SURVIVOR
"Ampuuun, Mamiii. Sakiiittt … ampuuunnn," pekik Indri kesakitan karena api rokok Sonya disulutkan ke kulit tangannya yang mulus.
"Itu hukuman akibat kau mau coba-coba bermain-main dengan Mami Sonya. Ini belum seberapa. Karena aku masih memiliki perasaan kasihan terhadapmu."
Mucikari berhati iblis itu berjalan mondar-mandir dengan pongahnya, sembari menghisap rokok filternya. Asap dihembuskan ke udara hingga membentuk bulatan-bulatan.
"Sudah kukatakan. Siapa pun yang sudah masuk dalam kandang Sonya, jangan coba-coba untuk lari. Atau nyawamu taruhannya. Kau paham itu?" Sonya mencengkeram dagu Indri yang ketakutan.
"Iya, paham, Mami. Ampuuunn …." Indri memohon sambil terus mengampun pada wanita tambun berlipstik merah menyala itu.
"Bagus," Wanita yang dipanggil mami itu, menghembuskan asap rokoknya ke wajah Indri. Posisi gadis delapan belas tahun itu dalam keadaan duduk dengan tangan terikat.
"Kau anak baru di sini. Kau juga sudah kubeli dengan harga mahal dari Marni. Dan besok orang yang akan membayar mahal untuk keperawananmu itu akan datang. Asal kau tau, dia rela membayarmu tiga ratus lima puluh juta. Aku untung banyak. Hahaha," Suara tawa seraknya sungguh membahana di gudang sempit ini.
Emak? Emak yang tega menjualku? batin gadis itu.
"Emak yang sudah menjualku kepadamu? Tidak mungkin!"
Marni adalah ibu tirinya. Wanita itu sudah mengurus Indri sejak ibunya meninggal dan ayahnya menikahi Marni. Ibu tirinya itu menikah dengan bapaknya ketika umurnya dua belas tahun. Yang selama ini dia tahu, ibu sambungnya tersebut sangat menyayanginya. Jadi mustahil rasanya, jika wanita itu tega menjualnya pada mucikari berhati iblis ini.
"Kau tak percaya? Lalu menurutmu, dari mana uang si Marni itu untuk operasi bapakmu yang sudah hampir mati itu? Dia ke sini untuk pinjam uang sebesar seratus dua puluh juta rupiah. Dan kau sebagai bayarannya. Tidak ada yang cuma-cuma bagi seorang Sonya, Sayang," Sonya mencolek dagu Indri, namun dengan cepat ditepisnya dengan memalingkan wajah.
Indri tercenung. Dalam hati ia membenarkan ucapan Sonya. Pantas saja emak tirinya memiliki uang untuk biaya operasi kaki bapaknya.
Sebulan yang lalu, bapaknya mengalami kecelakan dan kaki kirinya harus diamputasi. Mereka tak memiliki uang untuk biaya untuk operasi.
Sebenarnya dia merasa aneh, karena secara mendadak ibunya pulang dengan membawa uang seratus dua puluh juta rupiah. Hanya saja karena harus buru-buru membawa bapaknya operasi, sehingga tidak yang sempat mempertanyakan.
"Sekarang pilihan ada di tanganmu. Kalau masih mau hidup, silahkan turuti semua perintahku. Tapi, kalau kau sudah bosan hidup, silahkan membangkang. Ini masih sekedar peringatan. Camkan itu!" Sonya mendorong kepala Indri hingga terdorong miring ke samping. "Lepaskan dia!"
Indri hanya tertunduk. Dalam hatinya begitu kecewa dengan ibu tirinya yang tega menjualnya ke tempat pelacuran ini.
Anak-anak buah Sonya melepaskan ikatan di tangannya. Gadis itu meringis kesakitan melihat telapak tangannya sedikit melepuh, akibat sulutan rokok Sonya tadi.
"Sekarang kau boleh pergi. Ingat, Indri, jangan sekal-kali kau mencoba untuk kabur lagi, atau kau akan-- " Sonya menggaris lehernya dengan menggunakan telunjuk. Mengisyaratkan … mati!
Indri tak peduli. Di pikirannya hanya lah suatu saat nanti, ia harus menemui Marni untuk meminta penjelasan atas semua pertanyaan ini.
Langkahnya terhenti saat melewati pintu kayu berwarna coklat itu. Ada suara isak tangis di sana. Di dalam ruangan itu, ada sahabat masa kecilnya. Walaupun jarak umur mereka berbeda cukup jauh. Namun, tak menghalangi mereka untuk bersahabat. Maureen begitu sangat menyayangi Indri seperti adiknya sendiri.
