Dua hari setelah pertemuannya dengan Noah, Sun yang sudah memantapkan diri akhirnya memutuskan untuk pergi bersama Noah menuju sebuah tempat. Sun tidak tahu mereka akan pergi ke mana, tapi Noah sempat berkata jika mereka akan pergi menuju sebuah kota yang Noah tinggali. Mungkin bisa dibilang jika Sun akan dibawa ke rumah lelaki itu, dan semoga saja firasat buruk Sun yang merasa dirinya akan diserahkan kepada ketua kelompok orang-orang jahat seperti Noah itu tidak benar.
Saat ini belum diketahui pasti tujuan mereka. Hanya saja yang Sun tahu, dirinya dan Noah saat ini sudah berada di New Orleans, kota pelabuhan terbesar di Louisiana, salah satu negara bagian Amerika Serikat.
Seperti gambaran kota pada umumnya, tempat yang panas dan ramai oleh suara bising kendaraan bertenaga mesin membuat Sun yang selama ini tinggal di tempat asri bernama desa jadi agak terkejut. Tentunya, setelah menempuh perjalanan jauh, dihadapkan suasana yang jauh berbeda dengan suasana yang biasa ia temui membuat kepala Sun sedikit nyeri. Itulah alasan mengapa sejak tadi ia terlihat lesu dan hanya menyandarkan kepalanya ke kaca mobil.
Noah melirik ke arah Sun tanpa merespons, kendati dirinya tahu jika Sun pasti merasa tak nyaman dengan keadaan baru yang dirasakannya di kota besar seperti New Orleans.
“Kita akan segera sampai, kau bisa istirahat di Kediaman Melrose nantinya.” Ucapan Noah hanya seperti angin lalu bagi Sun yang benar-benar lemas setelah melalui perjalanan jauh. Bahkan dia sudah acuh tak acuh akan apa itu Kediaman Melrose yang terdengar seperti sebuah tempat bernaung yang besar.
Dari situ saja Noah sudah bisa menebak jika jarak terjauh yang pernah ditempuh Sun saat bepergian pasti saat gadis itu menuju sekolah saja.
Sun menghela napas lelah. “Di sini ramai sekali ...,” ujarnya yang terdengar seperti keluhan. Noah tak peduli, dia tak ingin membagi fokus dari perburuan lukisan indahnya di internet.
Sun melirik sedikit ke arah ponsel Noah, dia berkata, “Aku penasaran tentang apa yang membuatmu sibuk sejak tadi,” ujarnya.
Noah tidak menjawab. Dia langsung menunjukkan layar ponselnya pada Sun yang sepertinya ingin tahu apa yang sedang Noah lakukan. Begitu tahu apa yang dilakukan Noah, Sun merespons dengan, “Kau menyukai lukisan, ya?”
Noah yang merasa ditanyai pun menatap Sun sekilas. “Iya,” jawabnya kemudian dengan singkat.
“Aliran lukisan seperti apa yang kau suka?”
“Tidak spesifik.”
“Abstrak? Surealis?”
“Aku suka semua lukisan yang terlihat indah di mataku.” Jawaban tegas Noah seakan-akan dia sedang tidak mau diajak bicara oleh Sun. Hal itu membuat Sun jadi menelan kembali segala ucapan yang setidaknya bisa mencairkan suasana membosankan di mobil itu. Sun merasa sedikit sebal.
Mereka pun kembali hening, untuk beberapa saat sampai Sun kembali membuka suara. “Soal kau yang ingin menjadikanku wan—”
“Kita sudah sampai.”
Noah menyela ucapan Sun dengan cepat, bahkan dibuat tak bisa lagi dilanjutkan oleh Noah yang kini keluar dari mobil lebih dulu. Sun bukan orang yang akan mudah tersulut oleh emosi, jadi meski kesal, dia akan tetap bersikap tenang dan tersenyum untuk meredakannya.
Mungkin Noah memang lelaki yang jahat dan menyebalkan, tapi selagi dia tidak berlaku jahat pada Sun, Sun juga tidak akan bersikap jelek pada Noah. Itu adalah tata krama yang sudah diajarkan Anthony sejak Sun masih kecil.
Sun tiba di sebuah rumah yang sangat besar, saking besarnya sampai lebih tepat jika disebut istana.
“Ayo masuk,” ucap Noah membuyarkan fokus Sun yang semula terdiam mengagumi kemewahan hunian di hadapannya.
Sun mengangguk lalu mengikuti langkah Noah.
Benar-benar seperti istana. Sun melihat pintu ganda yang besar itu dijaga oleh dua lelaki berpakaian rapi dalam balutan tuksedo hitam dengan kacamata hitam dan sebuah alat komunikasi yang terpasang di telinga mereka. Dua lelaki itu terlihat seperti agen rahasia yang sedang menjalankan misi.
