“Berhenti!!!”Jaka menghentikan langkahnya dengan ragu-ragu. Dia meihat kedatangan dua orang pengawal berbadan kekar yang berjalan ke arahnya dan juga kakek di sampingnya.“Jualan apa kalian?” tanya para pengawal dengan wajah mengintimidasi.“Saya jualan ayam potong, Pak. Ini ayam hutan,” jawab sang kakek terlebih dahulu.Para pengawal melihat-lihat dagangan milik sang kakek. Lantas membeli dua potong ayam dari gerobaknya. Sekarang, giliran Jaka. “Jualan apa kamu?” tanya salah seorang pengawal.“I … ini, Pak. Saya jualan sayuran dan juga jamur hutan.”“Wah enak nih dimasak sama da-ging ayam hutan ini, Lon,” ucap salah seorang pengawal ke teman di sampingnya. Tapi sang teman tak menggubris ucapannya. Tatapannya begitu tajam—menusuk ke arah Jaka.“Kenapa kamu terlihat gugup?” tanya pengawal itu. Ketika teman di sampingnya terlihat lebih fokus pada barang dagangan Jaka, tapi tidak dengannya. Pengawal yang bernama Londo itu justru lebih fokus pada gerak-gerik Jaka yang baginya sangat me
“Semua biaya sudah saya tanggung, ya, Mas.”“Terima kasih, Mas. Terima kasih.”Jaka sangat berterima kasih pada seorang Mantri muda bernama Iman. Pria penyelamat itu tak hanya pandai, namun juga baik hati. Jaka dan Lingga beruntung bertemu dengannya. Saking terharunya akan kebaikan Iman, Jaka sampai bersujud di kaki Iman. Namun Mantri muda itu dengan cepat menyuruh Jaka berdiri.“Sudah, Mas! Gak usah seperti itu! Sebagai sesama saudara, kita harus saling tolong-menolong,” ucap Iman dengan senyum termanisnya.“Ya, ampun, Mas. Kamu pria yang baik. Kamu malaikat yang dikirim Tuhan untuk menyelamatkan nyawa Lingga. Terima kasih, Mas.”Iman mengangguk. Dia menerima semua ucapan terima kasih dari Jaka. Hatinya juga sangat bahagia karena dia dipilih Tuhan untuk melakukan hal baik ini.“Saya pulang dulu, ya, Mas. Masih ada pekerjaan yang menanti di desa. Semoga Mas Lingga cepat sadar dan membaik. Mas gak apa-apa di sini sendirian?” ucap Iman.Jaka langsung mengangguk cepat. Dia tak ingin mere
“Eh … eh, mau kemana ini? Kok rame banget?”Di depan pagar, Kevin dan rombongannya dihentikan oleh Anthony, kakak iparnya.“Kak, tolong jangan sekarang! Aku harus segera pergi!” ucap Kevin. Dia mengira, Anthony datang untuk merusuh.“Memangnya kamu mau kemana sih, Vin? Buru-buru begini? Trus mereka semua siapa? Sejak kapan kamu nyewa pengawal?”Anthony terus berceloteh, mempertanyakan tentang orang-orang yang saat ini bersama Kevin.“Hemm ….” Kevin menghela nafas sebelum menjawab satu-persatu pertanyaan dari kakak iparnya.“Iya. Aku menyewa orang-orang terlatih, Kak. Semua ini kulakukan untuk mencari keberadaan Bulan.”Mendengar perkataan Kevin, Anthony pun tertawa dengan begitu keras. Seolah mengejek usaha yang dilakukan Kevin dalam mencari putri satu-satunya.“Percuma, Vin, percuma. Bulan pasti sudah ma-ti.”Kevin geram mendengar semua itu. Tangannya mulai mengepal, hendak meninju kakak iparnya yang kini berada tepat di hadapannya. Hingga akhirnya ….“Sudah, Om! Kita harus segera pe
