“Apa kau sadar dengan apa yang kau tanyakan barusan, Sun?”
Sun menatap resah, khawatir ucapannya akan membuat Emma marah dan merasa tersinggung. “Maaf, Nona. Aku tidak seharusnya bertanya seperti itu,” ujarnya dengan panik dan berharap Emma tidak terlanjur salah paham akan ucapannya. Tapi kecemasan Sun tak berarti saat tiba-tiba saja Emma tertawa.
“Hahaha ...!”
Suara tawa itu membuat Sun memasang wajah bingung. Bukan hanya ekspresi belaka, dia benar-benar bingung saat ini.
Emma, selaku dalang dari suara tawa yang lepas itu pun berkata, “Tentu saja aku sangat senang, Sun!” Butuh waktu beberapa detik sampai Emma benar-benar berhenti tertawa. Sun tidak tahu di mana letak lucunya sampai gadis yang berusia tak jauh darinya itu tertawa terpingkal seperti ini.
Setelah Emma selesai tertawa, dia diam sejenak. Emma mengambil napas lalu mengembuskannya dengan cepat. “Bukankah menyenangkan rasanya kalau punya banyak uang?” tanya gadis itu pada Sun yang terdiam tak mengerti maksud dari pertanyaan barusan.
“Apa tidak masalah berjalan-jalan sambil mendengarkan ceritaku?” Emma kembali bertanya, menanyakan apa Sun keberatan jika nantinya Emma akan sedikit bercerita tentang hidupnya atau tidak. Karena bagi Emma, kedatangan Sun sama dengan kabar baik karena usia mereka yang tak jauh berbeda itu. Emma seperti mendapat teman baru yang bisa mengisi kekosongan hatinya selama lima tahun tinggal di Kediaman Melrose.
Sun mengangguk dan berkata, “Tidak masalah, Nona Emma.” Ucapannya membuat Emma merasa lega dan tentu saja bahagia.
Dia segera mengajak Sun untuk turun dari mobil, mereka sudah sampai ke tempat tujuan mereka. Emma layaknya seperti teman sebaya, ia memperlakukan Sun dengan baik dan ramah. Dia menggandeng tangan Sun, mengajaknya berjalan-jalan sembari melihat-lihat apa yang harus mereka kunjungi pertama kali.
“Apa kau mau makan?” tanya Emma pada Sun. Sebenarnya sudah jelas Sun akan menjawab ‘tidak’, sebab dia sudah sarapan di mansion dan Sun bukan tipikal orang yang akan makan berat dua kali dalam satu waktu.
Tapi Sun seakan tak berdaya kala ia dihadapkan senyum menawan milik Emma. Senyum yang penuh energi positif yang seakan mengajaknya untuk turut tersenyum. Jadi, Sun mengangguk, mengiyakan ajakan Emma dan merelakan dirinya untuk ikut ke mana langkah Emma akan membawanya.
Kedua gadis itu tiba di sebuah restoran bernuansa klasik dan menenangkan dengan pemandangan asri di sekitar tempat itu. Mereka segera memesan makanan, dua porsi panekuk dan memesan teh sebagai pendampingnya. “Aku tidak akan membuatmu gemuk, jadi kita makan ini saja,” tutur Emma sebelum memasukkan potongan panekuk itu ke dalam mulutnya.
Sun hanya memperhatikan Emma. Karena meski makanan di depannya terlihat menggugah selera, senyuman Emma nyatanya bisa membuat perhatian Sun terpaku hanya padanya. Gadis itu terlihat sangat bahagia hanya dengan melahap panekuk biasa yang dihiasi taburan gula halus dan lelehan madu di atasnya.
“Ini adalah tempat kesukaanku dan Draven saat kami berkencan.” Ah ... akhirnya Sun mengetahui alasan mengapa Emma terlihat sangat senang mendatangi tempat ini. Rupanya tempat ini adalah tempat yang menyimpan kenangan indah bagi Emma sendiri. “Tapi akhir-akhir ini Draven sepertinya punya banyak sekali misi, jadi dia jarang menemuiku.”
“Ah ... aku mengerti.” Itu adalah satu-satunya kalimat yang melintasi kepala Sun, sebab dia tidak mengerti harus merespons seperti apa.
“Aku berharap dia segera menemuiku. Aku merasa kesal hanya karena Alexa adalah wanitanya yang tua di antara wanita lainnya, dia jadi lebih sering menemui Alexa ketimbang diriku,” tutur Emma lagi. Gadis dengan surai cokelat itu bertopang dagu dengan satu tangan, sementara tangan lainnya digunakan untuk memotong panekuk dengan asal dan tak bersemangat.
Dari situ, Sun mengerti satu hal kalau gadis di hadapannya ini sedang menyuarakan kerinduannya akan sosok lelaki yang ia cintai. Sun tidak ingin mengungkit soal pertanyaannya di mobil tadi, sebab melihatnya saja dia sudah tahu alasan mengapa Emma senang sekali berada di tempatnya saat ini kendati dia hidup bersama seorang mafia yang terkenal jahat.
