Noah terdiam lama, bibirnya rapat mengatup seakan ada yang merekatkannya. Memang ada, dan itu adalah ucapan Sun yang barusan dilontarkan kepadanya.
Gadis dengan surai pirang emasnya itu masih lekat menatap Noah, pun dengan Noah yang melakukan hal serupa. Keduanya bahkan mungkin tak menyadari jika banyak detik berlalu hanya untuk melakukan kontak mata yang tidak tahu apa maksudnya.
Sun menjadi yang paling pertama menyadarinya. Dia tidak tahu mengapa ia dan Noah saling beradu pandang untuk waktu yang lama. Setelah ucapannya, Noah tak lagi mau berkata.
Dia tahu jika Noah sangat irit bicara, tapi tidak bisakah dia membuka sedikit saja mulutnya untuk merespons ucapan Sun? Atau hanya berikan Sun gumaman saja agar apa yang baru saja dikatakan gadis itu tak terdengar seperti sesuatu yang aneh sampai tidak perlu diberikan respons. Sun jadi merasa sangat malu dan canggung.
Tapi itu tak berlangsung lama kala ia mulai berpikir, Noah mungkin saja terdiam karena sedang memikirkan hal lain yang sebenarnya tidak menjadi tujuan Sun berkata demikian. “No-Noah, kau tidak berpikir yang aneh, kan?” tanya Sun pada akhirnya.
Noah menjawab dengan raut sedatar benang yang tertarik lurus. “Memang apa yang seharusnya aku pikirkan?”
Ditambah dengan pertanyaan berbalik yang seperti itu, Sun jadi makin malu untuk menatap Noah. Jelas saja lelaki itu tidak akan memikirkan apa yang Sun pikirkan. Memangnya siapa itu Noah Bellion? Dia hanya lelaki berwajah dingin yang mungkin tidak memiliki setitik pun emosi dalam hatinya.
“Aku hanya tidak mau saja kau berpikir kalau aku menyukaimu karena ucapanku tadi.” Sun membalasnya dengan tegas, menahan malu dan menutupinya dengan berpura-pura tidak masalah dengan ucapan Noah. Ya ... dia benar-benar tidak mau membuat Noah berpikir kalau dia menyukai lelaki itu.
Noah melirik ke arah lain, Sun langsung memandangnya dan berusaha menebak apa yang akan lelaki itu katakan selanjutnya dengan membaca ekspresi wajahnya. Tapi sayang sekali, ekspresi Noah selalu tidak terbaca karena hampir tidak ada emosi di dalamnya. Dia benar-benar lelaki yang misterius!
Benar saja, Sun tidak bisa menebak isi pikiran Noah maupun dengan apa yang akan dilakukan lelaki itu. Noah memutar balik dan mulai berjalan meninggalkan Sun, bahkan tanpa sepatah kata sekadar ‘ayo’ untuk mengajak Sun berjalan bersamanya.
Sun melangkah, menyusul Noah. “Aku ingin menanyakan beberapa hal padamu,” ujar Sun disela langkahnya.
Noah tampak tak acuh dengan menjawab, “Aku tidak punya banyak waktu.” Dia melanjutkan langkah jenjangnya dengan dingin, Sun mengerutkan bibirnya tapi tak berhenti menyejajarkan langkah miliknya dan Noah.
“Sebenarnya, apa kegunaanku di sini?” Pertanyaan Sun mungkin saja tak bisa membuat Noah berhenti melangkah, tapi itu sanggup membuat lelaki berambut coklat itu kehilangan fokusnya.
Dia bertanya, “Kenapa bertanya seperti itu?” pada Sun.
“Kau tidak terihat menyukaiku, juga ... bukannya aku ini adalah harga tebusan yang ayahku bayarkan padamu? Kata mereka, seharusnya gadis sepertiku berakhir dijual ke dunia malam atau diperbudak. Tapi kau tidak melakukannya padaku.”
“Kau sangat ingin mendengarnya?” Noah memberi Sun pertanyaan, yang tak mampu gadis itu cerna dengan baik. Dia terlihat bingung, itu membuatnya menyendat langkah dan berhenti.
“Maksudmu?” tanya Sun, tak mengerti.
Noah berhenti melangkah. Dia berbalik arah dan menatap Sun dari jarak tujuh langkah. “Kau sangat ingin mendengarku mengatakan kalau aku menyukaimu?”
Sun membisu, netra birunya membulat lebar kala ia mendengar ucapan Noah. Tidak ... itu tidak berbahaya, seharusnya. Tapi Sun sama seperti gadis lainnya, yang bisa merasa sangat gugup hanya dengan pertanyaan yang mungkin saja tidak diniati oleh pelontarnya.
Oke ... tidak masalah. Sun hanya perlu bersikap tenang dan semua akan baik-baik saja.
“Ha? Aku tidak mengatakan itu!”
“Kau memang tidak mengatakannya, tapi terus menyinggungnya dengan halus.”
“Jangan salah paham, Noah. Aku—”
“Kau milikku, Sun.” Sun hendak meluruskan kesalahpahaman yang mungkin terjadi. Tapi saat kakinya akan melangkah, itu dihentikan lagi dengan ucapan singkat dari Noah. “Aku ingin kau ada di sampingku dan patuhi itu, karena kau milikku.”
“A-apa itu sebuah perintah.”
“Iya.”
Noah melanjutkan langkahnya, disusul Sun yang kini sejajar dengannya. Gadis itu berkata, “Kalau begitu, aku akan membayar utang yang ayahku miliki padamu.” Noah mengalihkan matanya, menatap Sun yang tampak amat yakin dengan apa yang dia katakan.
“Kenapa?” tanya Noah.
