Hari berganti hari, tanpa sadar dia sudah genap melewati tujuh fajar dan tujuh senja di tempatnya menetap saat ini.
Seminggu berlalu, Sun disibukkan dengan mempelajari Kediaman Melrose dan peraturan-peraturannya.
Memang hal baru yang tak biasa ia lakukan. Sun belajar tentang cara bersikap sopan dan anggun ala wanita kerajaan kendati dirinya berasal dari desa yang cukup terpencil. Sun tidak tahu apa maksudnya. Alexa tidak pernah mengatakan jika peraturan yang dilakukannya adalah lampu hijau untuk bisa menuju ke pelaminan bersama lelaki Little Boy kesayangannya, tapi mematuhi peraturan Kediaman Melrose adalah cara yang sangat membantu untuknya bertahan di sisi lelakinya.
Sun hanya melakukannya begitu saja meski tak jelas akan jadi apa dia di tempat ini.
Seperti pagi yang sudah-sudah, Sun akan menikmati paginya dengan minum teh dan berbincang bersama wanita-wanita yang ada di sana.
“Selamat pagi, Sun!” Sun mulai terbiasa dengan suasana yang ada di Melrose. Orang-orang yang ia temui bersikap baik, kendati pada awalnya mereka bersikap sama seperti Alexa dan Jessie yang seakan tak menyangka gadis desa seperti Sun bisa menjadi wanita milik Noah.
Hari ini Sun menikmati sarapannya bersama Alexa dan tiga lainnya. Mereka adalah Emma dan Lucy, dua wanita milik eksekutif Little Boy yang bernama Draven. Lalu ada Catherine, wanita milik Tobias, sekaligus pemimpin di kediaman ini.
“Selamat pagi, Nona Emma.” Emma tersenyum simpul atas jawaban Sun. Mereka berkumpul di satu meja yang sama, lalu memulai sarapan dan acara teh mereka.
Sejak hari pertama, Sun tidak pernah sarapan atau berada di meja yang sama dengan seluruh anggota Kediaman Melrose. Sejauh yang ia tahu, seluruh wanita yang ada di sana berjumlah 17, tapi Sun tidak pernah melihat 17 wanita itu berada di meja sarapan yang sama.
Ada beberapa jawaban yang diberikan pada Sun atas kebingungannya. Yang pertama, mereka tidak mau tinggal di Melrose dan memilih apartemen mewah pemberian lelaki mereka. Yang kedua, mereka sedang membantu pasangan mereka menjalankan beberapa misi. Dan yang terakhir, mereka mungkin pergi karena tak lagi dibutuhkan sang lelaki.
“Sun, apa Noah sudah menghubungimu?” Sebait pertanyaan mengarah pada Sun, membuatnya yang sedang menyesal teh tiba-tiba saja berhenti menelan.
Gadis 19 tahun itu jadi terdiam, menggenggam cangkir yang ujungnya bahkan masih menempel di bibirnya.
“Sepertinya belum.” Sun meletakkan cangkirnya. Dia tersenyum membalas tatapan Alexa yang mungkin saja mulai mencemaskan nasib Sun kedepannya.
Tinggal di Melrose membuat Sun mengetahui banyak hal yang tak ia ketahui tentang Noah sebelumnya, termasuk apa pekerjaan Noah.
Noah adalah seorang anggota kelompok mafia yang terkenal di New Orleans, dan itu berarti Noah memang bukanlah orang baik. Sun tahu apa itu mafia, kendati selama ini dia mengenal seperti apa cara kerja mereka hanya dari layar televisi dan buku-buku yang ia baca.
Jujur pada kali pertama ia mengetahuinya, perasaan Sun amatlah tidak enak. Dia tidak bisa tidur dengan baik, mencemaskan nasib dirinya terlebih sang ibu yang kini hanya tinggal sendirian di desa.
Sun mengirim kabar pada Karina setiap hari, dan dari sanalah dia tahu jika Karina tidak sepenuhnya tinggal sendiri. Setiap hari ada saja orang asing yang bergantian menjaga dirinya yang tinggal seorang diri.
Noah mengirim orang untuk menjaga Karina, dan itu pun tidak mengganggu sama sekali. Sun sempat tercengang, ternyata Noah memenuhi ucapannya kala itu.