“Kau sangat bahagia, Nona Emma ...,” ucap Sun begitu saja, mengalihkan atensi Emma yang sejak tadi hanya memotong-motong panekuk menjadi beberapa bagian.
Emma teringat perbincangan mereka yang sempat tertunda tadi. Dia mengangguk, mengalihkan matanya menuju luar restoran yang berbatasan dengan jalanan kecil dan ramai. Tempat itu adalah pasar jalan yang cukup terkenal di French Quarter. “Aku bahagia sekali, Sun. Tanpa melihat dengan siapa aku bersama, dengan siapa aku bekerja.”
“Bekerja? Kau bekerja untuk siapa?”
“Tentu saja Draven Missegrand, lelakiku.” Tentu saja itu bukanlah hal yang mudah untuk Sun mengerti. Keningnya samar mengerut, tak memahami ucapan Emma yang menyebut dirinya bekerja pada Draven.
“Bukankah kalian dua orang yang saling menyukai?” Sun bertanya, membuat Emma terdiam namun menahan perkataan menggelitik itu agar tak membuatnya tertawa lebih cepat sampai Sun menyelesaikan kata-katanya. “Draven menyukaimu, karena itu kau menjadi salah satu dari wanitanya. Dan kau menyukai Draven dan karena itulah kau tetap berada di sisinya meski kau tahu siapa Draven sebenarnya.”
“Hihihi ....” Emma tak tahan lagi. Dia biarkan tawa kecilnya keluar begitu saja, membuat Sun memasang wajah bingung dan tak bisa memahami respons yang Emma berikan. Sun tidak tahu apakah segala ucapannya itu memang terdengar seperti lelucon atau Emma memang senang menertawainya.
“Jangan salah paham, Sun. Di dunia yang aku tinggali, menggunakan perasaan sedikit saja sama dengan membuat jebakan waktu untuk diri sendiri. Sulit mempercayai satu sama lain.”
“Apa maksudmu, Nona Emma?”
“Aku dan Draven tidak saling mencintai, tapi lucunya, kami bersikap seolah-olah perasaan itu memang ada,” pungkas Emma tanpa memandang lawan bicara. Nada, raut dan bahasa tubuhnya saat mengatakan kalimat barusan memperlihatkan sekali jika ini bukanlah hal yang Emma sukai.
Sun masih membisu, mencerna tiap kata yang Emma katakan padanya meski itu masih belum bisa ia terima. Rupanya dia sudah salah mengartikan senyum dan ucapan Emma, nyatanya bukan itu hal yang membuat Emma bertahan dan merasa ‘bahagia’ berada di tempat ini.
Emma mendekatkan wajahnya, lalu mengatakan sesuatu dengan suara yang dipelankan. “Aku hanya gadis yang bekerja untuk memuaskan hasratnya terhadap wanita.” Setelah itu, dia kembali ke posisi duduknya yang semula sementara Sun terdiam membisu. “Itu bukan hal baru ataupun sesuatu yang aneh di dunia ini, Sun. Draven menyukai wanita, dan aku yang kebetulan bisa menarik perhatiannya ini, menggunakan kesempatan itu dengan baik.”
“Lalu, apa tujuanmu yang sebenarnya, Nona Emma?”
Emma terkekeh pelan. “Tentu saja uang,” jawabnya, masih sambil tersenyum lebar penuh keyakinan atas jawabannya. “Aku sudah mengatakannya, rasanya sangat menyenangkan jika memiliki banyak uang. Aku bisa membeli apa yang aku mau, dan aku bisa membuat orang-orang yang aku sayangi, bahagia.”
“Kau ada di sini untuk itu?”
“Iya. Aku tahu betul apa yang aku tuju, dan aku tahu bagaimana aku harus bertindak meskipun aku hidup bersama kawanan hewan buas.” Emma meminum sedikit dari isi cangkir miliknya, lalu kembali melanjutkan perbincangan. “Akan aku beri tahu satu hal: meski kau berada di hutan yang berbahaya sekali pun, kau akan tetap baik-baik saja asalkan kau tahu apa yang akan kau lakukan di sana. Itu adalah prinsipku untuk bertahan di sini selama lima tahun lamanya, Sun.”
Sun mendengarkan dengan saksama, lalu memperhatikan Emma dengan baik. Gadis ceria yang tampak kekanakan itu nyatanya punya sisi dewasa yang membuat Sun kagum. Kendati sebenarnya ada sesuatu di sorot mata Emma yang membuat Sun entah mengapa merasa iba.
“Aku lahir di kota ini, 22 tahun yang lalu. Hidup di keluarga yang memiliki kedudukan rendah dalam masyarakat, aku berusaha sekuat tenaga hanya untuk memastikan semua anggota keluargaku makan malam ini. Kau tahu, Sun? Aku baru berusia 8 tahun saat aku mulai bekerja dari hulu ke hilir untuk mendapatkan uang. Aku tidak tahu mengapa zaman sekarang susah sekali mendapat uang.”
Emma melanjutkan cerita yang tadi ia singgung. Itulah alasan mengapa ia menanyai Sun, apakah mau mendengar atau tidak. Sebab bagi Emma, dia tidak memiliki cerita yang bagus untuk didengar mengenai masa lalu dan latar belakangnya.