Sun membalas tatapan lelaki itu, kemudian dia tersenyum lebar. “Karena aku tidak suka diperintah oleh orang jahat sepertimu,” selorohnya, tapi mampu hentikan waktu yang Noah punya.
Sejak awal Noah Bellion mengerti dengan sangat, bahwa sosok Sun Fleurry McRay memanglah indah dan sulit untuk ditampik. Itu mengingatkannya pada tiga tahun lalu, saat dia pertama kali melihat Sun di sebuah ladang bunga berwarna kuning.
Sama seperti waktu itu, Sun juga tersenyum lebar seperti saat ini. Iris birunya yang diterpa sinar sang surya, tampak seperti batu mulia yang berkilau. Senyumnya manis sekali, dan tulus tanpa paksaan. Rambut pirang keemasannya menari saat angin menerpa, menambah kesan dramatis seperti yang ada di film-film romansa.
Sosok Sun sangatlah indah, Tuhan memahatnya dengan sempurna. Terpaan sinar surya seperti lampu gantung yang melatari hadirnya dia dalam panggung yang megah, sebuah opera dengan Noah sebagai penonton setianya.
Kecantikan yang menyihir itu tanpa sadar menggerakkan tangannya, menyentuh wajah sang hawa yang dijawab oleh perasaan terkejut. Sun terdiam, membiarkan Noah menyentuh wajahnya dengan elusan geli.
“No-Noah ...?” Lagi, Sun merasakannya. Sensasi asing yang membuat jantungnya berdegup kencang dan napasnya sedikit tak beraturan. Entah mengapa meski itu menyakitkan, dia membiarkannya begitu saja. Merelakan degupan gila itu menyakiti dadanya, membiarkan Noah menyentuh pelipis sampai leher telanjangnya.
Butuh waktu cukup lama bagi Noah untuk menikmati indahnya sosok Sun. Jika memang saat ini dia dikendalikan oleh sihir, maka rasanya ia bersedia dengan senang hati digerakkan ke sana kemari. Tapi itu tak berlangsung lama, karena setelah ia tersadar, dia segera menjauhkan tangannya dari Sun.
Sun pikir sebentar lagi akan ada adegan yang biasa dilakukan para pemeran utama dalam film romansa. Tapi nyatanya, sekarang ini Noah sudah berjalan menjauhinya.
Oh tidak ... apa ini? Apa Sun baru saja tersihir hingga dia membiarkan dirinya disentuh oleh Noah begitu saja? Jika memang sihir, apa degupan bak pacuan kuda ini adalah efek sampingnya?
Tidak bisa ... Sun tidak bisa menyebut situasi ini baik-baik saja. Dia hampir dibuar goyah hanya dengan sentuhan lembut yang entah tulus atau tidaknya itu. Sun seharusnya bisa menahan diri dan menjauh, tapi dia malah diam saja seakan dia juga menikmati sentuhan Noah terhadap dirinya.
“Jika aku jatuh cinta, maka aku tidak akan bisa meninggalkannya,” tutur Sun dengan ekspresi serius.
Menyadari Sun yang sejak tadi belum menyusulnya, Noah berhenti dan memanggil gadis itu. “Jangan diam saja di sana atau pulang sendirian,” ujarnya setengah mengancam. Sun mengembalikan fokusnya, lalu menyusul Noah dan mereka berjalan menuju sebuah mobil yang terparkir agak jauh dari tempat mereka berbincang terakhir kali.
Noah menyalakan mesin, bergegas pergi dari area French Quarter. Di awal perjalanan, Sun bertanya, “Kau ada urusan apa ke sini?” pada Noah yang sedang fokus mengendarai mobil mewah berwarna hitam miliknya.
“Aku ingin pergi ke suatu tempat.”
“Apa itu termasuk pekerjaanmu?”
“Tidak. Aku senggang hari ini, karena itu aku pergi untuk urusan pribadi. Tapi aku melihatmu di pasar jalanan, terlihat senang sekali bahkan tidak akan sadar jika seseorang datang untuk menculik.”
Sun mengerutkan bibirnya lagi. Ucapan Noah itu irit, tapi terkadang terdengar pedas dan menguras emosi. Untunglah Sun bukan tipe orang yang mudah terpancing emosi, sehingga tak masalah baginya untuk membalas ucapan ketus dengan hal yang serupa.
Kali ini dia kembali mengabaikannya, tidak mengambil hati. “Aku hanya sangat senang bisa melihat-lihat kota ini. Kota yang sangat indah dan banyak hal menarik di dalamnya.” Noah tidak menanggapi, dia hanya melirik Sun dengan ekor matanya, lalu kembali fokus menyetir.
Tidak banyak hal yang ingin Noah katakan pada gadis di sampingnya, bahkan setelah seminggu berlalu dan tidak ada lagi percakapan antara keduanya. Jika ada, itu mungkin hanya sebuah tanya yang terdengar basi seperti ‘bagaimana keadaanmu?’.
Namun, Noah bahkan tak perlu membuka mulutnya. Dia bisa pergi dan memastikan Sun baik-baik saja dengan mata kepalanya sendiri, ya ... meski itu sama sekali tidak ada dalam daftar rencananya untuk hari ini.
Lumayan lama keheningan mengukung mereka, perjalanan pun sudah berjalan beberapa menit. Tapi Sun terlihat menikmatinya, senyum yang secara diam-diam Noah perhatikan dengan lirikan dinginnya. “Kau tidak akan bertanya ke mana aku akan membawamu?” Sampai akhirnya Noah sendiri yang bertanya. Dia mengalihkan atensi Sun yang semula fokus pada pemandangan di luar kaca.
“Tidak.”
“Memang kau tahu ke mana aku akan membawamu?”
“Ke tempatmu pergi, kan?” Noah mengerutkan keningnya, tak mengerti dengan jalan pikiran Sun.
