"Assalamualaikum …," ucap Marwah setiba di rumah.
"Wa'alaikumsalam …." Terdengar suara sahutan sang bunda dari belakang. Sepertinya dari dapur.
Marwah membuka sepatunya dan melangkah ke dapur. Ia mendapati sang bunda sedang berkutat di sana.
Cup!
Sebuah kecupan mendarat di pipi wanita berusia empat puluh sembilan tersebut.
"Bunda, kok pakai masak segala? Bunda lupa ya, kata dokter Bunda gak boleh capek-capek. Harus banyak istirahat. Memangnya Mbak Irah kemana? ujar Marwah sambil mencuci kedua tangannya di washtafel. Kemudian gadis itu menuangkan air ke gelas dan meneguknya.
Alma, sang bunda, mematikan kompor. Ditatapnya sejenak putri bungsunya itu.
"Bunda bosan hanya bisa tiduran saja di kamar. Pengen sekali-kali masak buat suami dan anak-anak bunda. Lagian tadi Irah juga bantuin bunda kok. Memangnya kamu gak kangen sama masakan bunda, hum?" Alma memutar tubuh untuk memeluk Marwah yang dari belakang sudah memeluknya terlebih dulu. Lalu, mencium hangat puncak kepala Marwah yang di tutupi pashmina.
Marwah bangkit dan menggenggam erat tangan sang bunda.
"Tapi, Bun …."
Alma dengan cepat membalikkan tubuh Marwah dan mendorongnya pelan menuju tangga.
"Sudah sudah. Kamu bersih-bersih, ganti baju. Sebentar lagi Randy mas mu pulang. Terus kita makan. Ayah di belakang sedang mengurus kembang-kembangnya."
"Iya deh, Bunda sayang. Ya sudah, aku ke atas dulu ya, Bun."
Alma Sasmita. Seorang pengusaha bunga hidup, yang divonis mengidap kanker kelenjar getah bening di payudaranya. Sekitar empat tahun lalu, ia merasakan ada benjolan di bawah payudaranya dan membuat ia segera memeriksakan keadaannya itu ke dokter. Kata dokter, syukurnya ia segera memeriksakan diri. Sehingga masih bisa segera di atasi agar sel kanker itu tidak cepat menyebar.
Itulah sebabnya, anak-anak dan keluarganya tidak memperbolehkan AlMa terlalu capek untuk urusan rumah. Karena melihat keadaan sang bunda itu pula lah, yang menjadikan Marwah memilih menempuh pendidikan di jurusan kedokteran. Ia bercita-cita untuk menyembuhkan dan merawat para pengidap kanker.
"Lusa ada yang ulang tahun nih," goda Randy ketika mereka telah berkumpul di meja makan.
"Oh iya, ayah hampir lupa. Wah, udah semakin dewasa anak ayah," timpal Firman, sang ayah.
"Nanti bunda pesan sama temen bunda, ah. Teman bunda punya catering dan rasanya enak banget. Kamu boleh undang teman-teman kamu nanti ya."
"Wah beneran nih? Yeeeaayyy … makasih bunda, ayah …." Marwah melonjak girang sambil memeluk dan mencium ayah bundanya secara bergantian.
"Mas gak di peluk juga nih? Mas yang ngingetin lho," celetuk Randy.
"Oh iya lupa." Marwah memeluk abang semata wayangnya itu.
"Tapi nanti mas gak bisa ikutan bantu ya. Soalnya mas ada riset bahan untuk skripsi ke tempat-tempat lokalisasi malam. Mengamati bagaimana kehidupan sosial para wanita malam."
"Siippp … yang penting mas datang waktu acara yaa."
__
Acara ulang tahun Marwah malam itu cukup ramai. Dengan dihadiri teman-teman kampusnya, kolega ayahnya, juga teman-teman Randy serta teman pengajian sang bunda.
Setelah acara doa, tiup lilin dan potong kue pun dilakukan. Suapan kue pertama ia berikan untuk Alma, sang bunda.
Dengan mata berkaca-kaca, gadis berlesung pipi itu menatap wajah sang bunda. Wajah yang pucat dengan lingkaran hitam di matanya, namun tak membuat kecantikan dan kelembutan di wajahnya sirna. Tatap matanya masih teduh seperti dulu.