Lupakan tentang dua agen rahasia itu, Sun lebih tertarik membahas betapa indahnya hunian yang dimiliki Noah ini. Pada bagian samping rumah itu, ada kolam renang air biru yang bukan main luasnya. Melihatnya seperti melihat air laut yang hanya dipindahkan saja wadahnya. Halaman depan dipenuhi rerumputan hijau yang ditata dengan baik, seakan-akan alam dengan sengaja membangun istana itu untuk dihuni manusia.
Tentu saja, ini adalah kali pertama Sun melihatnya.
“Wah ...!” Hanya itu yang bisa Sun ucapkan kala ia memasuki rumah besar yang seingatnya bernama Kediaman Melrose itu. Dia seperti melihat aula ketika memasuki bagian depan kediaman itu. Lantainya dibangun dengan marmer kualitas terbaik, lampu gantung yang besar dan tampak mewah serta sebuah air mancur buatan yang ada di tengah-tengah ruangan utama itu.
“Kau tinggal di sini?” tanya Sun begitu saja.
“Tidak.”
“Lalu kenapa kau membawaku ke sini?”
“Kau akan tinggal di sini.” Noah berjalan lagi menuju salah satu tangga, disusul Sun yang segera mengimbangi langkahnya. Ketika tiba di lantai dua, sebuah suara menghentikan langkah Noah.
“Noah!” Panggilan itu berasal dari seorang wanita berpakaian gaun khas era Victoria berwarna biru. Dia bersama temannya yang berpenampilan sama, bergegas menghampiri Noah.
“Kau kembali,” tuturnya dengan senyum merekah. Noah hanya berdiri tanpa mau menjawab. “Aku dengar kau tiba-tiba saja melakukan perjalanan menuju Vermont, apa Bos memberimu misi di sana?”
“Tidak.”
“Ah, kalau begitu ... kau melakukan perjalanan pribadi?” Wanita lainnya bertanya. Noah membenarkan dengan gumaman. Wanita itu bertanya lagi sembari melirik keberadaan Sun di samping Noah. “Lalu siapa gadis ini? Apa kau pergi ke Vermont untuk mencari budak bar—”
“Alexa, Jessie, aku ingin kalian membawanya ke kamar untuk wanitaku.”
Penuturan Noah membuat kedua wanita bernama Alexa dan Jessie itu mendadak bungkam dengan mulut sedikit menganga. Raut terkejut tak mampu disembunyikan mereka kala mendengar apa yang Noah katakan.
“No-Noah, maksudmu gadis ini ....”
“Dia wanitaku.”
Seharusnya Sun tidak lagi merasa terkejut kala mendengar perkataan semacam ini keluar dari mulut Noah. Hanya saja ... hal yang tak dimengertinya adalah, mengapa kedua wanita itu tampak begitu terkejut ketika mengetahui kalau Noah memiliki wanita?
Apa kedua wanita itu menyukai Noah? Atau yang lebih parah ... kedua wanita itu juga wanita milik Noah? Dalam arti lain ... Sun dibawa untuk dijadikan istri Noah yang ke sekian?
“Aku harus pergi.” Setelah memastikan Sun memiliki orang di sisinya, Noah bergegas pergi untuk melaksanakan urusannya. Dia hanya berkata seperti itu, tanpa berpamitan kepada Sun dan membuat kedatangannya ke sini hanya untuk menitipkan Sun saja.
Apa Noah akan kembali lagi ke kediaman ini? Itulah hal yang menjadi tanya di benak Sun saat ini.
***
Noah memasuki ruangan luas yang berpusat pada sebuah meja bundar yang besar. Meja yang kini dipenuhi lima orang dan menjadi lengkap penghuni bangkunya kala Noah bergabung dalam kelompok itu.
Tatapannya menjurus ke depan, seperti biasanya. Sikapnya yang tenang membuat empat orang yang ada di sana menahan kesal, sementara satu orang yang duduk lurus berseberangan dengannya tampak tersenyum.
Noah memang seperti itu, dan sepertinya tidak bisa dirubah lagi, mungkin sekiranya begitu tatapannya pada Noah jika diungkapkan dengan kalimat.
“Perjalananmu menyenangkan, Noah?” Lelaki yang barusan bertanya adalah William Odolff, pemimpin dari organisasi bawah tanah yang terkenal sedaratan New Orleans, Little Boy.
Noah menatapnya dan berkata, “Aku dapat koleksi baru, dan itu menyenangkan.”
Jawaban santai dari Noah memicu tanggapan sinis dari wanita berambut hitam panjang dengan poni pagar di sudut lain meja pertemuan itu. “Menyenangkan sekali sampai tidak bisa menghentikan hasrat berbuat seenaknya milikmu, ya?”