Alih-alih berpikir dirinya akan diantarkan menuju mansion, Sun justru yakin dirinya akan dibawa Noah menuju tempat yang lelaki itu tuju. Noah jadi sedikit cemas. Sun pasti bisa ditipu dengan mudah jika ada seseorang yang datang untuk menculiknya.
“Kenapa kau sangat yakin aku akan membawamu pergi ke tempat tujuanku? Kau bahkan tidak tahu apakah aku akan pergi untuk makan atau membunuh orang.”
Sun merinding mendengar ucapan Noah barusan. “Ah ... hari ini cerah sekali, kau seharusnya tidak merusaknya dengan kalimat sesuram itu,” ucap Sun, menasihati. Noah tak acuh dengan tidak mengalihkan tatapannya.
Sun menghela napas, entah kenapa dia merasa sedikit senang karena bisa menasihati Noah. Dia tersenyum simpul sembari kembali memandang jalanan. “Satu minggu berlalu tanpa saling bertemu, mungkin saja selama itu kau sangat sibuk. Tapi setelah kau memiliki hari senggang, kau bahkan tidak berniat untuk menemuiku.”
Lirihan itu terdengar jelas di telinga Noah, yang akhirnya membuat lelaki itu memandang Sun di sela fokusnya menyetir. Gadis itu tidak mau memperlihatkan wajahnya, dia hanya memandangi jalanan tanpa sedikit pun bergeser—setidaknya agar suaranya bisa jelas didengar kalau saja dia memang berniat mengungkapkan itu pada Noah.
Tapi tampaknya, dia tidak berniat untuk membuat Noah mendengarkan keluhannya. Dia sengaja tidak duduk dengan benar, agar suara gumamannya terdengar samar dan tidak seberapa jelas. Noah akan menganggap hal yang agak serius itu sebagai angin lalu.
“Kau ... setidaknya harus menemuiku, kan? Kau membuatku merasa seperti anak yang ditelantarkan di kota sebesar ini, bahkan orang tuaku tidak pernah melepaskan tanganku di sebuah lubang sekalipun.”
Noah memusatkan fokusnya pada jalanan. Setengah jam baru saja berlalu tapi keduanya tak lagi terlibat percakapan. Sun terdengar menggumamkan hal lain seperti memuji kebersihan kota, atau mengagumi keindahan jalanan. Sementara Noah memilih untuk berpura-pura tidak mendengar ocehan panjang Sun tadi.
Dalam diamnya, ia memikirkan itu. Sun membutuhkan kehadiran Noah, bukan untuk maksud lain, tapi karena Noah yang membawa gadis itu ke kota besar ini—seharusnya Noah tidak mengabaikannya seperti yang dilakukan Noah seminggu ini.
Noah tahu kalau Sun pasti berpikir jika Noah tidak mungkin melakukan misi sampai membutuhkan waktu seminggu. Noah tahu jika dalam tujuh hari yang sudah berlalu itu, selalu ada saat di mana Sun meragukan Noah dan akhirnya, gadis itu berpikir dirinya telah dicampakkan.
Iya ... itu memang terjadi, Sun sudah mengatakannya tadi. Dia mulai mencemaskan hal-hal yang tidak perlu, maksudnya adalah: dia mulai berpikir kalau Noah akan membuangnya.
Noah tidak merasa bersalah, dia yakin akan perasaannya. Tapi entah mengapa itu terasa berjalan di arah yang bertolak belakang. Dia merasa berat, tidak nyaman dan terus menyayangkan keraguan Sun akibat tindakannya.
Tentunya Noah memang tidak butuh waktu selama itu dalam menjalankan misinya. Dia berbohong jika hari ini adalah hari pertamanya senggang setelah seminggu lalu disibukkan oleh pekerjaan. Tapi mengapa Noah memilih untuk tidak mengunjungi Sun?
Bukan maksudnya untuk membuat Sun merasa dicampakkan. Noah hanya berpikir kalau Sun tidak menyukainya. Ya ... itu memang benar. Maksud tidak suka di sini karena Noah bukanlah orang baik yang akan memberikan kesan yang baik di pertemuan pertama mereka. Kita semua tahu, Noah bahkan membunuh dua orang di hari pertamanya bertemu Sun.
Dia tidak pernah berpikir kalau Sun sebenarnya menunggu kedatangan Noah, meski itu sekadar untuk memastikan kalau dirinya tidak dicampakkan si lelaki.
“Jika kau mau ... kau boleh menghubungiku lewat ponsel.” Tiba-tiba Noah berkata demikian, membuat Sun sedikit terkejut dan bingung.
“Tiba-tiba?”
“Hanya agar kau tidak merasa kalau aku sengaja membuangmu ke tempat itu,” jawab Noah, dia memasuki area parkir sebuah gedung yang tampak tua namun masih terawat dengan baik. “Jika itu dirimu, sesibuk apapun akan aku angkat.”
Noah sama sekali tidak mau menatap Sun ketika dirinya berkata demikian. Sun tidak mengerti maksudnya, tapi dia memahami ucapan Noah dengan baik. Itu lebih baik ketimbang merasa cemas setiap hari.
Sebenarnya, Sun memang ingin menghubungi Noah lewat ponsel yang lelaki itu berikan, tapi keraguan terus datang hingga akhirnya dia berakhir menyimpan kembali ponselnya seharian. Mungkin benar jika kecemasan Sun karena dia terus memikirkan hal yang tidak penting.
Setelah mobil benar-benar berhenti, Noah bergegas keluar dan membukakan pintu untuk Sun. Gadis itu keluar dan melihat gedung apa yang Noah datangi, apa Noah benar-benar membawanya untuk membunuh orang?
