga.“Aku sudah beliin sarapan, Mas. Itu masih kugantung di gagang pintu. Aku bersihin kotoran kucing ini. Pagi-pagi udah diteror.”“Hah
“Sudah pas. Sekarang tinggal dibagikan ke tetangga terdekat.”Sepulang kerja, Bulan begitu sibuk menyiapkan bolu buatannya untuk dibagikan ke tetangga---berkenalan dengan orang-orang di lingkungan perumahan ini. Tentu Bu Sulis termasuk dalam daftar-nya. Walaupun hatinya masih jengkel, tapi dia tetap berusaha untuk berbasa-basi dengan memberikan kue bolu buatannya.“Nanti aku kasi aja kue ini, trus pulang. Malas juga bertatap muka apalagi berbincang lama dengan mereka,” gumam Bulan saat dia memikirkan langkah apa yang mau diambil saat pergi ke rumah Bu Sulis.Satu per-satu tetangga dikunjungi. Ternyata mereka semua sangat ramah dan menyambut baik kedatangan wanita itu. Sikapnya jauh berbeda dengan tadi pagi. Saat melihat keributan antara Bulan dan Bu Sulis.“Salam kenal Mbak Bulan. Semoga betah ya di sini. Main-main saja ke sini kalau bosen di rumah.”Rata-rata begitulah ucapan basa-basi dari pemilik rumah yang Bulan datangi satu per satu. Kini kue-nya tersisa dua. Satu untuk keluarga
“Weekend ini lu mau kemana, Lan?”Pertanyaan itu terlontar dari mulut teman-temannya. Biasanya Bulan paling semangat bercerita tentang liburan akhir pekan yang akan dia jalani. Tapi minggu ini berbeda. Bulan terlihat lesu dan jarang bicara. Hal itu tentu dikarenakan masalah dengan tetangga barunya.“Gak tahu, nih. Kayaknya di rumah aja. Lagi males kemana-mana.”Biasanya Bulan paling senang saat tiba akhir pekan. Kalaupun harus di rumah saja bersama suaminya, dia tetap bahagia. Aman dan tentram. Tapi di lingkungan baru ini, sepertinya dia tidak bahagia. Enggan kalau-kalau tetangganya kembali membuat ulah. Belum lagi sang suami yang tak bisa bersikap tegas dan justru menyambut baik kehadiran mereka. Bagi Bulan, tak apa bersikap cuek untuk orang-orang seperti mereka.“Gue duluan, ya, Lan.”“Ya … ya. Gue juga dah mau pulang.”Bulan bekerja di salah satu bank swasta yang cukup terkenal. Memiliki jabatan sebagai credit analyst. Salah satu tugasnya adalah mengumpulkan serta menganalisis data
“Ini terakhir kalinya aku mau meladeni Bu Sulis, Mas. Aku harus beri peringatan pada Ibu dan anak itu. Mereka tidak boleh mengganggu kita lagi,” gumam Bulan seorang diri.Tanpa pikir panjang, dia lantas mendatangi Bu Sulis. “Apa-apaan ini?” tanya Bu Sulis.“Kalau mau bertamu, yang sopan dong, Mbak!” timpal Nesi.“Kalian gak nyadar? Kalian sendiri setiap bertamu selalu gak sopan. Aku ke sini cuma mau ngasi peringatan sama kalian! Jauhi suamiku! Jangan ganggu rumah tanggaku!”“Siapa yang ganggu? Nak Lingga sendiri senang menerima kami. Suamimu itu sudah bosan berumah tangga dengan wanita tua dan mandul kayak kamu.”Bagai disambar petir, Bulan merasa sakit hati dengan ucapan Bu Sulis. Genggaman tangannya semakin kuat. Ingin sekali meninju wanita paruh baya itu.Beberapa tetangga mulai mengintip dari rumahnya masing-masing. Bulan kembali jadi tontonan.“Kasihan Nak Lingga. Masih muda, sukses kerja di bank, dan juga tampan. Sayang kalau menikah dengan wanita yang lebih tua. Apalagi kamu t
Sudah dua hari ini Bulan dan Lingga tak saling bicara. Hidup seatap namun tak saling tatap. Bulan tetap melayani kebutuhan suaminya sebelum dan sepulang kerja. Dia juga mencoba untuk bersikap biasa saja. Bahkan sering mencoba mengajak berbaikan. Tapi Lingga selalu menghindarinya. Sampai akhirnya Bulan lelah dan lebih memilih menyibukkan dirinya dengan pekerjaan.“Kamu kenapa, Lan? Lagi sakit?”Bulan menggeleng. Dia tak menatap lawan bicaranya. Justru lebih memilih berpangku tangan di meja kerjanya.“Mukamu pucet banget. Ada masalah?”Teman-temannya berusaha menghibur dan mencari tahu apa yang terjadi. Tapi Bulan tetap menutup diri. Mengatakan dirinya baik-baik saja. Hingga akhirnya orang-orang di sekitarnya pergi dan memberi ruang untuk Bulan menyendiri.TriiingTriiingTriiingTiba-tiba ada telepon dari ibu mertuanya. Sebenarnya Bulan masih enggan berbicara dengan siapapun. Tapi ini berbeda. Telepon ini dari mertuanya.SreetBulan menggeser layar di ponselnya. Dia menerima telepon me
“Tolong kuenya bawa keluar lagi, Nak! Banyak tetanggamu yang hadir.”Sesuai perintah Mama Mery, Bulan pun membawa kue-kue lainnya ke ruang tamu—tempat orang-orang berkumpul.Senang rasanya melihat tamu-tamu datang dengan wajah gembira. Mereka pun tertawa dan menikmati kudapan dengan senang. Bulan menengok ke arah luar. Para lelaki termasuk suaminya juga asik bercengkrama dan tertawa. Dalam hatinya, Bulan menginginkan semuanya baik-baik saja. Tetangga aneh serta isu adanya orang ketiga di pernikahan mereka, diharapkan hanyalah sebuah mimpi. Bulan tak ingin jika rumah tangganya mulai rapuh sejak pindah ke rumah baru.“Tetangga depan gak diundang, Lan?”Sella menggeser tempat duduknya agar lebih dekat dengan Bulan. Dia pun menanyakan soal keluarga Bu Sulis yang tak terlihat batang hidungnya.“Aku malas datang ke sana untuk memberi undangan langsung, Mbak. Hatiku terlalu sakit. Jika mereka datang, akan kuterima. Jika tidak, juga tak masalah. Lagipula, aku sudah mengabari lewat grup WA. S