“Clarissa … Clarissa.”Tuan Anthony berteriak memanggil nama putrinya. Dia segera mendekat ke arah r4njang untuk melihat wajah cantik anaknya. “Benar … ini Clarissa … putriku.”Tanpa pikir panjang, Tuan Anthony lantas memeluk putrinya itu. Rasa rindu yang terpendam selama ini, kini terlampiaskan sudah. Clarissa telah kembali. Putri kesayangan Tuan Anthony telah ditemukan.Namun tiba-tiba ….“Si … siapa kalian?”Clarissa terbangun dari tidurnya karena tubuhnya terasa digoncang oleh seseorang. Setelah membuka mata, dia semakin heran melihat seorang pria paruh baya menangis dan memeluknya. Di belakang pria itu juga berdiri beberapa orang yang tak Clarissa kenal. Hanya wajah Yanti yang familiar di matanya, karena Yanti merupakan salah satu pelayan di rumah itu yang sering dilihat oleh Clarissa.“Lepaskan!”“Nak … Nak, kamu kenapa? Ini Papa, Nak.” Tuan Anthony kembali memeluk putrinya sembari mengucapkan syukur. “Terima kasih, Tuhan. Kau telah bawa putriku kembali.”Kali ini, Clarissa har
Plak!Sri ikut bergabung ke dalam kerumunan. Di pasar, Juragan Ariadi dan antek-anteknya yang masih tersisa mendapat penghakiman dari warga. Mereka semua babak belur. Luka dan penuh da-rah. Juragan Ariadi yang awalnya sangat berkuasa dan ditakuti oleh warga desa, kini terlihat layaknya seekor anak kucing yang terjepit reruntuhan. Mengerang kesakitan dengan suara lemah dan wajah penuh iba.“Ini untuk ayah dan ibuku.”Plak!Lagi-lagi, Sri menampar pipi Juragan Ariadi. Lelaki tua itu terlihat pasrah. Raganya terasa kebas, tak bisa merasakan sakit lagi.“Kau orang yang sangat jahat. Kau memfitnah keluargaku. Kau menghasut orang-orang untuk membenciku dan keluargaku. Kau juga telah mengirim kedua orangtuaku ke sisi Tuhan.”Sri berteriak di depan wajah Juragan Ariadi. Emosinya meledak-ledak, diiringi suara makian sekaligus raungan kesedihan dari warga desa. Tangis haru karena mereka bisa berkumpul kembali dengan anak-anak gadisnya yang kini telah terbebas dari jeratan Juragan Ariadi. Selain
“Ayah, Ibu … maafin, Sri, ya. Sri baru bisa datang sekarang. Sekarang kalian bisa tenang di sana.”Sri menangis di depan gundukan tanah dengan dua batu nisan tertancap di sana. Iya. Sri telah menguburkan kedua orang tuanya dengan layak. Tentu saja atas bantuan Tuan Kevin. Ayah dari Bulan itu mau membiayai serta mengurus proses pemakaman kedua orang tua Sri, yang dulunya dikuburkan secara tidak layak oleh antek-antek Juragan Ariadi.“Sekarang rumah Ayah dan Ibu sudah bagus. Sri tambahin bunga lagi biar cantik dan harum. Sri juga akan selalu kirim doa untuk kalian. Doakan Sri, ya. Semoga Sri bisa membangun hidup Sri kembali tanpa kalian.”Gadis desa itu mengusap air mata yang membanjiri pipi. Siapa yang bisa menahan kesedihan atas perpisahan dengan orang tersayang? Tentu berat. Terlebih Sri sangat begitu dekat dengan kedua orang tuanya. “Oh iya, Yah … Bu. Sri bawa seseorang ke hadapan kalian.” Sri memberi isyarat pada Satria untuk mendekat. Lelaki pujaan hatinya itupun mengangguk dan m
“Nak, wajahmu cantik sekali. Saya boleh pegang?”Tanpa persetujuan sang empunya raga, tiba-tiba wanita paruh baya berpakaian lusuh, me-ra-ba dan meng-e-lus pipi seorang gadis cantik kuliahan.“Heh, Bu … tolong yang sopan, ya! Ayo, Nad, kita pergi!”Tangan wanita paruh baya itu dihempaskan oleh seseorang yang sepertinya merupakan teman dari gadis cantik itu.“Kenapa Rit? Gak boleh gitu! Aku gak apa-apa, kok.”“Ya ampun, Nadya. Masa wajah mulvsmu itu mau dirab4-rab4 oleh wanita tua itu? Lihat tangannya! Lihat pakaiannya! Gembel banget, ‘kan? Pasti semua yang ada di dirinya itu penuh kuman. Kamu mau wajahmu jadi jerawatan?”“Hush! Gak boleh gitu! Mungkin saja anaknya mirip denganku. Atau saat muda, wajahnya mirip denganku. Kalau kuperhatikan, wajah Ibu itu memang sedikit mirip denganku.”Rita yang merupakan sahabat dari Nadya pun terlihat keheranan. Berkali-kali dia memandang wajah Nadya dan kemudian beralih pada wanita paruh baya penjual kerupuk.“Kamu sudah gil4, Nad?” Rita menempelkan
