Sun membuka mata ketika surya belum terbangun dari ufuknya. Bukan karena kantuknya telah usai, dia masih bisa merasakan matanya sangat berat untuk dibuka lebar tetapi tubuh itu menolak untuk terlelap setelah tidurnya terganggu akibat dinginnya udara.
Dia duduk di ujung ranjangnya, terdiam dan mengingat-ingat malamnya. Malam yang biasa, dia selesai menghabiskan jalan-jalannya dengan Noah dan berakhir makan malam berdua. Setelah itu dia kembali dan tak lama memutuskan untuk tidur.
Hanya saja, dia ingat sekali kalau semalam dirinya tidak memakai piyama berlengan panjang. Dia hanya memakai gaun tidur tanpa lengan dan mungkin itu yang menjadi alasannya terbangun karena kedinginan. Sun melihat kembali ke ranjang, memandang selimut yang dipakainya semalam. Keningnya mengerut samar.
“Apa aku memakai selimut semalam?” tanyanya pada diri sendiri. Seingatnya, Sun sama sekali tidak memakai selimut atau kain apapun untuk membuat tubuhnya lebih hangat. Itu karena dia terlalu lelah, dan merasa tak kuasa untuk membuka mata lebih lama bahkan hanya untuk memakai selimutnya.
Tapi jika memang semalam dia memakai selimut itu, itu hal yang bagus karena tidurnya jadi sangat nyenyak.
Sun memutuskan untuk beranjak ke kamar mandi, mencuci wajahnya lalu memakai luaran piyama berlengan panjang dan berjalan ke luar kamar. Di luar kamar, dia pertama kali berpapasan dengan Lucy yang sepertinya juga baru saja bangung.
“Selamat pagi, Nona Mcray,” sapa Lucy dengan wajah bantalnya. Sun membalasnya dengan senyum.
“Selamat pagi, Nona Lucy,” balasnya pada Lucy.
Dua gadis itu berjalan menuju tepian tangga, melihat sudah banyak orang di bawah sana dan tampak sedang menguru sesuatu. “Apa yang mereka lakukan?” tanya Sun dengan raut bertanya, memperhatikan orang-orang di lantai bawah yang juga ada Alexa dan Catherine di sana.
Dua wanita itu masih berpenampilan sama seperti Sun dan Jessie. Baru saja beranjak dari tidurnya, tapi mereka sudah beraktifitas pagi-pagi begini untuk mempersiapkan sesuatu. Membuat Sun makin penasaran.
Berbeda dengan Sun, Lucy hanya menghela napas. Mata sayunya yang terkesan judes itu merotasi ke arah lain sembari berkata, “Mereka mungkin sedang mempersiapkan kedatangan Nyonya Asthelle.”
“Nyonya Asthelle?” tanya Sun, keningnya mengerut jelas. Nama itu terdengar amat asing di telinganya. Siapa itu Asthelle? Apakah salah satu penghuni Melrose Mansion juga? Mendengar panggilannya yang memakai ‘Nyonya’, sepertinya wanita itu memiliki jabatan lebih tinggi dari Lucy.
Lucy menjawab kebingungan Sun dengan, “Ya ... Nyonya Ashtelle, istri dari Tuan William Odolff, pemimpin Little Boy.”
“Huh ...?” Sun terkejut sampai menutup mulutnya. “Kalau begitu, dia berposisi lebih tinggi dari Nyonya Catherine?”
“Iya ... soalnya di antara semua wanita di sini, dia yang memiliki ikatan paling kuat dengan lelakinya.”
Sun hanya diam dengan kening berkerut, Lucy jadi menghela napas kembali melihat ekspresi gadis itu. “Maksudku ... kita semua yang ada di sini hanyalah kekasih dan wanita simpanan saja, sedangkan Nyonya Ashtelle itu seorang istri sah! Dia hanya diam saja membuat kita semua iri.”
Sun memperhatikan Lucy yang beberapa kali menguap dengan wajah menolaknya. Ya ... sebenarnya Lucy tidak bisa menyamaratakan semua orang, pasalnya Sun sama sekali tidak pernah merasa iri dengan hubungan orang lain, terlebih itu adalah pernikahan. Makanya, jika Lucy berkata dirinya bisa saja iri jika melihat Asthelle, maka dia tidak berpikir itu tepat.
Dan sepertinya, Lucy menyadarinya. Dia segera bersuara, mengatakan pengecualian. “Kau mungkin tidak merasa iri, karena kau tidak berharap apapun pada Noah.” Setelah itu, Lucy melenggang pergi, kembali ke kamarnya. Sun membatu di tempat karena ucapan Lucy.
Ah ... itu memang benar. Sun tidak pernah berharap apapun pada Noah, apalagi bermuluk-muluk ingin jadi wanitanya. Sun tidak pernah berpikir untuk menjadi wanita dari seorang penjahat, karena itu dirinya tidak merasa perlu untuk mengharapkan sebuah hubungan yang baik dengan Noah.
Tapi bukannya merasa lebih baik, Sun malah merasa agak bersalah karena berbeda dengan para wanita yang ada di tempat ini. Mereka berusaha membuat lelaki mereka bertahan, atau berusaha menggeser kedudukan wanita lain agar dirinya menjadi satu-satunya. Tapi Sun, dia malah berusaha untuk memulai awal dari pelariannya dengan mencari alasan lebih kuat untuk melawan Noah yang menahannya karena utang.
Sun memutuskan untuk pergi ke bawah, menyapa Alexa dan Catherine yang masih sibuk mengurusi barang-barang yang datang. “Selamat pagi ...,” sapanya dengan lembut. Alexa dan Catherine menyempatkan diri untuk menjeda urusan mereka, membalas sapaan Sun dengan ucapan serupa.
“Selamat pagi,” ucap mereka berbarengan.