"Kue yang pertama ini, akan aku berikan untuk orang yang paling spesial dalam hidupku. Malaikat tak bersayap, yang dua puluh empat tahun lalu melahirkanku dengan susah payah ke dunia. Merawat dan membesarkanku dengan penuh cinta. Makasih bunda untuk segalanya," tutur Marwah dengan suara bergetar menahan tangis.
Lalu sepotong kue, ia suapkan ke mulut Alma. Bibir pucat itu pun tampak bergetar. Sepertinya wanita itu pun menahankan tangis ketika putri bungsunya itu, menyuapkan kue ke mulutnya.
Alma mengunyah kue dan berusaha tersenyum di antara dagunya yang bergetar. Sesekali ia menengadah ke atas. Menahan agar jangan sampai bulir hangat itu jatuh. Walaupun dadanya sesak. Ulu hatinya mengkerut seakan ingin mendorong rasa sesak itu ke atas.
Tidak! Aku tidak boleh menangis di sini. Sangat tidak tepat jika aku menunjukkan air mataku di sini. Hari ini hari spesial untuk gadisku. Aku harus terlihat bahagia, gumam Alma menyupport dirinya sendiri.
Suapan terakhir Marwah berikan untuk Randy, kakak laki-lakinya. Senyum dan binar bahagia terlihat jelas di matanya. Sementara Alma masih merasakan sesak, akibat menahankan tangis.
"Bunda ke toilet sebentar ya, sayang," pamitnya pada Marwah. Gadis itu hanya menjawab dengan anggukan dan kembali sibuk berinteraksi dengan tamu-tamunya.
Marwah melangkah tergesa meninggalkan pesta kebun itu. Setengah berlari, ia mengangkat sedikit gamisnya agar memudahkan langkahnya.
Dari kejauhan, Firman melihat gelagat aneh dari sang istri. Pasti dia menangis lagi. Biasanya setiap Marwah berulang tahun, Alma pasti menangis.
"Ehm, bapak-bapak dan ibu-ibu langsung saja ya. Nikmati hidangan yang ada. Saya permisi ke toilet sebentar," pamitnya pada teman-teman kantornya.
Pria berjanggut tipis itu bergegas menyusul sang istri. Di ujung atas anak tangga, Firman menatap pintu kayu berukir itu. Pintu dalam keadaan tertutup. Tapi, dia yakin, sang istri sedang terisak di balik pintu itu sambil menatap sebuah foto usang.
Ditekannya knop pintu itu perlahan-lahan. Ingin memastikan apakah dikunci atau tidak.
Ceklek … terbuka! Dan tampak sang istri duduk di kursi meja riasnya. Dan benar saja, wanita yang sudah menemaninya selama hampir tiga puluh tahun itu duduk di nakas riasnya sambil mengisak.
"Sayang …," tegurnya dengan sangat hati-hati. Alma menoleh.
Tak tega rasanya melihat sang istri bersedih seperti ini, karena merasakan begitu kehilangan.
Firman mendekati Alma lantas erjongkok di hadapannya. Ditangannya tergenggam sebuah foto usang. Di sana tergambar dua anak perempuan kembar berusia dua bulan.
"Sayang, aku mohon, berhentilah menangis. Aku tak sanggup melihat air matamu." Pria lima puluh enam tahun itu mengusap air mata Alma. Lalu ia menggenggam jemari sang istri dan menciumnya.
"Dimana Shafa sekarang? Bagaimana keadaannya? Dia juga sedang berulang tahun hari ini, Sayang. Wajahnya pasti secantik Marwah, adiknya. Apa kau tak merindukan anakmu, Mas?"
Pertanyaan Alma menusuk jantungnya. Tak mungkin dia tak merasakan hal yang sama dengan sang istri. Tapi, dia adalah laki-laki, yang ditakdirkan kuat dan tak mungkin menangis.
"Mana mungkin aku tak merindukan anak kita. Sudah genap dua puluh empat tahun dia menghilang. Dan polisi sudah mengusut masalah ini. Tapi, mereka juga gak bisa menemukan dimana Sumiyati. Di kampungnya juga dia gak ada. Kata orang-orang di kampungnya, dia sudah pindah sejak suaminya meninggal di massa warga," tutur sang suami dengan mata berkaca-kaca. Tak ada seorang ayah yang tak merasakan sedih kehilangan sang putri tercinta. Hatinya begitu hancur begitu mendengar salah satu putri kembarnya hilang.
"Tapi, Mas …."