“Titiknya sudah benar, Kak?” tanya seorang supir pada penumpangnya.“Hemm … benar, Mas. Tapi boleh gak bawa saya muter-muter kota dulu?” pinta seorang gadis, selaku penumpang.“Muter-muter kota? Tapi, Kak ... tarifnya nanti tidak sesuai.”“Gampang itu. Nanti saya lebihkan.”Setelah mendengar jawaban dari penumpangnya, supir taksi online itupun mulai lega. Kini, dia siap membawa penumpangnya berkeliling-keliling kota seperti yang dia inginkan.Sepanjang perjalanan, sang supir mencuri-curi pandang ke arah belakang lewat spion tengah, melihat penumpangnya yang duduk di kursi belakang.Gadis cantik itu bernama Nadya. Dia baru saja melarikan diri dari rumahnya karena menentang perjodohan. “Mbak lagi ada masalah, ya?” Sang supir memberanikan diri untuk bertanya. Tetapi pertanyaannya itu tak mendapatkan jawaban. Nadya begitu cuek bahkan tak berpaling sedikitpun. Wanita itu tetap melempar pandangannya ke arah jalan yang mereka lalui. Karena merasa tak digubris, supir itupun merasa jengkel.
“Kur4ng 4jar, ya, kamu!”Plak!Begitu cepat tamp4ran keras melayang ke pipi Nanda. Semua orang yang ada di sana terkejut.“Apa-apaan ini, Tante?”Nanda bertanya bingung sembari memegangi pipinya yang kini terasa nyeri.“Marni ….”Tiba-tiba dari arah belakang, terdengar suara keras memanggil nama adik bungsu Jaka. Dia adalah wanita yang melahirkan Nanda ke dunia ini.Tangan Bulan gemetar. Dia begitu emosi melihat pemandangan di depannya. Dimana wanita yang membuatnya trauma selama ini tengah menyakiti anak kesayangannya.“Marni, apa-apaan kamu?”Di saat istrinya masih tetap di tempat, Jaka justru sudah lebih dulu menghampiri Marni.“Anakmu ini telah bicara tak sopan padaku, Mas.”Marni berusaha membela diri.“Apa yang kamu katakan ke Tantemu, Nan?”Kini Jaka berbalik ke arah putranya yang sudah remaja.“A … aku hanya ….”“Katakan saja!”Mendengar titah sang ayah, Nanda lantas menarik nafas dan langsung menjelaskan kronologinya. “Benar, ‘kan? Anakmu itu tak sopan. Kamu sudah dengar dar
Pintu kamar pribadi milik Jaka dan Bulan terbuka. Marni yang semula ingin turun ke lantai dasar untuk memberi makan cacing-cacing di perut, kini perhatiannya justru teralihkan ke sebuah kamar—kamar milik iparnya.“Besar banget. Beda jauh dengan kamarku.”Marni melongo. Dia terdiam di depan kamar yang pintunya terbuka itu. Memindai setiap sudut kamar yang terjangkau oleh mata. Tanpa sadar, kakinya terus melangkah maju—mendekat ke arah kamar. Entah dimana ART yang bertugas membersihkan kamar majikannya hari itu. Hingga pintu kamar dibiarkan terbuka tanpa ada seorangpun di dalam. Hal ini tentu dijadikan kesempatan emas bagi Marni untuk melihat-lihat barang di kamar itu.Ceklek“Ceroboh banget. Kenapa kunci lemari dibiarkan tergantung kayak gini, kan aku jadi bisa membuka lemarinya,” ucap Marni dengan senyum sumringah. Dia berharap ada perhiasan me-wah yang bisa ia pinjam untuk sebentar.“Apaan ini? Mana perhiasannya?”Setelah membuka lemari, Marni tak melihat barang lain selain pakaian