“Apa hubungan kalian baik-baik saja, Sun?”
“Aku tidak tahu, Nona Lucy. Noah mengirimku ke sini untuk hidup di sini, dan aku sudah melakukan apa yang dia mau. Aku juga tidak terlalu berharap dia akan menemuiku.”
Sun yakin dia sudah mengatakan apa yang dia rasa dan pikirkan, tapi entah mengapa rasanya masih ada yang mengganjal.
“Benarkah ...? Kau tidak merindukannya?”
Sun terdiam, menatap Lucy tanpa mampu mengeluarkan kata-kata. Bukan tak bisa, dia hanya tak tahu harus menjawab apa.
Sun yakin sekali jika dia tidak merindukan Noah sedikitpun. Tetapi dia ingat, dirinya bahkan tak sekali atau dua kali bertanya-tanya, mengapa Noah tak kunjung kembali dan menemuinya.
Sun tertawa canggung. “Aku memikirkannya mungkin karena cemas dan takut aku akan berakhir dibuang. Terakhir kali aku berbicara dengannya adalah di malam ketika aku datang ke tempat ini, jadi wajar aku merasa seperti itu.”
Lucy dan Emma manggut-manggut, merasa paham akan apa yang Sun rasakan. Sementara Alexa masih menatap Sun, berusaha membaca apa yang sebenarnya gadis itu rasa. Ya ... Alexa tidak bisa menyangkal perkataan Sun, sebab dirinya pun berpikiran serupa jika Sun sepertinya akan berakhir seperti wanita-wanita Noah sebelumnya.
Alexa mengalihkan tatapannya pada Catherine, dan kebetulan wanita itu juga menatapnya. Agaknya mereka memiliki pemikiran yang sama.
“Sun ... apa kau tidak menyukai Noah?” tanya Catherine, membuat Sun kaget. Jika dia sedang minum, bukan mustahil Sun akan tersedak karena sangat terkejut.
“E-eh ...? Bukankah itu terlalu cepat, Nyonya Catherine?” Sun gelagapan saat akan menjawab pertanyaan Catherine, hal itu membuat Alexa jadi ingin menertawainya namun ditahan.
Wajah Sun memerah. Ya ... wajar saja. Pesona Noah memang tak dapat ditampik, dia bisa membuat seorang wanita jatuh hati dalam sekejap bahkan hanya dengan mengandalkan perawakannya saja.
Meski Sun pun mengakui pesona Noah, namun dirinya merasa sangat ragu untuk menaruh perasaan pada lelaki itu.
Sun menjawab, “Jika dia hanya lelaki biasa, aku mungkin bisa dengan lantang mengatakan bahwa aku men—”
“Memang Noah lelaki yang seperti apa?” Catherine menyela ucapan Sun. “Apa Noah itu bukan lelaki biasa? Dia sama seperti lelaki lainnya, bukan hanya dia saja lelaki yang memiliki sikap dingin seperti itu.”
Sun terdiam, tak mampu menjawab. Yang dikatakan Catherine memang benar, Noah hanyalah lelaki biasa. Setampan apa pun wajahnya, sedingin apa pun sikapnya. Noah hanyalah lelaki biasa yang bisa menginginkan seorang gadis seperti Sun untuk menjadi wanitanya.
Noah bisa jatuh cinta, dan mungkin Sun adalah gadis yang menjadi obyek perasaannya saat ini. Tapi bagaimana dengan Sun? Dia tidak tahu apa yang dia rasakan, dia belum berani untuk mengambil langkah terlalu cepat.
“Apa karena latar belakang Noah?” Alexa bertanya, mengalihkan atensi Sun yang sejak tadi hanya menatap cangkir teh miliknya.
Seakan sudah mengetahui jawaban apa yang akan Sun berikan, Alexa tersenyum. “Aku tidak heran jika jawabannya adalah iya. Kau gadis desa biasa, hidup dengan damai dan besar dengan kasih sayang orang tuamu pasti membuatmu tidak bisa percaya kalau kau akan dibawa memasuki dunia gelap para mafia saat dewasa.”