“Tapi, saat aku berusia 18 tahun, saat aku baru saja menyelesaikan pendidikanku, aku bertemu dengan Draven. Kami bertemu di sebuah malam, di bar tempatku bekerja. Seperti lelaki mata keranjang yang merawat tubuhnya dengan baik untuk menarik wanita, dia terlihat menarik malam itu. Dan di matanya, aku pun terlihat demikian ...,” Emma menjeda ceritanya hanya untuk melihat ke dalam cangkir, pantulan dirinya yang berwajah murung dan mencoba menceritakan awal mula kedatangannya ke dunia gelap sebagai wanita dari mafia.
“Dan kami melakukannya.”
Sun terkejut dalam diam. Dia tidak tahu mengapa. Padahal hal seperti itu bukan sesuatu yang aneh.
“Dia memberiku uang, sangat banyak. Kendati aku tahu siapa Draven Missegrand yang baru saja menghabiskan malam denganku, aku mengharap kedatangannya esok malam, dan esok malamnya lagi. Setiap kami bertemu, itu selalu diakhiri dengan malam yang panas. Entah mengapa, membayangkan aku mendapat lembaran dolar setelah bertemu dengannya, membuatku sangat bahagia. Karena itulah, aku harap dia selalu menemuiku.”
Emma menatap Sun, mendapati ekspresi yang dipasang lawan bicaranya membuat Emma jadi tertawa canggung. “Kau menganggapku menjijikan, ya?” tanya Emma dan sekonyong-konyong membuat Sun terkejut. Dia tidak tahu jika dirinya memasang raut wajah yang membuat Emma tak nyaman dan salah paham.
Tapi, dirinya belum memberi sanggahan dan Emma sudah lebih dulu berbicara. “Aku tidak berpikir dua kali dan memberikan hidupku pada Draven, padahal aku tahu seperti apa dia. Dia sangat cepat bosan, karena itulah aku berusaha agar tidak membuatnya bosan. Terlihat seperti karyawan yang berusaha keras agar tidak dipecat oleh atasannya, kan?”
Semakin lama mendengarkan cerita Emma, Sun merasa dirinya semakin tersentuh akan kisah hidup gadis itu. Emma bahagia berada di sini karena keluarganya bahagia, dia ada di sini semata-mata hanya untuk membahagiakan keluarganya. Sun tidak tahu seperti apa keluarga Emma, tapi sepertinya Emma sudah berusaha sangat keras untuk membuat kebahagiaan bagi keluarganya menjadi nyata.
Meski itu termasuk menjual masa depannya untuk mengabdi menjadi wanita seorang mafia.
Kini Sun mengerti maksud dari kalimat ‘Aku harap dia menemuiku’ yang sering Emma katakan. Bukan berarti ungkapan rindu pada sosok yang ia cinta, melainkan harapan agar Draven tidak membuangnya.
Tapi, sejak tadi ada satu hal yang ingin Sun tanyakan pada Emma. Itu terus mengganjal di benaknya dan sepertinya tidak akan reda sebelum dikeluarkan. Maka bertanyalah Sun pada Emma, “Apa kau tidak mencintai Draven?” seketika membuat Emma membeku dengan pandangan yang tertuju pada Sun.
Sun berharap ucapannya barusan tidak membuat Emma merasa risih atau terganggu. Sun benar-benar hanya ingin tahu apa Emma memiliki perasaan terhadap lelaki yang telah menjadi jembatannya menuju kebahagiaan yang ia maksud itu, ataukah tidak?
Emma lagi-lagi merespons dengan baik. Tidak berbuah decakan tak suka atau tatapan yang menandakan dirinya tengah tersinggung atas pertanyaan yang Sun lontarkan padanya. Emma menopang dagunya lagi, lalu tertawa kecil dan berkata, “Cinta ... aku tidak tahu.”
Sun hanya bergeming sembari menunggu kelanjutan dari ucapan Emma.
“Aku tidak tahu apakah aku mencintainya ... atau tidak? Aku hanya senang saat melihatnya mungkin karena dialah sumber uangku saat ini. Haha ... kau benar-benar berpikir kami saling mencintai, ya?” Sun tak menjawab pertanyaan Emma. Dia hanya terus terdiam sembari memperhatikan wajah gadis itu yang sedang tertawa kala membahas hal yang cukup serius seperti cinta.
Sun tidak pernah tahu jika sebuah ikatan layaknya cinta, bisa diikat hanya dengan lembaran uang saja. Sun kira, perasaan penuh kasih nan suci itu terlalu mahal untuk bisa dipadankan harganya dengan nominal dolar. Tapi hari ini, Sun pertama kali mendengar seorang wanita membicarakan hubungan asmaranya yang terjalin layaknya hubungan dua kolega. Mereka melewati malam penuh cinta, namun itu hanya hubungan timbal balik tanpa adanya perasaan.
Sun hanya terus berpikir: bagaimana bisa Emma dan Draven melakukannya? Bukan hanya berlaku untuk dua orang itu, tapi untuk orang-orang yang sama seperti mereka. Sun bahkan bertanya mengapa hal seperti cinta bisa dianggap sepele dan bisa dibeli dengan uang?