“Wanita itu? Ke … kenapa dia ada di sini?”Trauma yang dialami Bulan masih ada hingga kini. Bayangan masa lalu, selama berminggu-minggu disek4p, kini kembali muncul. Telinga Bulan mulai berdengung, pandangannya berbayang. Dia merasakan pusing yang sangat luar biasa. Tubuhnya mulai tak terkendali, bergetar dan tak bisa berdiri tegak.“Eh … Bu … Bu.”Beruntung. Sebelum tak sadarkan diri dan terjatuh ke lantai, ada yang menopang tubuhnya dari belakang. Dua orang perawat perempuan memegangi tubuh Bulan yang saat ini begitu lemas.“Bawa ke IGD! Tolong!”Perawat itu memanggil rekan lelakinya untuk membantu membawa Bulan ke IGD.Di lain sisi, Nadya yang mendengar keributan dari arah belakang, terkejut melihat ibunya yang begitu lemas dan ditemani oleh dua perawat.“Mama ….”Mendengar kata yang terucap dari mulut anak perempuannya, Jaka pun ikut menoleh ke arah belakang. Begitu pula dengan Maga dan Marni. Percakapan mereka harus terpotong. Kini, semua tertuju pada Bulan.Jaka dan Nadya gegas
“Pa … itu ada telepon.”“Dari siapa, Ma?”“Entahlah … dari tadi berisik banget nelponin Papa. Awas aja kalau itu simpenan kamu, ya.”Jaka hanya bisa tersenyum sembari me-nge-lus lembut rambut istrinya. Kini, Bulan memang berubah menjadi wanita yang sensitif dan sangat protektif pada keluarganya. Bahkan terkadang ketakutan akan kehilangan anggota keluarganya itu, membuat Bulan dianggap sebagai sosok yang galak dan cerewet oleh anak-anaknya.“Ya, sudah … Papa angkat telepon dulu, ya.”Jaka bersiap untuk keluar dari kamarnya, mengangkat telepon dari orang misterius yang sejak tadi membuat ponselnya berdering.“Kenapa gak di sini aja? Kenapa harus di luar? Kamu menyembunyikan sesuatu?”Lagi-lagi, langkah Jaka terhenti. Dia pun kembali berbalik ke arah sang istri.“Mama mau Papa tetap di sini? Ya, sudah, Papa angkat teleponnya di kamar. Biar Mama tidak curiga lagi. Bila perlu, Papa loudspeaker saja biar Mama bisa mendengar percakapan kami.”Bulan tak menjawab. Wajahnya masih datar dan tak
“Minggir dong, Pak! Kenapa sih mepet-mepet terus? Ketek Bapak bau.”“Eh … kurang a-jar ya, kamu. Enak saja bilang ketek saya bau. Lagian siapa yang mau deket-deket sama kamu? Mulutmu bau jengkol.”Di dalam bus antar kota itu, seorang wanita paruh baya dan seorang kakek tua terlihat bersitegang dan adu mulut. Mereka membuat orang-orang di sekitarnya mulai terganggu. Suasana yang awalnya hening, didominasi oleh orang-orang yang sedang tidur sembari menunggu waktu untuk sampai ke tempat tujuan, kini tiba-tiba riuh seperti pasar.“Bu … udah, Bu!”Maga berusaha menenangkan ibunya. Dia harus menahan rasa sakit di perutnya demi melerai pertengkaran ibunya dengan seorang kakek.“Dasar orang kampung! Beraninya sama orang tua.”“Memang kenapa kalau aku orang kampung? Daripada kamu, sudah bau tanah masih saja cari perkara.”Tak ada yang bisa melerai mereka berdua hingga ….Ciiiiit ….Bus berhenti mendadak, membuat semua orang terkejut dan beberapa ada yang terpental dari posisinya semula. Berunt
“Sudah Ibu bilang, kita harus pergi ke kota mencari keluarga gadis itu. Kita harus meminta pertanggung-jawabannya.”Marni begitu menggebu-gebu. Menghasut suami dan anak lelakinya untuk pergi ke kota mencari keberadaan Nadya. Tapi dua lelaki itu tetap diam—berusaha tak mendengar ucapan sang Ibu.“Kita jual saja rumah ini. Semoga uangnya cukup untuk melunasi hutang dan juga memberi ganti rugi pada orang-orang di pasar.”Maga mengangguk—dia setuju dengan ucapan sang ayah. Sepertinya, itulah solusi terbaik untuk keluar dari masalah ini. Walaupun mereka harus kehilangan rumah ini, tak menjadi masalah. Yang terpenting, mereka terbebas dari segala hutang dan tuntutan warga.“Apa? Dijual? Trus kita mau tinggal dimana?”Marni adalah satu-satunya orang yang tak setuju akan saran suami dan anaknya.“Kita buat gubuk kecil di bekas kios, Bu. Hanya untuk sementara. Setelah rumah ini berhasil dijual, sisa uangnya akan bapak pakai untuk menyewa kontrakan dan juga membangun kios kita lagi.”Marni meng