"Sssttt, sudahlah. Nanti kita akan cari tau lagi dimana keberadaan Shafa ya. Mas akan tanyakan ke beberapa teman mas. Kau jangan sedih terus. Ingat dengan kondisi kesehatanmu." Firman mengusap kembali air mata sang istri yang masih mengalir di pipinya. "Apa kau tak mau melihat Marwah menjadi dokter? Randy sebentar lagi juga akan segera wisuda. Apa kau juga tidak mau menimang cucu-cucu kita kelak, Sayang?"
"Tentu saja aku mau, Mas."
"Maka dari itu, kurangi pikiran yang bisa membuatmu stress ya. Aku dan anak-anak masih membutuhkan wanita cantik dan kuat sepertimu di sisi kami."
Alma tergelak. Dipukulnya pelan bahu Firman yang masih berjongkok di hadapannya.
"Gombal! Wajahku saja sudah pucat seperti mayat hidup. Apa cantiknya?"
"Tak peduli mau sepucat apapun, Alma. Bagi kami, kau tetaplah bidadari yang cantik dan sholeha."
Fieman bangkit. Diciumnya hangat puncak kepala yang sudah mulai sedikit botak. Efek dari cuci darah sangat berimbas pada rambutnya yang mulai rontok sedikit demi sedikit. Terkadang ia mengeluh, takut suaminya tak mencintainya lagi. Namun Firman selalu mengatakan Alma tetaplah bidadari yang secantik ketika pertama bertemu. Baginya, pernikahan tak hanya sebatas cantik atau pun jelek. Jika sudah berkomitmen untuk berakad, maka harus sampai ajal yang memisahkan.
"Hapus air matamu, Sayang. Pakailah lagi riasanmu. Lalu kita turun ke bawah. Jangan buat Marwah bersedih. Hari ini adalah hari spesialnya."
Alma mengangguk dan seulas senyum mulai terukir di wajahnya.
__
Maureen mengendap-endap berjalan melalui pintu samping. Di belakangnya Indri berjalan mengikutinya. Sesekali kepala mereka celingukan untuk memastikan keadaan aman.
Praakkk, Maureen terlonjak kaget. Ternyata Indri menyenggol pot bunga hingga pecah.
"Ssst … jangan berisik. Nanti ketauan sama anak buah ibuku, bisa gagal semua rencana kita. Kau mau terbebas dari sini gak?" bisik Maureen geram.
"Maafkan aku, Reen. Aku enggak sengaja," sesal Indri.
"Ya sudah. Hati-hati kalau jalan."
Di teras, tampak anak buah Sonya, Togar dan Joni yang berbadan tegap sedang berjaga. Terdengar suara dengkuran Joni. Dia tidur, aman. Tinggal Togar yang sedang menonton TV dengan posisi membelakangi pintu keluar.
Kedua gadis itu mengendap-endap. Sampai di depan pintu keluar, Maureen membuka gembok dengan kunci yang sudah ia duplikatkan.
Klek! Gembok terbuka. Pelan-pelan Maureen membuka grendel pintu. Hampir saja berhasil dan tiba-tiba … Braaakkk.
"Hei! Berhenti! Mau kemana kalian?"
*****
Jangan lupa kasih vote dan ulasan Bintang 5 nya ya😘
- Dua puluh empat tahun silam …. - Sumiyati datang bersama Inah, ART sebelah rumah mereka. Alma memang meminta dicarikan seorang baby sitter untuk membantu mengurus bayi kembarnya. Saat itu Shafa dan Marwah baru berusia satu bulan. "Ini yang namanya Sumiyati, tetangga saya di kampung, Nyonya. Katanya dia mau mencari pekerjaan," ujar Inah memperkenalkan wanita bertinggi sekitar 160 cm itu. Tubuhnya agak sedikit gempal dengan celana kulot hitam dan kaos. "Sudah pernah mengurus bayi sebelumnya?" tanya Alma. Tangannya sibuk menggendong Marwah kala itu. Tubuhnya bergoyang-goyang menyerupai ayunan. Marwah sedikit rewel karena badannya demam. "Saya sempat punya anak, Bu. Perempuan. Tapi, di usianya setahun, anak saya meninggal karena demam tinggi," jawab Sumiyati. "Innalillahi. Terus suami kamu di mana?" tanya Alma prihatin.