“Oh, kau juga pernah menceritakan kalau Noah sudah pernah mengunjungi rumahmu tiga tahun lalu, kan?” Emma bertanya. Entah mengapa dia yang sejak tadi sibuk mengunyah kue kering, tiba-tiba jadi tertarik untuk memasuki percakapan.
Sun mengangguk, Emma melanjutkan kunyahannya sembari berkata, “Dia sudah menunggu lama untuk memilikimu, ya ... aku tidak menyangka dia bisa menjadi sesabar itu.”
Sun tidak tahu kebenarannya, dia hanya mendengar cerita dari sang ibu.
Karina mengatakan jika tiga tahun lalu, Noah datang untuk menagih utang yang ayahnya miliki. Noah juga membenarkan hal itu. Lelaki itu bilang jika dia memilih untuk memiliki Sun ketimbang meminta seluruh peternakan dan perkebunan yang menjadi satu-satunya usaha keluarga McRay.
“Ah ... benarkah? Padahal dia bisa bertindak seenaknya dan membawaku paksa hari itu juga.”
“Tidak, Sun,” Alexa menjeda seraya meminta atensi Sun, “dia memikirkan hak-mu sebagai pelajar yang masih harus menyelesaikan pendidikan utamanya. Kendati dia menginginkanmu, dia juga memikirkan usiamu yang masih sangat muda saat itu. Bukankah sikapnya itu jantan sekali?”
“Sudah jelas sekali kalau Noah jatuh hati padamu.”
Sun terkejut akan ucapan Lucy, namun tak ada reaksi yang bisa ia beri selain bungkam. Kata-kata yang Alexa, Lucy, Emma atau bahkan Catherine keluarkan seakan mendukung hal yang bahkan belum bisa dipastikan itu.
Noah menyukainya?
Sun lagi-lagi menanyakan hal itu dalam benaknya.
Perasaannya campur aduk. Dia merasa seperti dilambungkan ke langit yang tinggi. Tapi karena sangat tinggi dirinya melayang, dia jadi merasa takut dan cemas.
Benarkah Noah menyukainya?
“Yah ... aku tidak tahu harus menjawab apa.” Sun tersenyum canggung, meminum teh-nya dan gerak-geriknya mengisyaratkan jika mereka harus berhenti membahas soal hubungannya dan Noah.
Sun tidak mau merasa sangat senang karena analisis-analisis yang tak pasti, sementara dirinya saja merasa cemas mengenai statusnya yang tidak jelas karena Noah tak kunjung kembali untuk menemuinya.
Apakah Noah benar-benarkah menyukainya? Atau dia hanya wanita yang dijadikan koleksi sementara untuk memenuhi hasratnya terhadap lawan jenis?
Apa pun itu, saat ini Sun tidak bisa langsung memercayai jika Noah benar-benar jatuh cinta padanya. Terlebih Noah adalah orang yang sebelumnya sudah biasa melihat wanita-wanita cantik melebihi Sun yang gadis biasa ini.
Jika kau menginginkan sesuatu, kau akan melakukan apa saja untuk bisa mendapatkannya. Sama seperti Noah di mata Sun. Dibalik sikapnya, Noah bisa saja menjadikan Sun sebagai satu dari sekian banyak wanita yang dia miliki.
Iya, Sun tidak boleh berharap lebih pada lelaki itu.
“Baiklah, Sun ....” Sun agak terperanjat kala Emma memanggil namanya. “Bisa kita berangkat sekarang?”
“Ah ... iya.”
“Kalian akan pergi ke mana?” tanya Catherine sebelum Sun meninggalkan kursinya.
“Aku sudah mengatakannya kemarin, Nyonya. Aku ingin keluar untuk membeli beberapa kebutuhan dan camilan,” jawab Emma dengan wajah sumringahnya. Seperti wanita pada umumnya, Emma menyukai jalan-jalan dan berburu makanan terutama.
“Kau mengajak Sun?”
“Iya. Kalau aku mengajak Lucy, kami akan bertengkar di jalan.” Lucy melirik Emma tak suka. Biasa ... pertikaian dua wanita dari seorang pria yang sama. Mereka bersaing untuk menjadi yang terbaik di mata lelaki mereka, Draven.
