- Dua puluh empat tahun silam …. -
Sumiyati datang bersama Inah, ART sebelah rumah mereka. Alma memang meminta dicarikan seorang baby sitter untuk membantu mengurus bayi kembarnya. Saat itu Shafa dan Marwah baru berusia satu bulan.
"Ini yang namanya Sumiyati, tetangga saya di kampung, Nyonya. Katanya dia mau mencari pekerjaan," ujar Inah memperkenalkan wanita bertinggi sekitar 160 cm itu. Tubuhnya agak sedikit gempal dengan celana kulot hitam dan kaos.
"Sudah pernah mengurus bayi sebelumnya?" tanya Alma. Tangannya sibuk menggendong Marwah kala itu. Tubuhnya bergoyang-goyang menyerupai ayunan. Marwah sedikit rewel karena badannya demam.
"Saya sempat punya anak, Bu. Perempuan. Tapi, di usianya setahun, anak saya meninggal karena demam tinggi," jawab Sumiyati.
"Innalillahi. Terus suami kamu di mana?" tanya Alma prihatin.
"Suami saya bukan laki-laki yang bertanggung jawab, bu. Kerjanya hanya mabuk dan judi. Terkadang dia juga mau main tangan ke saya." Tersirat nada sedih pada suaranya. "Makanya saya memilih lebih baik kerja di kota daripada di kampung saya menderita."
"Ya Allah, maafkan saya. Saya gak tau."
"Ndak papa, Bu."
Oeeekkk. Baby Marwah menangis. Terlihat Alma kerepotan dengan baby Shafa yang masih menyusu botol.
Dengan sigap, Sumiyati meraih Shafa yang menangis di baby stroller dan membawa bayi itu ke dalam gendongannya.
"Ussh, ussh, ussh, jangan menangis ya, Anak Manis. Digendong dulu sama mbak Sum," Tangannya menepuk-nepuk lembut pantat Shafa. Badannya juga bergoyang-goyang seperti ayunan.
Melihat baby Shafa diam dan nampak nyaman di gendongan Sumiyati, membuat Alma terkesima, lantas memutuskan untuk menerimanya bekerja.
"Ya sudah, kamu boleh langsung bekerja hari ini. Nanti saya kasih tau apa-apa saja yang harus kamu lakukan ya."
"Baik, Nyonya."
Sumiyati tidak sekali pun menujukkan gelagat yang aneh selama dua bulan bekerja. Bahkan ia pun terlihat sangat sayang pada Randy, anak sulung majikannya. Saat itu Randy berusia tiga tahun.
Suatu pagi, Inah datang tergopoh-gopoh menemui Sumiyati. Saat itu Sumiyati sedang menidurkan Shafa di ayunan.
"Sum! Sum!" teriak Inah.
"Kenapa kau tergesa-gesa, Nah?" tanya Sumiyati heran.
"Su-suamimu … suamimu …."
"Kenapa suamiku?"
"Suamimu meninggal, Sum. Dia mencoba membegal seorang ibu hamil dan tertangkap. Lalu dia dihakimi warga sampai meninggal di tempat."
"Ya ampun, Gusti."
Setelah berpamitan pada Alma, majikannya, Sumiyati bergegas mencari mobil angkutan yang menuju stasiun. Setelah itu, di sambung lagi dengan kereta api dan harus memakan waktu sekitar tiga jam perjalanan.
Sesampai di sana, bendera kuning telah ditancapkan. Tak begitu ramai yang datang melayat. Karena memang perlakuan almarhum terhadap warga sekitar, membuat warga membenci bahkan tak jarang mengumpatnya.
Sumiyati melangkah masuk dan di dapatinya jenazah suaminya yang telah membujur kaku. Wajahnya lebam. Mungkin karena di hajar oleh amukan massa.
"Sum …," tangis seorang wanita tua seraya memeluknya.
"Sabar bu. Mungkin memang sudah ajalnya dan juga sudah takdir bang Wandi harus meninggal seperti ini," hiburnya pada wanita tua yang tak lain adalah ibu mertuanya.
"Maafkan suamimu ya, Nak. Maafkan dia yang selalu menyakitimu selama ini."
