Sun dan Emma melanjutkan kegiatan jalan-jalan mereka di hari yang cerah.
Hari yang cerah membawa kebahagiaan bagi semua orang. Jalanan French Quarter sangat ramai pagi ini. Banyak orang melewati jalanan yang juga dilewati Sun dan Emma. Entah mengapa melihat kesibukan lautan manusia itu menjadi hiburan tersendiri bagi Sun dan Emma.
“Sun, kau harus melihat ini!” Sun belum selesai menikmati satu hal, dan Emma dengan sangat bersemangatnya mengajak Sun untuk melihat hal lain. Ketimbang Sun yang seorang pendatang baru di New Orlean, Emma yang menjadikan kota pelabuhan itu sebagai tempat kelahirannya malah terlihat lebih bersemangat menelusuri pusat hiburan di kota itu.
Emma mengajak Sun untuk mengunjungi jalanan yang terkenal dengan deretan toko-toko yang menjual banyak hal. Tentu saja, karena French Quarter adalah jantung hiburannya New Orleans dan tentu saja tempat itu adalah tempat yang banyak didatangi wisatawan asing luar ataupun dalam domestik.
Bisa dibilang itu adalah pasar jalanan. Sepanjang jalan, Sun melihat banyak orang-orang menjual barang yang berbagai macam jenis juga namanya. Tidak seperti kampung halaman Sun yang harus pergi ke pusat kota untuk melihat hal-hal semacam ini, tempat ramai ini bahkan tidak seberapa jauh jaraknya dari mansion.
Sudah lebih dari setengah jam yang lalu, kedua gadis itu menjelajahi kesenangan yang tiada habisnya. Kaki mereka pun tidak mungkin merasa lelah, mata mereka sudah mengirim sinyal pada otak untuk menahan segala pegal yang ada jika itu memang ada. Karenanya, mereka sejak tadi berjalan tanpa lelah, melihat ini dan itu kendati belum ada satu barang pun yang dibeli. Mungkin alasan Emma yang keluar untuk membeli sesuatu itu adalah sebuah dusta, karena dia tampaknya seperti tidak ingat jika dia memiliki sesuatu untuk dibeli.
Sun tidak masalah dengan Emma yang terlalu bersemangat sampai melupakan tujuannya. Toh Sun pun sangat menikmati apa yang ia lihat di tempat itu.
“Kau suka tempat ini, Sun?” tanya Emma sembari sibuk melangkah ke sana dan kemari. Sun hampir tak sadar saat Emma menanyainya. Dia larut dalam kesenangan.
“Ah, iya. Aku sangat menyukainya, Nona Emma.” Mungkin juga Emma tidak menyadari jika Sun menjawabnya, sebab dirinya juga sama larutnya dengan Sun terhadap situasi menyenangkan ini.
Emma melanjutkan kegiatan cuci matanya, sementara Sun mendadak berhenti sebab netranya menangkap sesuatu yang menarik. Itu adalah hal yang sering ia lihat di tanah kelahirannya, membuatnya merasa bernostalgia dan merindukan sentuhan ibunya. Sun mendekati toko bunga itu, beberapa bunga yang ada di bagian depan menarik perhatiannya dan membuatnya memutuskan untuk melihat dari dekat.
“Selamat pagi, Nona. Kau ingin melihat sesuatu yang indah?” sapa penjaga toko yang keluar karena eksistensi Sun di sekitar barang dagangannya. Sun menegakkan tubuhnya yang semula merunduk untuk melihat-lihat bunga, dia lantas membalas senyum ramah wanita dewasa itu.
“Aku suka bunga,” tutur Sun tanpa bisa mengalihkan wajahnya dari warna-warni bunga berbagai jenis yang memenuhi toko itu. Semerbak harum dari bunga yang berbeda-beda jenisnya membuat aura di tempat itu seakan dipenuhi aroma menenangkan dari alam. Sun semakin betah berada di sana.
“Apa aku boleh melihat-lihat yang ada di dalam?” tanya Sun, dengan sopan meminta izin. Penjaga toko tentu saja membolehkannya, dan dengan ramah mengizinkan Sun untuk masuk. Sun melanjutkan kegiatannya dan melihat lebih banyak bunga di dalam. Dia merasa semakin kagum melihat bunga-bunga berjejer dengan rapi dan indah. Warnanya beragam, seperti pelangi.
Sun bahkan tak sadar jika dirinya sudah berpisah dari Emma sejak tadi, tapi dia tidak menyadarinya sebab terlalu asyik melihat-lihat bunga. Dia menghabiskan waktu untuk menikmati keindahan bunga dari yang sudah akrab dengannya, sampai bunga yang baru pertama kali Sun lihat. Dia kembali ke bagian depan toko dan masih tertarik untuk melihat bunga yang ada di sana.
“Apa Nona ingin saya buatkan karangan bunga?” tanya wanita penjaga toko pada Sun yang tatapan matanya seperti ingin memeluk seluruh bunga yang ada di sana dengan kedua tangannya. Sun terhenti sejenak dan berdiri dengan wajah bimbang.
“Bunga ...?” gumamnya sembari mengerutkan bibir, “aku tidak memiliki seseorang yang harus aku berikan karangan bunga hari ini,” lanjut Sun dengan polos. Penjaga toko itu merasakan kaku pada otot senyumnya.