“Tidak perlu bertanya bagaimana perasaanku terhadapnya, cukup lihat bagaimana dia memperlakukanku. Jika Draven mencintaiku, dia akan berhenti menyukai wanita lain, Sun.” Emma dan Sun tampak sudah selesai dengan sarapan mereka. Ya, meski sebenarnya Sun tidak sarapan dan malah mendengarkan kisah Emma sampai makanan Emma habis tak tersisa.
Emma memanggil pelayan dan meminta tagihan, setelah berkata akan membayar untuk makanan pagi ini, mereka pun menyudahi untuk meninggalkan restoran itu.
Tapi sebelum hendak meninggalkan kursi, Emma sempatkan diri untuk mengatakan sesuatu kepada Sun. “Maka dari itu, Sun. Melihat Noah yang kami tahu tak memiliki hasrat dalam hal bercinta dengan wanita, membawa seorang wanita ke mansion tentu saja membuat kami terkejut. Tapi di samping itu, kami senang karena untuk pertama kali, Noah mengakui seorang gadis sebagai wanitanya.”
Emma menggandeng Sun sampai ke luar restoran. Namun karena ucapan Emma tadi, Sun jadi merasa penasaran akan alasan mengapa mereka merasa senang saat mengetahui Noah membawanya ke mansion.
Sun menahan tangan Emma, membuat langkah ceria gadis dengan rambut coklat itu segera mereda. “Ada apa, Sun?” tanya Emma.
“Aku hanya penasaran tentang alasan mengapa kau dan yang lainnya merasa senang saat mengetahui Noah mengakuiku sebagai wanitanya.”
Mendengar pertanyaan Sun, Emma tak kunjung menjawab. Dia melepaskan genggamannya dan malah tertawa sembari meninggalkan Sun. Sun yang sudah terlanjur penasaran, jadi semakin penasaran dengan maksud dari tawa Emma. Apa Emma sedang mengerjainya?
“Nona Emma ... aku serius bertanya. Aku harap kau tidak membuatku penasaran.”
“Hah ... bagaimana ini, Sun? Soalnya, aku ini suka membuat orang lain penasaran ...,” ujar Emma dengan nada bicara yang mengerjai Sun. Gadis dengan rambut pirang itu mengerutkan bibirnya samar, lalu menyusul Emma yang sudah lebih dahulu meninggalkannya.
Sun menahan Emma dengan memegang lengannya, berusaha mengetahui alasan dari ucapan Emma karena dirinya ini sudah sangat penasaran.
“Nona Emma ... ayolah~”
“Sun, kau pernah tanyakan pada Noah apa dia akan menikahimu atau tidak? Jika kalian menikah, aku akan sangat senang!”
“Ah ... jangan bertanya hal seperti itu, Nona. Kau membuatku malu ....”
Percakapan keduanya terdengar seperti dua kakak-beradik yang sangat akrab. Sang kakak yang suka menggoda adiknya, dan sang adik yang tak akan melepaskan kakaknya sebelum urusan mereka berakhir. Interaksi yang terjalin dari hubungan yang belum lama itu terasa sangat alami dan menyenangkan. Emma bahagia.
Karena itu, dia akan sudahi membuat Sun penasaran dengan mengatakan, “Noah mungkin saja telah jatuh cinta padamu, Sun ... itu alasan dari ucapanku tadi.”
Sun membatu, tak melakukan apapun sebagai respons selain berdiri dengan wajah terkejut. Emma memahami maksud dari respons itu, juga dengan wajah Sun yang pelan-pelan menunjukkan rona merahnya. Itu terlihat jelas pada kulit putih yang bersih itu.
Emma tergelitik, dia tertawa lumayan keras sembari mengalihkan tubuhnya dan pergi. Sementara Sun masih terdiam seperti baru saja disihir.
Bukan sihir yang membuatnya terdiam, melainkan degupan kencang di suatu tempat dalam tubuhnya yang memaksanya untuk berhenti semata-mata untuk menetralkan kembali detaknya yang semakin menggila. Telinganya memanas dan dia tidak tahu harus merespons bagaimana. Dia bahkan diam saja kendati dirinya tahu, Emma mulai berjalan menjauh sembari menertawakan dirinya.
Tentu saja Emma yang sudah berpengalaman, bisa dengan mudahnya mengidentifikasi apa yang Sun rasakan hanya dengan melihat gejalanya saja.
Apa Sun merasa tersipu karena Emma mengatakan jika Noah mungkin saja menyukainya? Itu hanya kemungkinan, Sun terlebih Emma dan yang lainnya tentu tak tahu apa yang sebenarnya Noah rasakan.
Tapi kenapa ...? Semakin Sun memikirkannya, maka suhu tubuhnya akan semakin meningkat dan segala yang akan tergambar di dalam kepalanya hanyalah gambaran wajah tanpa raut kehidupan milik Noah. Tatapan dingin seperti tokoh utama dalam kisah cinta yang keren, wajah tampan yang sangat mendukungnya untuk menjadi sang tokoh utama. Tanpa Sun sadari, Noah menjadi tokoh utama dalam kisah yang akan lelaki itu rajut—bersamanya.