"Sudahlah, bu. Aku sudah memaafkan. Ibu jangan nangis ikhlaskan saja kepergian Bang Wandi ya." Suaranya terdengar datar dan tak ada rasa kesedihan di sana. Apakah mungkin karena selama ini perlakuan sang suami yang begitu kejam, sehingga mematikan hati dan perasaannya.
___
Hari ketiga meninggal suaminya, Sumiyati di datangi beberapa orang yang bertubuh tegap.
"Sum, suamimu memiliki utang dua ratus juta rupiah dan dia baru dua kali menyicilnya. Sedangkan ini bunganya terus bertambah. Kalau kau tidak bisa membayarnya, terpaksa rumah ini kami sita," ungkap salah seorang dari orang-orang suruhan si renteiner.
"Utang apa? Aku tak tahu menahu soal itu."
"Kau tidak bisa mengelak, Sum. Suamimu sudah meninggal dan kau kan istrinya. Tentu kau yang harus membayarnya."
"Kalian sudah gila? Belum seminggu Bang Wandi meninggal, kalian sudah menagih ke sini? Dimana otak kalian?"
"Kami tidak peduli, Sum. Kau harus bayar atau kau angkat kaki dari sini. Sertifikat rumahmu ada di tangan Boss Aldi. Jadi dia berhak kapan saja menendangmu dari sini."
Wanita itu menarik napas dalam. Tak ada gunanya berdebat dengan manusia-manusia berhati batu ini.
"Ya sudah. Aku minta kalian bersabar. Berikan aku waktu satu bulan. Aku pasti akan membayarnya."
"Oke, kami kasih kau waktu satu bulan. Kau jangan coba-coba lari. Soalnya sertifikat rumah ini ada pada kami."
"Ya, aku tahu. Kalian tak perlu mengulang-ulangnya. Aku tidak akan lari."
Mendengar ucapanku, ketiga orang itu pergi meninggalkan rumahku. Wanita berambut panjang itu terduduk di sofa butut pemberian tetangganya Dia meraup kasar wajahnya. Tampak begitu berat beban yang mesti ia tanggung sendiri.
Bang, Bang, kau sudah mati saja masih terus menyusahkanku, batinnya nelangsa.
"Assalamualaikum …."
Sumiyati menoleh. Ternyata Sari sahabatnya sewaktu duduk di bangku sekolah menengah pertama. Sari berdiri di muka pintu.
"Sari?" tanya Sumiyati. Wanita itu tercengang melihat penampilan sahabatnya yang jauh berubah.
"Kenapa? Kau heran melihat penampilanku sekarang, ha?"
Sumiyati memandangi Sari dari ujung rambut hingga kakinya. Sari adalah sahabatnya sejak kecil. Ketika beranjak remaja, mereka sama-sama bekerja sebagai pembantu di rumah orang terkaya di kampung mereka.
"Iya, a-aku tak sangka kau bisa sesukses ini, Sar. Barang-barangmu semuanya bermerek. Wah, hebat kau, Sar," puji Sumiyati terpukau melihat perhiasan yang menghiasi tangan dan leher wanita bertubuh langsing itu.
"Kau mau aku ajak kerja bareng gak? Aku tahu kau sedang butuh uang kan? Tak sengaja aku melihat ada preman-preman tadi ke sini menagih utang."
Sumiyati tertunduk lesu dan menarik napas panjang.
"Iya, Sar. Bang Wandi mati meninggalkan banyak utang untukku. Dan aku bingung harus bagaimana," keluhnya. .
"Kerjanya ndak sulit kok. Nanti kau akan aku kenalkan pada bos tempatku bekerja. Percayalah, kau pasti bisa membeli rumah sepuluh kali lipat dari gubukmu ini."
Sumiyati membelalak. Di benaknya sudah menari-nari ucapan sahabatnya itu. Siapa yang tak ingin kaya? Apalagi dalam waktu yang singkat.
Ternyata janda tanpa anak itu bekerja pada komplotan penculikan anak dan perdagangan wanita, yang akan dijual serta dipekerjakan sebagai pelacur. Kesulitan hidup yang dialaminya, menyebabkan ia berpikir pendek dan mencari jalan pintas.
