"Halo, Maureen, kau sudah dimana?" suara serak Sonya terdengar di seberang telepon.
"Sudah di Hotel Asoka, Bu," jawab gadis cantik yang menggunakan dress ketat merah menyala itu.
"Bagus. Layani James dengan baik. Tadinya dia itu langganan tetapnya Bella. Tapi dengan keadaan muka si Bella yang babak belur itu, mana mungkin dia melayani tamu setajir dan seroyal Pranoto. Lagian, mau coba-coba lari dari Sonya. Sama saja bunuh diri," ujarnya pongah.
Maureen hanya terdiam mendengar kepongahan sang ibu. Profesinya yang merupakan mucikari besar, dengan uang yang banyak, ia merasa begitu sangat berkuasa.
"Dan kau … Ibu tekankan padamu juga. Kau jangan macam-macam. Walaupun kau anak ibu, tapi jika kau mencoba membangkang dariku. Atau, nasibmu tidak ada bedanya dengan tikus-tikus peliharaanku itu. Paham?)
"Sangat paham, Bu."
"Good, Sweety! Saat ini kau adalah primadona di Sonya Vesta. Dan tentu saja aku akan semakin kaya. Hahaha," Tawa wanita iblis ini menggelegar serasa memekakkan telinga. Ingin rasanya Maureen menyumpal mulut haram ibunya itu dengan bom, lalu meledakkannya hingga berkeping-keping.
Telepon terputus. Layar ponsel pun meredup. Maureen mencampakkan ponsel pintarnya ke atas ranjang berukuran enam kaki itu. Kemudian dihempaskannya tubuhnya ke ranjang super empuk dan mewah itu. Bagaimana tidak, lelaki hidung belang bernama James itu, menyewa kamar kelas super VIP untuk dirinya.
Matanya menatap langit-langit kamar hotel. Pikirannya menerawang. Ia meratapi nasib dirinya yang beribukan seorang mucikari besar, yang bahkan tega menjual anak kandungnya sendiri demi obsesi dan ambisinya.
Nama asli Sonya itu sebenarnya Sumiyati. Ada yang mengatakan pekerjaannya dulu adalah sebagai pembantu rumah tangga. Dan ada pula yang mengatakan, ia pernah bekerja sebagai seorang baby sitter.
Maureen tidak pernah mengenal ayahnya. Kata ibunya, Handoko adalah seorang begal yang di hakimi massa, saat ketahuan hendak merampok seorang ibu hamil. Dan Handoko mati seketika di lokasi kejadian.
Entah dari mana awal mulanya Sumiyati alias Sonya mengenal dunia malam ini. Setelah usaha haramnya ini berkembang, ia mulai mengganti namanya menjadi Sonya. Ia membuka sebuah klub malam dan di beri nama Sonya Vesta. Dan wanita berusia empat puluh dua tahun itu juga memiliki sebuah rumah bordil yang berisikan wanita-wanita penjaja cinta satu malam.
Sonya juga sosok manusia yang licik dan kejam. Banyak wanita-wanita malamnya yang terjerumus di dunia kelam ini bukan karena keinginan mereka, melainkan karena tertipu olehnya. Berawal dari mereka yang tergiur dengan alih-alih janji dipekerjakan di salon dan restoran, justru malah wanita-wanita perantau itu di jual kepada para lelaki hidung belang.
Bukan tidak banyak dari mereka yang berusaha kabur dari lokalisasi itu. Tapi tetap saja tertangkap oleh anak buah Sonya. Dan kalau sudah tertangkap, maka konsekuensi yang harus di hadapi adalah babak belur dihajar Sonya dan anak-anak buahnya.
Seperti kasus terakhir, Bella yang mencoba kabur setelah melayani tamunya. Naas, ia justru malah tertangkap oleh bodyguard Sonya yang ternyata ada dimana-mana.
Maureen memindai seluruh ruangan kamar hotel berbintang itu. Ini bukan kali pertama ia berada di sini. Karena beberapa langganan yang minta di sediakan tempat dan Maureen selalu memilih hotel ini.
Tepatnya berada di lantai tiga puluh, kamar sudah di booking atas nama Pranoto Suryodiningrat. Sembari menunggu, Maureen sudah memesan beberapa makanan dan minuman.
Tring. Sebuah pesan masuk di gawainya. Maureen menghentikan makannya. Dan melihat di layar tertulis 'ANDA MENDAPATKAN SEBUAH PESAN DARI JAMES RICHARDO."