“A-ah ... Nona Emma, tunggu aku!”
-Bersambung-
Sun dan Emma melanjutkan kegiatan jalan-jalan mereka di hari yang cerah.Hari yang cerah membawa kebahagiaan bagi semua orang. Jalanan French Quarter sangat ramai pagi ini. Banyak orang melewati jalanan yang juga dilewati Sun dan Emma. Entah mengapa melihat kesibukan lautan manusia itu menjadi hiburan tersendiri bagi Sun dan Emma.“Sun, kau harus melihat ini!” Sun belum selesai menikmati satu hal, dan Emma dengan sangat bersemangatnya mengajak Sun untuk melihat hal lain. Ketimbang Sun yang seorang pendatang baru di New Orlean, Emma yang menjadikan kota pelabuhan itu sebagai tempat kelahirannya malah terlihat lebih bersemangat menelusuri pusat hiburan di kota itu.Emma mengajak Sun untuk mengunjungi jalanan yang terkenal dengan deretan toko-toko yang menjual banyak hal. Tentu saja, karena French Quarter adalah jantung hiburannya New Orleans dan tentu saja tempat itu adalah tempat yang banyak didatangi wisatawan asing luar ataupun dalam
Noah terdiam lama, bibirnya rapat mengatup seakan ada yang merekatkannya. Memang ada, dan itu adalah ucapan Sun yang barusan dilontarkan kepadanya. Gadis dengan surai pirang emasnya itu masih lekat menatap Noah, pun dengan Noah yang melakukan hal serupa. Keduanya bahkan mungkin tak menyadari jika banyak detik berlalu hanya untuk melakukan kontak mata yang tidak tahu apa maksudnya. Sun menjadi yang paling pertama menyadarinya. Dia tidak tahu mengapa ia dan Noah saling beradu pandang untuk waktu yang lama. Setelah ucapannya, Noah tak lagi mau berkata. Dia tahu jika Noah sangat irit bicara, tapi tidak bisakah dia membuka sedikit saja mulutnya untuk merespons ucapan Sun? Atau hanya berikan Sun gumaman saja agar apa yang baru saja dikatakan gadis itu tak terdengar seperti sesuatu yang aneh sampai tidak perlu diberikan respons. Sun jadi merasa sangat malu dan canggung. Tapi itu tak berlangsung lama kala ia mulai berpikir, Noah mungkin saja terdiam karena se
Sekarang sudah malam. Tidak terasa Sun menghabiskan satu harinya bersama Noah. Ini benar-benar tidak pernah ia duga sebelumnya. Saat ini mereka berada di sebuah restoran, tentunya untuk menikmati makan malam setelah seharian hanya berjalan-jalan dan makan pun dari jajanan. Sun harus tetap mengisi tubuhnya dengan nutrisi yang benar, terlalu banyak makan jajanan tidak akan baik untuknya. Itu yang Noah katakan. “Pesan sekarang,” ujar Noah ketika buku menu diberikan kepada mereka. Sun tersenyum senang lalu melihat-lihat menu makanan. Astaga ... hatinya bersuara. Makanan di sana terlihat sangat enak, Sun tidak bisa memilih karena dia menginginkan semuanya. Padahal dia sudah makan banyak jajanan, tapi ketika melihat buku menu di tempat itu, cacing-cacing di perutnya bergejolak hebat seakan dia belum makan dua hari. Sun menggigit bibir bawahnya. Kalau di Melrose, dia pasti tidak diizinkan makan lebih dari tiga menu utama menurut atura
Eliot Redwood. Nama itu amatlah membekas dalam kurun waktu lima tahun terakhir dalam benak Noah. Jika bertanya apakah Noah mengenalnya, tentu saja jawabannya adalah: sangat.Jauh sebelum hari ini, Noah dan Eliot terikat oleh hubungan yang baik dan manis. Kakak dan adik laki-laki? Begitu orang-orang menyebutnya. Kendati tak ada yang menghubungkan keduanya secara sah, dan hubungan itu hanya sebatas sebutan. Tidak disangka, itu menjadi hal yang bisa Noah anggap nyata setelah sekian lama menutup diri dari dunia.Noah menyukai Eliot, dia adik kecil yang manis dan terkadang manja. Eliot pun menyukai Noah, kakak yang dingin namun selalu terlihat keren di matanya. Semua itu indah ketika mereka masih anak-anak, ya ... dunia yang hanya diisi kesenangan itu bukanlah dunia yang akan selamanya mereka tinggali.Ketika beranjak dewasa, pikiran mulai bergerak dan logika mulai melakukan fungsinya. Bagaimana ...? Bagaimana bisa itu terjadi?Bagaimana bisa orang lain itu me