Namanya adalah Eve. Perempuan berusia 22 tahun yang menjadi satu-satunya eksekutif wanita di Little Boy. Eve memiliki saudara kembar bernama Adam, mereka kembar namun tak seiras. Eve dan Adam adalah anggota eksekutif yang bekerja mengumpulkan informasi tentang musuh ataupun hal lain yang berkaitan dengan pergerakan Little Boy. Jika Eve mencari informasi melalui internet dan meretas, maka Adam mencari informasi dengan turun langsung ke lapangan.
Seperti yang disebutkan, mereka kembar namun tak seiras. Tak hanya jenis kelamin yang berbeda, sifat mereka pun berbeda. Eve lebih aktif berbicara, pintar dan memiliki kemampuan merangkai kata yang tepat sehingga sindir-menyindir anggota bukanlah hal yang baru baginya. Sedangkan Adam lebih pendiam, dia terkesan tak peduli dengan lingkungan namun sebenarnya ia pengamat yang baik.
Meski diam saja, namun Adam tak sedikit pun mengalihkan matanya dari Noah. Dia mengamati ekspresi lelaki yang empat tahun lebih tua darinya itu, menebak jika diamnya Noah karena dia sudah tahu jika Eve akan menyindirinya seperti itu. Bahkan sebelum Noah tahu jika ada pertemuan lima eksekutif dan pemimpin Little Boy siang ini, Noah mungkin saja sudah menebak jika kalimat seperti itu pasti akan dilontarkan padanya entah kapan dan oleh siapa.
Noah bergeming, memberi kesempatan untuk keempat eksekutif lain menyuarakan kekesalan mereka atas apa yang telah dia lakukan.
“Ah, karena sifat berbuat seenaknya milikmu, Little Boy akan memiliki masalah ke depannya,” timpal lelaki berambut sebahu dan berewok cukup tebal, Draven Missegrand. Dia dikenal sebagai eksekutif yang memegang urusan persenjataan Little Boy, sekaligus dikenal sebagai mata keranjang yang memiliki banyak wanita.
Noah menatap mata Draven, tanpa bicara dan meninggalkan kesan tak suka. Mungkin hanya Draven saja yang merasa demikian, karenanya dia langsung membuang muka sekilas sebelum kembali menatap Noah lebih tajam. “Jangan memberiku tatapan seperti itu, Noah. Kau membuatku ingin menusuk kedua matamu itu.”
“Hentikan, Draven. Tuan William masih berada di sini, jaga sikapmu!” Hubungan kelima eksekutif Little Boy memang tak sebagus kebanyakan tim. Tapi meski begitu, di sana ada seorang lelaki bernama Tobias, eksekutif pertama yang diangkat oleh William dan selalu menjadi penengah keributan yang terjadi dalam lingkup para eksekutif.
Tobias memiliki emosi yang stabil, karena itu dia selalu hati-hati dalam mengambil langkah dan tidak bertindak gegabah karena emosi. Dia memiliki perawakan tinggi, tubuhnya menjulang 190 cm dengan kulit cokelat eksotis. Tatapannya teduh, tampak bukan seperti penjahat ditambah kumis dan berewok tipis yang membuat kesan lelaki dewasa miliknya makin terasa. Tobias adalah perokok akut, dia menyukai rokok dan hampir setiap saat menyesap benda berbahan dasar tar dan nikotin itu.
Jika lima eksekutif memiliki pemimpin, maka Tobias lah yang paling pantas dari segi usia dan kestabilan emosinya. Dia yang memiliki wibawa, pastinya dengan mudah membuat orang disekitarnya mematuhi ucapannya.
Draven mendengus sebal, kemudian membenahi duduknya selagi menghela napas. William hanya tertawa kecil, Draven pasti berusaha keras menahan kesalnya mengingat lelaki dengan berewok tebal itu adalah yang paling tidak bisa akur dengan Noah.
“Baiklah, Noah ...,” William kembali berkata, “kau tahu mengapa aku mengadakan pertemuan mendadak ini, kan?”
Noah mengalihkan pandangannya, menatap sesuatu yang ada di lantai, entah apa itu. “Aku tahu,” jawabnya acuh tak acuh.
“Kau pergi tanpa mengabari, aku membiarkannya karena kau pergi untuk mengurus urusan pribadimu. Tapi aku tidak ingin kau membuat keributan dengan kelompok lain, Noah ....”
“Adam ...,” sebut Tobias, memberi kode pada Adam untuk melaksanakan tugasnya.
Adam segera berkata. “Lewis Guerda Pearson dari Heatens dan Patrick Carter dari Luciano. Mereka adalah dua orang yang dibunuh oleh Noah dua hari lalu di Woodstock, Vermont.”
“Woah, Noah ... julukan Little Boy’s Devil memang cocok untukmu. Kau tidak ragu membahayakan nyawa orang lain, bahkan organisasi yang telah menjadi rumahmu sendiri.” Draven kembali menyindir, didukung Eve yang tersenyum sinis.