“Museum?” tanya Sun ketika membaca nama gedung yang terpampang besar dan jelas di depannya. “Kau ke sini untuk membunuh orang?”
“Apa kau benar-benar berpikir aku membawamu untuk melihatku membunuh?”
“Iya ...,” jawab Sun dengan nada ragu yang panjang.
Noah menghela napas, membenahi mantel panjang berwarna hitam miliknya. “Aku tidak akan membunuh orang di depanmu,” tuturnya lalu melangkah keluar dari parkiran itu melewati banyaknya mobil yang ada di sana.
Ucapan Noah barusan membuat Sun ingin tertawa keras. Noah bilang tidak akan membunuh orang di depan Sun, tapi tidakkah dia ingat apa yang dilakukannya di hari pertama mereka bertemu? Sun tidak mengerti sama sekali.
Ya ... tidak penting memikirkan itu sekarang. Dia menyusul Noah dan berjalan bersamanya memasuki gedung museum itu. Ada banyak mobil terparkir dan keadaan sekitar juga ramai, apakah ada sesuatu yang spesial hari ini?
“Ada acara apa di sini?” tanya Sun, Noah tak menjawabnya dan hanya berjalan saja sampai memasuki sebuah ruangan di mana pameran lukisan sedang dilakukan.
Ah ... Sun baru ingat, sepertinya Noah menyukai seni lukis jika mengingat percakapan mereka di mobil di hari pertama Sun datang ke New Orleans. “Kau sangat menyukai lukisan, ya ...?” tanya Sun, dan Noah lagi-lagi tidak menjawabnya.
Dia ingat, Sun pernah bertanya seperti itu sebelumnya. Dia seharusnya sudah tahu kalau Noah menyukai lukisan tanpa perlu bertanya seperti orang bodoh. Itulah mengapa Noah mengabaikannya dan lanjut melihat-lihat lukisan.
“Aliran lukisan seperti apa yang kau sukai?” tanya Sun, kembali menanyakan pertanyaan yang sama dengan yang dia lontarkan di hari itu. Noah bahkan masih mengingatnya dan sudah menjawabnya hari itu juga. Kali ini, Noah juga akan mengabaikan saja pertanyaan Sun.
Tentu saja itu membuat Sun jadi sedikit kecewa. Apa salahnya menanyakan pertanyaan yang sama? Kendati Sun tahu dia sudah pernah menanyakan itu, setidaknya Sun hanya ingin mencairkan keheningan antara dirinya dan Noah.
Ketika Noah akan beralih melihat lukisan lain, Sun menarik ujung lengan mantelnya. Lelaki itu berhenti dan melihat wajah suram Sun di belakangnya. “Tolong respons aku,” ucap Sun, lebih terdengar seperti perintah ketimbang permintaan.
“Apa itu perintah?” Noah membalikan pertanyaan yang sama dengan yang Sun ucap tadi. Gadis dengan iris berwarna biru itu mengerutkan keningnya.
“Aku tahu kau irit bicara, tapi setidaknya berilah respons untuk orang yang sedang mengajakmu bicara. Jangan perlakukan mereka seperti patung! Kau bisa membuat mereka kesal, tahu!?”
“Aku tahu,” jawab Noah singkat, tanpa memandang lawan bicaranya. Hal itu membuat Sun kembali menarik napas dengan berat lalu mengembuskannya dengan singkat.
“Kalau begitu, aku akan melihat-lihat yang lain sa—” Sun baru akan melangkah meninggalkan Noah, tapi itu tidak terjadi sebab tangannya lebih dulu digenggam. Dia tertahan di tempatnya semula.
“Jangan menjauh dariku,” titah Noah, tampak tak ingin merenggangkan genggamannya barang sedikit, “itu jelas-jelas sebuah perintah, jadi jangan menanyakannya!” timpalnya kemudian dan langsung membuat Sun yang semula akan bertanya demikian, jadi mengatupkan mulutnya kembali. Seperti Noah bisa membaca isi pikirannya.
Selama kegiatannya melihat-lihat lukisan yang ada di pameran itu, Noah sama sekali tidak melepaskan Sun. Padahal jika dilepaskan pun, Sun tetap akan berjalan di dekatnya. Sun tidak bisa melakukan hal lebih selain mengikuti ke mana Noah akan membawanya.
Noah fokus memperhatikan lukisan-lukisan, sementar Sun dalam diam memperhatikannya.
Noah Bellion benar-benar sangat tenang, saking tenangnya sampai masuk kategori dingin. Dia tidak berkomentar sama sekali pada lukisan yang dia lihat sejak tadi. Rautnya juga bersih dari emosi, Sun jadi tidak bisa menebak apa tujuan Noah datang ke tempat ini sebenarnya. Apakah hanya untuk melihat-lihat sebagai pelayanan untuk matanya? Atau untuk mencari satu yang menarik yang bisa dibeli ....
Oh! Atau jangan-jangan, Noah tidak datang untuk melihat-lihat atau membeli? Melainkan langsung membawanya pergi dengan kata lain ... mencuri?
“Noah, apa kau kemari untuk mencu—” Belum selesai pertanyaan itu diucapkan, Sun dibuat tersentak kala Noah mengajaknya untuk mendekati sebuah kerumunan. Sun melihat kerumunan apa itu dengan seorang lelaki di atas sebuah mimbar sebagai pusatnya. “Apa ini? Pelelangan?”
“Iya,” jawab Noah dengan singkat. Sun pikir dia akan berakhir dijawab oleh keheningan lagi, tapi ternyata Noah menjawabnya. Atau Noah sedang tidak sadar saja?