Catherine melirik Sun, tampak tersirat sedikit kecemasan. Dia mungkin akan mengizinkan jika yang mengajak adalah Alexa, tapi jika Emma ... wanita itu bahkan bisa bersikap lebih kekanakkan dari Sun yang notabenenya adalah anggota paling muda di Kediaman Melrose.
Alexa yang menyadari kecemasan Catherine lantas menyentuh lengan wanita yang berusia 30-an itu. “Tidak apa-apa, Nyonya. Lagi pula, Emma adalah anak yang lahir dan besar di kota ini. Biarkan dia menjadi pemandu tur bagi Sun agar bisa mengenal kota ini.”
Mempertimbangkan ucapan Alexa, akhirnya Catherine mengangguk dan berkata, “Baiklah ... aku mengizinkan. Tapi jaga Sun baik-baik, jangan biarkan dia menghilang dari pengawasanmu, Emma.”
Emma tersenyum lebar dan memberikanhormat pada Catherine. “Siap, Nyonya Catherine! Terima kasih!”
Emma dan Sun bersiap-siap. Karena berada di luar Melrose, mereka dibebaskan dari ‘pakaian adat’ yang kediaman itu haruskan untuk mereka pakai sepanjang hari.
Sun memakai gaun selutut bermotif kotak-kotak dengan warna oranye pastel, alas kakinya sepatu datar yang berwarna senada dengan gaunnya. Rambut lurus dengan warna blonde emasnya dibiarkan tergerai, dipercantik dengan kain yang diikat sebagai bando. Riasannya natural, dia tidak perlu berdandan menor hanya untuk berjalan-jalan saja.
Sun sudah bersiap. Dia menuju ke lantai bawah, menemui Emma yang sudah menunggunya di depan pintu mobil.
“Kau cantik sekali, Sun!” Pujian menyambut Sun ketika dirinya menampakkan diri. Gadis bermata biru itu tersenyum malu.
Baginya, Emma bahkan terlihat lebih cantik dengan rambut cokelat bergelombang yang diikat atas serta poni pagarnya yang dibuat lebih bervolume. Emma memakai gaun di atas lututyang cukup tipis dan tak berlengan, memperlihatkan ketiak mulusnya saat dia melambai pada Sun. Gaun biru laut bermotif bunga-bunga yang cantik, dipadukan dengan sepatu converse berwana putih polos.
Gaya berpakaian Emma terlihat anak muda sekali, mewakili usianya yang tak begitu jauh di atas Sun.
“Kau terlihat manis dengan gaun itu, Nona Emma.” Sun balas memuji. Emma hanya tertawa lalu menyuruhnya untuk masuk ke dalam mobil.
“Kau tidak perlu terlalu kaku padaku. Panggil saja aku dengan namaku, Sun. Usia kita tidak terpaut sejauh itu.”
“Ah ... baiklah.” Perjalanan dimulai, sopir mulai menyalakan mesin dan menjalankan mobil.
Emma memilih untuk memandangi jalanan dengan senyum lebar yang menghiasi wajahnya. Sun yang melihatnya hanya terdiam, menikmati bagaimana Emma memberinya energi positif hanya dengan tersenyum.
“Aku bersyukur bisa jalan-jalan seperti ini,” ujar Emma di tengah-tengah perjalanan.
“Bukankah kau bisa bebas keluar-masuk Kediaman Melrose?” tanya Sun.
“Kau benar. Tapi jalan-jalan dengan anggota baru rumah membuatku merasa lebih bahagia.”
“Aku senang mendengarnya.”
Sun dan Emma sama-sama hening. Mereka sibuk dalam pikiran masing-masing sementara sepasang netra mengagumi jalanan yang kian berubah setiap harinya.
“Aku tidak melihat toko itu sebelumnya. Apa itu toko baru?” Ucapan Emma memecah atensi Sun. Gadis dengan bibir tipis itu melihat ke arah Emma memandang, sebuah toko es krim yang katanya tak pernah Emma lihat sebelumnya. Sun tidak tahu detailnya, dia bukan penghuni asli New Orleans seperti Emma yang lahir dan besar di kota ini.
“Kita akan mengunjungi toko es krim baru itu nanti, Sun.”