“Haha ... kalau begitu, untuk Nona saja bagaimana? Memberikan hadiah ke diri sendiri itu salah satu cara untuk mencintai diri sendiri, lho ....” Sun mengerti jika itu adalah strategi penjual untuk membuat dagangannya dibeli, tapi Sun sungguh tidak ingin memiliki karangan bunga apapun untuk hari ini. Lagi pula, Sun bisa membuatnya sendiri. Jangan lupa jika Sun tumbuh besar dengan bunga-bunga di sekitarnya, merangkai bunga menjadi sesuatu yang lebih rapi dan menarik adalah makanannya sejak kecil.
“Mungkin jika kau bisa menunjukkan bunga bagus yang sekiranya tidak aku ketahui, aku akan membelinya untuk aku rawat sendiri di rumah, Nona Penjaga Toko.” Ucapan Sun sebenarnya hanyalah pengalihan saja, karena dia tahu jika dirinya pasti sudah mengenal segala jenis bunga di tempat ini kendati tidak semuanya sudah pernah ia temui. Sun hanya ingin menikmatinya saja, dan dia harap penjual itu mengerti apa keinginannya.
Tapi penjaga toko tidak menyerah begitu saja. Mendengar ucapan Sun membuatnya terasa seperti tertantang. Wanita yang berusia sekitar 25 tahun ke atas itu langsung menuju ke belakang Sun, tepatnya untuk mengambil sebuah tanaman yang tumbuh dalam pot gantung tepat di atas Sun membungkuk saat ini.
Saat hendak mengeluarkan pot tanah liat itu dari tali yang menggantungnya, tangan wanita penjaga toko tak bisa memegang pot itu dengan benar kendati ukurannya tak seberapa besar dari telapak tangannya. Sayang sekali, dia tak berhasil menangkapnya dan pot itu melayang jatuh menuju Sun yang ada di bawahnya.
Prang!
Suara keras yang mengejutkan sekitarnya, termasuk Sun yang sangat dekat dengan sumber suara. Dia tidak tahu apa yang terjadi, sebab sedari tadi netranya hanya tertuju pada kumpulan bunga yang cantik di sana. Dia tidak tahu jika pot keramik yang sudah pecah menjadi bagian-bagian kecil itu hampir membahayakan nyawanya. Belum sembuh rasa kejut akibat apa yang baru saja terjadi, Sun kembali dikejutkan kala ia mendapati Noah yang berdiri tepat di belakangnya, entah sejak kapan dia berdiri di sana dengan tangan yang terangkat sedikit ke atas kepala.
Sun berdiri perlahan dan berusaha mencerna situasi, sementara wanita penjaga toko yang tak kalah terkejut itu langsung mendekati Sun seraya mengulang kalimat maaf beberapa kali. “Nona, tolong maafkan saya. Saya benar-benar tidak bermaksud melukai Nona.”
Sun masih tampak bingung, dia melihat sekitar dan seharusnya percaya jika dirinya hampir dalam bahaya jika saja pot itu jatuh dan mengenai kepalanya. Tapi yang terjadi, dia baik-baik saja. Tanpa lecet sedikit pun meski dibuat terkejut dan bingung.
Sun melihat ke arah Noah yang juga menatapnya tanpa sepatah kata atau raut muka yang bisa menjawab kebingungannya. Sampai dia menyadari sendiri alasan mengapa pot itu tidak sampai mengenai dirinya, Noah menjawabnya tanpa perlu berbicara atau menunjukkannya. Sun melihat noda debu dan tanah di kemeja putih milik lelaki itu, tapi saat ia hendak menanyakan bagaimana keadaannya, dia dengan cepat ditarik mendekat dalam jangkauan si lelaki.
“Kau ingin membunuhnya?” tanya Noah dengan nada bicara yang dingin. Dia bahkan tidak terdengar seperti sedang bertanya. Dia seakan sedang mengancam hanya dengan sebuah tanya dan raut muka tak suka miliknya.
Wanita penjaga toko itu merasa takut dan merinding. Aura membunuh Noah sudah terlihat jelas bahkan tanpa perlu dirinya berkata banyak. Noah sudah jelas-jelas menunjukkan jika dirinya bisa menelan siapa saja yang mencoba mengusik miliknya, dan itu ia perlihatkan saat ini, tepat di hadapan seorang wanita yang sedang tak beruntung.
“Maafkan saya, Tuan. Saya tidak sengaja ...,” ujar wanita itu dengan raut sesal yang dicampur ketakutan.
“Jika aku tidak datang tepat waktu, dia pasti sudah dalam keadaan yang bahaya saat ini!” Nada bicara Noah tak menunjukkan perubahan, dingin seperti biasa. Tapi Sun bahkan tahu siapa itu Noah Bellion yang sedang berdiri di depannya saat ini. Dia yang tak tahu apa yang bisa Noah lakukan di saat seperti ini, akhirnya tak memiliki pilihan lain selain membuat Noah tetap tenang.
Sun menarik kemeja Noah, berkata dengan lembut, “Sudahlah, dia sudah meminta maaf. Aku tahu dia tidak sengaja melakukannya.” Noah yang sebelumnya hendak melangkah, entah untuk apa, saat ini hanya bisa berdiri setelah Sun berkata demikian. Namun sorot mata yang mengerikan itu tak bergulir sedikit pun dari subyek tatapannya sejak beberapa menit lalu.
Sun tak ingin membuat kegaduhan, ataupun mengundang lebih banyak orang untuk melihat dirinya saat ini. Dia mendekati si wanita penjaga toko, lalu berkata, “Aku baik-baik saja, Nona. Tidak apa-apa ....” Dia mengatakannya sambil tersenyum, membuat Noah tak betah melihatnya dan segera menariknya untuk pergi dari sana.