SURVIVOR "Ampuuun, Mamiii. Sakiiittt … ampuuunnn," pekik Indri kesakitan karena api rokok Sonya disulutkan ke kulit tangannya yang mulus. "Itu hukuman akibat kau mau coba-coba bermain-main dengan Mami Sonya. Ini belum seberapa. Karena aku masih memiliki perasaan kasihan terhadapmu." Mucikari berhati iblis itu berjalan mondar-mandir dengan pongahnya, sembari menghisap rokok filternya. Asap dihembuskan ke udara hingga membentuk bulatan-bulatan. "Sudah kukatakan. Siapa pun yang sudah masuk dalam kandang Sonya, jangan coba-coba untuk lari. Atau nyawamu taruhannya. Kau paham itu?" Sonya mencengkeram dagu Indri yang ketakutan. "Iya, paham, M
"BUNDA ... BANGUUUN BUNDAAA," pekik Marwah terdengar membahana di ruangan tersebut. "Maaf ya, mbak. Tunggu di luar dulu. Supaya kami bisa lebih leluasa dalam bekerja," ucap seorang perawat yang merangkul pundak gadis itu kemudian menuntunnya ke luar. "Suster, tolong bunda saya. Selamatkan bunda saya ...." Bibir Marwah bergetar. Mendadak Marwah seperti kehilangan keseimbangan dan nyaris limbung ke lantai, jika Randy tidak sigap menahan tubuh Marwah Sedangkan Firman duduk di bangku dengan kedua tangan menutupi wajahnya. "Jangan begini, Dek. Nanti kalau kamu sakit gimana?" ujar Randy yang menepuk-nepuk lembut pipi adiknya. Marwah hanya terisak di dada kakak le
"Alma, anakku ...." Alma terhenyak. Seperti suara almarhumah ibundanya. "Mama ...?" Sosok wanita renta itu tersenyum dan tangannya terulur ke arah putrinya. "Kenapa? Kau bingung melihat mama di sini? Bangunlah!" Alma menyambut uluran tangan wanita yang dipanggilnya mama tersebut. Lalu menghambur ke pelukannya. "Ma ...." "Kau wanita kuat dan tegar, nak. Mama yakin itu. Anak-anakmu sungguh beruntung memiliki ibu seperti dirimu. Begitu pun Firman. Sungguh beruntung dia pernah memiliki istri yang luar biasa sepe
"Halo, Maureen, kau sudah dimana?" suara serak Sonya terdengar di seberang telepon. "Sudah di Hotel Asoka, Bu," jawab gadis cantik yang menggunakan dress ketat merah menyala itu. "Bagus. Layani James dengan baik. Tadinya dia itu langganan tetapnya Bella. Tapi dengan keadaan muka si Bella yang babak belur itu, mana mungkin dia melayani tamu setajir dan seroyal Pranoto. Lagian, mau coba-coba lari dari Sonya. Sama saja bunuh diri," ujarnya pongah. Maureen hanya terdiam mendengar kepongahan sang ibu. Profesinya yang merupakan mucikari besar, dengan uang yang banyak, ia merasa begitu sangat berkuasa. "Dan kau … Ibu tekankan padamu juga. Kau jangan macam-macam. Walaupun kau anak ibu, tapi jika kau mencoba membangkang dariku. Atau, nasibmu tidak ada bedanya dengan tikus-tikus peliharaanku itu. Paham?) "Sangat paham, Bu." "Good, Sw
"Alma, anakku ...." Alma terhenyak. Seperti suara almarhumah ibundanya. "Mama ...?" Sosok wanita renta itu tersenyum dan tangannya terulur ke arah putrinya. "Kenapa? Kau bingung melihat mama di sini? Bangunlah!" Alma menyambut uluran tangan wanita yang dipanggilnya mama tersebut. Lalu menghambur ke pelukannya. "Ma ...." "Kau wanita kuat dan tegar, nak. Mama yakin itu. Anak-anakmu sungguh beruntung memiliki ibu seperti dirimu. Begitu pun Firman. Sungguh beruntung dia pernah memiliki istri yang luar biasa sepe