Sun mengangguk tanpa Emma perhatikan. Sun terus menatap wajah bahagia wanita berusia 23 tahun itu tanpa berkata. Entahlah, dia hanya senang melihat senyum manis Emma.
Sampai tak sadar, sebuah tanya mencelos begitu saja dari bibir Sun yang semula menempel rapat. “Apa kau sangat senang hidup bersama seorang mafia, Nona Emma?”
Sun sekonyong-konyong melotot, sadar akan kelancangan mulutnya yang berani menanyakan hal seperti itu pada Emma. Senyum Emma luntur, dia menatap Sun dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Sun sangat gugup, takut jika apa yang akan Emma keluarkan sebagai respons adalah hal yang buruk.
“Apa kau sadar dengan apa yang kau tanyakan barusan, Sun?”
Seharusnya Sun tidak selancang itu menanyakan hal yang tabu untuk dirinya tahu.
-Bersambung-
“Apa kau sadar dengan apa yang kau tanyakan barusan, Sun?”Sun menatap resah, khawatir ucapannya akan membuat Emma marah dan merasa tersinggung. “Maaf, Nona. Aku tidak seharusnya bertanya seperti itu,” ujarnya dengan panik dan berharap Emma tidak terlanjur salah paham akan ucapannya. Tapi kecemasan Sun tak berarti saat tiba-tiba saja Emma tertawa.“Hahaha ...!”Suara tawa itu membuat Sun memasang wajah bingung. Bukan hanya ekspresi belaka, dia benar-benar bingung saat ini.Emma, selaku dalang dari suara tawa yang lepas itu pun berkata, “Tentu saja aku sangat senang, Sun!” Butuh waktu beberapa detik sampai Emma benar-benar berhenti tertawa. Sun tidak tahu di mana letak lucunya sampai gadis yang berusia tak jauh darinya itu tertawa terpingkal seperti ini.Setelah Emma selesai tertawa, dia diam sejenak. Emma mengambil napas lalu mengembuskannya dengan cepat. “Bukankah menyenangkan rasanya kalau punya banyak uang?” tanya gadis itu pada Sun yang terdiam tak
Sun dan Emma melanjutkan kegiatan jalan-jalan mereka di hari yang cerah.Hari yang cerah membawa kebahagiaan bagi semua orang. Jalanan French Quarter sangat ramai pagi ini. Banyak orang melewati jalanan yang juga dilewati Sun dan Emma. Entah mengapa melihat kesibukan lautan manusia itu menjadi hiburan tersendiri bagi Sun dan Emma.“Sun, kau harus melihat ini!” Sun belum selesai menikmati satu hal, dan Emma dengan sangat bersemangatnya mengajak Sun untuk melihat hal lain. Ketimbang Sun yang seorang pendatang baru di New Orlean, Emma yang menjadikan kota pelabuhan itu sebagai tempat kelahirannya malah terlihat lebih bersemangat menelusuri pusat hiburan di kota itu.Emma mengajak Sun untuk mengunjungi jalanan yang terkenal dengan deretan toko-toko yang menjual banyak hal. Tentu saja, karena French Quarter adalah jantung hiburannya New Orleans dan tentu saja tempat itu adalah tempat yang banyak didatangi wisatawan asing luar ataupun dalam
Noah terdiam lama, bibirnya rapat mengatup seakan ada yang merekatkannya. Memang ada, dan itu adalah ucapan Sun yang barusan dilontarkan kepadanya. Gadis dengan surai pirang emasnya itu masih lekat menatap Noah, pun dengan Noah yang melakukan hal serupa. Keduanya bahkan mungkin tak menyadari jika banyak detik berlalu hanya untuk melakukan kontak mata yang tidak tahu apa maksudnya. Sun menjadi yang paling pertama menyadarinya. Dia tidak tahu mengapa ia dan Noah saling beradu pandang untuk waktu yang lama. Setelah ucapannya, Noah tak lagi mau berkata. Dia tahu jika Noah sangat irit bicara, tapi tidak bisakah dia membuka sedikit saja mulutnya untuk merespons ucapan Sun? Atau hanya berikan Sun gumaman saja agar apa yang baru saja dikatakan gadis itu tak terdengar seperti sesuatu yang aneh sampai tidak perlu diberikan respons. Sun jadi merasa sangat malu dan canggung. Tapi itu tak berlangsung lama kala ia mulai berpikir, Noah mungkin saja terdiam karena se