Sun tidak mengatakan apa-apa sejauh Noah membawanya berjalan memecah kerumunan, dia juga tak memiliki alasan untuk memberontak. Sekitar dua meter mereka menjauh, Sun menahan Noah dan keduanya berhenti di pinggir jalan yang tak banyak dilalui orang-orang. Sun tidak ingin mengatakan apapun selain menanyakan tangan Noah. Meski dia tidak tahu persis seperti apa Noah memecahkan benda itu, atau yang Sun takutkan, pot itu jatuh mengenai tangan Noah dan itu pasti sakit.
Tapi saat hendak menanyakannya, lagi-lagi Noah menyela dengan cepat. “Kenapa kau ada di sini?” dia bertanya dengan raut tak berwarnanya, pasif dan kaku sekali.
Sun menghela napas singkat, lalu menjawabnya, “Aku berjalan-jalan sambil beradaptasi dengan kota ini.”
“Sendirian?”
“Aku bersama Nona Emma. Dia mengajakku pergi keluar sekalian jal—”
“Dan di mana dia sekarang?” Sun terdiam, baru sadar jika sejak tadi dia tidak bersama Emma.
“Aku tidak tahu jika aku sudah berpisah dengannya. Sejak kapan, ya?” ujar Sun dengan harapan Noah tidak akan memarahinya. Seharusnya Sun tahu jika Noah bukan tipikal orang yang marah dengan kata-kata, dia hanya akan diam sembari memandangi pusat kekesalannya dengan tatapan dingin dan angkuh. Dan hanya seperti itu saja, Sun bisa merasa merinding meski Noah tidak melakukan apa-apa dan hanya diam memandanginya sejak tadi.
Tak lama berselang, suara yang Sun kenali memanggilnya dari kejauhan. “Sun ...!” setengah berteriak, Emma mempercepat langkah dan menghampiri Sun. “Kau dari mana saja? Aku mencarimu sejak tadi ...,” tuturnya dengan raut cemas.
“Aku pergi untuk melihat-lihat bunga, Nona Emma. Maafkan aku.”
“Untuk apa kau meminta maaf?” Itu adalah Noah, menyela percakapan Sun dan Emma dengan kalimat sindiran yang tak berbelit-belit. “Dia yang mengajakmu, kan? Seharusnya dia menjagamu, dengan begitu kau tidak akan terpisah darinya. Dengan begitu kau tidak akan hampir celaka karena pot bunga yang hampir saja memecahkan kepalamu tadi!”
“Astaga ...!” Emma terkaget-kaget, tak menyangka jika Sun akan mengalami kejadian seperti itu ketika dia lalai dan terpisah darinya. “Sun, aku benar-benar minta maaf. Aku berjanji aku tidak akan mengulanginya, aku akan menjagamu di jalan-jalan berikutnya! Maafkan aku ....”
Raut Emma tampak jelas menggambarkan rasa penyesalan, pun dengan nada bicaranya. Sayangnya, kesalahan seperti itu terhitung amat besar di mata Noah, hingga lelaki itu tak kunjung menatap Emma dengan biasa dan terus memasang tatapan tajam yang mengancam itu pada Emma.
“Pastikan kau menjaganya dengan baik!” Noah bahkan menambahkan kalimat yang terdengar seperti kecaman itu tanpa belas kasihan, kendati Emma sudah meminta maaf dengan baik.
“Hentikan, Noah! Kau bisa menakutinya,” tutur Sun yang baru menyadari jika Emma terus meminta maaf sejak tadi.
Sun bukannya mengabaikan Emma. Dia hanya dibuat terpaku pada kalimat panjang yang baru saja Noah katakan. Sun pikir Noah tidak suka berbicara, jadi mendengarnya mengoceh sepanjang tadi membuat perut Sun jadi sedikit tergelitik. Itu lucu.
“Hei ... hei~ Apakah itu sopan, memarahi kekasih dari seniormu?” Suara lain menyentil rungu ketiga insan itu. Mereka serempak menoleh ke sumber suara, tiga respons berbeda diberikan atas presensi lain yang hendak memasuki interaksi mereka: Noah yang menyembunyikan rasa tak suka dengan mengalihkan tatapannya, Sun yang terus menatap dengan pandangan bingung sebab tak mengenal siapa sosok lelaki di depan sana, dan juga Emma yang tentunya akan langsung berseru riang dan berlari memeluknya.
“Draven!”
Sun baru mengetahui siapa sosok itu. Dialah Draven Missegrand, lelaki berusia 33 tahun yang terkenal sebagai pemilik wanita paling banyak di Kediaman Melrose. Alexa, Lucy dan Emma adalah contoh dari wanita-wanita kepunyaannya yang sebenarnya berjumlah tujuh.
Mengingat percakapan panjangnya dengan Emma pagi tadi, Sun memantaskan jika gadis dengan rambut bergelombang yang diikat satu itu langsung sumringah melihat Draven. Mereka sudah lama tak bertemu dan melepas rindu dengan pelukan adalah hal yang paling ingin dilakukan, kendati itu hanya normalitas saja sebagai dua partner bercinta.
“Apa kabarmu, Emma?” tanya Draven yang masih tak dilepaskan dari pelukan Emma. Gadis itu bermanja mesra selagi memeluk pinggang lelakinya, menatap wajah yang dipuja dengan segenap cinta.
“Aku baik dan sangat baik setelah melihatmu,” jawab Emma, membuat Noah yang mendengar makin betah memandangi hal lain selain apa yang ada di depannya.
Draven yang menyadarinya, lantas melonggarkan sedikit pelukan Emma agar dirinya bisa mendekati Noah. “Kau terlihat tidak suka sekali setelah aku tegur, Tuan Muda Bellion? Padahal kau yang salah,” ujar Draven sembari mendekatkan wajahnya ke wajah Noah. Mau tak mau, lelaki dengan tubuh kurus itu harus membalas tatapannya, meski tatapan itu seperti tak bisa dirubah.