William menautkan jemarinya di depan hidung, wajahnya tampak serius. “Luciano adalah organisasi gangster kecil di Baton Rouge, ibu kota Louisiana. Sedangkan Heatens adalah organisasi mafia yang cukup terkenal di wilayah yang sama,” ujarnya dengan penuh pertimbangan.
Eve menimpali, “Organisasi mereka tidaklah sekuat ataupun sebesar Little Boy, Tuan. Anda tidak perlu mencemaskannya.”
“Tidak.” Tentu saja itu berasal dari anggota yang paling hati-hati dalam mengambil dan mempertimbangkan keputusan, Tobias. “Meski tidak sebesar Little Boy, jika dua organisasi itu menyerang secara bersamaan, kita bisa repot. Noah telah membunuh satu orang dari dua organisasi itu, tentu saja ini akan dianggap sebagai bendera perang karena Noah mengacaukan tugas yang diberikan langsung oleh kedua ketua organisasi untuk dilakukan orang-orangnya pada hari itu.”
“Kau dengar, Noah? Betapa sifat egoismu itu sangat menyebalkan dan merugikan kami?” Draven kembali berkata. Dia sepertinya tak ingin lagi mengerem kata-katanya.
Noah pun agaknya lelah terus-terusan diam. Dia buka suara dengan satu kalimat singkat pembuka. “Aku akan mengatasinya.” Ketimbang meminta maaf, Noah memilih untuk memberikan kalimat itu sebagai jaminan. Hal itu membuat Draven dan Eve makin tajam menatapnya.
Noah melanjutkan, “Aku membunuh mereka atas keinginanku dan aku sadar akan hal itu. Gadis itu adalah urusanku, jadi jangan berisik dan biarkan aku mengurusnya.”
“Kau masih saja menyimpan sikap tak sopanmu itu, Noah Bellion!?” Draven tak tahan. Lelaki yang selalu membiarkan dua kancing atas kemejanya terbuka itu dengan bergegas bangun dan menarik kerah kemeja Noah.
Sementara Noah masih bersikap tenang, tak terganggu kendati dia tahu benar dua mata Draven jelas menggambarkan kebencian. Bahkan dengan berani, Noah membalas tatapan itu. Hal itulah yang membuat Draven makin ingin mengakhiri masa hidup Noah Bellion saat ini juga.
“Draven, kembali ke kursimu.” Perintah Tobias tak langsung Draven patuhi, jelas sekali dia sangat marah akan perkataan dan semua tindak-tanduk Noah.
“Draven ....” Ketika William sudah bersuara pelan, barulah Draven si tempramental melepas cengkeramannya dengan kasar.
“Jika Little Boy sampai berada dalam keadaan yang membahayakan, aku pasti akan langsung membunuh gadis itu,” ancam Draven sebelum ia kembali ke tempat duduknya.
Noah memutuskan untuk pergi. Tanpa berpamitan atau mengucap satu patah kata. Noah Bellion memang selalu seperti itu. Dia minim akan rasa solidaritas kendati rekan-rekannya menjunjung tinggi nama Little Boy di atas segalanya, dia juga tak punya rasa hormat pada atasan dan suka berbuat seenaknya.
Tapi selama ia tak mengkhianati Little Boy, William akan membiarkannya berbuat seenaknya. Sebab William mengenal Noah dengan baik, William tahu jika Noah bisa menjadi kuda hitam dengan kemampuan yang ia miliki.
Noah tidak bodoh ataupun berpura-pura bodoh. Dia tahu jika yang dia lakukan akan berimbas pada organisasinya.
Cepat atau lambat, dua organisasi musuh akan bergerak. Mungkin akan mengincar Little Boy selaku organisasinya, dan mungkin juga akan mengincar Sun sebagai hal yang diperebutkan Noah, Heatens dan Luciano sejak awal. Tapi selagi itu menyangkut apa yang dia miliki, Noah akan selalu siap bertarung bahkan jika itu harus dengan anggota organisasinya sendiri.
Noah tidak suka jika ada yang mengusik kepunyaannya.
-Bersambung-
Gelas kaca itu pecah. Suaranya nyaring memecah hening, meruntuhkan nyali tiga kepala yang tertunduk menahan takut. Tak ada yang berani mengangkat kepala, bahkan mata melirik untuk melihat tuannya saja tak kuasa.Berita kematian satu anggota Luciano membuat lelaki berdarah Italia itu geram bukan kepalang.Luciano adalah sekelompok gangster yang terbilang baru dan bergerak di kota Baton Rouge, ibu kota Louisiana. Dapat ditebak dari namanya, Luciano dipimpin oleh seseorang yang berdarah Italia bernama Marino De Luca.Luciano tak beda halnya dengan organisasi-organisasi dunia bawah di Italia. Mereka menjunjung tinggi solidaritas antar anggota dan dengan berita kematian ini, tentu saja itu membuat sang pemimpin merasa amat geram.“Patrick ...,” ujar Marino dengan lirih. Matanya melukiskan amarah, namun di sana juga ada kesedihan. “Dia anggotaku yang setia. Dia tidak seharusnya mati!”Kemarahan memuncak, Marino kembali membanting benda yang ada di hadapannya.