“Baru saja pulang, Pak. Dia pulang bersama kakeknya.”Tentu saja kakek yang dimaksud oleh petugas rumah sakit adalah lelaki tua yang membantu Nadya dan Maga tempo hari.“Apa mereka tak menitipkan pesan atau memberitahukan alamat mereka?”“Maaf, Pak. Tidak ada.”Jaka menghela nafas pelan. Dua hari ini dia terlalu sibuk dengan pekerjaan kantor dan juga keluarganya. Dia harus menjadi tameng dan tembok pembatas bagi istri dan anak perempuannya yang sedang perang dingin. Sehingga ia lupa menemui pemuda yang wajahnya sangat mirip dengan adik kembarnya.“Dia sudah pergi, Yan. Aku tak tahu dimana keberadaannya sekarang.”Jaka memberi laporan pada adik kembarnya yang lain. Dia gagal mencari tahu tentang asal-usul pemuda itu. Dia kehilangan jejak.“Sudah, tak apa-apa, Mas! Kalau memang benar dia keponakan kita, Tuhan pasti akan mempertemukan kita kembali.”Dari seberang telepon, Yanti berusaha menghibur kakaknya. Sebenarnya ia pun tak yakin kalau pemuda yang dimaksud oleh kakaknya adalah kepona
“Saya, Ibu dari pasien atas nama Nadya. Dimana? Dimana anak saya sekarang?” Bulan terlihat panik, dia tak sabar ingin bertemu dengan putri kesayangannya.“Putri Ibu dan suaminya masih ada di IGD, Bu. Mari saya antar.”Jantung Bulan berdegup lebih cepat ketika mendengar ucapan perawat. Suami? Suami dari anaknya? Apa maksud perkataan pihak rumah sakit ini?Tapi langkah kakinya tetap mengikuti sang perawat yang sebentar lagi akan mempertemukan dirinya dengan Nadya.“Sayang … bagaimana keadaanmu, Nak?”Bulan terus memeriksa tubuh anaknya dan menanyakan kondisi kesehatannya sekarang. Sang suami, Jaka, terus mendampinginya sembari me-nge-lus lembut rambut putri sambungnya.Sejurus kemudian, tatapan ta-jam Bulan lontarkan pada lelaki muda yang masih terbaring di ranjang rumah sakit.“Siapa dia, Nak? Katakan!” Bulan bertanya pada anaknya tanpa menatap mata sang putri. Pandangannya justru terus ditujukan pada lelaki muda yang kini tengah memberikan senyuman tipis padanya.“Ma … sabar! Ini rum
“Terima kasih, Mas.”Hanya itu yang bisa Nadya ucapkan di tengah gempuran hujan. Entah lelaki muda itu mendengar ucapannya atau tidak.Jedug!!!Mereka kini melalui jalanan yang rusak. Nadya hampir saja terjatuh jika tak langsung memeluk tubuh pemuda itu. Ia terpaksa melakukan ini untuk membuat dirinya tak terjatuh ke jalan.“Maaf, Mas,” ucap Nadya, sesaat setelah dia memeluk pinggang lelaki itu. Tapi lagi-lagi tak ada sahutan. Nadya merasa tak enak hati. Karena mengira, pemuda itu terpaksa mengantarkan dirinya pulang dengan menempuh jarak yang lumayan jauh. Nadya berpikir, dirinya sangat merepotkan.Di kiri dan kanan jalan yang mereka lalui saat ini adalah hamparan sawah dengan gubuk-gubuk petani yang kosong saat malam. Sangat sepi. Beruntung hujan mulai reda walau menyisakan rintik yang membasahi tubuh. Tapi paling tidak, mereka berdua bisa menembus jalanan sepi dengan lebih cepat tanpa terhalang oleh derasnya hujan.Bruuuk!Tiba-tiba motor yang dikendarai lelaki itu oleng dan terjat