“Siapapun dia, aku tidak bisa melihatnya memperlakukan sesuatu yang aku punya dengan seenaknya.” Jawaban berani Noah melayang seperti biasa, menantang hasrat bersaing yang alamiah dirasakan oleh Draven.
Lelaki dengan berewok tipis itu mendekatan wajahnya pada Sun, membuat Sun seketika mundur. Tak sampai di sana, Draven lantas menyentuh pipi gadis itu sampai membuat yang punya mendelik tak suka. Noah tetap diam, jadi Draven semakin gencar mengerjainya.
“Jadi, kau gadis itu, ya ...? Alasan mengapa para petinggi Little Boy harus terlibat dalam masalah merepotkan ....” Draven kini menyentuh kepala Sun, membuat Noah semakin kesal melihatnya. Cukup sampai lelaki itu seenaknya menyentuh kepunyaannya, Noah tidak ingin dia bicara lebih banyak tentang hal yang tak perlu didengar Sun.
Maka dari itu, sebelum Sun bertanya, Noah melepaskan tangan Draven dari gadisnya dengan kasar. “Pergilah berkencan dan tinggalkan kami.” Melihat wajah kesal Noah, meski tak berbeda dari ekspresi yang biasa dia tunjukkan, tetap saja itu membuat Draven merasa senang.
“Haha, lucu juga melihatmu bertingkah seperti manusia, Noah Bellion!” ujar Draven selagi bergegas mengajak Emma untuk pergi.
“Sun, sepertinya aku harus berkencan dulu dengan Draven. Karena Noah sudah ada di sini, kalian juga bisa sekalian berkencan. Aku pergi dulu!” Sesaat setelah Emma melambai, maka berpisahlah mereka berdua untuk melakukan kencan masing-masing.
Tapi sepertinya, tidak ada kencan lagi setelah ini. Sun dan Noah hanya berdiri, diam dalam kecanggungan. Noah sepertinya tidak merasa canggung, maka masalahnya memang ada di Sun yang kelewat bingung harus mengatakan apa untuk menghentikan keheningan mereka.
Sun tak perlu berkicau apa-apa. Sesingkat dengan ucapan, “Ayo,” dari Noah dan membuatnya kembali bisa bergerak normal setelah dibuat membatu canggung beberapa saat.
Ketika langkahnya berusaha menyejajarkan, barulah suara itu keluar dengan sendirinya. “Noah, apa maksud dari ucapan Tuan Draven tadi?”
“Panggil dia Draven saja.”
“Ah, baiklah. Tapi aku tidak tahu maksud ucapannya yang mengatakan kalian terlibat dalam masalah merepotkan karena diriku. Apa itu benar?”
Noah membalasnya dengan keheningan, kendati berulang kali Sun mencoba untuk menanyakannya. Sun yang dihantui rasa kesal setelah diabaikan, memberanikan diri berlari dan menggenggam tangan Noah untuk yang pertama kali.
“Noah, berhenti!”
Noah benar-benar berhenti. Tak peduli akan nyeri yang menjalar akibat rangsangan dari sentuhan, dia berhenti karena suara yang memanggilnya adalah milik Sun.
Melalui genggaman itu juga, Sun meminta Noah untuk menghadap dirinya. “Kau terus memotong ucapanku setiap kali aku akan menanyakannya. Aku hanya ingin tahu, apakah tanganmu baik-baik saja atau tidak ....” Sun menarik tangan yang digenggamnya untuk dia lihat lebih dekat, ada memar kemerahan di punggung tangannya dan beberapa luka goresan kecil yang membuat Sun menatap dengan khawatir. Tangan Noah jadi terluka pasti karena melindungi Sun agar tidak terkena pot yang jatuh tadi.
Sun mengedarkan pandangannya, lalu menemukan sebuah toko di dekat mereka berdiri. “Kau di sini saja, aku akan segera kembali,” ungkapnya pada Noah tanpa mengizinkan lelaki itu untuk membalas. Dia segera berlari ke seberang jalan, tempat toko kecil berdiri yang dia kunjungi hanya untuk sebuah salep dan plester.
Setelah mendapatkan apa yang ia mau, dirinya segera kembali ke hadapan Noah yang masih berdiri di tempat semula, menunggu kedatangannya. “Apa ada luka lain di tanganmu?” tanya Sun dengan niat langsung mengobati jika ada luka lain di tangan Noah.
Tapi saat dirinya hendak menyingsingkan lengan kemeja Noah, lelaki itu dengan cepat menarik tangannya tanpa sepatah kata atau aba-aba. Dia membuat Sun terkejut namun tak segera mengatakan alasan.
“Baiklah, aku tidak akan menyentuhmu lebih banyak dari ini,” ucap Sun lalu menarik kembali lengan kanan Noah hanya untuk memberikan salep dan plester yang dibelinya tadi. “Aku tahu kau mungkin akan dengan kerennya berkata jika lukamu itu bukan apa-apa, tapi karena kau terluka untuk melindungiku, aku tetap harus bertanggung jawab! Setidaknya sekali saja, pakai ini.”
Noah tak menanggapinya dengan aktif. Dia hanya diam sembari memandangi Sun, dan apa yang akan dilakukan gadis itu selanjutnya. Hal itu membuat Sun jadi merasa risi, sebab dirinya tahu jika tidak ada lagi hal yang ingin dan perlu dia bicarakan dengan Noah. Keadaan kembali hening, dan menjadi canggung bagi Sun.