“Baiklah ....” Atensi Sun teralihkan, dia menoleh menuju Alexa dan Jessie yang tampak lekat mengamati penampilannya dari atas ke bawah. Tentu saja di benak mereka masih ada rasa terkejut dan tak percaya, gadis yang terlihat polos dan lugu di hadapan mereka ini adalah wanita dari lelaki yang merupakan incaran banyak kaum hawa di luar sana.“Tolong beri tahu kami, siapa namamu?” tanya Alexa.“Sun Flurry McRay.” Sun memperkenalkan dirinya dengan seadanya. Jika ditanya nama, maka dia akan menjawab dengan sopan. Namun, agaknya itu merupakan masalah bagi Alexa dan Jessie yang tampak langsung memicingkan mata, terusik.“Kau tidak akan bisa bertahan di sini jika caramu memperkenalkan diri seperti itu, Nona McRay.”“Apa aku kurang sopan?”“Sudah sopan, tapi kurang diiringi gerakan.” Penuturan Jessie membuat Sun mengerutkan kening, tak mengerti. “Kau lihat penampilan kami? Ini bukan hanya sekadar penampilan, namun kami membawa tata perilaku yang sepadan dengan ke
Hari berganti hari, tanpa sadar dia sudah genap melewati tujuh fajar dan tujuh senja di tempatnya menetap saat ini. Seminggu berlalu, Sun disibukkan dengan mempelajari Kediaman Melrose dan peraturan-peraturannya. Memang hal baru yang tak biasa ia lakukan. Sun belajar tentang cara bersikap sopan dan anggun ala wanita kerajaan kendati dirinya berasal dari desa yang cukup terpencil. Sun tidak tahu apa maksudnya. Alexa tidak pernah mengatakan jika peraturan yang dilakukannya adalah lampu hijau untuk bisa menuju ke pelaminan bersama lelaki Little Boy kesayangannya, tapi mematuhi peraturan Kediaman Melrose adalah cara yang sangat membantu untuknya bertahan di sisi lelakinya. Sun hanya melakukannya begitu saja meski tak jelas akan jadi apa dia di tempat ini. Seperti pagi yang sudah-sudah, Sun akan menikmati paginya dengan minum teh dan berbincang bersama wanita-wanita yang ada di sana. “Selamat pagi, Sun!” Sun mulai terbiasa dengan suasana yang ada d
“Apa kau sadar dengan apa yang kau tanyakan barusan, Sun?”Sun menatap resah, khawatir ucapannya akan membuat Emma marah dan merasa tersinggung. “Maaf, Nona. Aku tidak seharusnya bertanya seperti itu,” ujarnya dengan panik dan berharap Emma tidak terlanjur salah paham akan ucapannya. Tapi kecemasan Sun tak berarti saat tiba-tiba saja Emma tertawa.“Hahaha ...!”Suara tawa itu membuat Sun memasang wajah bingung. Bukan hanya ekspresi belaka, dia benar-benar bingung saat ini.Emma, selaku dalang dari suara tawa yang lepas itu pun berkata, “Tentu saja aku sangat senang, Sun!” Butuh waktu beberapa detik sampai Emma benar-benar berhenti tertawa. Sun tidak tahu di mana letak lucunya sampai gadis yang berusia tak jauh darinya itu tertawa terpingkal seperti ini.Setelah Emma selesai tertawa, dia diam sejenak. Emma mengambil napas lalu mengembuskannya dengan cepat. “Bukankah menyenangkan rasanya kalau punya banyak uang?” tanya gadis itu pada Sun yang terdiam tak
Sun dan Emma melanjutkan kegiatan jalan-jalan mereka di hari yang cerah.Hari yang cerah membawa kebahagiaan bagi semua orang. Jalanan French Quarter sangat ramai pagi ini. Banyak orang melewati jalanan yang juga dilewati Sun dan Emma. Entah mengapa melihat kesibukan lautan manusia itu menjadi hiburan tersendiri bagi Sun dan Emma.“Sun, kau harus melihat ini!” Sun belum selesai menikmati satu hal, dan Emma dengan sangat bersemangatnya mengajak Sun untuk melihat hal lain. Ketimbang Sun yang seorang pendatang baru di New Orlean, Emma yang menjadikan kota pelabuhan itu sebagai tempat kelahirannya malah terlihat lebih bersemangat menelusuri pusat hiburan di kota itu.Emma mengajak Sun untuk mengunjungi jalanan yang terkenal dengan deretan toko-toko yang menjual banyak hal. Tentu saja, karena French Quarter adalah jantung hiburannya New Orleans dan tentu saja tempat itu adalah tempat yang banyak didatangi wisatawan asing luar ataupun dalam