Sekarang sudah malam. Tidak terasa Sun menghabiskan satu harinya bersama Noah. Ini benar-benar tidak pernah ia duga sebelumnya. Saat ini mereka berada di sebuah restoran, tentunya untuk menikmati makan malam setelah seharian hanya berjalan-jalan dan makan pun dari jajanan. Sun harus tetap mengisi tubuhnya dengan nutrisi yang benar, terlalu banyak makan jajanan tidak akan baik untuknya. Itu yang Noah katakan. “Pesan sekarang,” ujar Noah ketika buku menu diberikan kepada mereka. Sun tersenyum senang lalu melihat-lihat menu makanan. Astaga ... hatinya bersuara. Makanan di sana terlihat sangat enak, Sun tidak bisa memilih karena dia menginginkan semuanya. Padahal dia sudah makan banyak jajanan, tapi ketika melihat buku menu di tempat itu, cacing-cacing di perutnya bergejolak hebat seakan dia belum makan dua hari. Sun menggigit bibir bawahnya. Kalau di Melrose, dia pasti tidak diizinkan makan lebih dari tiga menu utama menurut atura
Eliot Redwood. Nama itu amatlah membekas dalam kurun waktu lima tahun terakhir dalam benak Noah. Jika bertanya apakah Noah mengenalnya, tentu saja jawabannya adalah: sangat.Jauh sebelum hari ini, Noah dan Eliot terikat oleh hubungan yang baik dan manis. Kakak dan adik laki-laki? Begitu orang-orang menyebutnya. Kendati tak ada yang menghubungkan keduanya secara sah, dan hubungan itu hanya sebatas sebutan. Tidak disangka, itu menjadi hal yang bisa Noah anggap nyata setelah sekian lama menutup diri dari dunia.Noah menyukai Eliot, dia adik kecil yang manis dan terkadang manja. Eliot pun menyukai Noah, kakak yang dingin namun selalu terlihat keren di matanya. Semua itu indah ketika mereka masih anak-anak, ya ... dunia yang hanya diisi kesenangan itu bukanlah dunia yang akan selamanya mereka tinggali.Ketika beranjak dewasa, pikiran mulai bergerak dan logika mulai melakukan fungsinya. Bagaimana ...? Bagaimana bisa itu terjadi?Bagaimana bisa orang lain itu me
Malam itu, ada yang tak bisa jatuh dalam lelapnya. Berusaha berulang kali menutup mata, tetapi berakhir dengan dirinya yang kembali melihat langit-langit ruangan yang dia tempati. Kedua netra dinginnya sekali lagi melirik ke arah presensi seorang gadis yang nyenyak tak terusik di depan sana, wajah tenang itu yang mampu membuatnya kembali tenggelam dalam ingatan hanya tentangnya. Noah tidak berniat bernostalgia. Tapi ketika dia melihat wajah Sun sekali lagi, kepalanya memutar kembali adegan yang terjadi tiga tahun lalu. Itu bagian saat dia pertama kali melihat Sun di tengah ladang bunga kuning di dataran Vermont yang sejuk. Tiga tahun lalu, Noah Bellion melakukan perjalanan menuju salah satu kota kecil di daerah Vermont, negara bagian Amerika Serikat. Tempat itu bernama Woodstock, kota kecil yang terkenal akan keindahan alamnya yang masih terjaga. Jika bertanya mengapa salah satu eksekutif dari kelompok mafia paling terkenal di New Orleans datang ke tempat terpencil nan asri itu, jaw