Maurren mengusap layar dan memasukkan sandi password di ponselnya.
[Maureen, kau tunggu sebentar ya. Mungkin aku sedikit lama untuk menemuimu. Karena ada beberapa urusan yang harus kuselesaikan. Pesan saja apa yang kau mau dan masukkan ke dalam bill ku.]
[Oke. Lalu bagaimana jika aku memesan red wine?]
[Hahaha. Ternyata kau penggemar red wine juga. Kau pesan sajalah. Nanti kita minum bersama]
[Okay]
Setelah menutup percakapan, Maureen menekan tombol di telepon kamar hotel.
"Selamat malam, ada yang bisa dibantu, Nona?" Suara ramah dan sopan menjawab teleponnya.
"Saya Maureen dari kamar 3046. Tolong antarkan saya sebotol red wine dan dua buah gelas ya. Jangan lupa es kristalnya."
"Baik, Nona. Waitress kami segera mengantarnya ke sana. Mohon ditunggu. Terimakasih."
Maureen meletakkan kembali horn telepon itu ke tempatnya. Sembari menunggu, gadis berusia dua puluh tiga tahun itu berselancar dengan ponsel pintarnya. Sekitar sepuluh menit kemudian, pintu kamarnya diketuk.
"Room service."
"Masuk saja.Tidak dikunci," jawab Maureen setengah berteriak.
Pintu membuka dan seorang lelaki dengan kemeja putih dan tuxedo hitam melangkah masuk. Di tangannya ada baki yang di atas nya sebotol red wine dan dua gelas wine.
"Permisi, Nona."
"Letakkan saja di sana," Nadia menunjuk meja bulat di tengah ruangan.
"Ada tambahan lagi, Nona?" tanya waiter tersebut seraya meletakkan botol wine dan gelas di atas meja.
"Sejauh ini belum. Nanti akan saya panggil kembali.," Maureen menyodorkan selembar kertas berwarna merah. "Ambillah!"
Pelayan tersebut mengambil lembaran uang tadi kemudian membungkukkan badannya sopan di hadapan Maureen.
"Terima kasih, Nona. Permisi …."
Maureen menganggukkan kepalanya dan seiring itu pula pria bertinggi sekitar 170 cm itu pun berlalu.
Gadis berkulit putih itu melirik jam merk Guess yang melingkari pergelangan tangannya. Sudah hampir dua jam ia menanti. Tapi lelaki bernama James itu belum muncul juga.
Orang itu masih baru pertama kalinya membooking Maureen. Seperti kata ibunya tadi, James adalah orang yang sangat kaya dan royal. Terbukti dari transferannya pada mucikari itu saja sebanyak delapan juta rupiah hanya DP untuk short time service. Bagaimana jika dengan long time service ya?
Yah, lumayanlah. Aku tidak perlu terlalu capek malam ini, batinnya sambil mengesap pelan red wine yang telah dipesannya tadi.
Sedang asyik ia menikmati red wine sambil memandang pemandangan kota dari balkon, terdengar suara pintu dibuka. Maureen berbalik. Dan tampak lelaki berjas hitam lengkap dengan dasinya melangkah masuk dan menutup serta mengunci pintu. Usianya mungkin sekitar hampir enam puluh tahunan. Terlihat dari rambutnya yang sudah kelihatan putih dan sedikit botak di bagian tengahnya.
"Maurren?" tanyanya setelah berdiri di hadapanku. Jarak kami berkisar hanya tiga meter. Gadis berlesung pipi itu dapat mencium aroma parfum dari tubuh lelaki tua tersebut. Hum, lumayan bagus selera tua bangka ini, batinnya.
Gadis berambut sebahu itu meletakkan gelas wine nya di meja teras balkon. Lalu ia mendekati James. Kemudian ia meraih ujung jas di bagian dada pria tua itu. Kali ini tubuh mereka saling merapat satu sama lain.
Maureen menengadah ke atas. Menatap mata pria yang sudah membooking tubuhnya itu. Terdengar napas lelaki itu mulai memburu. Matanya tak lepas pada belahan dada Maureen. Berkali jakun lelaki tua itu bergerak turun.
"Ya. Aku Maureen. Apakah kau menyukaiku, Sayang?" Gadis bertubuh sintal itu semakin merapatkan tubuhnya. Sehingga perut mereka saling bersentuhan.