Tiba-tiba wanita itu teringat akan anak Alma Sasmita, majikannya. Dengan modus berpura-pura hendak bekerja kembali, kesempatan itu ia gunakan untuk menculik salah satu bayi kembar sang majikan.
"Sum, saya titip Shafa dulu ya. Saya mau bawa Marwah ke rumah sakit. Hari ini jadwal Marwah imunisasi," ujar Alma. Marwah sudah siap di gendongannya dan beberapa perlengkapan bayi di tangannya.
"Non Shafa tidak dibawa, bu?" tanyanya sembari memberi susu pada bayi mungil itu.
"Shafa terasa agak demam kan? Kalau demam kata dokter tidak boleh diimunisasi dulu."
Yes! Kesempatan bagus ini, batinnya bersorak girang.
"Silakan, Nyonya. Mobil sudah siap," panggil Pak Udin, sopir pribadi Alma.
"Oh iya iya. Pak, tolong bawakan ini tas nya Marwah ya."
"Baik, Nyonya." Pak Udin mengambil tas perlengkapan baby Marwah dan membawanya ke mobil.
"Saya permisi dulu ya, Sum. Hati-hati di rumah," pesan wanita berhijab itu. "Shafa, bunda pergi sebentar ya. Mau bawa adik Marwah imunisasi. Nanti kalau Shafa sudah sembuh, baru deh Shafa bunda ajak. Jangan rewel sama mbak Sum ya, Sayang."
Alma beranjak masuk ke dalam mobil. Sebelumnya, Pak Udin sudah membukakan pintu sisi sebelah kanan. Lalu, mobil tampak bergerak pelan.
Dari balik korden, Sumiyati melihat mobil bergerak dan semakin jauh. Bik Atik sedang mencuci di belakang. Bergegas ia mengemasi pakaian Shafa secukupnya. Kemudian ART bertubuh tempat itu menelepon taksi melalui telepon rumah sang majikan. Tas perlengkapan Shafa telah ia sembunyikannya di teras di balik pot besar.
Shafa sudah siap di gendongannya. Begitu melihat mobil sedan berwarna biru berlogo burung, segera diambilnya tas yang sudah ia sembunyikan di balik pot tadi, lalu melesat pergi.
__
Sepulang dari membawa imunisasi Marwah, Alma heran mendapati rumah dalam keadaan sepi. Biasanya ada suara Sumiyati yang bermain dengan Shafa. Di usia tiga bulan, perkembangan bayi kembarnya itu sudah terlihat dari ocehan-ocehan dan tawa khas bayi.
Wajag ibu tiga anak itu pucat pasi, mendapati kamar bayi juga kosong. Perasaan khawatir dan tak enak mulai menjalari hatinya.
Alma mencari keseluruh ruangan hingga taman belakang. Namun tak juga ia mendapati sosok bayi dan pengasuhnya.
Wanita yang berusia dua puluh lima tahun itu mulai menangis. Tungkai lututnya gemetar.
"Bik Atik! Bik Atik!" teriaknya. Mendengar teriakan sang majikan, ART paruh baya itu tergopoh-gopoh menghampiri.
"Ada apa, Nyonya?" tanya Bik Atik. "Maaf tadi saya sedang menyuci di belakang"
"Bik, Sumiyati mana? Shafa mana?" Suara Alma bergetar. Jantungnya pun berdegup cepat.
"Ta-di di sini kok, Nyonya. Di depan tidak ada?"
"Saya sudah berkeliling ke seluruh penjuru rumah. Tetap tidak ada, Bik." Keringat mengucur dari balik hijabnya.
"Kemana ya, Nyonya. Coba kita lihat dulu, pakaiannya masih ada atau tidak. Kalau ada, mungkin Sum membawanya ke taman depan."
"Ya sudah, ayo kita lihat, bik." Majikan dan ART itu bergegas menuju kamar yang biasa dipakai Sumiyati tidur. Sedangkan Bik Atik biasanya setelah pekerjaan selesai, dia akan segera pulang. Hanya Sumiyati saja yang tinggal serumah dengan keluarga Alma Sasmita dah Firman Adipati.
Pandangan Alma sontak berkunang-kunang melihat isi lemari Sumiyati telah kosong. Wanita berhijab tosca itu terduduk lemas di kasur khusus ART itu. Tangannya bergetar hebat. Seketika pandangannya menjadi gelap, mengetahui salah satu putri kembarnya hilang.