Sun membuka mata ketika surya belum terbangun dari ufuknya. Bukan karena kantuknya telah usai, dia masih bisa merasakan matanya sangat berat untuk dibuka lebar tetapi tubuh itu menolak untuk terlelap setelah tidurnya terganggu akibat dinginnya udara. Dia duduk di ujung ranjangnya, terdiam dan mengingat-ingat malamnya. Malam yang biasa, dia selesai menghabiskan jalan-jalannya dengan Noah dan berakhir makan malam berdua. Setelah itu dia kembali dan tak lama memutuskan untuk tidur. Hanya saja, dia ingat sekali kalau semalam dirinya tidak memakai piyama berlengan panjang. Dia hanya memakai gaun tidur tanpa lengan dan mungkin itu yang menjadi alasannya terbangun karena kedinginan. Sun melihat kembali ke ranjang, memandang selimut yang dipakainya semalam. Keningnya mengerut samar. “Apa aku memakai selimut semalam?” tanyanya pada diri sendiri. Seingatnya, Sun sama sekali tidak memakai selimut atau kain apapun untuk membuat tubuhnya lebih hangat. Itu karena dia terla
“Aku mendengar cukup banyak cerita tentangmu dari orang-orangku, Nona McRay.”Seperti yang sudah kau tahu, Sun dan anggota rumah Melrose saat ini sedang mengadakan pesta teh bersama istri dari pemimpin geng mafia terkenal di New Orleans, Ashtelle Odolff. Ucapan yang tadi itu berasal dari bibir meronanya, sang bintang utama hari ini.Wanita itu benar-benar memancarkan imej istri seorang pemimpin. Caranya menggunakan bahasa tubuh, berpenampilan dan bahkan caranya berbicara, anggun sekali. Alih-alih terlihat seperti istri dari pemimping organisasi kejahatan, dia lebih pantas disebut seorang permaisuri dari kekaisaran yang besar.Sun sejak tadi hanya terdiam, mendengarkan perbincangan wanita-wanita itu tanpa berbicara. Sebenarnya hanya memperhatikan bagaimana indahnya Ashtelle yang hanya mengobrol saja, dia bisa jadi termangu dan terpesona selama beberapa detik. Tapi ketika dilihat dari sudut pandang Ashtelle, semuanya jadi
Sun kehilangan alas kaki entah di langkah ke berapa dalam perjalanannya untuk sampai ke tempat ini.Ia berhenti untuk sejenak mengambil napas, sembari mengedarkan pandangan dan berharap dia bisa bertemu dengan Noah.Jika laki-laki bermata abu-abu dengan rambut coklatnya itu benar-benar Noah, maka seharusnya dia tidak perlu melakukan permainan kejar-kejaran seperti ini, kan? Kenapa dia tidak langsung menemui Sun saja?Kenapa dia harus membuat Sun sampai berlari sejauh ini ke pusat desa hanya untuk menemukannya di antara banyaknya manusia?"Noah ...."Sun mengedarkan pandangannya seperti orang linglung, dia berusaha mengidentifikasi setiap wajah dan menyamakannya dengan bayangan sosok yang ada dalam ingatannya.Rambut coklat dan tubuh tinggi kurusnya, dia berjalan tegak dan dia terlihat paling bersinar dari siapa saja yang ada. Seharusnya mudah menemukan Noah di tempat ini, tapi kenapa Sun tidak bisa melakukannya? Apa karena Noah memang tidak ada?Apa Shawn salah lihat? Apakah Sun hanya
Sun tidak tahu sudah berapa lama dia terduduk di bawah pohon rindang itu; dia merenung dan mengingat kembali tentang apa saja yang terjadi yang sempat ia lupakan karena insiden malam itu.Tapi yang ada, dia malah merasa menyesal dan kesal pada dirinya sendiri yang sempat hampir melupakan siapa itu Noah Bellion. Nyatanya, lelaki itu adalah orang yang membuat Sun tidak bisa hidup sedetik saja tanpa dirinya."Dasar bodoh ... bagaimana bisa kau melakukan ini pada Noah?" ujar Sun, memarahi dirinya sendiri dalam penyesalan. Ia menghapus air matanya, tapi itu tetap tidak membuat Noah muncul di hadapannya.Sun kembali bersandar dan menangis. "Kau di mana Noah ...? Kau tidak mau kembali?" ujarnya, "kenapa tidak mau kembali? Aku tidak akan marah karena kau telah berbohong. Nyonya Ash bilang kalau Eliot sudah mati, tapi kenapa kau masih tidak kembali ...?"Sun menundukkan kepala, menutup wajahnya yang pasti terlihat sangat jelek karena menangis tersedu-sedu.Saat ini dia sangat takut untuk berpr