Indri membuka pelan-pelan pintu itu. Tidak dikunci. Matanya memindai ruangan gelap tersebut. Menyapu seluruh ruangan mencari di mana keberadaan sahabatnya.
Kemudian matanya tertuju pada sebuah cahaya lilin di sudut kanan ruangan.
Oh ya, bukankah hari ini hari ulang tahunnya? Kenapa aku sampai bisa lupa? bisik hati Indri.
"Happy birthday to you. Happy birthday to you. Happy birthday happy birthday happy birthday, Kak Maureen."
Gadis yang duduk terpekur menatap cahaya lilin itu, terhenyak dengan nyanyian seseorang yang tiba-tiba masuk. Senyum mengembang di wajahnya, ketika melihat sahabatnya pelan-pelan menghampiri.
Indri duduk berhadapan dengan Maureen sambil ikut memandangi lilin yang menyala.
"Selamat ulang tahun, Kak Maureen. Semoga selalu bahagia dan panjang umur ya. Tutup mata Kakak dan panjatkan sebuah harapan."
Maureen kembali menutup matanya. Berharap akan terwujud semua impian dan harapannya . Harapan untuk bebas dari lembah hitam ini.
"Sudah?"
Maureen mengangguk.
"Di hitungan ke tiga, tiup lilinnya ya. Satu, dua, tiga, tiup, Kak!"
Maureen meniup lilin itu dengan isakan tangis yang menderu.
"Yeaaayyy ... Selamat ulang tahun, Sahabatku."
Gadis berlesung pipi itu menghambur ke pelukan sang sahabat. Tumpah ruah sudah tangisnya di bahu orang yang sudah dianggapnya seperti adiknya sendiri itu.
"Maafkan aku yang tidak berhasil menyelamatkanmu dari lembah nista ini," sesalnya sambil sesegukan.
"Sudahlah, kak. Mungkin sudah memang takdirnya aku harus begini. Ternyata emak yang menjualku pada ibumu." Gadis berambut panjang itu menunduk sedih. Sesekali tangannya memainkan ujung baju. Tampak titik air jatuh ke punggung tangannya. Indri pun menangis.
"Mungkin memang sudah takdirnya kita harus begini ya, Ndri. Kau dan aku sama. Sama-sama dijual oleh ibu kita. Bedanya hanya kau dijual oleh ibu tirimu, sedangkan aku? Aku dijual oleh ibu kandungku sendiri. Justru itu kenyataan yang jauh lebih menyakitkan kan?"
Kedua sahabat bernasib malang itu saling berpelukan di dalam gelapnya ruangan.
__
Alma jatuh pingsan di tengah acara pesta ulang tahun sang putri. Otomatis suasana pesta pun menjadi sangat riuh.
"Randy! Siapkan mobil!" perintah Firman. Reflek, ia langsung menggendong istrinya. Dulu tubuh ini begitu padat dan berisi. Sekarang? Tak lebih seperti layaknya tengkorak hidup. Namun apapun keadaannya, Firman tetap berjanji akan terus merawat dan mencintai sepenuhnya sang istri hingga akhir hayatnya.
"Bapak-bapak, ibu-ibu dan teman-teman sekalian. Maaf atas ketidaknyamanan ini ya. Saya selaku perwakilan dari keluarga, mohon bantu doa anda semua, agar kakak ipar saya tetap dalam keadaan baik-baik saja," ujar Taufik, adik kandung Firman.
"Aamiin ...," seru para tamu undangan serentak.
" Ayo, silahkan dilanjutkan makannya. Sayang hidangannya kalau dianggurin," lanjutnya lagi.
Kondisi Alma agak sedikit memburuk belakangan ini, sejak sel kanker mulai menggerogoti hingga ke ginjalnya.
Dalam seminggu dia harus menjalani kemoterapi dan cuci darah, karena ginjalnya mulai bermasalah dan sulit berfungsi.
"Maafkan bunda ya, sayang. Karena bunda sudah mengacaukan pesta ulang tahunmu," ujarnya dengan suara lirih. Alma sulit berbicara karena alat oksigen yang menutup hidung dan mulutnya. Mereka memang memiliki alat oksigen sendiri, sebagai antisipasi jika sewaktu-waktu Alma membutuhkan.