__
Kedua gadis itu mengendap-endap. Sampai di depan pintu keluar, Arnetta membuka gembok dengan kunci yang sudah ia duplikatkan.
Klek! Gembok terbuka. Pelan-pelan Maureen membuka grendel pintu. Hampir saja berhasil dan tiba-tiba … Braaakkk.
"Hei! Berhenti! Mau kemana kalian?"
Sial! Si ceroboh Indri lagi-lagi menyenggol pot kayu hingga terjatuh.
"Cepat, Indri. Ayo kita lari!" perintah Maureen, menarik tangan Indri.
"Hei, tunggu! Jangan lari kalian!" teriak Togar. "Cepat kau telepon si bos dan yang lain. Biar ku kejar dua anak itu."
Maureen dan Indri berusaha berlari sekuat mungkin. Sayangnya kakinya yang tertimpa kayu tadi menghambat kecepatannya untuk melangkah.
"Hei, tunggu! Jangan lari!" Togar masih berlari mengejar mereka.
Tanpa menghiraukan teriakannya, Maureem dan Indri terus berlari.
Tiba-tiba dua lelaki dengan menggunakan motor berhenti di depan mereka. Lagi-lagi anak buah Sumiyati alias Sonya.
Gerak mereka begitu cepat meringkus kedua gadis itu.
"Lepaskan aku, bang*at! Cuihhh!" Maureen meludahi wajah salah satu dari mereka.
"Baji**an! Kalau bukan karena kau anak Boss Sonya, sudah kurusak bibir indahmu itu dengan pisau ini," maki laki-laki berkepala plontos itu dengan mata mendelik. Tangannya menghunuskan pisau ke wajah Maureen.
Sebuah mobil berhenti di samping mereka. Maureen menunduk melihat mobil yang ia kenali itu. Turun seorang wanita bertubuh gemuk dengan dandanan menor.
"Kalian mencoba bermain-main denganku ya. Bawa mereka ke mobil!" perintahnya sombong.
"Baik, bos!" Kedua lelaki berbadan tegap itu menggiring kedua gadis malang ke dalam mobil jenis van tersebut. Jalanan di sana memang selalu sepi. Karena rumah Sonya berada di dalam perumahan, dan wanita mucikari itu sengaja mencari rumah di blok yang terletak di sudut paling belakang.
Maureen dan Indri dibawa masuk ke dalam sebuah kamar kosong dan didudukkan ke sebuah kursi. Tangan mereka masih dalam keadaan terikat di belakang.
Dengan langkah pongah, Sonya melangkah masuk. Wanita gemuk yang mengenakan dress selutut berwarna hijau, mendekati kedua gadis yang terikat mirip tawanan itu.
"Kalian sudah bosan hidup ya? Mau bermain-main dengan Sonya?" ujarnya sombong.
Maureen dan Indri hanya diam dan menunduk. Sonya mendekati Indri dan menjambaknya.
"Aaarrrgggh, ampun mami … ampuuun. Sakit …." Indri mengaduh sakit karena jambakan Sonya pada rambutnya begitu kuat. Seakan kulit kepala pun ikut tercabut bersama rambutnya.
"Seharusnya dengan melihat peristiwa Bella kemarin, bisa menjadi pelajaran buatmu, Indri. Tapi ternyata kau memiliki nyali juga untuk menantangku." Dilepaskannya rambut gadis itu dari cengkeramannya. "Bawa dia! Dia harus mendapatkan hukuman setimpal supaya kapok."
Maureen memandangi sahabatnya itu dibawa dengan kondisi terikat dan kesakitan. Gadis itu berniat hanya ingin menyelamatkan sahabatnya dari dunia kelam ini. Tapi memang sangat sulit keluar dari penjara maksiat ini.
Sonya mendekati Maureen yang juga tertunduk. Melihat wajah ibunya saat marah begini, membuat nyawanya seakan hendak melayang meninggalkan jasad.
"Dan kau?" Sonya mencengkeram dagu Maureen hingga kepalanya mendongak menghadap wajah sang ibu.