Semilir angin yang berembus di hari cerah itu, terdengar jelas tanpa diganggu eksistensi kendaraan yang kebetulan sepi. Sun dapat mendengar, keberadaan makhluk hidup lain seperti serangga, hadir untuk menertawakan kecanggungannya. Rasanya tidak nyaman sekali, mengapa harus Sun yang merasakan rasa canggung ini sendiri sementara Noah malah dengan santainya menyulut rokok di samping sang gadis.
Entah karena bosan dengan sepinya suasana atau apa, Sun tiba-tiba saja memiliki sesuatu untuk dikatakan. Tak ragu lagi ia bersuara, menyita atensi Noah yang kini beralih menujunya. “Nona Emma tampak senang sekali saat bertemu Draven ....”
Noah hanya meliriknya, namun telinga lelaki itu siap mendengar apa saja yang akan Sun katakan.
“Dia mungkin tidak merindukannya, tapi rasa bahagia itu terlihat jelas saat dia melihat Draven.”
“Dia senang karena tahu dirinya masih dibutuhkan dan tidak akan dibuang.” Bahkan ketika Sun memulai perbincangan dengan baik, Noah masih menemukan celah untuk mencibir Emma.
Sun mengabaikannya dan lanjut berbicara. “Entahlah ... mungkin kau benar. Tapi aku bisa memahaminya, perasaan senang karena masih dibutuhkan.”
Berbeda dengan kalimat sebelumnya yang masih bisa ia dengar sembari menikmati putungan rokok itu, kali ini ucapan Sun membuat Noah terdiam dan hanya menatapnya. “Apa maksudmu?”
“Karena semua terjadi begitu cepat dan membingungkan, aku baru sadar jika ini adalah pertama kali kau bertemu dan berbicara padaku setelah satu minggu menghilang tanpa kabar. Aku mulai merasa resah untuk hal yang tidak ingin aku pikirkan, dan kau datang hari ini. Meski tanpa terduga dan direncanakan sama sekali, tapi aku senang kau menemuiku.”
Itu mengalir begitu saja. Kata-kata yang mungkin akan membuat Sun mual jika dipikirkan dua kali. Tapi untuk saat ini, hanya itu saja hal yang berputar dalam kepalanya. Kalimat yang disusun dengan baik, sesuai apa yang hatinya katakan.
Sun merasa lega, karena Noah kembali menemuinya.
-Bersambung-
Noah terdiam lama, bibirnya rapat mengatup seakan ada yang merekatkannya. Memang ada, dan itu adalah ucapan Sun yang barusan dilontarkan kepadanya. Gadis dengan surai pirang emasnya itu masih lekat menatap Noah, pun dengan Noah yang melakukan hal serupa. Keduanya bahkan mungkin tak menyadari jika banyak detik berlalu hanya untuk melakukan kontak mata yang tidak tahu apa maksudnya. Sun menjadi yang paling pertama menyadarinya. Dia tidak tahu mengapa ia dan Noah saling beradu pandang untuk waktu yang lama. Setelah ucapannya, Noah tak lagi mau berkata. Dia tahu jika Noah sangat irit bicara, tapi tidak bisakah dia membuka sedikit saja mulutnya untuk merespons ucapan Sun? Atau hanya berikan Sun gumaman saja agar apa yang baru saja dikatakan gadis itu tak terdengar seperti sesuatu yang aneh sampai tidak perlu diberikan respons. Sun jadi merasa sangat malu dan canggung. Tapi itu tak berlangsung lama kala ia mulai berpikir, Noah mungkin saja terdiam karena se
Sekarang sudah malam. Tidak terasa Sun menghabiskan satu harinya bersama Noah. Ini benar-benar tidak pernah ia duga sebelumnya. Saat ini mereka berada di sebuah restoran, tentunya untuk menikmati makan malam setelah seharian hanya berjalan-jalan dan makan pun dari jajanan. Sun harus tetap mengisi tubuhnya dengan nutrisi yang benar, terlalu banyak makan jajanan tidak akan baik untuknya. Itu yang Noah katakan. “Pesan sekarang,” ujar Noah ketika buku menu diberikan kepada mereka. Sun tersenyum senang lalu melihat-lihat menu makanan. Astaga ... hatinya bersuara. Makanan di sana terlihat sangat enak, Sun tidak bisa memilih karena dia menginginkan semuanya. Padahal dia sudah makan banyak jajanan, tapi ketika melihat buku menu di tempat itu, cacing-cacing di perutnya bergejolak hebat seakan dia belum makan dua hari. Sun menggigit bibir bawahnya. Kalau di Melrose, dia pasti tidak diizinkan makan lebih dari tiga menu utama menurut atura
Eliot Redwood. Nama itu amatlah membekas dalam kurun waktu lima tahun terakhir dalam benak Noah. Jika bertanya apakah Noah mengenalnya, tentu saja jawabannya adalah: sangat.Jauh sebelum hari ini, Noah dan Eliot terikat oleh hubungan yang baik dan manis. Kakak dan adik laki-laki? Begitu orang-orang menyebutnya. Kendati tak ada yang menghubungkan keduanya secara sah, dan hubungan itu hanya sebatas sebutan. Tidak disangka, itu menjadi hal yang bisa Noah anggap nyata setelah sekian lama menutup diri dari dunia.Noah menyukai Eliot, dia adik kecil yang manis dan terkadang manja. Eliot pun menyukai Noah, kakak yang dingin namun selalu terlihat keren di matanya. Semua itu indah ketika mereka masih anak-anak, ya ... dunia yang hanya diisi kesenangan itu bukanlah dunia yang akan selamanya mereka tinggali.Ketika beranjak dewasa, pikiran mulai bergerak dan logika mulai melakukan fungsinya. Bagaimana ...? Bagaimana bisa itu terjadi?Bagaimana bisa orang lain itu me