"Tidak apa-apa, Bunda. Bunda tidak usah memikirkan itu. Yang penting sekarang, Bunda bisa sembuh. Rilekskan pikiran Bunda. Oke?"
Alma mengangguk. Kepalanya ditidurkan di atas pangkuan Renata
Sesampai di rumah sakit, Alma segera dibawa ke ruang IGD untuk ditangani.
Renata memeluk Randy dan menangis terisak ketika melihat ibunya di pindahkan ke ruangan ICU.
"Bang, mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa ya. Aku takut ...."
"Kita berdoa saja ya. Semoga Bunda senantiasa dijaga oleh Allah."
Firman terlihat begitu gelisah. Terus berjalan mondar mandir di depan pintu ruang ICU.
Pintu ICU terbuka. Dokter Aida yang biasa menangani Alma, keluar dengan dua perawat di belakangnya.
Mereka bertiga menghampiri dokter berhijab tersebut.
"Bagaimana dengan keadaan istri saya, dok?"
"Kebanyakan pasien penderita kanker, jika baru saja menjalani kemoterapi, akan berimbas seperti ini. Apalagi, ginjal beliau juga sudah bermasalah dan baru cuci darah juga kan. Jadi sepertinya tubuhnya tidak kuat menghadapi kedua terapi tersebut."
"Jadi harus bagaimana, dok?" tanya Randy. Tampak jelas guratan kekhawatiran di wajahnya.
"Yah ... mau tak mau memang harus tetap di jalani. Karena kemoterapi itu sendiri, diharapkan dapat menghambat penyebaran sel kanker. Sedang cuci darah adalah suatu prosedur yang dilakukan untuk membuang limbah sisa dan cairan berlebih dari darah, ketika ginjal seseorang tidak lagi berfungsi dengan baik. Jadi apapun yang terjadi kita tetap harus jalani. Karena demi keselamatan Ibu Alma itu sendiri," terangnya panjang lebar. "Sebaiknya kita doakan saja yang terbaik untuk pasien. Saya permisi dulu ya."
Mereka bertiga masuk dengan menggunakan pakaian steril berwarna hijau.
Terlihat Alma berbaring dengan berbagai macam alat di tubuhnya. Suara mesin pendeteksi jantung, memecah heningnya ruangan tersebut.
"Sebaiknya kita bacakan surah Yassin untuk Bunda. Ayo gantian ambil wudhu," perintah pria lulusan sarjana pertanian itu kepada kedua anaknya.
Setelah berwudhu, mereka membuka surah Yasin dari aplikasi ponsel mereka.
"Yaasiin ... Wal Qura'anil Hakiim …." Mereka melantunkan ayat demi ayat.
Begitu khusyu dan khidmatnya mereka mengirimkan doa untuk orang tersayang. Sesekali Renata menangis sambil mengusap-usap dahi sang ibunda.
Tiba-tiba saja suara mesin deteksi jantung itu berbunyi dengan sangat cepat.
Tubuh Alma bergetar dan mengejang cepat.
"Bunda ... Bunda ...," teriak Renata.
"Randy, cepat panggil dokter!" perintah Firman.
Randy berlari keluar ruangan. Hanya saja ketika dokter dan perawat sampai di ruangan tersebut, suara mesin berbunyi datar. Grafik yang tadinya naik turun di layar pun, hanya menunjukkan garis horizontal lurus.
"BUNDAAA ... BANGUUUN BUNDAAA. JANGAN TINGGALKAN AKU, BUNDAAA ...." Renata memekik histeris melihat tubuh sang bunda yang tadinya mengejang, sekarang terbujur diam.
*****
Apa kah Alma Sasmita akan meninggal? Tunggu selanjutnya yaa. Jangan lupa kalau sudah baca, tinggalin vote, komen, dan ulasan bintang 5 nya yaaa😍😘
SURVIVOR
"Ampuuun, Mamiii. Sakiiittt … ampuuunnn," pekik Indri kesakitan karena api rokok Sonya disulutkan ke kulit tangannya yang mulus.
"Itu hukuman akibat kau mau coba-coba bermain-main dengan Mami Sonya. Ini belum seberapa. Karena aku masih memiliki perasaan kasihan terhadapmu."
Mucikari berhati iblis itu berjalan mondar-mandir dengan pongahnya, sembari menghisap rokok filternya. Asap dihembuskan ke udara hingga membentuk bulatan-bulatan.