Malam itu, ada yang tak bisa jatuh dalam lelapnya. Berusaha berulang kali menutup mata, tetapi berakhir dengan dirinya yang kembali melihat langit-langit ruangan yang dia tempati. Kedua netra dinginnya sekali lagi melirik ke arah presensi seorang gadis yang nyenyak tak terusik di depan sana, wajah tenang itu yang mampu membuatnya kembali tenggelam dalam ingatan hanya tentangnya. Noah tidak berniat bernostalgia. Tapi ketika dia melihat wajah Sun sekali lagi, kepalanya memutar kembali adegan yang terjadi tiga tahun lalu. Itu bagian saat dia pertama kali melihat Sun di tengah ladang bunga kuning di dataran Vermont yang sejuk. Tiga tahun lalu, Noah Bellion melakukan perjalanan menuju salah satu kota kecil di daerah Vermont, negara bagian Amerika Serikat. Tempat itu bernama Woodstock, kota kecil yang terkenal akan keindahan alamnya yang masih terjaga. Jika bertanya mengapa salah satu eksekutif dari kelompok mafia paling terkenal di New Orleans datang ke tempat terpencil nan asri itu, jaw
Sun membuka mata ketika surya belum terbangun dari ufuknya. Bukan karena kantuknya telah usai, dia masih bisa merasakan matanya sangat berat untuk dibuka lebar tetapi tubuh itu menolak untuk terlelap setelah tidurnya terganggu akibat dinginnya udara. Dia duduk di ujung ranjangnya, terdiam dan mengingat-ingat malamnya. Malam yang biasa, dia selesai menghabiskan jalan-jalannya dengan Noah dan berakhir makan malam berdua. Setelah itu dia kembali dan tak lama memutuskan untuk tidur. Hanya saja, dia ingat sekali kalau semalam dirinya tidak memakai piyama berlengan panjang. Dia hanya memakai gaun tidur tanpa lengan dan mungkin itu yang menjadi alasannya terbangun karena kedinginan. Sun melihat kembali ke ranjang, memandang selimut yang dipakainya semalam. Keningnya mengerut samar. “Apa aku memakai selimut semalam?” tanyanya pada diri sendiri. Seingatnya, Sun sama sekali tidak memakai selimut atau kain apapun untuk membuat tubuhnya lebih hangat. Itu karena dia terla
“Aku mendengar cukup banyak cerita tentangmu dari orang-orangku, Nona McRay.”Seperti yang sudah kau tahu, Sun dan anggota rumah Melrose saat ini sedang mengadakan pesta teh bersama istri dari pemimpin geng mafia terkenal di New Orleans, Ashtelle Odolff. Ucapan yang tadi itu berasal dari bibir meronanya, sang bintang utama hari ini.Wanita itu benar-benar memancarkan imej istri seorang pemimpin. Caranya menggunakan bahasa tubuh, berpenampilan dan bahkan caranya berbicara, anggun sekali. Alih-alih terlihat seperti istri dari pemimping organisasi kejahatan, dia lebih pantas disebut seorang permaisuri dari kekaisaran yang besar.Sun sejak tadi hanya terdiam, mendengarkan perbincangan wanita-wanita itu tanpa berbicara. Sebenarnya hanya memperhatikan bagaimana indahnya Ashtelle yang hanya mengobrol saja, dia bisa jadi termangu dan terpesona selama beberapa detik. Tapi ketika dilihat dari sudut pandang Ashtelle, semuanya jadi
Ini sudah memasuki hari kedua sejak pertemuannya dengan Ashtelle Odolff dan tiga hari sejak terakhir kali Sun menjumpai Noah Bellion.Rasanya, tiada waktu baginya untuk tidak memikirkan Noah. Sun terjebak oleh rasa cemas yang mengganjal di benaknya, dia benar-benar ingin bertemu dengan Noah. Tapi jika mengingat kembali percakapannya dengan Ashtelle dan apa saja yang sudah wanita itu ceritakan tentang Noah, rasanya Sun mati gaya untuk menentukan raut apa yang akan dia pasang di depan lelaki itu nantinya.“Aku memikirkan Noah terus seakan-akan dia sudah menempati sebuah ruang dalam hati dan otakku!” cibir Sun pada dirinya sendiri yang berakhir dengan dia berdiri bergeming.Iya ... itu benar. Sun memikirkan Noah? Apa itu karena Noah memang sudah benar-benar menempati sebuah ruang dalam benak dan otaknya?Sun menggelengkan kepala beberapa kali, berusaha menyangkal pertanyaan nyeleneh yang tiba-tiba melintasi otaknya. Tidak mungkin dia memberikan s
Sun kehilangan alas kaki entah di langkah ke berapa dalam perjalanannya untuk sampai ke tempat ini.Ia berhenti untuk sejenak mengambil napas, sembari mengedarkan pandangan dan berharap dia bisa bertemu dengan Noah.Jika laki-laki bermata abu-abu dengan rambut coklatnya itu benar-benar Noah, maka seharusnya dia tidak perlu melakukan permainan kejar-kejaran seperti ini, kan? Kenapa dia tidak langsung menemui Sun saja?Kenapa dia harus membuat Sun sampai berlari sejauh ini ke pusat desa hanya untuk menemukannya di antara banyaknya manusia?"Noah ...."Sun mengedarkan pandangannya seperti orang linglung, dia berusaha mengidentifikasi setiap wajah dan menyamakannya dengan bayangan sosok yang ada dalam ingatannya.Rambut coklat dan tubuh tinggi kurusnya, dia berjalan tegak dan dia terlihat paling bersinar dari siapa saja yang ada. Seharusnya mudah menemukan Noah di tempat ini, tapi kenapa Sun tidak bisa melakukannya? Apa karena Noah memang tidak ada?Apa Shawn salah lihat? Apakah Sun hanya