Malam itu, ada yang tak bisa jatuh dalam lelapnya. Berusaha berulang kali menutup mata, tetapi berakhir dengan dirinya yang kembali melihat langit-langit ruangan yang dia tempati. Kedua netra dinginnya sekali lagi melirik ke arah presensi seorang gadis yang nyenyak tak terusik di depan sana, wajah tenang itu yang mampu membuatnya kembali tenggelam dalam ingatan hanya tentangnya. Noah tidak berniat bernostalgia. Tapi ketika dia melihat wajah Sun sekali lagi, kepalanya memutar kembali adegan yang terjadi tiga tahun lalu. Itu bagian saat dia pertama kali melihat Sun di tengah ladang bunga kuning di dataran Vermont yang sejuk. Tiga tahun lalu, Noah Bellion melakukan perjalanan menuju salah satu kota kecil di daerah Vermont, negara bagian Amerika Serikat. Tempat itu bernama Woodstock, kota kecil yang terkenal akan keindahan alamnya yang masih terjaga. Jika bertanya mengapa salah satu eksekutif dari kelompok mafia paling terkenal di New Orleans datang ke tempat terpencil nan asri itu, jaw
Sun membuka mata ketika surya belum terbangun dari ufuknya. Bukan karena kantuknya telah usai, dia masih bisa merasakan matanya sangat berat untuk dibuka lebar tetapi tubuh itu menolak untuk terlelap setelah tidurnya terganggu akibat dinginnya udara. Dia duduk di ujung ranjangnya, terdiam dan mengingat-ingat malamnya. Malam yang biasa, dia selesai menghabiskan jalan-jalannya dengan Noah dan berakhir makan malam berdua. Setelah itu dia kembali dan tak lama memutuskan untuk tidur. Hanya saja, dia ingat sekali kalau semalam dirinya tidak memakai piyama berlengan panjang. Dia hanya memakai gaun tidur tanpa lengan dan mungkin itu yang menjadi alasannya terbangun karena kedinginan. Sun melihat kembali ke ranjang, memandang selimut yang dipakainya semalam. Keningnya mengerut samar. “Apa aku memakai selimut semalam?” tanyanya pada diri sendiri. Seingatnya, Sun sama sekali tidak memakai selimut atau kain apapun untuk membuat tubuhnya lebih hangat. Itu karena dia terla
“Aku mendengar cukup banyak cerita tentangmu dari orang-orangku, Nona McRay.”Seperti yang sudah kau tahu, Sun dan anggota rumah Melrose saat ini sedang mengadakan pesta teh bersama istri dari pemimpin geng mafia terkenal di New Orleans, Ashtelle Odolff. Ucapan yang tadi itu berasal dari bibir meronanya, sang bintang utama hari ini.Wanita itu benar-benar memancarkan imej istri seorang pemimpin. Caranya menggunakan bahasa tubuh, berpenampilan dan bahkan caranya berbicara, anggun sekali. Alih-alih terlihat seperti istri dari pemimping organisasi kejahatan, dia lebih pantas disebut seorang permaisuri dari kekaisaran yang besar.Sun sejak tadi hanya terdiam, mendengarkan perbincangan wanita-wanita itu tanpa berbicara. Sebenarnya hanya memperhatikan bagaimana indahnya Ashtelle yang hanya mengobrol saja, dia bisa jadi termangu dan terpesona selama beberapa detik. Tapi ketika dilihat dari sudut pandang Ashtelle, semuanya jadi
Ini sudah memasuki hari kedua sejak pertemuannya dengan Ashtelle Odolff dan tiga hari sejak terakhir kali Sun menjumpai Noah Bellion.Rasanya, tiada waktu baginya untuk tidak memikirkan Noah. Sun terjebak oleh rasa cemas yang mengganjal di benaknya, dia benar-benar ingin bertemu dengan Noah. Tapi jika mengingat kembali percakapannya dengan Ashtelle dan apa saja yang sudah wanita itu ceritakan tentang Noah, rasanya Sun mati gaya untuk menentukan raut apa yang akan dia pasang di depan lelaki itu nantinya.“Aku memikirkan Noah terus seakan-akan dia sudah menempati sebuah ruang dalam hati dan otakku!” cibir Sun pada dirinya sendiri yang berakhir dengan dia berdiri bergeming.Iya ... itu benar. Sun memikirkan Noah? Apa itu karena Noah memang sudah benar-benar menempati sebuah ruang dalam benak dan otaknya?Sun menggelengkan kepala beberapa kali, berusaha menyangkal pertanyaan nyeleneh yang tiba-tiba melintasi otaknya. Tidak mungkin dia memberikan s
“Yellow Crowl?” Noah Bellion mengulang nama itu dengan nada tanya, memastikan apa yang didengarnya dari Draven barusan.Lelaki gondrong itu mengangguk sembari mengalihkan wajahnya, dia embuskan asap rokok yang tertahan dalam mulutnya dengan perlahan. “Merepotkan,” ucapnya dengan raut yang tampak sangat terbebani.Tentu saja itu adalah tugas yang tak mungkin bisa Draven atasi seorang diri. Dia sadar kalau dirinya belum berada di level yang sama dengan William sampai bisa ditugaskan untuk mengurus sebuah kelompok berisikan orang-orang sadis seperti Yellow Crowl.Yellow Crowl adalah salah satu organisasi bawah tanah yang sudah lumayan lama berdiri. Kelompok itu berisi para pembunuh bayaran profesional, mereka terkenal di dunia bawah tanah karena kecakapan mereka dalam menjalankan aksi dan juga tentu saja ... keberingasan yang tak lagi menggambarkan sifat manusia.Mengapa Noah menyebut mereka adalah kelompok yang merepotk