“Kau tahu, kita akan kedatangan tamu istimewa hari ini,” ungkap Alexa, sembari masih membagi fokusnya. Sebagai wanita tertua setelah Catherine, Alexa tentunya menjadi orang kedua yang sibuk mengepalai urusan rumah. Tapi meski begitu, dia tetap berusaha meladeni Sun dengan ramah dan membiarkan Catherine pergi untuk mengurus hal lain.
Sun membantu orang-orang itu untuk membawa hal yang mudah dibawa seperti bunga atau kardus yang entah apa isinya. Sembari dirinya berjalan di samping Alexa.
“Aku tahu, Lucy memberitahuku.”
Alexa berhenti, rautnya tampak kesal tiba-tiba. “Lucy? Jadi dia sudah bangun dan tidak turun untuk membantu?”
“Ti-tidak apa-apa, Nona Alexa. Aku akan membantumu,” tegas Sun yang jadi merasa bersalah setelah membuat Lucy hampir dimarahi Alexa. Wanita itu akhirnya bersabar dan membiarkan Lucy si pemalas menghabiskan satu jam lagi waktu tidurnya. Itu bukan masalah besar sebenarnya, Alexa hanya ingin Lucy membuang kebiasaan buruk itu, setidaknya untuk hari ini saja.
Alexa menghela napas, lalu kembali pada urusannya. Ketika dia sedang sibuk, presensi lain hadir di tengah-tengah dirinya dan Sun. “Selamat pagi ...!” Suara yang penuh semangat dan tinggi, itu pasti Jessie Vissiant.
Benar saja. Wanita yang sudah wangi terbalut handuk piyamanya itu menuruni tangga dengan langkah gembira, mendekati Sun dan Alexa yang memandangi dirinya.
Alexa menyindir, “Kami bangun pagi untuk menyiapkan semua ini, dan kau ternyata sudah wangi saja.” Cibiran itu mendapat balasan sinis dari Jessie.
“Aku tidak menyuruhmu, Alexa! Lagi pula rumah ini memiliki banyak pelayan, kenapa kalian bersemangat sekali?” ujar Jessie ketus. Dia mengalihkan tatapannya menuju Sun, dan sorot sinis itu berubah 180 derajat menjadi tatapan menggelikan dengan senyum anehnya.
Sun mengerutkan keningnya, bingung. “A-ada apa, Nona Jessie?”
“Tidurmu nyenyak, Sun?” tanya Jessie, membuat Sun jadi bertanya-tanya mengapa Jessie harus memasang raut mencurigakan itu hanya untuk bertanya demikian.
“Iya ... tidurku sangat nyenyak.”
“Kau tidak merasa lelah?”
“Tidak. Aku benar-benar tidak merasa lelah pagi ini, seperti kemarin aku hanya tidur seharian di kasurku.” Mendengar pernyataan itu, Jessie jadi memasang raut bingung. Dia bingung untuk hal yang tidak Sun ketahui, dia membuat orang lain bingung karena kebingungannya.
Jessie mendesis panjang, seperti menahan perih akibat tersayat pisau. “Apa dia hanya datang untuk melihatmu lalu pergi?” Jessie bertanya dengan nada yang amat pelan, membuat Alexa lantas mendekatkan wajahnya.
“Apa kau bilang?” Kemudian Alexa bertanya dengan suara tinggi, membuat Jessie dan Sun terkejut.
“Semalam Noah datang untuk melihat Sun.”
“APA KAU BILANG!?”
Karena itu bukan hal yang perlu disembunyikan, Jessie mengatakannya begitu saja. Tapi dia sungguh tidak tahu kalau Alexa akan bereaksi berlebihan seperti ini. Selain membuat terkejut, suara itu membuat telinganya sakit.
“Tenanglah, dasar bodoh!” umpat Jessie karena kesal.
Sementara tak jauh berbeda dengan Alexa, Sun juga terkejut.
Apa Noah benar-benar datang untuk melihatnya? Tapi kapan? Seingatnya, dia terakhir kali melihat wajah lelaki itu adalah saat dirinya diantar kembali ke Melrose. Sun tidak ingat kalau setelahnya dia bertemu lagi dengan Noah.
“Apa yang Noah lakukan?” tanya Alexa. Dia seperti seorang kakak yang mengetahui kalau adiknya bertemu dengan laki-laki secara diam-diam.
Respons itu berlebihan di mata Jessie yang langsung berdecih. “Kau bertanya apa yang dia lakukan pada wanitanya? Tentu saja bercinta!” tegasnya dengan suara lantang yang membuat Sun membulatkan mata.
Gadis dengan rambut pirang sepinggul itu sampai menganga saking terkejutnya, sementara Jessie juga terkejut melihat respons yang dikeluarkannya. “Kau tidak melakukannya?” tanya Jessie dengan suara yang lebih depelankan, Alexa yang penasaran akan maksud Jessie pun ikut mendekatkan wajahnya agar bisa mendengar lebih jelas. Tapi yang dia dengar itu benar-benar mengejutkan.
Seorang Noah Bellion? Mau ‘menyentuh’ wanita lebih dari sekadar menyentuh pada umumnya? Dia pasti sangat menyukai Sun jika sampai mau melakukannya.
Sekiranya itulah yang Alexa pikirkan. Tapi pikirannya yang mungkin selaras dengan Jessie, dikandaskan oleh gelengan cepat Sun. Dia tentunya mengerti apa yang Jessie maksud dengan ‘melakukannya’. Iya ... itu adalah bercinta dengan panas di atas ranjang yang sama.
Tapi sungguh, Sun tidak melakukannya. Jangankan untuk melakukan hal semacam itu, Sun bahkan tidak tahu kalau Noah datang berkunjung tadi malam.
“Aku tidak tahu kalau Noah datang ke kamarku.” Jawabannya mengejutkan, sekaligus mengecewakan. Jessie dan Alexa menjatuhkan bahunya dengan lemas, entah mengapa Sun jadi merasa bersalah karena jawabannya membuat dua wanita itu kecewa.
Tapi, setidaknya hal itu tidak terjadi, kan? Setidaknya dia masih ‘aman’.