Noah terdiam lama, bibirnya rapat mengatup seakan ada yang merekatkannya. Memang ada, dan itu adalah ucapan Sun yang barusan dilontarkan kepadanya. Gadis dengan surai pirang emasnya itu masih lekat menatap Noah, pun dengan Noah yang melakukan hal serupa. Keduanya bahkan mungkin tak menyadari jika banyak detik berlalu hanya untuk melakukan kontak mata yang tidak tahu apa maksudnya. Sun menjadi yang paling pertama menyadarinya. Dia tidak tahu mengapa ia dan Noah saling beradu pandang untuk waktu yang lama. Setelah ucapannya, Noah tak lagi mau berkata. Dia tahu jika Noah sangat irit bicara, tapi tidak bisakah dia membuka sedikit saja mulutnya untuk merespons ucapan Sun? Atau hanya berikan Sun gumaman saja agar apa yang baru saja dikatakan gadis itu tak terdengar seperti sesuatu yang aneh sampai tidak perlu diberikan respons. Sun jadi merasa sangat malu dan canggung. Tapi itu tak berlangsung lama kala ia mulai berpikir, Noah mungkin saja terdiam karena se
Sekarang sudah malam. Tidak terasa Sun menghabiskan satu harinya bersama Noah. Ini benar-benar tidak pernah ia duga sebelumnya. Saat ini mereka berada di sebuah restoran, tentunya untuk menikmati makan malam setelah seharian hanya berjalan-jalan dan makan pun dari jajanan. Sun harus tetap mengisi tubuhnya dengan nutrisi yang benar, terlalu banyak makan jajanan tidak akan baik untuknya. Itu yang Noah katakan. “Pesan sekarang,” ujar Noah ketika buku menu diberikan kepada mereka. Sun tersenyum senang lalu melihat-lihat menu makanan. Astaga ... hatinya bersuara. Makanan di sana terlihat sangat enak, Sun tidak bisa memilih karena dia menginginkan semuanya. Padahal dia sudah makan banyak jajanan, tapi ketika melihat buku menu di tempat itu, cacing-cacing di perutnya bergejolak hebat seakan dia belum makan dua hari. Sun menggigit bibir bawahnya. Kalau di Melrose, dia pasti tidak diizinkan makan lebih dari tiga menu utama menurut atura
Eliot Redwood. Nama itu amatlah membekas dalam kurun waktu lima tahun terakhir dalam benak Noah. Jika bertanya apakah Noah mengenalnya, tentu saja jawabannya adalah: sangat.Jauh sebelum hari ini, Noah dan Eliot terikat oleh hubungan yang baik dan manis. Kakak dan adik laki-laki? Begitu orang-orang menyebutnya. Kendati tak ada yang menghubungkan keduanya secara sah, dan hubungan itu hanya sebatas sebutan. Tidak disangka, itu menjadi hal yang bisa Noah anggap nyata setelah sekian lama menutup diri dari dunia.Noah menyukai Eliot, dia adik kecil yang manis dan terkadang manja. Eliot pun menyukai Noah, kakak yang dingin namun selalu terlihat keren di matanya. Semua itu indah ketika mereka masih anak-anak, ya ... dunia yang hanya diisi kesenangan itu bukanlah dunia yang akan selamanya mereka tinggali.Ketika beranjak dewasa, pikiran mulai bergerak dan logika mulai melakukan fungsinya. Bagaimana ...? Bagaimana bisa itu terjadi?Bagaimana bisa orang lain itu me
Sun kehilangan alas kaki entah di langkah ke berapa dalam perjalanannya untuk sampai ke tempat ini.Ia berhenti untuk sejenak mengambil napas, sembari mengedarkan pandangan dan berharap dia bisa bertemu dengan Noah.Jika laki-laki bermata abu-abu dengan rambut coklatnya itu benar-benar Noah, maka seharusnya dia tidak perlu melakukan permainan kejar-kejaran seperti ini, kan? Kenapa dia tidak langsung menemui Sun saja?Kenapa dia harus membuat Sun sampai berlari sejauh ini ke pusat desa hanya untuk menemukannya di antara banyaknya manusia?"Noah ...."Sun mengedarkan pandangannya seperti orang linglung, dia berusaha mengidentifikasi setiap wajah dan menyamakannya dengan bayangan sosok yang ada dalam ingatannya.Rambut coklat dan tubuh tinggi kurusnya, dia berjalan tegak dan dia terlihat paling bersinar dari siapa saja yang ada. Seharusnya mudah menemukan Noah di tempat ini, tapi kenapa Sun tidak bisa melakukannya? Apa karena Noah memang tidak ada?Apa Shawn salah lihat? Apakah Sun hanya