Sun tidak tahu sudah berapa lama dia terduduk di bawah pohon rindang itu; dia merenung dan mengingat kembali tentang apa saja yang terjadi yang sempat ia lupakan karena insiden malam itu.Tapi yang ada, dia malah merasa menyesal dan kesal pada dirinya sendiri yang sempat hampir melupakan siapa itu Noah Bellion. Nyatanya, lelaki itu adalah orang yang membuat Sun tidak bisa hidup sedetik saja tanpa dirinya."Dasar bodoh ... bagaimana bisa kau melakukan ini pada Noah?" ujar Sun, memarahi dirinya sendiri dalam penyesalan. Ia menghapus air matanya, tapi itu tetap tidak membuat Noah muncul di hadapannya.Sun kembali bersandar dan menangis. "Kau di mana Noah ...? Kau tidak mau kembali?" ujarnya, "kenapa tidak mau kembali? Aku tidak akan marah karena kau telah berbohong. Nyonya Ash bilang kalau Eliot sudah mati, tapi kenapa kau masih tidak kembali ...?"Sun menundukkan kepala, menutup wajahnya yang pasti terlihat sangat jelek karena menangis tersedu-sedu.Saat ini dia sangat takut untuk berpr
[2 BULAN KEMUDIAN]"Nona Fleurry! Nona ...!"Seorang gadis dengan rambut pirang keemasan menoleh segera ketika seseorang memanggil namanya. Rambut panjang bergelombang milik wanita itu tersapu oleh angin ladang yang bertiup sepoi-sepoi, menjadikannya bak kain tergantung yang menari dengan cantiknya."Selamat pagi Paman, ada apa?" tanya gadis itu, tersenyum ramah dengan cantiknya."Kabar baik untukmu, Nona; lima domba kita berhasil melahirkan hari ini!""Oh, benarkah? Ada berapa anak domba yang lahir?""Ada 17 anak domba, Nona! Dan mereka semua sehat!"Senyum Sun Fleurry McRay tak bisa ia tahan ketika mendengar kabar bahagia di hari yang cerah ini. Ibu domba yang ada di peternakannya berhasil melahirkan bayi domba yang sehat; mereka pasti akan jadi anak domba yang lucu dan gemuk-sehingga membuat Sun tidak sabar untuk melihatnya."Apa kau akan melihatnya sekarang, Nona?" tawaran itu jelas tidak Sun tolak; gadis itu mengangguk lalu bergegas pergi dari tengah ladang bunga matahari yang su
Seorang perawat wanita memasuki kamar rawat Sun Fleurry McRay untuk melakukan pengecekan rutin; dia memeriksa setiap aspek perawatan Sun untuk memantau perkembangan sekaligus melakukan apa yang perlu ditindak lanjut.Tak lupa ia mencatatnya di kertas yang ia bawa, tapi tiba-tiba ...JDERRR!"Ah!" Suara petir yang menggelegar membuatnya terkejut dan tak sengaja menjatuhkan pena miliknya. "Astaga, membuatku kaget saja," ujarnya, lalu memungut pena.Ia melihat ke luar dinding kaca di kamar itu; memperlihatkan langit malam yang gelap tertutup awan mendung. Sudah begitu, terdengar petir beberapa kali dan menandakan sebentar lagi akan turun hujan besar."Apa akan ada badai?" tanyanya, menatap pemandangan langit dengan raut cemas. Tapi dia tidak punya waktu untuk itu, sehingga segera ia tutup tirai ruangan itu dan melanjutkan pekerjaannya. Ia selesai mencatat perkembangan, tapi perhatiannya sejenak jatuh pada Sun yang masih terpejam dengan alat rumah sakit mengitarinya-berusaha mempertahanka
Eliot terdiam, memperhatikan Noah yang berusaha berdiri tegak di atas sana. Tatapannya tajam, Eliot bisa merasakan itu; tapi tiba-tiba Noah tersenyum tipis dan berkata, "Atau jika kau ingin sekali bertemu dengan Joanne? Aku akan dengan senang hati mengantar?"Eliot tertawa; meski ia kesal luar biasa. Noah masih menantangnya dengan angkuh padahal lelaki itu terlihat akan mati sebentar lagi.Sebagian wajahnya ditutupi darahnya sendiri, kemeja putihnya lusuh dan ada banyak noda darah; pakaiannya compang-camping memperlihatkan sebanyak apa luka yang dia dapatkan. Dan yang lebih seru adalah ... tangannya yang erat memegang pistol rusak itu, sepertinya patah.Noah melihat ke arah pandang Eliot, dan ya-dia juga sadar apa yang terjadi pada tangan kanannya saat ini. Ia melempar pistolnya yang sudah rusak karena tertimpa reruntuhan, lalu kembali menatap Eliot dan berkata, "Ayo selesaikan ini ...."Eliot menahan tawa, sembari membuka telapak tangannya menghadap Noah; ia bermaksud menolak. "Kau y