Mereka memutuskan untuk menonton, Noah juga berpikir jika menonton—mungkin ada lukisan yang bisa menarik perhatiannya. Tapi beberapa lukisan telah selesai dilelang, dan Noah masih belum bisa tergugah oleh satu pun yang ada. Sementara Sun, dia tampak sangat menikmati pelelangan dan keseruan kala orang-orang berebut untuk menawar lukisan itu dengan harga yang paling tinggi dari para saingan.
Sampai ketika Sun melihat lukisan baru yang akan dilelang, mulutnya tanpa sengaja berbunyi, “Ah ... itu indah sekali!” Dia membuat Noah langsung memfokuskan matanya pada lukisan itu.
“Kau menyukainya?” tanya Noah, dan Sun menganggukinya. Sun tidak berbohong. Dari semua lukisan yang sudah dipajang, lukisan dengan aliran romantisme itu terlihat paling berkesan di matanya.
Tapi Sun benar-benar tidak menyangka jika ucapan yang dikeluarkannya tanpa pertimbangan lebih itu akan membuat Noah memasuki arena pelelangan sebagai peserta. “Noah!” panggil Sun. Sungguh, dia hanya asal bicara karena memang itulah yang dia pikirkan. Dia sama sekali tidak berpikir untuk meminta Noah memenangkan lelangan itu untuknya.
Tapi Noah .... “Aku ingin lukisan itu,” ujarnya dengan mantap, tak mau digugat. Pemimpin pelelangan terlihat bingung akan ucapan dan tindakan Noah yang tiba-tiba, apalagi Noah sama sekali tidak terdaftar sebagai peserta.
“Ta-tapi, Tuan ... anda bukan peserta pelelangan ini.”
“Berikan aku harga tertinggi yang mampu ditawar orang-orang ini, aku menunggu.” Ucapan Noah yang seakan menyombongkan kemampuannya itu membuat banyak orang mulai mencibir, mereka juga menghadiahi Noah dengan tatapan sinis. Noah mungkin tidak memikirkannya, tapi lihatlah orang yang menjadi alasan mengapa Noah melakukan ini semua.
Sun sangat malu.
“Baiklah ...,” ujar lelaki yang memimpin pelelangan itu. Lukisan itu mulai mendapat penawar pertama, lalu penawar lainnya mulai mengangkat tangan dengan tawaran yang lebih tinggi. Rupanya banyak juga yang menginginkan lukisan itu. Wajar saja, Sun juga mengakui kalau lukisan itu memang pantas diperebutkan banyak orang karena keindahannya.
Tawaran paling tinggi berhenti pada harga 129 ribu dolar. Saat ini tatapan mereka tertuju pada Noah, seakan menunggu lelaki sombong itu memberikan tawarannya.
“Aku menawarnya dengan harga 500 ribu dolar.” Seluruh orang di sana terkejut, tak terkecuali Sun yang langsung menarik lengan mantel Noah.
“Apa yang kau lakukan, Noah?” Sun tentunya tahu jika 500 ribu dolar bukanlah uang yang sedikit, hingga Noah bisa dengan mudahnya mengeluarkan nominal itu hanya untuk Sun yang sebenarnya hanya asal bicara. Dia mulai merasa tidak enak dan berusaha menghentikan Noah, tapi lelaki itu menolak mendengarkannya.
Sampai pada akhirnya, penawaran disepakati. Lukisan itu menjadi milik Noah, bukan, milik Sun.
“Noah ....”
“Ayo pergi dari sini.”
-Bersambung-
Sekarang sudah malam. Tidak terasa Sun menghabiskan satu harinya bersama Noah. Ini benar-benar tidak pernah ia duga sebelumnya. Saat ini mereka berada di sebuah restoran, tentunya untuk menikmati makan malam setelah seharian hanya berjalan-jalan dan makan pun dari jajanan. Sun harus tetap mengisi tubuhnya dengan nutrisi yang benar, terlalu banyak makan jajanan tidak akan baik untuknya. Itu yang Noah katakan. “Pesan sekarang,” ujar Noah ketika buku menu diberikan kepada mereka. Sun tersenyum senang lalu melihat-lihat menu makanan. Astaga ... hatinya bersuara. Makanan di sana terlihat sangat enak, Sun tidak bisa memilih karena dia menginginkan semuanya. Padahal dia sudah makan banyak jajanan, tapi ketika melihat buku menu di tempat itu, cacing-cacing di perutnya bergejolak hebat seakan dia belum makan dua hari. Sun menggigit bibir bawahnya. Kalau di Melrose, dia pasti tidak diizinkan makan lebih dari tiga menu utama menurut atura
Eliot Redwood. Nama itu amatlah membekas dalam kurun waktu lima tahun terakhir dalam benak Noah. Jika bertanya apakah Noah mengenalnya, tentu saja jawabannya adalah: sangat.Jauh sebelum hari ini, Noah dan Eliot terikat oleh hubungan yang baik dan manis. Kakak dan adik laki-laki? Begitu orang-orang menyebutnya. Kendati tak ada yang menghubungkan keduanya secara sah, dan hubungan itu hanya sebatas sebutan. Tidak disangka, itu menjadi hal yang bisa Noah anggap nyata setelah sekian lama menutup diri dari dunia.Noah menyukai Eliot, dia adik kecil yang manis dan terkadang manja. Eliot pun menyukai Noah, kakak yang dingin namun selalu terlihat keren di matanya. Semua itu indah ketika mereka masih anak-anak, ya ... dunia yang hanya diisi kesenangan itu bukanlah dunia yang akan selamanya mereka tinggali.Ketika beranjak dewasa, pikiran mulai bergerak dan logika mulai melakukan fungsinya. Bagaimana ...? Bagaimana bisa itu terjadi?Bagaimana bisa orang lain itu me
