"Alma, anakku ...."
Alma terhenyak. Seperti suara almarhumah ibundanya.
"Mama ...?"
Sosok wanita renta itu tersenyum dan tangannya terulur ke arah putrinya.
"Kenapa? Kau bingung melihat mama di sini? Bangunlah!"
Alma menyambut uluran tangan wanita yang dipanggilnya mama tersebut. Lalu menghambur ke pelukannya.
"Ma ...."
"Kau wanita kuat dan tegar, nak. Mama yakin itu. Anak-anakmu sungguh beruntung memiliki ibu seperti dirimu. Begitu pun Firman. Sungguh beruntung dia pernah memiliki istri yang luar biasa sepertimu, Sayang. Terimalah kenyataan, setiap yang bernyawa pasti akan mati."
Dilepaskannya pelukan sang ibu kemudian mengusap air matanya.
"Ayo, ikut ibu."
.
"Alma, anakku ...."
Alma terhenyak. Seperti suara almarhumah ibundanya.
"Mama ...?"
Sosok wanita renta itu tersenyum dan tangannya terulur ke arah putrinya.
"Kenapa? Kau bingung melihat mama di sini? Bangunlah!"
Alma menyambut uluran tangan wanita yang dipanggilnya mama tersebut. Lalu menghambur ke pelukannya.
"Ma ...."
"Kau wanita kuat dan tegar, nak. Mama yakin itu. Anak-anakmu sungguh beruntung memiliki ibu seperti dirimu. Begitu pun Firman. Sungguh beruntung dia pernah memiliki istri yang luar biasa sepertimu, Sayang. Terimalah kenyataan, setiap yang bernyawa pasti akan mati."
Dilepaskannya pelukan sang ibu kemudian mengusap air matanya.
"Ayo, ikut ibu."
"Mau kemana, bu?"
Ibu tua itu tersenyum teduh. Senyum yang sama seperti senyum milik Alma.
"Mama mau mengajakmu ke tempat yang seharusnya menjadi tempat kita. Karena bukan di sini lagi tempat kita yang sebenarnya, nak."
Alma menganggukkan kepalanya tanda paham akan ucapan ibunya.
Ibu dan anak itu melangkah ke arah sebuah titik cahaya yang begitu terang dan
membentuk seperti lingkaran.
Selangkah lagi Alma akan sampai di lingkaran cahaya itu, tiba-tiba sebuah suara memanggilnya.
"Bunda!"
Alma berbalik.
"Marwah?" Ditatapnya gadis itu dari ujung rambutnya sampai kaki dengan pandangan bingung. "Kau bisa lihat bunda?"
Gadis itu mengangguk.
"Dimana jilbabmu? Bunda kan sudah ajarkan untuk menutup auratmu, nak."
"Dia bukan Marwah, Alma."
Alma menatap ibunya. Dahinya mengernyit.
"Bukan Marwah? Lalu?"
"Aku Shafa, bunda. Apa bunda tidak mengenali aku lagi?"
"Shafa?" Alma menatap ibunya. Wanita tua tadi tersenyum.
"Bukankah kau ingin bertemu dengan Shafa, salah satu putrimu? Itulah Shafa Ananda, anakmu yang hilang."
"Shafa ...." Mata Alma mulai mengembun.
"Iya Bunda, ini Shafa," seru gadis itu lagi.
Alma berlari memeluk gadis itu. Ibu dan anak itu saling mengisak. Melepaskan rindu yang mungkin sudah berton-ton lebih beratnya.
"Kemana saja kamu, Nak. Ayah dan bunda bingung mencarimu."
"Sekarang aku ada di sini sama Bunda."
"Kalau adikmu Marwah tahu, dia pasti bahagia sekali. Marwah belum tahu, kalau dia punya kembaran secantik kamu."
Shafa tersenyum. Sehingga memperlihatkan deretan giginya yang tersusun rapi. Senyum yang sangat mirip dengan sang adik.
"Bunda sekarang ikut pulang denganku ya. Jalan Bunda bukan ini tapi ke sana. Yuk!" ajaknya sambil menggenggam tangan sang Bunda, menuju arah cahaya yang berbeda dari ajakan neneknya tadi.
Alma melirik sekejap pada ibunya. Wanita itu tersenyum bijak.
"Pergilah. Ikut anakmu. Sepertinya kau memang belum waktunya ikut dengan mama, Nak."
Dipeluknya erat wanita itu. Ibunya itu sudah meninggal tujuh tahun yang lalu. Saat itu Marwah masih duduk di bangku sekolah menengah atas.