Sun tidak tahu sudah berapa lama dia terduduk di bawah pohon rindang itu; dia merenung dan mengingat kembali tentang apa saja yang terjadi yang sempat ia lupakan karena insiden malam itu.Tapi yang ada, dia malah merasa menyesal dan kesal pada dirinya sendiri yang sempat hampir melupakan siapa itu Noah Bellion. Nyatanya, lelaki itu adalah orang yang membuat Sun tidak bisa hidup sedetik saja tanpa dirinya."Dasar bodoh ... bagaimana bisa kau melakukan ini pada Noah?" ujar Sun, memarahi dirinya sendiri dalam penyesalan. Ia menghapus air matanya, tapi itu tetap tidak membuat Noah muncul di hadapannya.Sun kembali bersandar dan menangis. "Kau di mana Noah ...? Kau tidak mau kembali?" ujarnya, "kenapa tidak mau kembali? Aku tidak akan marah karena kau telah berbohong. Nyonya Ash bilang kalau Eliot sudah mati, tapi kenapa kau masih tidak kembali ...?"Sun menundukkan kepala, menutup wajahnya yang pasti terlihat sangat jelek karena menangis tersedu-sedu.Saat ini dia sangat takut untuk berpr
[2 BULAN KEMUDIAN]"Nona Fleurry! Nona ...!"Seorang gadis dengan rambut pirang keemasan menoleh segera ketika seseorang memanggil namanya. Rambut panjang bergelombang milik wanita itu tersapu oleh angin ladang yang bertiup sepoi-sepoi, menjadikannya bak kain tergantung yang menari dengan cantiknya."Selamat pagi Paman, ada apa?" tanya gadis itu, tersenyum ramah dengan cantiknya."Kabar baik untukmu, Nona; lima domba kita berhasil melahirkan hari ini!""Oh, benarkah? Ada berapa anak domba yang lahir?""Ada 17 anak domba, Nona! Dan mereka semua sehat!"Senyum Sun Fleurry McRay tak bisa ia tahan ketika mendengar kabar bahagia di hari yang cerah ini. Ibu domba yang ada di peternakannya berhasil melahirkan bayi domba yang sehat; mereka pasti akan jadi anak domba yang lucu dan gemuk-sehingga membuat Sun tidak sabar untuk melihatnya."Apa kau akan melihatnya sekarang, Nona?" tawaran itu jelas tidak Sun tolak; gadis itu mengangguk lalu bergegas pergi dari tengah ladang bunga matahari yang su
Seorang perawat wanita memasuki kamar rawat Sun Fleurry McRay untuk melakukan pengecekan rutin; dia memeriksa setiap aspek perawatan Sun untuk memantau perkembangan sekaligus melakukan apa yang perlu ditindak lanjut.Tak lupa ia mencatatnya di kertas yang ia bawa, tapi tiba-tiba ...JDERRR!"Ah!" Suara petir yang menggelegar membuatnya terkejut dan tak sengaja menjatuhkan pena miliknya. "Astaga, membuatku kaget saja," ujarnya, lalu memungut pena.Ia melihat ke luar dinding kaca di kamar itu; memperlihatkan langit malam yang gelap tertutup awan mendung. Sudah begitu, terdengar petir beberapa kali dan menandakan sebentar lagi akan turun hujan besar."Apa akan ada badai?" tanyanya, menatap pemandangan langit dengan raut cemas. Tapi dia tidak punya waktu untuk itu, sehingga segera ia tutup tirai ruangan itu dan melanjutkan pekerjaannya. Ia selesai mencatat perkembangan, tapi perhatiannya sejenak jatuh pada Sun yang masih terpejam dengan alat rumah sakit mengitarinya-berusaha mempertahanka
Eliot terdiam, memperhatikan Noah yang berusaha berdiri tegak di atas sana. Tatapannya tajam, Eliot bisa merasakan itu; tapi tiba-tiba Noah tersenyum tipis dan berkata, "Atau jika kau ingin sekali bertemu dengan Joanne? Aku akan dengan senang hati mengantar?"Eliot tertawa; meski ia kesal luar biasa. Noah masih menantangnya dengan angkuh padahal lelaki itu terlihat akan mati sebentar lagi.Sebagian wajahnya ditutupi darahnya sendiri, kemeja putihnya lusuh dan ada banyak noda darah; pakaiannya compang-camping memperlihatkan sebanyak apa luka yang dia dapatkan. Dan yang lebih seru adalah ... tangannya yang erat memegang pistol rusak itu, sepertinya patah.Noah melihat ke arah pandang Eliot, dan ya-dia juga sadar apa yang terjadi pada tangan kanannya saat ini. Ia melempar pistolnya yang sudah rusak karena tertimpa reruntuhan, lalu kembali menatap Eliot dan berkata, "Ayo selesaikan ini ...."Eliot menahan tawa, sembari membuka telapak tangannya menghadap Noah; ia bermaksud menolak. "Kau y