"Sudah kukatakan. Siapa pun yang sudah masuk dalam kandang Sonya, jangan coba-coba untuk lari. Atau nyawamu taruhannya. Kau paham itu?" Sonya mencengkeram dagu Indri yang ketakutan.
"Iya, paham, Mami. Ampuuunn …." Indri memohon sambil terus mengampun pada wanita tambun berlipstik merah menyala itu.
"Bagus," Wanita yang dipanggil mami itu, menghembuskan asap rokoknya ke wajah Indri. Posisi gadis delapan belas tahun itu dalam keadaan duduk dengan tangan terikat.
"Kau anak baru di sini. Kau juga sudah kubeli dengan harga mahal dari Marni. Dan besok orang yang akan membayar mahal untuk keperawananmu itu akan datang. Asal kau tau, dia rela membayarmu tiga ratus lima puluh juta. Aku untung banyak. Hahaha," Suara tawa seraknya sungguh membahana di gudang sempit ini.
Emak? Emak yang tega menjualku? batin gadis itu.
"Emak yang sudah menjualku kepadamu? Tidak mungkin!"
Marni adalah ibu tirinya. Wanita itu sudah mengurus Indri sejak ibunya meninggal dan ayahnya menikahi Marni. Ibu tirinya itu menikah dengan bapaknya ketika umurnya dua belas tahun. Yang selama ini dia tahu, ibu sambungnya tersebut sangat menyayanginya. Jadi mustahil rasanya, jika wanita itu tega menjualnya pada mucikari berhati iblis ini.
"Kau tak percaya? Lalu menurutmu, dari mana uang si Marni itu untuk operasi bapakmu yang sudah hampir mati itu? Dia ke sini untuk pinjam uang sebesar seratus dua puluh juta rupiah. Dan kau sebagai bayarannya. Tidak ada yang cuma-cuma bagi seorang Sonya, Sayang," Sonya mencolek dagu Indri, namun dengan cepat ditepisnya dengan memalingkan wajah.
Indri tercenung. Dalam hati ia membenarkan ucapan Sonya. Pantas saja emak tirinya memiliki uang untuk biaya operasi kaki bapaknya.
Sebulan yang lalu, bapaknya mengalami kecelakan dan kaki kirinya harus diamputasi. Mereka tak memiliki uang untuk biaya untuk operasi.
Sebenarnya dia merasa aneh, karena secara mendadak ibunya pulang dengan membawa uang seratus dua puluh juta rupiah. Hanya saja karena harus buru-buru membawa bapaknya operasi, sehingga tidak yang sempat mempertanyakan.
"Sekarang pilihan ada di tanganmu. Kalau masih mau hidup, silahkan turuti semua perintahku. Tapi, kalau kau sudah bosan hidup, silahkan membangkang. Ini masih sekedar peringatan. Camkan itu!" Sonya mendorong kepala Indri hingga terdorong miring ke samping. "Lepaskan dia!"
Indri hanya tertunduk. Dalam hatinya begitu kecewa dengan ibu tirinya yang tega menjualnya ke tempat pelacuran ini.
Anak-anak buah Sonya melepaskan ikatan di tangannya. Gadis itu meringis kesakitan melihat telapak tangannya sedikit melepuh, akibat sulutan rokok Sonya tadi.
"Sekarang kau boleh pergi. Ingat, Indri, jangan sekal-kali kau mencoba untuk kabur lagi, atau kau akan-- " Sonya menggaris lehernya dengan menggunakan telunjuk. Mengisyaratkan … mati!
Indri tak peduli. Di pikirannya hanya lah suatu saat nanti, ia harus menemui Marni untuk meminta penjelasan atas semua pertanyaan ini.
Langkahnya terhenti saat melewati pintu kayu berwarna coklat itu. Ada suara isak tangis di sana. Di dalam ruangan itu, ada sahabat masa kecilnya. Walaupun jarak umur mereka berbeda cukup jauh. Namun, tak menghalangi mereka untuk bersahabat. Maureen begitu sangat menyayangi Indri seperti adiknya sendiri.
Indri membuka pelan-pelan pintu itu. Tidak dikunci. Matanya memindai ruangan gelap tersebut. Menyapu seluruh ruangan mencari di mana keberadaan sahabatnya.
Kemudian matanya tertuju pada sebuah cahaya lilin di sudut kanan ruangan.
Oh ya, bukankah hari ini hari ulang tahunnya? Kenapa aku sampai bisa lupa? bisik hati Indri.