"Ampun, bu, ampun …," mohonnya pada sang ibu yang sudah memerah padam wajahnya karena dipenuhi amarah.
"Kalau bukan karena kau anakku dan kau juga salah satu primadona di night club ku, maka sudah pasti kau akan bernasib sama dengan Indri dan Bella."
Maureen menatap lekat wajah ibundanya. Ia tak mendapatkan ada sirat kasih sayang di wajah itu. Ia hanya mendapat tatapan kemarahan akibat perintahnya tak dipatuhi. Tatapan seorang bos terhadap bawahannya, bukan tatapan seorang ibu terhadap putrinya.
"Kenapa kau melihatku seperti itu?"
Maureen memalingkan pandangannya. "Tidak apa-apa, bu. Maafkan aku."
"Sebagai hukumannya, kau harus mendekam di sini, sampai waktu yang akan aku tentukan. Togar, lepaskan ikatannya."
"Baik, bos!"
"Aku mengampunimu kali ini. Jangan kau coba-coba bermain-main lagi denganku, Maureen. Paham?"
"Paham, bu."
Sonya dan anak buahnya bergerak meninggalkan kamar kosong itu. Kamar ini memang dibuat untuk menghukum pela*ur-pela*urnya yang mencoba melarikan diri.
Maureen duduk dengan menyandarkan punggung di dinding sudut ruangan. Kakinya ia lipat, dengan lutut ia peluk di dada. Air matanya mengucur deras dari kedua belah netranya. Hatinya hancur dan terluka.
Hari ini hari ulang tahunnya. Tak ada kue ulang tahun, tak ada perayaan seperti kebanyakan anak-anak dalam sebuah keluarga harmonis. Bahkan sebuah ucapan saja tak pernah keluar dari mulut ibunya dari dulu hingga saat ini ia menginjak usianya yang ke dua puluh empat tahun ini.
Maureen mengambil sebuah lilin di laci meja. Dinyalakannya lilin tersebut. Gadis berambut sebahu itu memejamkan matanya di depan api lilin. Air matanya kembali menetes di antara untaian doa yang ia panjatkan.
Gadis manis itu membuka matanya. Ia berusaha tersenyum di antara bibir yang bergetar menahan tangis. Lalu Maureen bernyanyi pelan dan lirih di depan api lilin yang menyala.
"Happy birthday to you, Happy birthday to you. Happy birthday Happy birthday Happy birthday, Maureen …." Kemudian dia meniup lilin tersebut dan tertawa kecil. Beberapa detik kemudian, gadis malang itu kembali menangis terisak-isak dengan memeluk lututnya di dada.
************
Ayo tinggalkan ulasan dan vote nya yaa😘
SURVIVOR "Ampuuun, Mamiii. Sakiiittt … ampuuunnn," pekik Indri kesakitan karena api rokok Sonya disulutkan ke kulit tangannya yang mulus. "Itu hukuman akibat kau mau coba-coba bermain-main dengan Mami Sonya. Ini belum seberapa. Karena aku masih memiliki perasaan kasihan terhadapmu." Mucikari berhati iblis itu berjalan mondar-mandir dengan pongahnya, sembari menghisap rokok filternya. Asap dihembuskan ke udara hingga membentuk bulatan-bulatan. "Sudah kukatakan. Siapa pun yang sudah masuk dalam kandang Sonya, jangan coba-coba untuk lari. Atau nyawamu taruhannya. Kau paham itu?" Sonya mencengkeram dagu Indri yang ketakutan. "Iya, paham, M
"BUNDA ... BANGUUUN BUNDAAA," pekik Marwah terdengar membahana di ruangan tersebut. "Maaf ya, mbak. Tunggu di luar dulu. Supaya kami bisa lebih leluasa dalam bekerja," ucap seorang perawat yang merangkul pundak gadis itu kemudian menuntunnya ke luar. "Suster, tolong bunda saya. Selamatkan bunda saya ...." Bibir Marwah bergetar. Mendadak Marwah seperti kehilangan keseimbangan dan nyaris limbung ke lantai, jika Randy tidak sigap menahan tubuh Marwah Sedangkan Firman duduk di bangku dengan kedua tangan menutupi wajahnya. "Jangan begini, Dek. Nanti kalau kamu sakit gimana?" ujar Randy yang menepuk-nepuk lembut pipi adiknya. Marwah hanya terisak di dada kakak le