"Tetap kuat dan tegar menghadapi semua masalahmu. Berbahagialah, Alma, karena kamu memiliki keluarga yang mencintaimu."
Dia tersenyum, dan menatap anaknya yang puluhan tahun menghilang.
"Ayo, bu. Jangan lama-lama. Terlambat sedikit saja, kita tidak bisa pulang."
Shafa menarik tangan ibundanya dan berjalan sangat tergesa-gesa. Sebenarnya Alma bingung. Tapi, ia menurut saja ketika Shafa menarik tangannya.
Selang beberapa saat, mereka berhenti di depan pintu tadi. Kamar dimana ia dirawat.
"Kita dima-- " Belum usai bertanya, tiba-tiba ia merasa seperti di tarik. Arwah Alma tersedot masuk menembus pintu. Otomatis genggaman tangan Shafa pun terlepas.
__________
Maureen tersentak terduduk di ranjangnya. Keringat mengucur deras di dahinya. Mimpi apa tadi itu? Siapa wanita tadi? Kenapa bisa aku memimpikannya?
Diliriknya nakas di sisi ranjangnya. Biasanya ada segelas air di sana. Dihelanya napas panjang. Airnya habis. Mau tak mau harus turun ke dapur lagi.
Keringat masih mengucur deras. Disekanya lalu berjalan turun.
Sesampai di dapur, dituangkannya air ke gelas dan meneguknya hingga tandas. Entah kenapa ia merasa begitu lelah. Seperti berlarian jauh. Namun tak kunjung sampai pada tujuan.
"Maureen!"
Dengan gelas masih di bibir, ia menoleh pada ibunya yang memanggil.
"Kau segera siap-siap. Jangan lupa, jam 7 malam nanti, kau ada janji dengan Pak Adi," ujar Sonya mengingatkan.
Maureen mengangguk pelan tanpa menoleh.
"Ibu peringatkan sekali lagi padamu, Shafa. Jangan kau coba-coba melarikan diri atau bertingkah sok pahlawan untuk melepaskan pela*ur-pela*ur ibu. Walaupun kau anakku, bukan berarti kau bisa sesuka hati di sini. Kau tetaplah sama dengan pela*urku yang lain. Penghasil pundi-pundi emasku," ujar Sonya setengah berbisik di telinga Maureen yang terpekur memandangi gelas di depannya. Lalu beranjak meninggalkan Maureen, setelah sebelumnya menepuk pipi gadis itu.
Matanya mengembun. Berusaha tidak menangis. Tapi air mata ini memang tidak bisa di ajak kompromi. Tangisnya pun pecah juga akhirnya. Ibu macam apakah yang tega menjual anaknya sendiri demi pundi kekayaannya.
Marwah mengisak pelan. Mimpinya tadi masih melintas di benaknya. Kepalanya mendongak menatap sejenak langit-langit dapur itu. Berusaha menyusun kejadian demi kejadian di mimpi itu.
Siapa wanita berhijab tadi? Kenapa aku memanggilnya dengan sebutan Bunda? Dan ibu tua tadi pun mengatakan aku adalah putri dari wanita berhijab itu. Lalu katanya aku punya kembaran?
Siapa mereka dan siapakah aku sebenarnya? Mungkinkah wanita berhati iblis tadi memang ibuku? Tapi adakah ibu yang tega menjual anaknya sendiri sekalipun ia seorang wanita malam?
__________
.