Malam itu, ada yang tak bisa jatuh dalam lelapnya. Berusaha berulang kali menutup mata, tetapi berakhir dengan dirinya yang kembali melihat langit-langit ruangan yang dia tempati. Kedua netra dinginnya sekali lagi melirik ke arah presensi seorang gadis yang nyenyak tak terusik di depan sana, wajah tenang itu yang mampu membuatnya kembali tenggelam dalam ingatan hanya tentangnya. Noah tidak berniat bernostalgia. Tapi ketika dia melihat wajah Sun sekali lagi, kepalanya memutar kembali adegan yang terjadi tiga tahun lalu. Itu bagian saat dia pertama kali melihat Sun di tengah ladang bunga kuning di dataran Vermont yang sejuk. Tiga tahun lalu, Noah Bellion melakukan perjalanan menuju salah satu kota kecil di daerah Vermont, negara bagian Amerika Serikat. Tempat itu bernama Woodstock, kota kecil yang terkenal akan keindahan alamnya yang masih terjaga. Jika bertanya mengapa salah satu eksekutif dari kelompok mafia paling terkenal di New Orleans datang ke tempat terpencil nan asri itu, jaw
Sun membuka mata ketika surya belum terbangun dari ufuknya. Bukan karena kantuknya telah usai, dia masih bisa merasakan matanya sangat berat untuk dibuka lebar tetapi tubuh itu menolak untuk terlelap setelah tidurnya terganggu akibat dinginnya udara. Dia duduk di ujung ranjangnya, terdiam dan mengingat-ingat malamnya. Malam yang biasa, dia selesai menghabiskan jalan-jalannya dengan Noah dan berakhir makan malam berdua. Setelah itu dia kembali dan tak lama memutuskan untuk tidur. Hanya saja, dia ingat sekali kalau semalam dirinya tidak memakai piyama berlengan panjang. Dia hanya memakai gaun tidur tanpa lengan dan mungkin itu yang menjadi alasannya terbangun karena kedinginan. Sun melihat kembali ke ranjang, memandang selimut yang dipakainya semalam. Keningnya mengerut samar. “Apa aku memakai selimut semalam?” tanyanya pada diri sendiri. Seingatnya, Sun sama sekali tidak memakai selimut atau kain apapun untuk membuat tubuhnya lebih hangat. Itu karena dia terla
“Aku mendengar cukup banyak cerita tentangmu dari orang-orangku, Nona McRay.”Seperti yang sudah kau tahu, Sun dan anggota rumah Melrose saat ini sedang mengadakan pesta teh bersama istri dari pemimpin geng mafia terkenal di New Orleans, Ashtelle Odolff. Ucapan yang tadi itu berasal dari bibir meronanya, sang bintang utama hari ini.Wanita itu benar-benar memancarkan imej istri seorang pemimpin. Caranya menggunakan bahasa tubuh, berpenampilan dan bahkan caranya berbicara, anggun sekali. Alih-alih terlihat seperti istri dari pemimping organisasi kejahatan, dia lebih pantas disebut seorang permaisuri dari kekaisaran yang besar.Sun sejak tadi hanya terdiam, mendengarkan perbincangan wanita-wanita itu tanpa berbicara. Sebenarnya hanya memperhatikan bagaimana indahnya Ashtelle yang hanya mengobrol saja, dia bisa jadi termangu dan terpesona selama beberapa detik. Tapi ketika dilihat dari sudut pandang Ashtelle, semuanya jadi
Ini sudah memasuki hari kedua sejak pertemuannya dengan Ashtelle Odolff dan tiga hari sejak terakhir kali Sun menjumpai Noah Bellion.Rasanya, tiada waktu baginya untuk tidak memikirkan Noah. Sun terjebak oleh rasa cemas yang mengganjal di benaknya, dia benar-benar ingin bertemu dengan Noah. Tapi jika mengingat kembali percakapannya dengan Ashtelle dan apa saja yang sudah wanita itu ceritakan tentang Noah, rasanya Sun mati gaya untuk menentukan raut apa yang akan dia pasang di depan lelaki itu nantinya.“Aku memikirkan Noah terus seakan-akan dia sudah menempati sebuah ruang dalam hati dan otakku!” cibir Sun pada dirinya sendiri yang berakhir dengan dia berdiri bergeming.Iya ... itu benar. Sun memikirkan Noah? Apa itu karena Noah memang sudah benar-benar menempati sebuah ruang dalam benak dan otaknya?Sun menggelengkan kepala beberapa kali, berusaha menyangkal pertanyaan nyeleneh yang tiba-tiba melintasi otaknya. Tidak mungkin dia memberikan s
“Yellow Crowl?” Noah Bellion mengulang nama itu dengan nada tanya, memastikan apa yang didengarnya dari Draven barusan.Lelaki gondrong itu mengangguk sembari mengalihkan wajahnya, dia embuskan asap rokok yang tertahan dalam mulutnya dengan perlahan. “Merepotkan,” ucapnya dengan raut yang tampak sangat terbebani.Tentu saja itu adalah tugas yang tak mungkin bisa Draven atasi seorang diri. Dia sadar kalau dirinya belum berada di level yang sama dengan William sampai bisa ditugaskan untuk mengurus sebuah kelompok berisikan orang-orang sadis seperti Yellow Crowl.Yellow Crowl adalah salah satu organisasi bawah tanah yang sudah lumayan lama berdiri. Kelompok itu berisi para pembunuh bayaran profesional, mereka terkenal di dunia bawah tanah karena kecakapan mereka dalam menjalankan aksi dan juga tentu saja ... keberingasan yang tak lagi menggambarkan sifat manusia.Mengapa Noah menyebut mereka adalah kelompok yang merepotk