"Te-tentu saja aku menyukaimu, Sayang," Lagi, James meneguk ludah. "Dan sepertinya aku mulai menggilaimu. Tak percuma aku membayarmu mahal pada Sonya. Kau begitu seksi dan menggairahkan. Jauh lebih menggairahkan dari Bella. Sialan Sonya, kenapa dia tak mengatakan punya koleksi perempuan secantikmu, hum."
Lelaki tua itu meraba pipi Maureen hingga turun di lengannya. "Tentu saja dengan diimbangi pelayananmu yang akan memuaskanku, bukan? Aku tak segan-segan memberikanmu bonus, jika kau mampu menyenangkan aku."
Maureen tergelak. "Aku justru mampu membuatmu tidak bisa melupakan malam ini seee … umur hidupmu."
Gadis dengan rok mini ketat sejengkal di atas lutut itu, membuka jas si penyewa tubuhnya. Lelaki itu tampak berulang kali menelan salivanya, karena melihat kemolekan tubuh gadis yang lebih cocok menjadi putrinya itu. Napasnya terdengar kian memburu. Dan malam itu mereka lalui dengan dosa zina yang entah kapan akan diakhiri.
°
"Marwah!"
Gadis manis berhijab ungu itu berhenti dan menoleh. Tampak di seberang jalan Dinda melambaikan tangan ke arahnya.
"Aku-mencarimu-kemana-mana, Marwah," Terdengar suaranya terputus-putus karena tersengal setelah habis berlari.
Gadis bernama Marwah itu menyodorkan sebotol air mineral pada sahabatnya itu. "Minumlah. Biar sedikit lebih tenang."
Dinda duduk di bangku warung. Kemudian ia meneguk air mineral pemberian Marwah, hingga menyisakan hanya setengah dari botol plastik itu.
Marwah tersenyum melihat napas sahabatnya itu masih tersengal-sengal.
"Sudah lebih tenang?"
Dinda mengangguk.
"Lalu ada apa kau mencariku? Apa ada hal yang sangat penting, sehingga kau begitu terburu-buru mencariku?"
"Tentu saja. Jika tidak penting, aku pun malas mencarimu," sungutnya kesal.
Marwah tertawa melihat sahabatnya itu. Tampak lesung pipi menyembul di pipi kirinya.
"Ya ampun begitu saja ngambek," goda Marwah sambil mencolek pinggang Dinda.
"Aku sudah mengirimkan w******p padamu, bahkan sudah berulang kali meneleponmu. Tapi ponselmu tidak aktif."
"Masa sih." Gadis berhijab lebar itu merogoh ponsel di kantong gamisnya. Ternyata ponselnya memang dalam keadaan padam.
"Maaf, sepertinya baterainya habis. Aku lupa men-charge nya tadi malam," sesalnya.
"Ya sudah lupakan saja. Yang penting sekarang kita ke aula kampus. Bang Rifqi mencarimu. Katanya kita mau rapat, untuk pembentukan panitia qurban untuk Idul Adha dua bulan lagi."
"Oke deh. Ya sudah, kita langsung ke sana sekarang, yuk!" ajak mahasiswi kedokteran itu pada sahabat masa kecilnya.
Mereka melangkah menuju aula dengan tangan saling bergandengan. Sesekali terdengar tawa di antara mereka.
Sungguh bagai pinang yang di belah, senyum manis berlesung pipi milik Marwah itu, begitu serupa dengan senyum seorang gadis di lokalisasi, bernama Maureen.
****
Jangan lupa tinggalkan vote dan ulasan bintang lima kamu yaa.