"Happy birthday to you. Happy birthday to you. Happy birthday happy birthday happy birthday, Kak Maureen."
Gadis yang duduk terpekur menatap cahaya lilin itu, terhenyak dengan nyanyian seseorang yang tiba-tiba masuk. Senyum mengembang di wajahnya, ketika melihat sahabatnya pelan-pelan menghampiri.
Indri duduk berhadapan dengan Maureen sambil ikut memandangi lilin yang menyala.
"Selamat ulang tahun, Kak Maureen. Semoga selalu bahagia dan panjang umur ya. Tutup mata Kakak dan panjatkan sebuah harapan."
Maureen kembali menutup matanya. Berharap akan terwujud semua impian dan harapannya . Harapan untuk bebas dari lembah hitam ini.
"Sudah?"
Maureen mengangguk.
"Di hitungan ke tiga, tiup lilinnya ya. Satu, dua, tiga, tiup, Kak!"
Maureen meniup lilin itu dengan isakan tangis yang menderu.
"Yeaaayyy ... Selamat ulang tahun, Sahabatku."
Gadis berlesung pipi itu menghambur ke pelukan sang sahabat. Tumpah ruah sudah tangisnya di bahu orang yang sudah dianggapnya seperti adiknya sendiri itu.
"Maafkan aku yang tidak berhasil menyelamatkanmu dari lembah nista ini," sesalnya sambil sesegukan.
"Sudahlah, kak. Mungkin sudah memang takdirnya aku harus begini. Ternyata emak yang menjualku pada ibumu." Gadis berambut panjang itu menunduk sedih. Sesekali tangannya memainkan ujung baju. Tampak titik air jatuh ke punggung tangannya. Indri pun menangis.
"Mungkin memang sudah takdirnya kita harus begini ya, Ndri. Kau dan aku sama. Sama-sama dijual oleh ibu kita. Bedanya hanya kau dijual oleh ibu tirimu, sedangkan aku? Aku dijual oleh ibu kandungku sendiri. Justru itu kenyataan yang jauh lebih menyakitkan kan?"
Kedua sahabat bernasib malang itu saling berpelukan di dalam gelapnya ruangan.
__
Alma jatuh pingsan di tengah acara pesta ulang tahun sang putri. Otomatis suasana pesta pun menjadi sangat riuh.
"Randy! Siapkan mobil!" perintah Firman. Reflek, ia langsung menggendong istrinya. Dulu tubuh ini begitu padat dan berisi. Sekarang? Tak lebih seperti layaknya tengkorak hidup. Namun apapun keadaannya, Firman tetap berjanji akan terus merawat dan mencintai sepenuhnya sang istri hingga akhir hayatnya.
"Bapak-bapak, ibu-ibu dan teman-teman sekalian. Maaf atas ketidaknyamanan ini ya. Saya selaku perwakilan dari keluarga, mohon bantu doa anda semua, agar kakak ipar saya tetap dalam keadaan baik-baik saja," ujar Taufik, adik kandung Firman.
"Aamiin ...," seru para tamu undangan serentak.
" Ayo, silahkan dilanjutkan makannya. Sayang hidangannya kalau dianggurin," lanjutnya lagi.
Kondisi Alma agak sedikit memburuk belakangan ini, sejak sel kanker mulai menggerogoti hingga ke ginjalnya.
Dalam seminggu dia harus menjalani kemoterapi dan cuci darah, karena ginjalnya mulai bermasalah dan sulit berfungsi.
"Maafkan bunda ya, sayang. Karena bunda sudah mengacaukan pesta ulang tahunmu," ujarnya dengan suara lirih. Alma sulit berbicara karena alat oksigen yang menutup hidung dan mulutnya. Mereka memang memiliki alat oksigen sendiri, sebagai antisipasi jika sewaktu-waktu Alma membutuhkan.
"Tidak apa-apa, Bunda. Bunda tidak usah memikirkan itu. Yang penting sekarang, Bunda bisa sembuh. Rilekskan pikiran Bunda. Oke?"
Alma mengangguk. Kepalanya ditidurkan di atas pangkuan Renata
Sesampai di rumah sakit, Alma segera dibawa ke ruang IGD untuk ditangani.
Renata memeluk Randy dan menangis terisak ketika melihat ibunya di pindahkan ke ruangan ICU.
"Bang, mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa ya. Aku takut ...."
"Kita berdoa saja ya. Semoga Bunda senantiasa dijaga oleh Allah."