"Alma, anakku ...." Alma terhenyak. Seperti suara almarhumah ibundanya. "Mama ...?" Sosok wanita renta itu tersenyum dan tangannya terulur ke arah putrinya. "Kenapa? Kau bingung melihat mama di sini? Bangunlah!" Alma menyambut uluran tangan wanita yang dipanggilnya mama tersebut. Lalu menghambur ke pelukannya. "Ma ...." "Kau wanita kuat dan tegar, nak. Mama yakin itu. Anak-anakmu sungguh beruntung memiliki ibu seperti dirimu. Begitu pun Firman. Sungguh beruntung dia pernah memiliki istri yang luar biasa sepe
"Halo, Maureen, kau sudah dimana?" suara serak Sonya terdengar di seberang telepon. "Sudah di Hotel Asoka, Bu," jawab gadis cantik yang menggunakan dress ketat merah menyala itu. "Bagus. Layani James dengan baik. Tadinya dia itu langganan tetapnya Bella. Tapi dengan keadaan muka si Bella yang babak belur itu, mana mungkin dia melayani tamu setajir dan seroyal Pranoto. Lagian, mau coba-coba lari dari Sonya. Sama saja bunuh diri," ujarnya pongah. Maureen hanya terdiam mendengar kepongahan sang ibu. Profesinya yang merupakan mucikari besar, dengan uang yang banyak, ia merasa begitu sangat berkuasa. "Dan kau … Ibu tekankan padamu juga. Kau jangan macam-macam. Walaupun kau anak ibu, tapi jika kau mencoba membangkang dariku. Atau, nasibmu tidak ada bedanya dengan tikus-tikus peliharaanku itu. Paham?) "Sangat paham, Bu." "Good, Sw
"Assalamualaikum …," ucap Marwah setiba di rumah. "Wa'alaikumsalam …." Terdengar suara sahutan sang bunda dari belakang. Sepertinya dari dapur. Marwah membuka sepatunya dan melangkah ke dapur. Ia mendapati sang bunda sedang berkutat di sana. Cup! Sebuah kecupan mendarat di pipi wanita berusia empat puluh sembilan tersebut. "Bunda, kok pakai masak segala? Bunda lupa ya, kata dokter Bunda gak boleh capek-capek. Harus banyak istirahat. Memangnya Mbak Irah kemana? ujar Marwah sambil mencuci kedua tangannya di washtafel. Kemudian gadis itu menuangkan air ke gelas dan meneguknya. Alma, sang bunda, mematikan kompor. Ditatapnya sejenak putri bungsunya itu. "Bunda bosan hanya bisa tiduran saja di kamar. Pengen sekali-kali masak buat suami dan anak-anak bunda. Lagian tadi Irah juga bantuin bunda kok. Mema
"Alma, anakku ...." Alma terhenyak. Seperti suara almarhumah ibundanya. "Mama ...?" Sosok wanita renta itu tersenyum dan tangannya terulur ke arah putrinya. "Kenapa? Kau bingung melihat mama di sini? Bangunlah!" Alma menyambut uluran tangan wanita yang dipanggilnya mama tersebut. Lalu menghambur ke pelukannya. "Ma ...." "Kau wanita kuat dan tegar, nak. Mama yakin itu. Anak-anakmu sungguh beruntung memiliki ibu seperti dirimu. Begitu pun Firman. Sungguh beruntung dia pernah memiliki istri yang luar biasa sepe
"BUNDA ... BANGUUUN BUNDAAA," pekik Marwah terdengar membahana di ruangan tersebut. "Maaf ya, mbak. Tunggu di luar dulu. Supaya kami bisa lebih leluasa dalam bekerja," ucap seorang perawat yang merangkul pundak gadis itu kemudian menuntunnya ke luar. "Suster, tolong bunda saya. Selamatkan bunda saya ...." Bibir Marwah bergetar. Mendadak Marwah seperti kehilangan keseimbangan dan nyaris limbung ke lantai, jika Randy tidak sigap menahan tubuh Marwah Sedangkan Firman duduk di bangku dengan kedua tangan menutupi wajahnya. "Jangan begini, Dek. Nanti kalau kamu sakit gimana?" ujar Randy yang menepuk-nepuk lembut pipi adiknya. Marwah hanya terisak di dada kakak le