“Maafkan aku. Aku mungkin terlalu nyenyak terlelap, sampai tidak tahu kalau Noah datang. Aku kelelahan dan tidur begitu saja.”
Jessie mengerutkan bibir tebal nan kenyalnya. “Yah ... aku mengerti. Kau bahkan tidak mengunci pintu kamarmu karena terlalu lelah untuk itu. Tidak perlu meminta maaf.” Jessie dengan lesu mengambil alih kardus yang ada di tangan Sun, membawanya pergi dengan raut kecewa selagi menggumamkan beberapa kata. “Padahal jelas-jelas aku melihat dia masuk ke kamar Sun dengan raut mabuknya.”
Alexa memperhatikan wanita itu. Tindakannya membuat Sun terkejut, apalagi ketika dia dengan kerasnya membahas hal semacam itu pada Sun yang mungkin berciuman saja belum pernah. Tapi di satu sisi, itu menggelitik. Alexa tertawa kecil.
“Dia pasti kecewa karena lagi-lagi kehilangan kesempatan untuk melihat hal langka,” ucap Alexa, kembali pada pekerjaannya.
Sun yang tak paham akan maksud ucapannya pun mengikuti wanita itu. “Hal langka?” dia bertanya pada Alexa. Alexa mendekatkan wajahnya pada Sun.
“Melihat Noah jatuh cinta pada seorang wanita.”
“Aku rasa itu bukan hal yang bisa kalian permasalahkan,” celetuk Sun yang langsung menghentikan pergerakan Alexa. Sadar akan perkataannya yang bisa memicu kesalahpahaman, Sun segera menambahkan. “Ah ... maksudku, No-Noah bisa saja merasa risi jika kalian terus mengganggunya dengan hal seperti itu.”
Tapi alih-alih merasa tersinggung, Alexa justru menertawai Sun. “Aku paham maksudmu, Nak,” tuturnya selagi membenahi piyama, “kami juga tidak suka mengurusi hidup orang lain. Tapi melihat sebuah hal yang mustahil menjadi mungkin, itu akan membuatmu merasa tertarik, kan?”
Sun tidak menjawab, ataupun memberi respons dengan tubuhnya. Dia hanya berjalan dengan senyap di belakang Alexa.
“Aku bertanya-tanya apa yang dia lakukan di kamarmu selama itu,” gumam Alexa. Sun yang mendengarnya pun tertarik untuk bertanya.
“Apa maksudmu, Nona Alexa?”
“Aku ingat, jam dua pagi aku terbangun karena haus. Aku turun ke dapur untuk mengambil air, dan aku melihat Noah keluar berjalan menuju keluar. Kemungkinan besarnya, dia pasti baru saja dari kamarmu, kan?”
“Apa kau yakin dengan hal itu? Aku benar-benar tidak merasa kalau dia ke kamarku semalam.”
“Tentu saja. Karena hanya kaulah alasan mengapa dia mau menginjakkan kaki ke Melrose,” jawab Alexa dengan yakin. “Awalnya aku pikir itu karena aku yang masih mengantuk, sehingga aku anggap saja hanya bayangan dan mengabaikannya. Tapi Jessie mengatakan hal yang sama, kan? Dia datang malam-malam dan pergi ketika pagi hampir menjelang. Apa yang dia lakukan di di kamarmu selama itu sedangkan kau saja tertidur nyenyak sekali sampai tidak menyadari kedatangannya?”
Pertanyaan Alexa tidak bisa Sun jawab. Dia juga bertanya-tanya akan alasan apa yang membawa Noah mendatanginya malam-malam, dan urusan apa yang membuat Noah berada di kamarnya sampai pagi hampir datang. Sun jadi kepikiran.
“Apa dia hanya duduk dan memandangimu tanpa berniat mengganggu tidurmu?” tanya Alexa, entah pada siapa. Dia tentunya tahu kalau Sun tidak bisa menjawab pertanyaannya, tapi dia terus saja bersuara seperti sedang menggoda dua pasangan muda yang saling dimabuk asmara. “Diam-diam romantis juga si bocah dingin itu, haha.”
Sun membisu, tak tahu harus merespons seperti apa. Dia tidak tahu kenapa orang-orang senang sekali membahas hubungannya dengan Noah. Dia seperti seorang gadis yang mendapat dukungan penuh dari keluarga si lelaki untuk memenangkan hatinya.
Padahal sebenarnya, Sun yang sangat mereka andalkan ini berencana untuk pergi.
“Aku bermimpi tentang Noah semalam ....”
Sun menggumam, tapi Alexa masih bisa mendengarnya. “Benarkah?” tanya wanita itu dan Sun mengangguk.
Itu bukan dusta, Sun memang bermimpi tentang Noah semalam. Mungkin itu juga alasan mengapa Sun tidak terbangun kendati ada seseorang yang membuka pintu kamarnya.
Mimpinya semalam terasa amat nyata. Bukan skenario khayalan yang dibuat oleh alam bawah sadar, melainkan secuil ingatan tentang pertemuan yang telah ia lupakan.
“Aku pernah bertemu Noah ... tiga tahun lalu. Mimpiku semalam hanya mengulangnya seperti menyetel film lama.”
“Wow ... kau tidak pernah menceritakannya padaku. Kau bilang pertemuan pertamamu dengan Noah adalah saat dia menyelamatkanmu dari dua gangster itu.”
“Itu karena aku sudah melupakannya, padahal belum lama terjadi.”
Alexa mengangguk, paham akan ucapan Sun. Kemudian dia membawa gadis itu untuk menepi, sekadar melanjutkan obrolan yang tak sedap jika dilakukan sembari bekerja. “Jadi, apa yang kalian lakukan di pertemuan pertama itu?” tanya Alexa, sembari menuangkan secangkir teh pertama untuk Sun pagi itu.