Firman terlihat begitu gelisah. Terus berjalan mondar mandir di depan pintu ruang ICU.
Pintu ICU terbuka. Dokter Aida yang biasa menangani Alma, keluar dengan dua perawat di belakangnya.
Mereka bertiga menghampiri dokter berhijab tersebut.
"Bagaimana dengan keadaan istri saya, dok?"
"Kebanyakan pasien penderita kanker, jika baru saja menjalani kemoterapi, akan berimbas seperti ini. Apalagi, ginjal beliau juga sudah bermasalah dan baru cuci darah juga kan. Jadi sepertinya tubuhnya tidak kuat menghadapi kedua terapi tersebut."
"Jadi harus bagaimana, dok?" tanya Randy. Tampak jelas guratan kekhawatiran di wajahnya.
"Yah ... mau tak mau memang harus tetap di jalani. Karena kemoterapi itu sendiri, diharapkan dapat menghambat penyebaran sel kanker. Sedang cuci darah adalah suatu prosedur yang dilakukan untuk membuang limbah sisa dan cairan berlebih dari darah, ketika ginjal seseorang tidak lagi berfungsi dengan baik. Jadi apapun yang terjadi kita tetap harus jalani. Karena demi keselamatan Ibu Alma itu sendiri," terangnya panjang lebar. "Sebaiknya kita doakan saja yang terbaik untuk pasien. Saya permisi dulu ya."
Mereka bertiga masuk dengan menggunakan pakaian steril berwarna hijau.
Terlihat Alma berbaring dengan berbagai macam alat di tubuhnya. Suara mesin pendeteksi jantung, memecah heningnya ruangan tersebut.
"Sebaiknya kita bacakan surah Yassin untuk Bunda. Ayo gantian ambil wudhu," perintah pria lulusan sarjana pertanian itu kepada kedua anaknya.
Setelah berwudhu, mereka membuka surah Yasin dari aplikasi ponsel mereka.
"Yaasiin ... Wal Qura'anil Hakiim …." Mereka melantunkan ayat demi ayat.
Begitu khusyu dan khidmatnya mereka mengirimkan doa untuk orang tersayang. Sesekali Renata menangis sambil mengusap-usap dahi sang ibunda.
Tiba-tiba saja suara mesin deteksi jantung itu berbunyi dengan sangat cepat.
Tubuh Alma bergetar dan mengejang cepat.
"Bunda ... Bunda ...," teriak Renata.
"Randy, cepat panggil dokter!" perintah Firman.
Randy berlari keluar ruangan. Hanya saja ketika dokter dan perawat sampai di ruangan tersebut, suara mesin berbunyi datar. Grafik yang tadinya naik turun di layar pun, hanya menunjukkan garis horizontal lurus.
"BUNDAAA ... BANGUUUN BUNDAAA. JANGAN TINGGALKAN AKU, BUNDAAA ...." Renata memekik histeris melihat tubuh sang bunda yang tadinya mengejang, sekarang terbujur diam.
*****
Apa kah Alma Sasmita akan meninggal? Tunggu selanjutnya yaa. Jangan lupa kalau sudah baca, tinggalin vote, komen, dan ulasan bintang 5 nya yaaa😍😘
"BUNDA ... BANGUUUN BUNDAAA," pekik Marwah terdengar membahana di ruangan tersebut. "Maaf ya, mbak. Tunggu di luar dulu. Supaya kami bisa lebih leluasa dalam bekerja," ucap seorang perawat yang merangkul pundak gadis itu kemudian menuntunnya ke luar. "Suster, tolong bunda saya. Selamatkan bunda saya ...." Bibir Marwah bergetar. Mendadak Marwah seperti kehilangan keseimbangan dan nyaris limbung ke lantai, jika Randy tidak sigap menahan tubuh Marwah Sedangkan Firman duduk di bangku dengan kedua tangan menutupi wajahnya. "Jangan begini, Dek. Nanti kalau kamu sakit gimana?" ujar Randy yang menepuk-nepuk lembut pipi adiknya. Marwah hanya terisak di dada kakak le