Sun kehilangan alas kaki entah di langkah ke berapa dalam perjalanannya untuk sampai ke tempat ini.Ia berhenti untuk sejenak mengambil napas, sembari mengedarkan pandangan dan berharap dia bisa bertemu dengan Noah.Jika laki-laki bermata abu-abu dengan rambut coklatnya itu benar-benar Noah, maka seharusnya dia tidak perlu melakukan permainan kejar-kejaran seperti ini, kan? Kenapa dia tidak langsung menemui Sun saja?Kenapa dia harus membuat Sun sampai berlari sejauh ini ke pusat desa hanya untuk menemukannya di antara banyaknya manusia?"Noah ...."Sun mengedarkan pandangannya seperti orang linglung, dia berusaha mengidentifikasi setiap wajah dan menyamakannya dengan bayangan sosok yang ada dalam ingatannya.Rambut coklat dan tubuh tinggi kurusnya, dia berjalan tegak dan dia terlihat paling bersinar dari siapa saja yang ada. Seharusnya mudah menemukan Noah di tempat ini, tapi kenapa Sun tidak bisa melakukannya? Apa karena Noah memang tidak ada?Apa Shawn salah lihat? Apakah Sun hanya
Sun tidak tahu sudah berapa lama dia terduduk di bawah pohon rindang itu; dia merenung dan mengingat kembali tentang apa saja yang terjadi yang sempat ia lupakan karena insiden malam itu.Tapi yang ada, dia malah merasa menyesal dan kesal pada dirinya sendiri yang sempat hampir melupakan siapa itu Noah Bellion. Nyatanya, lelaki itu adalah orang yang membuat Sun tidak bisa hidup sedetik saja tanpa dirinya."Dasar bodoh ... bagaimana bisa kau melakukan ini pada Noah?" ujar Sun, memarahi dirinya sendiri dalam penyesalan. Ia menghapus air matanya, tapi itu tetap tidak membuat Noah muncul di hadapannya.Sun kembali bersandar dan menangis. "Kau di mana Noah ...? Kau tidak mau kembali?" ujarnya, "kenapa tidak mau kembali? Aku tidak akan marah karena kau telah berbohong. Nyonya Ash bilang kalau Eliot sudah mati, tapi kenapa kau masih tidak kembali ...?"Sun menundukkan kepala, menutup wajahnya yang pasti terlihat sangat jelek karena menangis tersedu-sedu.Saat ini dia sangat takut untuk berpr
[2 BULAN KEMUDIAN]"Nona Fleurry! Nona ...!"Seorang gadis dengan rambut pirang keemasan menoleh segera ketika seseorang memanggil namanya. Rambut panjang bergelombang milik wanita itu tersapu oleh angin ladang yang bertiup sepoi-sepoi, menjadikannya bak kain tergantung yang menari dengan cantiknya."Selamat pagi Paman, ada apa?" tanya gadis itu, tersenyum ramah dengan cantiknya."Kabar baik untukmu, Nona; lima domba kita berhasil melahirkan hari ini!""Oh, benarkah? Ada berapa anak domba yang lahir?""Ada 17 anak domba, Nona! Dan mereka semua sehat!"Senyum Sun Fleurry McRay tak bisa ia tahan ketika mendengar kabar bahagia di hari yang cerah ini. Ibu domba yang ada di peternakannya berhasil melahirkan bayi domba yang sehat; mereka pasti akan jadi anak domba yang lucu dan gemuk-sehingga membuat Sun tidak sabar untuk melihatnya."Apa kau akan melihatnya sekarang, Nona?" tawaran itu jelas tidak Sun tolak; gadis itu mengangguk lalu bergegas pergi dari tengah ladang bunga matahari yang su
Seorang perawat wanita memasuki kamar rawat Sun Fleurry McRay untuk melakukan pengecekan rutin; dia memeriksa setiap aspek perawatan Sun untuk memantau perkembangan sekaligus melakukan apa yang perlu ditindak lanjut.Tak lupa ia mencatatnya di kertas yang ia bawa, tapi tiba-tiba ...JDERRR!"Ah!" Suara petir yang menggelegar membuatnya terkejut dan tak sengaja menjatuhkan pena miliknya. "Astaga, membuatku kaget saja," ujarnya, lalu memungut pena.Ia melihat ke luar dinding kaca di kamar itu; memperlihatkan langit malam yang gelap tertutup awan mendung. Sudah begitu, terdengar petir beberapa kali dan menandakan sebentar lagi akan turun hujan besar."Apa akan ada badai?" tanyanya, menatap pemandangan langit dengan raut cemas. Tapi dia tidak punya waktu untuk itu, sehingga segera ia tutup tirai ruangan itu dan melanjutkan pekerjaannya. Ia selesai mencatat perkembangan, tapi perhatiannya sejenak jatuh pada Sun yang masih terpejam dengan alat rumah sakit mengitarinya-berusaha mempertahanka