Jangan lupa tinggalkan vote dan review bintang lima yaa😘
"Halo, Maureen, kau sudah dimana?" suara serak Sonya terdengar di seberang telepon. "Sudah di Hotel Asoka, Bu," jawab gadis cantik yang menggunakan dress ketat merah menyala itu. "Bagus. Layani James dengan baik. Tadinya dia itu langganan tetapnya Bella. Tapi dengan keadaan muka si Bella yang babak belur itu, mana mungkin dia melayani tamu setajir dan seroyal Pranoto. Lagian, mau coba-coba lari dari Sonya. Sama saja bunuh diri," ujarnya pongah. Maureen hanya terdiam mendengar kepongahan sang ibu. Profesinya yang merupakan mucikari besar, dengan uang yang banyak, ia merasa begitu sangat berkuasa. "Dan kau … Ibu tekankan padamu juga. Kau jangan macam-macam. Walaupun kau anak ibu, tapi jika kau mencoba membangkang dariku. Atau, nasibmu tidak ada bedanya dengan tikus-tikus peliharaanku itu. Paham?) "Sangat paham, Bu." "Good, Sw
"Assalamualaikum …," ucap Marwah setiba di rumah. "Wa'alaikumsalam …." Terdengar suara sahutan sang bunda dari belakang. Sepertinya dari dapur. Marwah membuka sepatunya dan melangkah ke dapur. Ia mendapati sang bunda sedang berkutat di sana. Cup! Sebuah kecupan mendarat di pipi wanita berusia empat puluh sembilan tersebut. "Bunda, kok pakai masak segala? Bunda lupa ya, kata dokter Bunda gak boleh capek-capek. Harus banyak istirahat. Memangnya Mbak Irah kemana? ujar Marwah sambil mencuci kedua tangannya di washtafel. Kemudian gadis itu menuangkan air ke gelas dan meneguknya. Alma, sang bunda, mematikan kompor. Ditatapnya sejenak putri bungsunya itu. "Bunda bosan hanya bisa tiduran saja di kamar. Pengen sekali-kali masak buat suami dan anak-anak bunda. Lagian tadi Irah juga bantuin bunda kok. Mema
- Dua puluh empat tahun silam …. - Sumiyati datang bersama Inah, ART sebelah rumah mereka. Alma memang meminta dicarikan seorang baby sitter untuk membantu mengurus bayi kembarnya. Saat itu Shafa dan Marwah baru berusia satu bulan. "Ini yang namanya Sumiyati, tetangga saya di kampung, Nyonya. Katanya dia mau mencari pekerjaan," ujar Inah memperkenalkan wanita bertinggi sekitar 160 cm itu. Tubuhnya agak sedikit gempal dengan celana kulot hitam dan kaos. "Sudah pernah mengurus bayi sebelumnya?" tanya Alma. Tangannya sibuk menggendong Marwah kala itu. Tubuhnya bergoyang-goyang menyerupai ayunan. Marwah sedikit rewel karena badannya demam. "Saya sempat punya anak, Bu. Perempuan. Tapi, di usianya setahun, anak saya meninggal karena demam tinggi," jawab Sumiyati. "Innalillahi. Terus suami kamu di mana?" tanya Alma prihatin.
SURVIVOR "Ampuuun, Mamiii. Sakiiittt … ampuuunnn," pekik Indri kesakitan karena api rokok Sonya disulutkan ke kulit tangannya yang mulus. "Itu hukuman akibat kau mau coba-coba bermain-main dengan Mami Sonya. Ini belum seberapa. Karena aku masih memiliki perasaan kasihan terhadapmu." Mucikari berhati iblis itu berjalan mondar-mandir dengan pongahnya, sembari menghisap rokok filternya. Asap dihembuskan ke udara hingga membentuk bulatan-bulatan. "Sudah kukatakan. Siapa pun yang sudah masuk dalam kandang Sonya, jangan coba-coba untuk lari. Atau nyawamu taruhannya. Kau paham itu?" Sonya mencengkeram dagu Indri yang ketakutan. "Iya, paham, M
"BUNDA ... BANGUUUN BUNDAAA," pekik Marwah terdengar membahana di ruangan tersebut. "Maaf ya, mbak. Tunggu di luar dulu. Supaya kami bisa lebih leluasa dalam bekerja," ucap seorang perawat yang merangkul pundak gadis itu kemudian menuntunnya ke luar. "Suster, tolong bunda saya. Selamatkan bunda saya ...." Bibir Marwah bergetar. Mendadak Marwah seperti kehilangan keseimbangan dan nyaris limbung ke lantai, jika Randy tidak sigap menahan tubuh Marwah Sedangkan Firman duduk di bangku dengan kedua tangan menutupi wajahnya. "Jangan begini, Dek. Nanti kalau kamu sakit gimana?" ujar Randy yang menepuk-nepuk lembut pipi adiknya. Marwah hanya terisak di dada kakak le