"Alma, anakku ...." Alma terhenyak. Seperti suara almarhumah ibundanya. "Mama ...?" Sosok wanita renta itu tersenyum dan tangannya terulur ke arah putrinya. "Kenapa? Kau bingung melihat mama di sini? Bangunlah!" Alma menyambut uluran tangan wanita yang dipanggilnya mama tersebut. Lalu menghambur ke pelukannya. "Ma ...." "Kau wanita kuat dan tegar, nak. Mama yakin itu. Anak-anakmu sungguh beruntung memiliki ibu seperti dirimu. Begitu pun Firman. Sungguh beruntung dia pernah memiliki istri yang luar biasa sepe
"Halo, Maureen, kau sudah dimana?" suara serak Sonya terdengar di seberang telepon. "Sudah di Hotel Asoka, Bu," jawab gadis cantik yang menggunakan dress ketat merah menyala itu. "Bagus. Layani James dengan baik. Tadinya dia itu langganan tetapnya Bella. Tapi dengan keadaan muka si Bella yang babak belur itu, mana mungkin dia melayani tamu setajir dan seroyal Pranoto. Lagian, mau coba-coba lari dari Sonya. Sama saja bunuh diri," ujarnya pongah. Maureen hanya terdiam mendengar kepongahan sang ibu. Profesinya yang merupakan mucikari besar, dengan uang yang banyak, ia merasa begitu sangat berkuasa. "Dan kau … Ibu tekankan padamu juga. Kau jangan macam-macam. Walaupun kau anak ibu, tapi jika kau mencoba membangkang dariku. Atau, nasibmu tidak ada bedanya dengan tikus-tikus peliharaanku itu. Paham?) "Sangat paham, Bu." "Good, Sw
"Assalamualaikum …," ucap Marwah setiba di rumah. "Wa'alaikumsalam …." Terdengar suara sahutan sang bunda dari belakang. Sepertinya dari dapur. Marwah membuka sepatunya dan melangkah ke dapur. Ia mendapati sang bunda sedang berkutat di sana. Cup! Sebuah kecupan mendarat di pipi wanita berusia empat puluh sembilan tersebut. "Bunda, kok pakai masak segala? Bunda lupa ya, kata dokter Bunda gak boleh capek-capek. Harus banyak istirahat. Memangnya Mbak Irah kemana? ujar Marwah sambil mencuci kedua tangannya di washtafel. Kemudian gadis itu menuangkan air ke gelas dan meneguknya. Alma, sang bunda, mematikan kompor. Ditatapnya sejenak putri bungsunya itu. "Bunda bosan hanya bisa tiduran saja di kamar. Pengen sekali-kali masak buat suami dan anak-anak bunda. Lagian tadi Irah juga bantuin bunda kok. Mema
- Dua puluh empat tahun silam …. - Sumiyati datang bersama Inah, ART sebelah rumah mereka. Alma memang meminta dicarikan seorang baby sitter untuk membantu mengurus bayi kembarnya. Saat itu Shafa dan Marwah baru berusia satu bulan. "Ini yang namanya Sumiyati, tetangga saya di kampung, Nyonya. Katanya dia mau mencari pekerjaan," ujar Inah memperkenalkan wanita bertinggi sekitar 160 cm itu. Tubuhnya agak sedikit gempal dengan celana kulot hitam dan kaos. "Sudah pernah mengurus bayi sebelumnya?" tanya Alma. Tangannya sibuk menggendong Marwah kala itu. Tubuhnya bergoyang-goyang menyerupai ayunan. Marwah sedikit rewel karena badannya demam. "Saya sempat punya anak, Bu. Perempuan. Tapi, di usianya setahun, anak saya meninggal karena demam tinggi," jawab Sumiyati. "Innalillahi. Terus suami kamu di mana?" tanya Alma prihatin.