"Assalamualaikum …," ucap Marwah setiba di rumah. "Wa'alaikumsalam …." Terdengar suara sahutan sang bunda dari belakang. Sepertinya dari dapur. Marwah membuka sepatunya dan melangkah ke dapur. Ia mendapati sang bunda sedang berkutat di sana. Cup! Sebuah kecupan mendarat di pipi wanita berusia empat puluh sembilan tersebut. "Bunda, kok pakai masak segala? Bunda lupa ya, kata dokter Bunda gak boleh capek-capek. Harus banyak istirahat. Memangnya Mbak Irah kemana? ujar Marwah sambil mencuci kedua tangannya di washtafel. Kemudian gadis itu menuangkan air ke gelas dan meneguknya. Alma, sang bunda, mematikan kompor. Ditatapnya sejenak putri bungsunya itu. "Bunda bosan hanya bisa tiduran saja di kamar. Pengen sekali-kali masak buat suami dan anak-anak bunda. Lagian tadi Irah juga bantuin bunda kok. Mema
- Dua puluh empat tahun silam …. - Sumiyati datang bersama Inah, ART sebelah rumah mereka. Alma memang meminta dicarikan seorang baby sitter untuk membantu mengurus bayi kembarnya. Saat itu Shafa dan Marwah baru berusia satu bulan. "Ini yang namanya Sumiyati, tetangga saya di kampung, Nyonya. Katanya dia mau mencari pekerjaan," ujar Inah memperkenalkan wanita bertinggi sekitar 160 cm itu. Tubuhnya agak sedikit gempal dengan celana kulot hitam dan kaos. "Sudah pernah mengurus bayi sebelumnya?" tanya Alma. Tangannya sibuk menggendong Marwah kala itu. Tubuhnya bergoyang-goyang menyerupai ayunan. Marwah sedikit rewel karena badannya demam. "Saya sempat punya anak, Bu. Perempuan. Tapi, di usianya setahun, anak saya meninggal karena demam tinggi," jawab Sumiyati. "Innalillahi. Terus suami kamu di mana?" tanya Alma prihatin.
SURVIVOR "Ampuuun, Mamiii. Sakiiittt … ampuuunnn," pekik Indri kesakitan karena api rokok Sonya disulutkan ke kulit tangannya yang mulus. "Itu hukuman akibat kau mau coba-coba bermain-main dengan Mami Sonya. Ini belum seberapa. Karena aku masih memiliki perasaan kasihan terhadapmu." Mucikari berhati iblis itu berjalan mondar-mandir dengan pongahnya, sembari menghisap rokok filternya. Asap dihembuskan ke udara hingga membentuk bulatan-bulatan. "Sudah kukatakan. Siapa pun yang sudah masuk dalam kandang Sonya, jangan coba-coba untuk lari. Atau nyawamu taruhannya. Kau paham itu?" Sonya mencengkeram dagu Indri yang ketakutan. "Iya, paham, M
"BUNDA ... BANGUUUN BUNDAAA," pekik Marwah terdengar membahana di ruangan tersebut. "Maaf ya, mbak. Tunggu di luar dulu. Supaya kami bisa lebih leluasa dalam bekerja," ucap seorang perawat yang merangkul pundak gadis itu kemudian menuntunnya ke luar. "Suster, tolong bunda saya. Selamatkan bunda saya ...." Bibir Marwah bergetar. Mendadak Marwah seperti kehilangan keseimbangan dan nyaris limbung ke lantai, jika Randy tidak sigap menahan tubuh Marwah Sedangkan Firman duduk di bangku dengan kedua tangan menutupi wajahnya. "Jangan begini, Dek. Nanti kalau kamu sakit gimana?" ujar Randy yang menepuk-nepuk lembut pipi adiknya. Marwah hanya terisak di dada kakak le
"Alma, anakku ...." Alma terhenyak. Seperti suara almarhumah ibundanya. "Mama ...?" Sosok wanita renta itu tersenyum dan tangannya terulur ke arah putrinya. "Kenapa? Kau bingung melihat mama di sini? Bangunlah!" Alma menyambut uluran tangan wanita yang dipanggilnya mama tersebut. Lalu menghambur ke pelukannya. "Ma ...." "Kau wanita kuat dan tegar, nak. Mama yakin itu. Anak-anakmu sungguh beruntung memiliki ibu seperti dirimu. Begitu pun Firman. Sungguh beruntung dia pernah memiliki istri yang luar biasa sepe
"Alma, anakku ...." Alma terhenyak. Seperti suara almarhumah ibundanya. "Mama ...?" Sosok wanita renta itu tersenyum dan tangannya terulur ke arah putrinya. "Kenapa? Kau bingung melihat mama di sini? Bangunlah!" Alma menyambut uluran tangan wanita yang dipanggilnya mama tersebut. Lalu menghambur ke pelukannya. "Ma ...." "Kau wanita kuat dan tegar, nak. Mama yakin itu. Anak-anakmu sungguh beruntung memiliki ibu seperti dirimu. Begitu pun Firman. Sungguh beruntung dia pernah memiliki istri yang luar biasa sepe