"Alma, anakku ...." Alma terhenyak. Seperti suara almarhumah ibundanya. "Mama ...?" Sosok wanita renta itu tersenyum dan tangannya terulur ke arah putrinya. "Kenapa? Kau bingung melihat mama di sini? Bangunlah!" Alma menyambut uluran tangan wanita yang dipanggilnya mama tersebut. Lalu menghambur ke pelukannya. "Ma ...." "Kau wanita kuat dan tegar, nak. Mama yakin itu. Anak-anakmu sungguh beruntung memiliki ibu seperti dirimu. Begitu pun Firman. Sungguh beruntung dia pernah memiliki istri yang luar biasa sepe
"BUNDA ... BANGUUUN BUNDAAA," pekik Marwah terdengar membahana di ruangan tersebut. "Maaf ya, mbak. Tunggu di luar dulu. Supaya kami bisa lebih leluasa dalam bekerja," ucap seorang perawat yang merangkul pundak gadis itu kemudian menuntunnya ke luar. "Suster, tolong bunda saya. Selamatkan bunda saya ...." Bibir Marwah bergetar. Mendadak Marwah seperti kehilangan keseimbangan dan nyaris limbung ke lantai, jika Randy tidak sigap menahan tubuh Marwah Sedangkan Firman duduk di bangku dengan kedua tangan menutupi wajahnya. "Jangan begini, Dek. Nanti kalau kamu sakit gimana?" ujar Randy yang menepuk-nepuk lembut pipi adiknya. Marwah hanya terisak di dada kakak le
SURVIVOR "Ampuuun, Mamiii. Sakiiittt … ampuuunnn," pekik Indri kesakitan karena api rokok Sonya disulutkan ke kulit tangannya yang mulus. "Itu hukuman akibat kau mau coba-coba bermain-main dengan Mami Sonya. Ini belum seberapa. Karena aku masih memiliki perasaan kasihan terhadapmu." Mucikari berhati iblis itu berjalan mondar-mandir dengan pongahnya, sembari menghisap rokok filternya. Asap dihembuskan ke udara hingga membentuk bulatan-bulatan. "Sudah kukatakan. Siapa pun yang sudah masuk dalam kandang Sonya, jangan coba-coba untuk lari. Atau nyawamu taruhannya. Kau paham itu?" Sonya mencengkeram dagu Indri yang ketakutan. "Iya, paham, M
- Dua puluh empat tahun silam …. - Sumiyati datang bersama Inah, ART sebelah rumah mereka. Alma memang meminta dicarikan seorang baby sitter untuk membantu mengurus bayi kembarnya. Saat itu Shafa dan Marwah baru berusia satu bulan. "Ini yang namanya Sumiyati, tetangga saya di kampung, Nyonya. Katanya dia mau mencari pekerjaan," ujar Inah memperkenalkan wanita bertinggi sekitar 160 cm itu. Tubuhnya agak sedikit gempal dengan celana kulot hitam dan kaos. "Sudah pernah mengurus bayi sebelumnya?" tanya Alma. Tangannya sibuk menggendong Marwah kala itu. Tubuhnya bergoyang-goyang menyerupai ayunan. Marwah sedikit rewel karena badannya demam. "Saya sempat punya anak, Bu. Perempuan. Tapi, di usianya setahun, anak saya meninggal karena demam tinggi," jawab Sumiyati. "Innalillahi. Terus suami kamu di mana?" tanya Alma prihatin.
"Assalamualaikum …," ucap Marwah setiba di rumah. "Wa'alaikumsalam …." Terdengar suara sahutan sang bunda dari belakang. Sepertinya dari dapur. Marwah membuka sepatunya dan melangkah ke dapur. Ia mendapati sang bunda sedang berkutat di sana. Cup! Sebuah kecupan mendarat di pipi wanita berusia empat puluh sembilan tersebut. "Bunda, kok pakai masak segala? Bunda lupa ya, kata dokter Bunda gak boleh capek-capek. Harus banyak istirahat. Memangnya Mbak Irah kemana? ujar Marwah sambil mencuci kedua tangannya di washtafel. Kemudian gadis itu menuangkan air ke gelas dan meneguknya. Alma, sang bunda, mematikan kompor. Ditatapnya sejenak putri bungsunya itu. "Bunda bosan hanya bisa tiduran saja di kamar. Pengen sekali-kali masak buat suami dan anak-anak bunda. Lagian tadi Irah juga bantuin bunda kok. Mema
"Halo, Maureen, kau sudah dimana?" suara serak Sonya terdengar di seberang telepon. "Sudah di Hotel Asoka, Bu," jawab gadis cantik yang menggunakan dress ketat merah menyala itu. "Bagus. Layani James dengan baik. Tadinya dia itu langganan tetapnya Bella. Tapi dengan keadaan muka si Bella yang babak belur itu, mana mungkin dia melayani tamu setajir dan seroyal Pranoto. Lagian, mau coba-coba lari dari Sonya. Sama saja bunuh diri," ujarnya pongah. Maureen hanya terdiam mendengar kepongahan sang ibu. Profesinya yang merupakan mucikari besar, dengan uang yang banyak, ia merasa begitu sangat berkuasa. "Dan kau … Ibu tekankan padamu juga. Kau jangan macam-macam. Walaupun kau anak ibu, tapi jika kau mencoba membangkang dariku. Atau, nasibmu tidak ada bedanya dengan tikus-tikus peliharaanku itu. Paham?) "Sangat paham, Bu." "Good, Sw