Sun terdiam, mengingat-ingat kembali tentang pertemuan itu agar bisa diceritakan dengan baik pada Alexa. “Kami tidak melakukan hal lebih selain interaksi dua orang asing,” ujarnya, mulai bercerita. “Noah datang ke peternakan untuk menemui ayahku. Dia hanya bilang menyelesaikan urusan lama, tapi ternyata itu membahas utang yang ayahku punya kepadanya.”
“Lalu? Apa dia mengatakan padamu kalau kau akan pergi bersamanya sebagai pelunas utang?”
“Tidak,” jawab Sun dengan cepat, “Noah tidak membahas apapun tentang utang ayahku. Dia memperlakukanku sebagai putri rekannya dengan baik. Kami berbincang di sebuah bukit, tapi aku lupa apa yang kami bicarakan.”
“Hah ... sayang sekali ...,” ujar Alexa, menyesap teh miliknya dengan anggun, “padahal bisa saja ada hal penting yang kau katakan.”
Sun tersenyum hambar, sedikit menyayangkan. “Iya ... mungkin saja. Aku tidak berpikir Noah akan bertemu lagi denganku setelah itu karena dia datang dari tempat yang jauh. Jadi aku tidak menganggap percakapan hari itu adalah hal yang penting, dan aku bahkan tidak mengingat-ingat wajahnya lagi setelah itu.”
Tampak seperti percakapan keduanya akan berakhir, Sun dan Alexa diam untuk beberapa saat. Tapi dipenghujung sisa teh dalam cangkirnya, genangan coklat terang itu memberinya ide baru. Tentu saja masih berhubungan dengan obrolan mereka sebelumnya.
“Berhubung kau sudah terikat dengan Noah, tidakkah kau ingin untuk mengenalnya, Sun?”
Sun memandang Alexa. Matanya mengerjap beberapa kali tanpa tahu apa yang akan ia katakan.
Sebenarnya, mengenal Noah lebih jauh sebagai wanitanya bukanlah hal yang sempat untuk Sun pikirkan. Dia hanya membutuhkan informasi saja, bukan untuk mengenal lelaki itu agar mereka menjadi lebih dekat.
“Aku tidak merasa aku ingin lebih mengenalnya, Nona Alexa.” Jawaban Sun membuat Alexa mengernyit heran.
“Kau tidak menyukai Noah?”
Iya, tentu saja Sun tidak menyukainya. Bukankah itu sudah jelas? Mana mungkin Sun bisa menyukai lelaki yang mau mengotori tangannya dengan mudah?
Tapi jika dia mengatakan hal itu, Alexa pasti akan tersinggung dan membuat hubungan mereka memburuk.
“Aku hanya tidak merasa kalau aku nyaman berada di dekatnya. Sejak kecil aku terbiasa hidup dengan orang-orang yang ramah, mereka menyapaku dengan senyum yang hangat. Noah itu membuatku seperti mengalami culture shock, perbedaan sikapnya padaku dan orang-orang yang dulu tinggal bersamaku membuatku sedikit terkejut.”
“Aku mengerti ... kau hanya belum terbiasa. Yah ... memang sepertinya tidak ada hal yang menarik dari lelaki itu selain wajahnya,” ucap Alexa. Wanita itu mengakhiri minumnya dengan satu tegukan akhir. “Tapi kalau kau mau, kau bisa mengenalnya lebih jauh. Itu hanya bisa dilakukan olehmu, wanita yang Noah izinkan untuk berada didekatnya.”
Alexa menaruh gelasnya yang sudah kosong, lalu beranjak dari sana setelah memberikan satu saran yang membuat Sun seperti mendapatkan satu pencerahan. “Kau bisa bertanya pada Nyonya Asthelle, ibunya.”
Itu sedikit mengejutkan, ternyata istri dari pemimpin geng mafia itu adalah ibu dari Noah. Berarti Noah adalah anak dari pemimpinnya ... begitukah?
Tapi terlepas dari dirinya yang kaget atau tidak, itu akan menjadi hal yang menguntungkan bagi Sun. Dia bisa memulai mencari informasi tentang Noah dari ibunya langsung, itu bisa menghemat tenaga dan biayanya. Astaga, Sun seperti baru saja diberkati.
Gadis itu lantas berlari cepat menuju kamarnya untuk mandi dan mempersiapkan diri. Dari yang dia dengar, acara istimewa itu adalah pesta teh yang akan diadakan jam 8 pagi nanti. Sun harus menyiapkan dirinya karena ini adalah kali pertama ia bertemu dengan Ashtelle, ibu Noah.
Setelah mandi dan hanya berbalut handuk piyamanya, debaran itu tidak hilang begitu saja. Sun jadi lebih bersemangat dalam mempersiapkan diri sebaik mungkin, sampai membuatnya kebingungan saat memilih gaun yang akan ia pakai hari ini.
“Apa aku harus memakai gaun yang ini ... atau ini?” dia bertanya pada pantulan dirinya dalam kaca, menempelkan satu gaun dan gaun lainnya dan melihat mana yang lebih cocok ia pakai. Antusiasme yang menggebu itu terus berlanjut, sampai dia tiba-tiba saja membatu dan memandangi dirinya yang ada di kaca.
Sun terdiam, dalam benaknya bertanya-tanya. Apa dia baru saja bersemangat karena akan menemui ibu dari Noah, lelakinya?
Apa Sun baru saja bersikap sangat senang seakan-akan Noah adalah lelaki yang ia sukai?
Atau ... Sun bersemangat tanpa dia sadari karena itu berhubungan dengan Noah?
Sudah pernah ia katakan, itu juga bentuk dari memperingati diri sendiri: akan menyusahkan kalau sampai ia jatuh hati. Tapi ketika dirinya berniat menyudahi euforia tanpa alasannya itu, kembali ia teringat akan ucapan Alexa dan Jessie. Sun menoleh ke atas kasur, melihat selimut yang belum ia benahi sejak terakhir kali dirinya beranjak dari kasur.
“Sepertinya Noah benar-benar datang tadi malam ...,” gumamnya dengan senyum simpul.