SURVIVOR "Ampuuun, Mamiii. Sakiiittt … ampuuunnn," pekik Indri kesakitan karena api rokok Sonya disulutkan ke kulit tangannya yang mulus. "Itu hukuman akibat kau mau coba-coba bermain-main dengan Mami Sonya. Ini belum seberapa. Karena aku masih memiliki perasaan kasihan terhadapmu." Mucikari berhati iblis itu berjalan mondar-mandir dengan pongahnya, sembari menghisap rokok filternya. Asap dihembuskan ke udara hingga membentuk bulatan-bulatan. "Sudah kukatakan. Siapa pun yang sudah masuk dalam kandang Sonya, jangan coba-coba untuk lari. Atau nyawamu taruhannya. Kau paham itu?" Sonya mencengkeram dagu Indri yang ketakutan. "Iya, paham, M
- Dua puluh empat tahun silam …. - Sumiyati datang bersama Inah, ART sebelah rumah mereka. Alma memang meminta dicarikan seorang baby sitter untuk membantu mengurus bayi kembarnya. Saat itu Shafa dan Marwah baru berusia satu bulan. "Ini yang namanya Sumiyati, tetangga saya di kampung, Nyonya. Katanya dia mau mencari pekerjaan," ujar Inah memperkenalkan wanita bertinggi sekitar 160 cm itu. Tubuhnya agak sedikit gempal dengan celana kulot hitam dan kaos. "Sudah pernah mengurus bayi sebelumnya?" tanya Alma. Tangannya sibuk menggendong Marwah kala itu. Tubuhnya bergoyang-goyang menyerupai ayunan. Marwah sedikit rewel karena badannya demam. "Saya sempat punya anak, Bu. Perempuan. Tapi, di usianya setahun, anak saya meninggal karena demam tinggi," jawab Sumiyati. "Innalillahi. Terus suami kamu di mana?" tanya Alma prihatin.
"Assalamualaikum …," ucap Marwah setiba di rumah. "Wa'alaikumsalam …." Terdengar suara sahutan sang bunda dari belakang. Sepertinya dari dapur. Marwah membuka sepatunya dan melangkah ke dapur. Ia mendapati sang bunda sedang berkutat di sana. Cup! Sebuah kecupan mendarat di pipi wanita berusia empat puluh sembilan tersebut. "Bunda, kok pakai masak segala? Bunda lupa ya, kata dokter Bunda gak boleh capek-capek. Harus banyak istirahat. Memangnya Mbak Irah kemana? ujar Marwah sambil mencuci kedua tangannya di washtafel. Kemudian gadis itu menuangkan air ke gelas dan meneguknya. Alma, sang bunda, mematikan kompor. Ditatapnya sejenak putri bungsunya itu. "Bunda bosan hanya bisa tiduran saja di kamar. Pengen sekali-kali masak buat suami dan anak-anak bunda. Lagian tadi Irah juga bantuin bunda kok. Mema
"Halo, Maureen, kau sudah dimana?" suara serak Sonya terdengar di seberang telepon. "Sudah di Hotel Asoka, Bu," jawab gadis cantik yang menggunakan dress ketat merah menyala itu. "Bagus. Layani James dengan baik. Tadinya dia itu langganan tetapnya Bella. Tapi dengan keadaan muka si Bella yang babak belur itu, mana mungkin dia melayani tamu setajir dan seroyal Pranoto. Lagian, mau coba-coba lari dari Sonya. Sama saja bunuh diri," ujarnya pongah. Maureen hanya terdiam mendengar kepongahan sang ibu. Profesinya yang merupakan mucikari besar, dengan uang yang banyak, ia merasa begitu sangat berkuasa. "Dan kau … Ibu tekankan padamu juga. Kau jangan macam-macam. Walaupun kau anak ibu, tapi jika kau mencoba membangkang dariku. Atau, nasibmu tidak ada bedanya dengan tikus-tikus peliharaanku itu. Paham?) "Sangat paham, Bu." "Good, Sw