Dua hari setelah perintah dikeluarkan, hari di mana Noah akan melakukan apa yang diinginkan William akhirnya tiba. Setelah mengumpulkan informasi dan menyusun rencana, Noah akhirnya bertandang ke markas untuk sebuah hubungan aliansi. Atau lebih tepatnya, untuk mendapatkan kepemimpinan atas kelompok Yellow Crowl. Menurut informasi yang didapat Adam, markas utama Yellow Crowl berada di daerah Cameron, bagian dari Area Statistik Metropolitan Danau Charles.Noah datang seorang diri, dia tidak datang dengan satu pun anggota Little Boy, apalagi bersama Draven. Dia pikir lelaki berewok itu pasti amat tertohok dengan ucapan Noah dua hari lalu,
Sun kehilangan alas kaki entah di langkah ke berapa dalam perjalanannya untuk sampai ke tempat ini.Ia berhenti untuk sejenak mengambil napas, sembari mengedarkan pandangan dan berharap dia bisa bertemu dengan Noah.Jika laki-laki bermata abu-abu dengan rambut coklatnya itu benar-benar Noah, maka seharusnya dia tidak perlu melakukan permainan kejar-kejaran seperti ini, kan? Kenapa dia tidak langsung menemui Sun saja?Kenapa dia harus membuat Sun sampai berlari sejauh ini ke pusat desa hanya untuk menemukannya di antara banyaknya manusia?"Noah ...."Sun mengedarkan pandangannya seperti orang linglung, dia berusaha mengidentifikasi setiap wajah dan menyamakannya dengan bayangan sosok yang ada dalam ingatannya.Rambut coklat dan tubuh tinggi kurusnya, dia berjalan tegak dan dia terlihat paling bersinar dari siapa saja yang ada. Seharusnya mudah menemukan Noah di tempat ini, tapi kenapa Sun tidak bisa melakukannya? Apa karena Noah memang tidak ada?Apa Shawn salah lihat? Apakah Sun hanya
Sun tidak tahu sudah berapa lama dia terduduk di bawah pohon rindang itu; dia merenung dan mengingat kembali tentang apa saja yang terjadi yang sempat ia lupakan karena insiden malam itu.Tapi yang ada, dia malah merasa menyesal dan kesal pada dirinya sendiri yang sempat hampir melupakan siapa itu Noah Bellion. Nyatanya, lelaki itu adalah orang yang membuat Sun tidak bisa hidup sedetik saja tanpa dirinya."Dasar bodoh ... bagaimana bisa kau melakukan ini pada Noah?" ujar Sun, memarahi dirinya sendiri dalam penyesalan. Ia menghapus air matanya, tapi itu tetap tidak membuat Noah muncul di hadapannya.Sun kembali bersandar dan menangis. "Kau di mana Noah ...? Kau tidak mau kembali?" ujarnya, "kenapa tidak mau kembali? Aku tidak akan marah karena kau telah berbohong. Nyonya Ash bilang kalau Eliot sudah mati, tapi kenapa kau masih tidak kembali ...?"Sun menundukkan kepala, menutup wajahnya yang pasti terlihat sangat jelek karena menangis tersedu-sedu.Saat ini dia sangat takut untuk berpr
[2 BULAN KEMUDIAN]"Nona Fleurry! Nona ...!"Seorang gadis dengan rambut pirang keemasan menoleh segera ketika seseorang memanggil namanya. Rambut panjang bergelombang milik wanita itu tersapu oleh angin ladang yang bertiup sepoi-sepoi, menjadikannya bak kain tergantung yang menari dengan cantiknya."Selamat pagi Paman, ada apa?" tanya gadis itu, tersenyum ramah dengan cantiknya."Kabar baik untukmu, Nona; lima domba kita berhasil melahirkan hari ini!""Oh, benarkah? Ada berapa anak domba yang lahir?""Ada 17 anak domba, Nona! Dan mereka semua sehat!"Senyum Sun Fleurry McRay tak bisa ia tahan ketika mendengar kabar bahagia di hari yang cerah ini. Ibu domba yang ada di peternakannya berhasil melahirkan bayi domba yang sehat; mereka pasti akan jadi anak domba yang lucu dan gemuk-sehingga membuat Sun tidak sabar untuk melihatnya."Apa kau akan melihatnya sekarang, Nona?" tawaran itu jelas tidak Sun tolak; gadis itu mengangguk lalu bergegas pergi dari tengah ladang bunga matahari yang su
Seorang perawat wanita memasuki kamar rawat Sun Fleurry McRay untuk melakukan pengecekan rutin; dia memeriksa setiap aspek perawatan Sun untuk memantau perkembangan sekaligus melakukan apa yang perlu ditindak lanjut.Tak lupa ia mencatatnya di kertas yang ia bawa, tapi tiba-tiba ...JDERRR!"Ah!" Suara petir yang menggelegar membuatnya terkejut dan tak sengaja menjatuhkan pena miliknya. "Astaga, membuatku kaget saja," ujarnya, lalu memungut pena.Ia melihat ke luar dinding kaca di kamar itu; memperlihatkan langit malam yang gelap tertutup awan mendung. Sudah begitu, terdengar petir beberapa kali dan menandakan sebentar lagi akan turun hujan besar."Apa akan ada badai?" tanyanya, menatap pemandangan langit dengan raut cemas. Tapi dia tidak punya waktu untuk itu, sehingga segera ia tutup tirai ruangan itu dan melanjutkan pekerjaannya. Ia selesai mencatat perkembangan, tapi perhatiannya sejenak jatuh pada Sun yang masih terpejam dengan alat rumah sakit mengitarinya-berusaha mempertahanka