Sun memang tak perlu mengubah hal yang mustahil menjadi sebuah kemungkinan. Karena kemungkinan sudah dibuktikan oleh Noah yang benar-benar datang ke kamarnya, dan sudah pasti dialah yang memakaikan selimut itu untuk menghangatkan tubuh Sun.
Lama ia memandangi selimut itu, sampai tak sadar kalau dirinya sudah melamun sejak tadi. Untunglah ketukan halus pada pintu kamarnya membuat gadis itu kembali tersadar. “Masuklah ...,” ujarnya, memberi izin untuk para pelayan wanita yang datang untuk meriasnya.
Setelah memakai gaunnya, Sun duduk di depan meja rias. Dia membiarkan tiga pelayan itu untuk membantunya merias wajah dan menata rambutnya. Selama dirinya dipercantik, mata itu hanya menatap pantulannya di dalam cermin, tapi pikirannya terus tertuju pada satu nama.
Meski Sun menolak atau menampik, dia tetap tak bisa menghilangkan fakta kalau Noah terus bersemayam dalam pikirannya.
Sebenarnya, Sun juga dibuat penasaran akan apa yang Noah lakukan selama itu di kamarnya. Apakah benar dia hanya duduk memandanginya seperti yang Alexa katakan? Kalau memang begitu, Sun jadi cemas akan wajah seperti apa yang ia pasang ketika dirinya tidak sadar. Semoga saja itu bukan wajah yang akan membuatnya malu.
Atau jika pikirannya sedikit nakal, Sun bisa berprasangka kalau sebenarnya Noah tidur di sampingnya. Dia terlelap dengan gadis itu sebagai gulingnya dan dia terus memeluknya sampai akhirnya terbangun.
“Oh tidak ....” Pemikiran itu membuat Sun tak bisa menahan diri dan akhirnya menggeleng-gelengkan kepala.
“Nona McRay, tolong tetap tenang.” Seorang pelayan berkata padanya. Mereka tentu kaget karena tindakan Sun yang bisa saja membuat riasannya jadi berantakan.
Ah ... Sun pasti sudah mengacaukan kerja keras mereka. “Maafkan aku.”
“Tidak masalah, Nona. Kami sudah selesai.”
Sun mendelik mendengarnya. “Sudah selesai?” dia bertanya karena tak percaya.
Iya ... kalau dilihat kembali, sudah bisa diketahui jawabannya. Dia sudah selesai berdandan, waktu merias sudah habis tanpa ia sadari karena lamunan panjangnya. Sun bergumam panjang, baru sadar kalau sejak tadi dia hanya memikirkan Noah sampai mengabaikan pelayan-pelayan yang meriasnya.
Ketiga pelayan itu undur diri, mereka sudah pergi. Sun masih bertahan di depan kaca, memandangi dirinya, lagi. Dia menatap lurus ke arah kedua netra birunya, kemudian memandangi riasan hasil tiga pelayan tadi.
Riasan yang ada di wajah itu sesuai sekali dengan usianya. Mempercantik tanpa menghilangkan kesan gadis mudanya. Rambut bergelombangnya menjadi lurus dan berkilau, ditata rapi dengan ikatan kecil di belakang dan beberapa hiasan indah untuk menambah kecantikannya. “Aku seperti tuan putri di kerajaan inggris kuno,” ujarnya sembari memiringkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, mengecek kembali hasil tatanan rambutnya yang mencerminkan hasil dari seorang ahli.
Sun melirik jam dari ponselnya, sebentar lagi pukul delapan. Buru-buru dia keluar dari kamarnya, barangkali ia bisa menyambut tamu istimewa yang akan datang ke rumah itu.
Ah ... Sun merasa seperti dirinya sudah benar-benar menjadi anggota Melrose.
Kebetulan sekali. Ketika Sun baru saja tiba di lantai utama, semua orang datang untuk menyambut sang tamu istimewa. Sun bisa melihatnya, wanita berumur namun tetap beraura muda dan elegan itu membalas sambutan dengan tak kalah hangat. Dia terlihat sangat anggun dan berwibawa, seperti wanita kaya pada umumnya.
Ashtelle terlihat sangat ramah, maka dari itu Sun berjalan mendekatinya.
Dipenghujung barisan sambutan itulah, Ashtelle menjumpai Sun untuk yang pertama kali. Keduanya bertemu pandang, lalu senyuman saling diberikan. Sun memberi salam dengan sopan, dan lawannya membalas dengan senyuman.
Dialah Ashtelle Odolff, ibu dari Noah Bellion.
-Bersambung-
Berikan komentar atau saran membangun darimu untuk kemajuan cerita yang kamu sukai ini ya!