"Alma, anakku ...." Alma terhenyak. Seperti suara almarhumah ibundanya. "Mama ...?" Sosok wanita renta itu tersenyum dan tangannya terulur ke arah putrinya. "Kenapa? Kau bingung melihat mama di sini? Bangunlah!" Alma menyambut uluran tangan wanita yang dipanggilnya mama tersebut. Lalu menghambur ke pelukannya. "Ma ...." "Kau wanita kuat dan tegar, nak. Mama yakin itu. Anak-anakmu sungguh beruntung memiliki ibu seperti dirimu. Begitu pun Firman. Sungguh beruntung dia pernah memiliki istri yang luar biasa sepe
"BUNDA ... BANGUUUN BUNDAAA," pekik Marwah terdengar membahana di ruangan tersebut. "Maaf ya, mbak. Tunggu di luar dulu. Supaya kami bisa lebih leluasa dalam bekerja," ucap seorang perawat yang merangkul pundak gadis itu kemudian menuntunnya ke luar. "Suster, tolong bunda saya. Selamatkan bunda saya ...." Bibir Marwah bergetar. Mendadak Marwah seperti kehilangan keseimbangan dan nyaris limbung ke lantai, jika Randy tidak sigap menahan tubuh Marwah Sedangkan Firman duduk di bangku dengan kedua tangan menutupi wajahnya. "Jangan begini, Dek. Nanti kalau kamu sakit gimana?" ujar Randy yang menepuk-nepuk lembut pipi adiknya. Marwah hanya terisak di dada kakak le
SURVIVOR "Ampuuun, Mamiii. Sakiiittt … ampuuunnn," pekik Indri kesakitan karena api rokok Sonya disulutkan ke kulit tangannya yang mulus. "Itu hukuman akibat kau mau coba-coba bermain-main dengan Mami Sonya. Ini belum seberapa. Karena aku masih memiliki perasaan kasihan terhadapmu." Mucikari berhati iblis itu berjalan mondar-mandir dengan pongahnya, sembari menghisap rokok filternya. Asap dihembuskan ke udara hingga membentuk bulatan-bulatan. "Sudah kukatakan. Siapa pun yang sudah masuk dalam kandang Sonya, jangan coba-coba untuk lari. Atau nyawamu taruhannya. Kau paham itu?" Sonya mencengkeram dagu Indri yang ketakutan. "Iya, paham, M
- Dua puluh empat tahun silam …. - Sumiyati datang bersama Inah, ART sebelah rumah mereka. Alma memang meminta dicarikan seorang baby sitter untuk membantu mengurus bayi kembarnya. Saat itu Shafa dan Marwah baru berusia satu bulan. "Ini yang namanya Sumiyati, tetangga saya di kampung, Nyonya. Katanya dia mau mencari pekerjaan," ujar Inah memperkenalkan wanita bertinggi sekitar 160 cm itu. Tubuhnya agak sedikit gempal dengan celana kulot hitam dan kaos. "Sudah pernah mengurus bayi sebelumnya?" tanya Alma. Tangannya sibuk menggendong Marwah kala itu. Tubuhnya bergoyang-goyang menyerupai ayunan. Marwah sedikit rewel karena badannya demam. "Saya sempat punya anak, Bu. Perempuan. Tapi, di usianya setahun, anak saya meninggal karena demam tinggi," jawab Sumiyati. "Innalillahi. Terus suami kamu di mana?" tanya Alma prihatin.
"Assalamualaikum …," ucap Marwah setiba di rumah. "Wa'alaikumsalam …." Terdengar suara sahutan sang bunda dari belakang. Sepertinya dari dapur. Marwah membuka sepatunya dan melangkah ke dapur. Ia mendapati sang bunda sedang berkutat di sana. Cup! Sebuah kecupan mendarat di pipi wanita berusia empat puluh sembilan tersebut. "Bunda, kok pakai masak segala? Bunda lupa ya, kata dokter Bunda gak boleh capek-capek. Harus banyak istirahat. Memangnya Mbak Irah kemana? ujar Marwah sambil mencuci kedua tangannya di washtafel. Kemudian gadis itu menuangkan air ke gelas dan meneguknya. Alma, sang bunda, mematikan kompor. Ditatapnya sejenak putri bungsunya itu. "Bunda bosan hanya bisa tiduran saja di kamar. Pengen sekali-kali masak buat suami dan anak-anak bunda. Lagian tadi Irah juga bantuin bunda kok. Mema
"Halo, Maureen, kau sudah dimana?" suara serak Sonya terdengar di seberang telepon. "Sudah di Hotel Asoka, Bu," jawab gadis cantik yang menggunakan dress ketat merah menyala itu. "Bagus. Layani James dengan baik. Tadinya dia itu langganan tetapnya Bella. Tapi dengan keadaan muka si Bella yang babak belur itu, mana mungkin dia melayani tamu setajir dan seroyal Pranoto. Lagian, mau coba-coba lari dari Sonya. Sama saja bunuh diri," ujarnya pongah. Maureen hanya terdiam mendengar kepongahan sang ibu. Profesinya yang merupakan mucikari besar, dengan uang yang banyak, ia merasa begitu sangat berkuasa. "Dan kau … Ibu tekankan padamu juga. Kau jangan macam-macam. Walaupun kau anak ibu, tapi jika kau mencoba membangkang dariku. Atau, nasibmu tidak ada bedanya dengan tikus-tikus peliharaanku itu. Paham?) "Sangat paham, Bu." "Good, Sw