"BUNDA ... BANGUUUN BUNDAAA," pekik Marwah terdengar membahana di ruangan tersebut. "Maaf ya, mbak. Tunggu di luar dulu. Supaya kami bisa lebih leluasa dalam bekerja," ucap seorang perawat yang merangkul pundak gadis itu kemudian menuntunnya ke luar. "Suster, tolong bunda saya. Selamatkan bunda saya ...." Bibir Marwah bergetar. Mendadak Marwah seperti kehilangan keseimbangan dan nyaris limbung ke lantai, jika Randy tidak sigap menahan tubuh Marwah Sedangkan Firman duduk di bangku dengan kedua tangan menutupi wajahnya. "Jangan begini, Dek. Nanti kalau kamu sakit gimana?" ujar Randy yang menepuk-nepuk lembut pipi adiknya. Marwah hanya terisak di dada kakak le
SURVIVOR "Ampuuun, Mamiii. Sakiiittt … ampuuunnn," pekik Indri kesakitan karena api rokok Sonya disulutkan ke kulit tangannya yang mulus. "Itu hukuman akibat kau mau coba-coba bermain-main dengan Mami Sonya. Ini belum seberapa. Karena aku masih memiliki perasaan kasihan terhadapmu." Mucikari berhati iblis itu berjalan mondar-mandir dengan pongahnya, sembari menghisap rokok filternya. Asap dihembuskan ke udara hingga membentuk bulatan-bulatan. "Sudah kukatakan. Siapa pun yang sudah masuk dalam kandang Sonya, jangan coba-coba untuk lari. Atau nyawamu taruhannya. Kau paham itu?" Sonya mencengkeram dagu Indri yang ketakutan. "Iya, paham, M
- Dua puluh empat tahun silam …. - Sumiyati datang bersama Inah, ART sebelah rumah mereka. Alma memang meminta dicarikan seorang baby sitter untuk membantu mengurus bayi kembarnya. Saat itu Shafa dan Marwah baru berusia satu bulan. "Ini yang namanya Sumiyati, tetangga saya di kampung, Nyonya. Katanya dia mau mencari pekerjaan," ujar Inah memperkenalkan wanita bertinggi sekitar 160 cm itu. Tubuhnya agak sedikit gempal dengan celana kulot hitam dan kaos. "Sudah pernah mengurus bayi sebelumnya?" tanya Alma. Tangannya sibuk menggendong Marwah kala itu. Tubuhnya bergoyang-goyang menyerupai ayunan. Marwah sedikit rewel karena badannya demam. "Saya sempat punya anak, Bu. Perempuan. Tapi, di usianya setahun, anak saya meninggal karena demam tinggi," jawab Sumiyati. "Innalillahi. Terus suami kamu di mana?" tanya Alma prihatin.
"Assalamualaikum …," ucap Marwah setiba di rumah. "Wa'alaikumsalam …." Terdengar suara sahutan sang bunda dari belakang. Sepertinya dari dapur. Marwah membuka sepatunya dan melangkah ke dapur. Ia mendapati sang bunda sedang berkutat di sana. Cup! Sebuah kecupan mendarat di pipi wanita berusia empat puluh sembilan tersebut. "Bunda, kok pakai masak segala? Bunda lupa ya, kata dokter Bunda gak boleh capek-capek. Harus banyak istirahat. Memangnya Mbak Irah kemana? ujar Marwah sambil mencuci kedua tangannya di washtafel. Kemudian gadis itu menuangkan air ke gelas dan meneguknya. Alma, sang bunda, mematikan kompor. Ditatapnya sejenak putri bungsunya itu. "Bunda bosan hanya bisa tiduran saja di kamar. Pengen sekali-kali masak buat suami dan anak-anak bunda. Lagian tadi Irah juga bantuin bunda kok. Mema
"Halo, Maureen, kau sudah dimana?" suara serak Sonya terdengar di seberang telepon. "Sudah di Hotel Asoka, Bu," jawab gadis cantik yang menggunakan dress ketat merah menyala itu. "Bagus. Layani James dengan baik. Tadinya dia itu langganan tetapnya Bella. Tapi dengan keadaan muka si Bella yang babak belur itu, mana mungkin dia melayani tamu setajir dan seroyal Pranoto. Lagian, mau coba-coba lari dari Sonya. Sama saja bunuh diri," ujarnya pongah. Maureen hanya terdiam mendengar kepongahan sang ibu. Profesinya yang merupakan mucikari besar, dengan uang yang banyak, ia merasa begitu sangat berkuasa. "Dan kau … Ibu tekankan padamu juga. Kau jangan macam-macam. Walaupun kau anak ibu, tapi jika kau mencoba membangkang dariku. Atau, nasibmu tidak ada bedanya dengan tikus-tikus peliharaanku itu. Paham?) "Sangat paham, Bu." "Good, Sw