“Aku mendengar cukup banyak cerita tentangmu dari orang-orangku, Nona McRay.”Seperti yang sudah kau tahu, Sun dan anggota rumah Melrose saat ini sedang mengadakan pesta teh bersama istri dari pemimpin geng mafia terkenal di New Orleans, Ashtelle Odolff. Ucapan yang tadi itu berasal dari bibir meronanya, sang bintang utama hari ini.Wanita itu benar-benar memancarkan imej istri seorang pemimpin. Caranya menggunakan bahasa tubuh, berpenampilan dan bahkan caranya berbicara, anggun sekali. Alih-alih terlihat seperti istri dari pemimping organisasi kejahatan, dia lebih pantas disebut seorang permaisuri dari kekaisaran yang besar.Sun sejak tadi hanya terdiam, mendengarkan perbincangan wanita-wanita itu tanpa berbicara. Sebenarnya hanya memperhatikan bagaimana indahnya Ashtelle yang hanya mengobrol saja, dia bisa jadi termangu dan terpesona selama beberapa detik. Tapi ketika dilihat dari sudut pandang Ashtelle, semuanya jadi
Ini sudah memasuki hari kedua sejak pertemuannya dengan Ashtelle Odolff dan tiga hari sejak terakhir kali Sun menjumpai Noah Bellion.Rasanya, tiada waktu baginya untuk tidak memikirkan Noah. Sun terjebak oleh rasa cemas yang mengganjal di benaknya, dia benar-benar ingin bertemu dengan Noah. Tapi jika mengingat kembali percakapannya dengan Ashtelle dan apa saja yang sudah wanita itu ceritakan tentang Noah, rasanya Sun mati gaya untuk menentukan raut apa yang akan dia pasang di depan lelaki itu nantinya.“Aku memikirkan Noah terus seakan-akan dia sudah menempati sebuah ruang dalam hati dan otakku!” cibir Sun pada dirinya sendiri yang berakhir dengan dia berdiri bergeming.Iya ... itu benar. Sun memikirkan Noah? Apa itu karena Noah memang sudah benar-benar menempati sebuah ruang dalam benak dan otaknya?Sun menggelengkan kepala beberapa kali, berusaha menyangkal pertanyaan nyeleneh yang tiba-tiba melintasi otaknya. Tidak mungkin dia memberikan s
“Yellow Crowl?” Noah Bellion mengulang nama itu dengan nada tanya, memastikan apa yang didengarnya dari Draven barusan.Lelaki gondrong itu mengangguk sembari mengalihkan wajahnya, dia embuskan asap rokok yang tertahan dalam mulutnya dengan perlahan. “Merepotkan,” ucapnya dengan raut yang tampak sangat terbebani.Tentu saja itu adalah tugas yang tak mungkin bisa Draven atasi seorang diri. Dia sadar kalau dirinya belum berada di level yang sama dengan William sampai bisa ditugaskan untuk mengurus sebuah kelompok berisikan orang-orang sadis seperti Yellow Crowl.Yellow Crowl adalah salah satu organisasi bawah tanah yang sudah lumayan lama berdiri. Kelompok itu berisi para pembunuh bayaran profesional, mereka terkenal di dunia bawah tanah karena kecakapan mereka dalam menjalankan aksi dan juga tentu saja ... keberingasan yang tak lagi menggambarkan sifat manusia.Mengapa Noah menyebut mereka adalah kelompok yang merepotk
Dua hari setelah perintah dikeluarkan, hari di mana Noah akan melakukan apa yang diinginkan William akhirnya tiba. Setelah mengumpulkan informasi dan menyusun rencana, Noah akhirnya bertandang ke markas untuk sebuah hubungan aliansi. Atau lebih tepatnya, untuk mendapatkan kepemimpinan atas kelompok Yellow Crowl. Menurut informasi yang didapat Adam, markas utama Yellow Crowl berada di daerah Cameron, bagian dari Area Statistik Metropolitan Danau Charles.Noah datang seorang diri, dia tidak datang dengan satu pun anggota Little Boy, apalagi bersama Draven. Dia pikir lelaki berewok itu pasti amat tertohok dengan ucapan Noah dua hari lalu,
“Noah?” Sun sangat terkejut. Rupanya dia tidak salah lihat, orang yang di hadapannya ini benar-benar Noah Bellion. Orang yang sejak tadi sempoyongan dan terus dia perhatikan dari jauh. Keputusan Sun untuk mendekat ternyata sangat tepat, karena orang yang hampir limbung barusan itu adalah orang yang sangat dia kenal. “Sun ...,” ujar Noah yang juga terkejut karena tidak menyangka dirinya akan bertemu Sun di tempat ini, dan dengan keadaannya yang seperti ini. Ketimbang rasa terkejutnya, Noah rasa Sun yang paling kaget di sini karena ini a
Sun hari itu benar-benar bungkam tentang apa yang sebenarnya dia lakukan di sekitar taman kota sampai pada akhirnya dia bertemu dengan Noah sore itu. Dia hanya mengatakan kalau dirinya sedang jalan-jalan santai sembari menikmati waktu sendirinya. Itu alasan yang klasik, kendati demikian, Noah tidak akan menaruh rasa curiga yang berlebihan kepadanya karena itu adalah hal yang wajar dilakukan setiap orang di taman kota. Sun menyembunyikan kebenarannya, kalau sesungguhnya saat itu dia bertemu dengan Joana Clarke .... Sekitar jam sembilan pagi, Sun keluar dari mansion tanpa seorang pun yang tahu kecuali Lucy. Wanita itu datang ke kamar Sun sehari sebelumnya, menanyakan hasil pertemuannya dengan Beatrice dan kemudian Sun menceritakan semuanya termasuk dengan rencananya untuk menemui wanita bernama Joana. Lucy tidak ikut campur, dia biarkan Sun pergi menemui Joana pagi itu. Sun datang seorang diri ke taman kota. Menurut informasi yang dia dapatkan d