"Akh!"Noah tersungkur, tapi rentetan peluru tak berhenti sehingga ia terpaksa merangkak dengan rasa sakitnya menuju ke tempat yang bisa melindunginya.Ia menarik kekinya yang seakan mati rasa untuk sejenak, dan menyadari peluru Eliot berhasil menyayat pergelangan kakinya lumayan dalam."Sial!" ujarnya, mengernyitkan kening tajam sembari merobek sebagian celananya untuk menghentikan pendarahan. Perjalanan masih jauh, dia tidak boleh lemas karena kehabisan darah untuk luka kecil seperti ini.Sementara dirinya sudah lusuh dan berdarah, Eliot masih berdiri di tempatnya seolah tak tersentuh. Jika saja Eliot hanya membawa satu pistol, pasti Noah bisa mengimbangi permainannya. Tapi bahkan dia memiliki pistol lain setelah dua pistolnya kehabisan amunisi.Noah berusaha mengatur napas sembari mendengarkan Eliot."Kau tahu, setelan yang aku pakai malam ini adalah hadiah dari kekasihku. Dia memberiku benda ini sebagai hadiah. Aku tidak suka, aku sempat membuangnya. Tapi kemudian aku ingat; kalau
Noah berjalan menyusuri tangga beton dalam bangunan tua yang mangkrak pembangunannya. Dengan langkah lesu dan raut biru, ia tidak menengadahkan wajah dan terus memperhatikan langkahnya sampai ia tiba ti tempat tujuan.Hari ini sesuai dengan perkataannya; dia akan datang menemui Eliot di mana pun lelaki itu berada. Ini tidak seperti pertemuan yang direncanakan untuk melepas rindu satu sama lain, mereka datang untuk tujuan masing-masing; membunuh satu sama lain.Tentu saja perasaan Noah tidak akan baik-baik saja. Dia meminta izin pada ibu kandung Eliot untuk membunuh anaknya, bukankah ini tragis? Ibu mana yang tidak akan terluka saat buah hatinya berada di ambang bahaya, tapi dia tidak bisa melakukan apa-apa?"Oh, kau sudah datang, Noah ...?"Tatapan mata Noah terarah lurus ke depan; menuju tempat Eliot yang berdiri memunggunginya sembari merokok santai bersandar pada pilar tak bertembok. Dari lantai empat, angin semakin kencang bertiup; malam juga tidak terlihat cerah. Hal itu membuat
Sebuah pemakaman keluarga yang sepi, seorang lelaki datang sembari menenteng buket bunga dengan langkah yang lamban.Ketika ia tiba di depan sebuah nisan bertuliskan nama William Odolf, lantas ia meletakkan buket bunga itu dan membuka kaleng bir untuknya.Noah Bellion duduk di depan nisan, ia meminum bir kalengan yang dibawa sembari menatap dingin nisan William di hadapannya. Meski ia tampak dingin dan tak memiliki simpati, tapi jika dilihat saksama, terdapat guratan sendu di mata dinginnya yang tertunduk lesu.Noah terdengar beberapa kali menghela napas, rasanya masih belum bisa dipercaya jika William sudah tiada. Semua terjadi begitu cepat dan kacau luar biasa; bahkan Noah tak memiliki waktu untuk berbelasungkawa atas kematian ayah angkatnya ketika kekacauan lain datang dan hampir merenggut sang kekasih darinya.“Kacau sekali,” ujarnya, bermonolog, “mungkin aku tidak akan pernah hidup dengan tenang; aku sudah terlahir untuk hidup di dunia yang kacau.”Noah memikirkan kembali masa la
Sudah lebih dari seminggu lamanya Sun terbaring di ranjang rumah sakit, dan selama itu pula Noah tidak pernah absen sehari saja untuk mengunjunginya.Setelah kecelakaan itu, Sun mengalami luka yang sangat parah. Benturan di kepalanya mengakibatkan trauma yang belum bisa dideteksi oleh medis, dan beberapa tulangnya mengalami patah. Mereka bilang; Sun bisa melewati masa kritis saja merupakan suatu hal yang mengejutkan. Sebab dengan luka separah itu, jika dia mati maka bukanlah hal yang mustahil.Mereka bisa mengatakannya, maka Noah hanya akan bersyukur dan berterima kasih pada Tuhan yang selama ini tak ia percaya. Noah setelah sekian lama, akhirnya kembali berdoa pada Tuhan yang lama tak dia gaungkan namanya, bahkan untung-untungan dia masih ingat nama Tuhannya. Tapi doa Noah kali ini dikabulkan; Sun berhasil melewati masa kritis. Namun, itu bukan berarti dirinya sudah bertemu jalan yang mulus.Mengingat dia memiliki trauma pada syaraf kepalanya dan medis belum bisa mendeteksi sebelum ef