"BUNDA ... BANGUUUN BUNDAAA," pekik Marwah terdengar membahana di ruangan tersebut. "Maaf ya, mbak. Tunggu di luar dulu. Supaya kami bisa lebih leluasa dalam bekerja," ucap seorang perawat yang merangkul pundak gadis itu kemudian menuntunnya ke luar. "Suster, tolong bunda saya. Selamatkan bunda saya ...." Bibir Marwah bergetar. Mendadak Marwah seperti kehilangan keseimbangan dan nyaris limbung ke lantai, jika Randy tidak sigap menahan tubuh Marwah Sedangkan Firman duduk di bangku dengan kedua tangan menutupi wajahnya. "Jangan begini, Dek. Nanti kalau kamu sakit gimana?" ujar Randy yang menepuk-nepuk lembut pipi adiknya. Marwah hanya terisak di dada kakak le
SURVIVOR "Ampuuun, Mamiii. Sakiiittt … ampuuunnn," pekik Indri kesakitan karena api rokok Sonya disulutkan ke kulit tangannya yang mulus. "Itu hukuman akibat kau mau coba-coba bermain-main dengan Mami Sonya. Ini belum seberapa. Karena aku masih memiliki perasaan kasihan terhadapmu." Mucikari berhati iblis itu berjalan mondar-mandir dengan pongahnya, sembari menghisap rokok filternya. Asap dihembuskan ke udara hingga membentuk bulatan-bulatan. "Sudah kukatakan. Siapa pun yang sudah masuk dalam kandang Sonya, jangan coba-coba untuk lari. Atau nyawamu taruhannya. Kau paham itu?" Sonya mencengkeram dagu Indri yang ketakutan. "Iya, paham, M
- Dua puluh empat tahun silam …. - Sumiyati datang bersama Inah, ART sebelah rumah mereka. Alma memang meminta dicarikan seorang baby sitter untuk membantu mengurus bayi kembarnya. Saat itu Shafa dan Marwah baru berusia satu bulan. "Ini yang namanya Sumiyati, tetangga saya di kampung, Nyonya. Katanya dia mau mencari pekerjaan," ujar Inah memperkenalkan wanita bertinggi sekitar 160 cm itu. Tubuhnya agak sedikit gempal dengan celana kulot hitam dan kaos. "Sudah pernah mengurus bayi sebelumnya?" tanya Alma. Tangannya sibuk menggendong Marwah kala itu. Tubuhnya bergoyang-goyang menyerupai ayunan. Marwah sedikit rewel karena badannya demam. "Saya sempat punya anak, Bu. Perempuan. Tapi, di usianya setahun, anak saya meninggal karena demam tinggi," jawab Sumiyati. "Innalillahi. Terus suami kamu di mana?" tanya Alma prihatin.
"Assalamualaikum …," ucap Marwah setiba di rumah. "Wa'alaikumsalam …." Terdengar suara sahutan sang bunda dari belakang. Sepertinya dari dapur. Marwah membuka sepatunya dan melangkah ke dapur. Ia mendapati sang bunda sedang berkutat di sana. Cup! Sebuah kecupan mendarat di pipi wanita berusia empat puluh sembilan tersebut. "Bunda, kok pakai masak segala? Bunda lupa ya, kata dokter Bunda gak boleh capek-capek. Harus banyak istirahat. Memangnya Mbak Irah kemana? ujar Marwah sambil mencuci kedua tangannya di washtafel. Kemudian gadis itu menuangkan air ke gelas dan meneguknya. Alma, sang bunda, mematikan kompor. Ditatapnya sejenak putri bungsunya itu. "Bunda bosan hanya bisa tiduran saja di kamar. Pengen sekali-kali masak buat suami dan anak-anak bunda. Lagian tadi Irah juga bantuin bunda kok. Mema
"Halo, Maureen, kau sudah dimana?" suara serak Sonya terdengar di seberang telepon. "Sudah di Hotel Asoka, Bu," jawab gadis cantik yang menggunakan dress ketat merah menyala itu. "Bagus. Layani James dengan baik. Tadinya dia itu langganan tetapnya Bella. Tapi dengan keadaan muka si Bella yang babak belur itu, mana mungkin dia melayani tamu setajir dan seroyal Pranoto. Lagian, mau coba-coba lari dari Sonya. Sama saja bunuh diri," ujarnya pongah. Maureen hanya terdiam mendengar kepongahan sang ibu. Profesinya yang merupakan mucikari besar, dengan uang yang banyak, ia merasa begitu sangat berkuasa. "Dan kau … Ibu tekankan padamu juga. Kau jangan macam-macam. Walaupun kau anak ibu, tapi jika kau mencoba membangkang dariku. Atau, nasibmu tidak ada bedanya dengan tikus-tikus peliharaanku itu. Paham?) "Sangat paham, Bu." "Good, Sw