Sun selesai membersihkan dirinya. Dia merasa sangat gerah setelah menghabiskan seharian di luar dan belum mandi sejak kedatangannya ke apartemen Noah. Sun tidak mau mengganggu waktu istirahat Noah, dia melakukan semuanya dengan sangat hati-hati agar tak menimbulkan suara. Dari makannya sampai mandi.Sun tidak berganti pakaian. Dia memakai baju yang dipakainya tadi karena sekali lagi, Sun tidak mau mengganggu Noah dengan merengek dicarikan baju ganti.Rambut gadis itu masih basah, dia membawa handuk kecil ke mana-mana untuk menyerap airnya. Sun kembali ke kamar Noah untuk mengambil kardigannya, dia membutuhkan itu karena setelah mandi, dia merasa sedikit kedinginan.Tapi ketika netranya memandang Noah, dia berhenti. Sun membatalkan niatnya untuk langsung keluar setelah mengambil kardigannya yang dia letakkan di kursi yang ada di kamar itu, dan malah mendekati ranjang di mana Noah berbaring.Karena ukuran kasur yang tidak terlalu tinggi itu, kepala Sun bahk
Noah membuka matanya di hari yang cerah. Kaca besar yang menjadi sekat kamarnya dan balkon luar memantulkan cahaya matahari dengan sangat baik. Noah terbangun karena sinar surya yang menggelitik matanya, itu amat terang kendati dia masih menutup matanya. Lelaki itu bangun, menarik napas kuat-kuat seakan paru-parunya sudah lama tidak terisi udara bersih. Dia merasa tubuhnya berkali-kali lebih ringan dari semalam, sepertinya dia membaik setelah ditangani dengan tepat dan dirawat dengan baik.Ketika menolehkan kepalanya ke sisi kasur yang lain, atensi Noah sepenuhnya terbangun. Dia mendapati tempat yang semalam diisi oleh kehadiran manis seorang gadis yang terlelap di sampingnya, kini kosong dan dingin.Noah langsung beranjak dari kasurnya, berjalan ke sana dan kemari. Mencari presensi sang gadis yang tak kunjung ia temui meski sudah memeriksa kamar mandi, ruang tengah sampai dapur.Ketika ia kembali ke ruang tengah, pintu apartemennya terbuka. Menampakkan sosok Su
Sun kehilangan alas kaki entah di langkah ke berapa dalam perjalanannya untuk sampai ke tempat ini.Ia berhenti untuk sejenak mengambil napas, sembari mengedarkan pandangan dan berharap dia bisa bertemu dengan Noah.Jika laki-laki bermata abu-abu dengan rambut coklatnya itu benar-benar Noah, maka seharusnya dia tidak perlu melakukan permainan kejar-kejaran seperti ini, kan? Kenapa dia tidak langsung menemui Sun saja?Kenapa dia harus membuat Sun sampai berlari sejauh ini ke pusat desa hanya untuk menemukannya di antara banyaknya manusia?"Noah ...."Sun mengedarkan pandangannya seperti orang linglung, dia berusaha mengidentifikasi setiap wajah dan menyamakannya dengan bayangan sosok yang ada dalam ingatannya.Rambut coklat dan tubuh tinggi kurusnya, dia berjalan tegak dan dia terlihat paling bersinar dari siapa saja yang ada. Seharusnya mudah menemukan Noah di tempat ini, tapi kenapa Sun tidak bisa melakukannya? Apa karena Noah memang tidak ada?Apa Shawn salah lihat? Apakah Sun hanya
Sun tidak tahu sudah berapa lama dia terduduk di bawah pohon rindang itu; dia merenung dan mengingat kembali tentang apa saja yang terjadi yang sempat ia lupakan karena insiden malam itu.Tapi yang ada, dia malah merasa menyesal dan kesal pada dirinya sendiri yang sempat hampir melupakan siapa itu Noah Bellion. Nyatanya, lelaki itu adalah orang yang membuat Sun tidak bisa hidup sedetik saja tanpa dirinya."Dasar bodoh ... bagaimana bisa kau melakukan ini pada Noah?" ujar Sun, memarahi dirinya sendiri dalam penyesalan. Ia menghapus air matanya, tapi itu tetap tidak membuat Noah muncul di hadapannya.Sun kembali bersandar dan menangis. "Kau di mana Noah ...? Kau tidak mau kembali?" ujarnya, "kenapa tidak mau kembali? Aku tidak akan marah karena kau telah berbohong. Nyonya Ash bilang kalau Eliot sudah mati, tapi kenapa kau masih tidak kembali ...?"Sun menundukkan kepala, menutup wajahnya yang pasti terlihat sangat jelek karena menangis tersedu-sedu.Saat ini dia sangat takut untuk berpr
[2 BULAN KEMUDIAN]"Nona Fleurry! Nona ...!"Seorang gadis dengan rambut pirang keemasan menoleh segera ketika seseorang memanggil namanya. Rambut panjang bergelombang milik wanita itu tersapu oleh angin ladang yang bertiup sepoi-sepoi, menjadikannya bak kain tergantung yang menari dengan cantiknya."Selamat pagi Paman, ada apa?" tanya gadis itu, tersenyum ramah dengan cantiknya."Kabar baik untukmu, Nona; lima domba kita berhasil melahirkan hari ini!""Oh, benarkah? Ada berapa anak domba yang lahir?""Ada 17 anak domba, Nona! Dan mereka semua sehat!"Senyum Sun Fleurry McRay tak bisa ia tahan ketika mendengar kabar bahagia di hari yang cerah ini. Ibu domba yang ada di peternakannya berhasil melahirkan bayi domba yang sehat; mereka pasti akan jadi anak domba yang lucu dan gemuk-sehingga membuat Sun tidak sabar untuk melihatnya."Apa kau akan melihatnya sekarang, Nona?" tawaran itu jelas tidak Sun tolak; gadis itu mengangguk lalu bergegas pergi dari tengah ladang bunga matahari yang su
Seorang perawat wanita memasuki kamar rawat Sun Fleurry McRay untuk melakukan pengecekan rutin; dia memeriksa setiap aspek perawatan Sun untuk memantau perkembangan sekaligus melakukan apa yang perlu ditindak lanjut.Tak lupa ia mencatatnya di kertas yang ia bawa, tapi tiba-tiba ...JDERRR!"Ah!" Suara petir yang menggelegar membuatnya terkejut dan tak sengaja menjatuhkan pena miliknya. "Astaga, membuatku kaget saja," ujarnya, lalu memungut pena.Ia melihat ke luar dinding kaca di kamar itu; memperlihatkan langit malam yang gelap tertutup awan mendung. Sudah begitu, terdengar petir beberapa kali dan menandakan sebentar lagi akan turun hujan besar."Apa akan ada badai?" tanyanya, menatap pemandangan langit dengan raut cemas. Tapi dia tidak punya waktu untuk itu, sehingga segera ia tutup tirai ruangan itu dan melanjutkan pekerjaannya. Ia selesai mencatat perkembangan, tapi perhatiannya sejenak jatuh pada Sun yang masih terpejam dengan alat rumah sakit mengitarinya-berusaha mempertahanka