"Akh!"Noah tersungkur, tapi rentetan peluru tak berhenti sehingga ia terpaksa merangkak dengan rasa sakitnya menuju ke tempat yang bisa melindunginya.Ia menarik kekinya yang seakan mati rasa untuk sejenak, dan menyadari peluru Eliot berhasil menyayat pergelangan kakinya lumayan dalam."Sial!" ujarnya, mengernyitkan kening tajam sembari merobek sebagian celananya untuk menghentikan pendarahan. Perjalanan masih jauh, dia tidak boleh lemas karena kehabisan darah untuk luka kecil seperti ini.Sementara dirinya sudah lusuh dan berdarah, Eliot masih berdiri di tempatnya seolah tak tersentuh. Jika saja Eliot hanya membawa satu pistol, pasti Noah bisa mengimbangi permainannya. Tapi bahkan dia memiliki pistol lain setelah dua pistolnya kehabisan amunisi.Noah berusaha mengatur napas sembari mendengarkan Eliot."Kau tahu, setelan yang aku pakai malam ini adalah hadiah dari kekasihku. Dia memberiku benda ini sebagai hadiah. Aku tidak suka, aku sempat membuangnya. Tapi kemudian aku ingat; kalau
Noah berjalan menyusuri tangga beton dalam bangunan tua yang mangkrak pembangunannya. Dengan langkah lesu dan raut biru, ia tidak menengadahkan wajah dan terus memperhatikan langkahnya sampai ia tiba ti tempat tujuan.Hari ini sesuai dengan perkataannya; dia akan datang menemui Eliot di mana pun lelaki itu berada. Ini tidak seperti pertemuan yang direncanakan untuk melepas rindu satu sama lain, mereka datang untuk tujuan masing-masing; membunuh satu sama lain.Tentu saja perasaan Noah tidak akan baik-baik saja. Dia meminta izin pada ibu kandung Eliot untuk membunuh anaknya, bukankah ini tragis? Ibu mana yang tidak akan terluka saat buah hatinya berada di ambang bahaya, tapi dia tidak bisa melakukan apa-apa?"Oh, kau sudah datang, Noah ...?"Tatapan mata Noah terarah lurus ke depan; menuju tempat Eliot yang berdiri memunggunginya sembari merokok santai bersandar pada pilar tak bertembok. Dari lantai empat, angin semakin kencang bertiup; malam juga tidak terlihat cerah. Hal itu membuat
Sebuah pemakaman keluarga yang sepi, seorang lelaki datang sembari menenteng buket bunga dengan langkah yang lamban.Ketika ia tiba di depan sebuah nisan bertuliskan nama William Odolf, lantas ia meletakkan buket bunga itu dan membuka kaleng bir untuknya.Noah Bellion duduk di depan nisan, ia meminum bir kalengan yang dibawa sembari menatap dingin nisan William di hadapannya. Meski ia tampak dingin dan tak memiliki simpati, tapi jika dilihat saksama, terdapat guratan sendu di mata dinginnya yang tertunduk lesu.Noah terdengar beberapa kali menghela napas, rasanya masih belum bisa dipercaya jika William sudah tiada. Semua terjadi begitu cepat dan kacau luar biasa; bahkan Noah tak memiliki waktu untuk berbelasungkawa atas kematian ayah angkatnya ketika kekacauan lain datang dan hampir merenggut sang kekasih darinya.“Kacau sekali,” ujarnya, bermonolog, “mungkin aku tidak akan pernah hidup dengan tenang; aku sudah terlahir untuk hidup di dunia yang kacau.”Noah memikirkan kembali masa la
Sudah lebih dari seminggu lamanya Sun terbaring di ranjang rumah sakit, dan selama itu pula Noah tidak pernah absen sehari saja untuk mengunjunginya.Setelah kecelakaan itu, Sun mengalami luka yang sangat parah. Benturan di kepalanya mengakibatkan trauma yang belum bisa dideteksi oleh medis, dan beberapa tulangnya mengalami patah. Mereka bilang; Sun bisa melewati masa kritis saja merupakan suatu hal yang mengejutkan. Sebab dengan luka separah itu, jika dia mati maka bukanlah hal yang mustahil.Mereka bisa mengatakannya, maka Noah hanya akan bersyukur dan berterima kasih pada Tuhan yang selama ini tak ia percaya. Noah setelah sekian lama, akhirnya kembali berdoa pada Tuhan yang lama tak dia gaungkan namanya, bahkan untung-untungan dia masih ingat nama Tuhannya. Tapi doa Noah kali ini dikabulkan; Sun berhasil melewati masa kritis. Namun, itu bukan berarti dirinya sudah bertemu jalan yang mulus.Mengingat dia memiliki trauma pada syaraf kepalanya dan medis belum bisa mendeteksi sebelum ef