Eliot terdiam, memperhatikan Noah yang berusaha berdiri tegak di atas sana. Tatapannya tajam, Eliot bisa merasakan itu; tapi tiba-tiba Noah tersenyum tipis dan berkata, "Atau jika kau ingin sekali bertemu dengan Joanne? Aku akan dengan senang hati mengantar?"Eliot tertawa; meski ia kesal luar biasa. Noah masih menantangnya dengan angkuh padahal lelaki itu terlihat akan mati sebentar lagi.Sebagian wajahnya ditutupi darahnya sendiri, kemeja putihnya lusuh dan ada banyak noda darah; pakaiannya compang-camping memperlihatkan sebanyak apa luka yang dia dapatkan. Dan yang lebih seru adalah ... tangannya yang erat memegang pistol rusak itu, sepertinya patah.Noah melihat ke arah pandang Eliot, dan ya-dia juga sadar apa yang terjadi pada tangan kanannya saat ini. Ia melempar pistolnya yang sudah rusak karena tertimpa reruntuhan, lalu kembali menatap Eliot dan berkata, "Ayo selesaikan ini ...."Eliot menahan tawa, sembari membuka telapak tangannya menghadap Noah; ia bermaksud menolak. "Kau y
"Akh!"Noah tersungkur, tapi rentetan peluru tak berhenti sehingga ia terpaksa merangkak dengan rasa sakitnya menuju ke tempat yang bisa melindunginya.Ia menarik kekinya yang seakan mati rasa untuk sejenak, dan menyadari peluru Eliot berhasil menyayat pergelangan kakinya lumayan dalam."Sial!" ujarnya, mengernyitkan kening tajam sembari merobek sebagian celananya untuk menghentikan pendarahan. Perjalanan masih jauh, dia tidak boleh lemas karena kehabisan darah untuk luka kecil seperti ini.Sementara dirinya sudah lusuh dan berdarah, Eliot masih berdiri di tempatnya seolah tak tersentuh. Jika saja Eliot hanya membawa satu pistol, pasti Noah bisa mengimbangi permainannya. Tapi bahkan dia memiliki pistol lain setelah dua pistolnya kehabisan amunisi.Noah berusaha mengatur napas sembari mendengarkan Eliot."Kau tahu, setelan yang aku pakai malam ini adalah hadiah dari kekasihku. Dia memberiku benda ini sebagai hadiah. Aku tidak suka, aku sempat membuangnya. Tapi kemudian aku ingat; kalau
Noah berjalan menyusuri tangga beton dalam bangunan tua yang mangkrak pembangunannya. Dengan langkah lesu dan raut biru, ia tidak menengadahkan wajah dan terus memperhatikan langkahnya sampai ia tiba ti tempat tujuan.Hari ini sesuai dengan perkataannya; dia akan datang menemui Eliot di mana pun lelaki itu berada. Ini tidak seperti pertemuan yang direncanakan untuk melepas rindu satu sama lain, mereka datang untuk tujuan masing-masing; membunuh satu sama lain.Tentu saja perasaan Noah tidak akan baik-baik saja. Dia meminta izin pada ibu kandung Eliot untuk membunuh anaknya, bukankah ini tragis? Ibu mana yang tidak akan terluka saat buah hatinya berada di ambang bahaya, tapi dia tidak bisa melakukan apa-apa?"Oh, kau sudah datang, Noah ...?"Tatapan mata Noah terarah lurus ke depan; menuju tempat Eliot yang berdiri memunggunginya sembari merokok santai bersandar pada pilar tak bertembok. Dari lantai empat, angin semakin kencang bertiup; malam juga tidak terlihat cerah. Hal itu membuat
Sebuah pemakaman keluarga yang sepi, seorang lelaki datang sembari menenteng buket bunga dengan langkah yang lamban.Ketika ia tiba di depan sebuah nisan bertuliskan nama William Odolf, lantas ia meletakkan buket bunga itu dan membuka kaleng bir untuknya.Noah Bellion duduk di depan nisan, ia meminum bir kalengan yang dibawa sembari menatap dingin nisan William di hadapannya. Meski ia tampak dingin dan tak memiliki simpati, tapi jika dilihat saksama, terdapat guratan sendu di mata dinginnya yang tertunduk lesu.Noah terdengar beberapa kali menghela napas, rasanya masih belum bisa dipercaya jika William sudah tiada. Semua terjadi begitu cepat dan kacau luar biasa; bahkan Noah tak memiliki waktu untuk berbelasungkawa atas kematian ayah angkatnya ketika kekacauan lain datang dan hampir merenggut sang kekasih darinya.“Kacau sekali,” ujarnya, bermonolog, “mungkin aku tidak akan pernah hidup dengan tenang; aku sudah terlahir untuk hidup di dunia yang kacau.”Noah memikirkan kembali masa la
Sudah lebih dari seminggu lamanya Sun terbaring di ranjang rumah sakit, dan selama itu pula Noah tidak pernah absen sehari saja untuk mengunjunginya.Setelah kecelakaan itu, Sun mengalami luka yang sangat parah. Benturan di kepalanya mengakibatkan trauma yang belum bisa dideteksi oleh medis, dan beberapa tulangnya mengalami patah. Mereka bilang; Sun bisa melewati masa kritis saja merupakan suatu hal yang mengejutkan. Sebab dengan luka separah itu, jika dia mati maka bukanlah hal yang mustahil.Mereka bisa mengatakannya, maka Noah hanya akan bersyukur dan berterima kasih pada Tuhan yang selama ini tak ia percaya. Noah setelah sekian lama, akhirnya kembali berdoa pada Tuhan yang lama tak dia gaungkan namanya, bahkan untung-untungan dia masih ingat nama Tuhannya. Tapi doa Noah kali ini dikabulkan; Sun berhasil melewati masa kritis. Namun, itu bukan berarti dirinya sudah bertemu jalan yang mulus.Mengingat dia memiliki trauma pada syaraf kepalanya dan medis belum bisa mendeteksi sebelum ef