Eliot terdiam, memperhatikan Noah yang berusaha berdiri tegak di atas sana. Tatapannya tajam, Eliot bisa merasakan itu; tapi tiba-tiba Noah tersenyum tipis dan berkata, "Atau jika kau ingin sekali bertemu dengan Joanne? Aku akan dengan senang hati mengantar?"Eliot tertawa; meski ia kesal luar biasa. Noah masih menantangnya dengan angkuh padahal lelaki itu terlihat akan mati sebentar lagi.Sebagian wajahnya ditutupi darahnya sendiri, kemeja putihnya lusuh dan ada banyak noda darah; pakaiannya compang-camping memperlihatkan sebanyak apa luka yang dia dapatkan. Dan yang lebih seru adalah ... tangannya yang erat memegang pistol rusak itu, sepertinya patah.Noah melihat ke arah pandang Eliot, dan ya-dia juga sadar apa yang terjadi pada tangan kanannya saat ini. Ia melempar pistolnya yang sudah rusak karena tertimpa reruntuhan, lalu kembali menatap Eliot dan berkata, "Ayo selesaikan ini ...."Eliot menahan tawa, sembari membuka telapak tangannya menghadap Noah; ia bermaksud menolak. "Kau y
"Akh!"Noah tersungkur, tapi rentetan peluru tak berhenti sehingga ia terpaksa merangkak dengan rasa sakitnya menuju ke tempat yang bisa melindunginya.Ia menarik kekinya yang seakan mati rasa untuk sejenak, dan menyadari peluru Eliot berhasil menyayat pergelangan kakinya lumayan dalam."Sial!" ujarnya, mengernyitkan kening tajam sembari merobek sebagian celananya untuk menghentikan pendarahan. Perjalanan masih jauh, dia tidak boleh lemas karena kehabisan darah untuk luka kecil seperti ini.Sementara dirinya sudah lusuh dan berdarah, Eliot masih berdiri di tempatnya seolah tak tersentuh. Jika saja Eliot hanya membawa satu pistol, pasti Noah bisa mengimbangi permainannya. Tapi bahkan dia memiliki pistol lain setelah dua pistolnya kehabisan amunisi.Noah berusaha mengatur napas sembari mendengarkan Eliot."Kau tahu, setelan yang aku pakai malam ini adalah hadiah dari kekasihku. Dia memberiku benda ini sebagai hadiah. Aku tidak suka, aku sempat membuangnya. Tapi kemudian aku ingat; kalau
Noah berjalan menyusuri tangga beton dalam bangunan tua yang mangkrak pembangunannya. Dengan langkah lesu dan raut biru, ia tidak menengadahkan wajah dan terus memperhatikan langkahnya sampai ia tiba ti tempat tujuan.Hari ini sesuai dengan perkataannya; dia akan datang menemui Eliot di mana pun lelaki itu berada. Ini tidak seperti pertemuan yang direncanakan untuk melepas rindu satu sama lain, mereka datang untuk tujuan masing-masing; membunuh satu sama lain.Tentu saja perasaan Noah tidak akan baik-baik saja. Dia meminta izin pada ibu kandung Eliot untuk membunuh anaknya, bukankah ini tragis? Ibu mana yang tidak akan terluka saat buah hatinya berada di ambang bahaya, tapi dia tidak bisa melakukan apa-apa?"Oh, kau sudah datang, Noah ...?"Tatapan mata Noah terarah lurus ke depan; menuju tempat Eliot yang berdiri memunggunginya sembari merokok santai bersandar pada pilar tak bertembok. Dari lantai empat, angin semakin kencang bertiup; malam juga tidak terlihat cerah. Hal itu membuat
Sebuah pemakaman keluarga yang sepi, seorang lelaki datang sembari menenteng buket bunga dengan langkah yang lamban.Ketika ia tiba di depan sebuah nisan bertuliskan nama William Odolf, lantas ia meletakkan buket bunga itu dan membuka kaleng bir untuknya.Noah Bellion duduk di depan nisan, ia meminum bir kalengan yang dibawa sembari menatap dingin nisan William di hadapannya. Meski ia tampak dingin dan tak memiliki simpati, tapi jika dilihat saksama, terdapat guratan sendu di mata dinginnya yang tertunduk lesu.Noah terdengar beberapa kali menghela napas, rasanya masih belum bisa dipercaya jika William sudah tiada. Semua terjadi begitu cepat dan kacau luar biasa; bahkan Noah tak memiliki waktu untuk berbelasungkawa atas kematian ayah angkatnya ketika kekacauan lain datang dan hampir merenggut sang kekasih darinya.“Kacau sekali,” ujarnya, bermonolog, “mungkin aku tidak akan pernah hidup dengan tenang; aku sudah terlahir untuk hidup di dunia yang kacau.”Noah memikirkan kembali masa la
Sudah lebih dari seminggu lamanya Sun terbaring di ranjang rumah sakit, dan selama itu pula Noah tidak pernah absen sehari saja untuk mengunjunginya.Setelah kecelakaan itu, Sun mengalami luka yang sangat parah. Benturan di kepalanya mengakibatkan trauma yang belum bisa dideteksi oleh medis, dan beberapa tulangnya mengalami patah. Mereka bilang; Sun bisa melewati masa kritis saja merupakan suatu hal yang mengejutkan. Sebab dengan luka separah itu, jika dia mati maka bukanlah hal yang mustahil.Mereka bisa mengatakannya, maka Noah hanya akan bersyukur dan berterima kasih pada Tuhan yang selama ini tak ia percaya. Noah setelah sekian lama, akhirnya kembali berdoa pada Tuhan yang lama tak dia gaungkan namanya, bahkan untung-untungan dia masih ingat nama Tuhannya. Tapi doa Noah kali ini dikabulkan; Sun berhasil melewati masa kritis. Namun, itu bukan berarti dirinya sudah bertemu jalan yang mulus.Mengingat dia memiliki trauma pada syaraf kepalanya dan medis belum bisa mendeteksi sebelum ef