Eliot terdiam, memperhatikan Noah yang berusaha berdiri tegak di atas sana. Tatapannya tajam, Eliot bisa merasakan itu; tapi tiba-tiba Noah tersenyum tipis dan berkata, "Atau jika kau ingin sekali bertemu dengan Joanne? Aku akan dengan senang hati mengantar?"Eliot tertawa; meski ia kesal luar biasa. Noah masih menantangnya dengan angkuh padahal lelaki itu terlihat akan mati sebentar lagi.Sebagian wajahnya ditutupi darahnya sendiri, kemeja putihnya lusuh dan ada banyak noda darah; pakaiannya compang-camping memperlihatkan sebanyak apa luka yang dia dapatkan. Dan yang lebih seru adalah ... tangannya yang erat memegang pistol rusak itu, sepertinya patah.Noah melihat ke arah pandang Eliot, dan ya-dia juga sadar apa yang terjadi pada tangan kanannya saat ini. Ia melempar pistolnya yang sudah rusak karena tertimpa reruntuhan, lalu kembali menatap Eliot dan berkata, "Ayo selesaikan ini ...."Eliot menahan tawa, sembari membuka telapak tangannya menghadap Noah; ia bermaksud menolak. "Kau y
"Akh!"Noah tersungkur, tapi rentetan peluru tak berhenti sehingga ia terpaksa merangkak dengan rasa sakitnya menuju ke tempat yang bisa melindunginya.Ia menarik kekinya yang seakan mati rasa untuk sejenak, dan menyadari peluru Eliot berhasil menyayat pergelangan kakinya lumayan dalam."Sial!" ujarnya, mengernyitkan kening tajam sembari merobek sebagian celananya untuk menghentikan pendarahan. Perjalanan masih jauh, dia tidak boleh lemas karena kehabisan darah untuk luka kecil seperti ini.Sementara dirinya sudah lusuh dan berdarah, Eliot masih berdiri di tempatnya seolah tak tersentuh. Jika saja Eliot hanya membawa satu pistol, pasti Noah bisa mengimbangi permainannya. Tapi bahkan dia memiliki pistol lain setelah dua pistolnya kehabisan amunisi.Noah berusaha mengatur napas sembari mendengarkan Eliot."Kau tahu, setelan yang aku pakai malam ini adalah hadiah dari kekasihku. Dia memberiku benda ini sebagai hadiah. Aku tidak suka, aku sempat membuangnya. Tapi kemudian aku ingat; kalau
Noah berjalan menyusuri tangga beton dalam bangunan tua yang mangkrak pembangunannya. Dengan langkah lesu dan raut biru, ia tidak menengadahkan wajah dan terus memperhatikan langkahnya sampai ia tiba ti tempat tujuan.Hari ini sesuai dengan perkataannya; dia akan datang menemui Eliot di mana pun lelaki itu berada. Ini tidak seperti pertemuan yang direncanakan untuk melepas rindu satu sama lain, mereka datang untuk tujuan masing-masing; membunuh satu sama lain.Tentu saja perasaan Noah tidak akan baik-baik saja. Dia meminta izin pada ibu kandung Eliot untuk membunuh anaknya, bukankah ini tragis? Ibu mana yang tidak akan terluka saat buah hatinya berada di ambang bahaya, tapi dia tidak bisa melakukan apa-apa?"Oh, kau sudah datang, Noah ...?"Tatapan mata Noah terarah lurus ke depan; menuju tempat Eliot yang berdiri memunggunginya sembari merokok santai bersandar pada pilar tak bertembok. Dari lantai empat, angin semakin kencang bertiup; malam juga tidak terlihat cerah. Hal itu membuat
Sebuah pemakaman keluarga yang sepi, seorang lelaki datang sembari menenteng buket bunga dengan langkah yang lamban.Ketika ia tiba di depan sebuah nisan bertuliskan nama William Odolf, lantas ia meletakkan buket bunga itu dan membuka kaleng bir untuknya.Noah Bellion duduk di depan nisan, ia meminum bir kalengan yang dibawa sembari menatap dingin nisan William di hadapannya. Meski ia tampak dingin dan tak memiliki simpati, tapi jika dilihat saksama, terdapat guratan sendu di mata dinginnya yang tertunduk lesu.Noah terdengar beberapa kali menghela napas, rasanya masih belum bisa dipercaya jika William sudah tiada. Semua terjadi begitu cepat dan kacau luar biasa; bahkan Noah tak memiliki waktu untuk berbelasungkawa atas kematian ayah angkatnya ketika kekacauan lain datang dan hampir merenggut sang kekasih darinya.“Kacau sekali,” ujarnya, bermonolog, “mungkin aku tidak akan pernah hidup dengan tenang; aku sudah terlahir untuk hidup di dunia yang kacau.”Noah memikirkan kembali masa la
Sudah lebih dari seminggu lamanya Sun terbaring di ranjang rumah sakit, dan selama itu pula Noah tidak pernah absen sehari saja untuk mengunjunginya.Setelah kecelakaan itu, Sun mengalami luka yang sangat parah. Benturan di kepalanya mengakibatkan trauma yang belum bisa dideteksi oleh medis, dan beberapa tulangnya mengalami patah. Mereka bilang; Sun bisa melewati masa kritis saja merupakan suatu hal yang mengejutkan. Sebab dengan luka separah itu, jika dia mati maka bukanlah hal yang mustahil.Mereka bisa mengatakannya, maka Noah hanya akan bersyukur dan berterima kasih pada Tuhan yang selama ini tak ia percaya. Noah setelah sekian lama, akhirnya kembali berdoa pada Tuhan yang lama tak dia gaungkan namanya, bahkan untung-untungan dia masih ingat nama Tuhannya. Tapi doa Noah kali ini dikabulkan; Sun berhasil melewati masa kritis. Namun, itu bukan berarti dirinya sudah bertemu jalan yang mulus.Mengingat dia memiliki trauma pada syaraf kepalanya dan medis belum bisa mendeteksi sebelum ef