[2 BULAN KEMUDIAN]"Nona Fleurry! Nona ...!"Seorang gadis dengan rambut pirang keemasan menoleh segera ketika seseorang memanggil namanya. Rambut panjang bergelombang milik wanita itu tersapu oleh angin ladang yang bertiup sepoi-sepoi, menjadikannya bak kain tergantung yang menari dengan cantiknya."Selamat pagi Paman, ada apa?" tanya gadis itu, tersenyum ramah dengan cantiknya."Kabar baik untukmu, Nona; lima domba kita berhasil melahirkan hari ini!""Oh, benarkah? Ada berapa anak domba yang lahir?""Ada 17 anak domba, Nona! Dan mereka semua sehat!"Senyum Sun Fleurry McRay tak bisa ia tahan ketika mendengar kabar bahagia di hari yang cerah ini. Ibu domba yang ada di peternakannya berhasil melahirkan bayi domba yang sehat; mereka pasti akan jadi anak domba yang lucu dan gemuk-sehingga membuat Sun tidak sabar untuk melihatnya."Apa kau akan melihatnya sekarang, Nona?" tawaran itu jelas tidak Sun tolak; gadis itu mengangguk lalu bergegas pergi dari tengah ladang bunga matahari yang su
Seorang perawat wanita memasuki kamar rawat Sun Fleurry McRay untuk melakukan pengecekan rutin; dia memeriksa setiap aspek perawatan Sun untuk memantau perkembangan sekaligus melakukan apa yang perlu ditindak lanjut.Tak lupa ia mencatatnya di kertas yang ia bawa, tapi tiba-tiba ...JDERRR!"Ah!" Suara petir yang menggelegar membuatnya terkejut dan tak sengaja menjatuhkan pena miliknya. "Astaga, membuatku kaget saja," ujarnya, lalu memungut pena.Ia melihat ke luar dinding kaca di kamar itu; memperlihatkan langit malam yang gelap tertutup awan mendung. Sudah begitu, terdengar petir beberapa kali dan menandakan sebentar lagi akan turun hujan besar."Apa akan ada badai?" tanyanya, menatap pemandangan langit dengan raut cemas. Tapi dia tidak punya waktu untuk itu, sehingga segera ia tutup tirai ruangan itu dan melanjutkan pekerjaannya. Ia selesai mencatat perkembangan, tapi perhatiannya sejenak jatuh pada Sun yang masih terpejam dengan alat rumah sakit mengitarinya-berusaha mempertahanka
Eliot terdiam, memperhatikan Noah yang berusaha berdiri tegak di atas sana. Tatapannya tajam, Eliot bisa merasakan itu; tapi tiba-tiba Noah tersenyum tipis dan berkata, "Atau jika kau ingin sekali bertemu dengan Joanne? Aku akan dengan senang hati mengantar?"Eliot tertawa; meski ia kesal luar biasa. Noah masih menantangnya dengan angkuh padahal lelaki itu terlihat akan mati sebentar lagi.Sebagian wajahnya ditutupi darahnya sendiri, kemeja putihnya lusuh dan ada banyak noda darah; pakaiannya compang-camping memperlihatkan sebanyak apa luka yang dia dapatkan. Dan yang lebih seru adalah ... tangannya yang erat memegang pistol rusak itu, sepertinya patah.Noah melihat ke arah pandang Eliot, dan ya-dia juga sadar apa yang terjadi pada tangan kanannya saat ini. Ia melempar pistolnya yang sudah rusak karena tertimpa reruntuhan, lalu kembali menatap Eliot dan berkata, "Ayo selesaikan ini ...."Eliot menahan tawa, sembari membuka telapak tangannya menghadap Noah; ia bermaksud menolak. "Kau y
"Akh!"Noah tersungkur, tapi rentetan peluru tak berhenti sehingga ia terpaksa merangkak dengan rasa sakitnya menuju ke tempat yang bisa melindunginya.Ia menarik kekinya yang seakan mati rasa untuk sejenak, dan menyadari peluru Eliot berhasil menyayat pergelangan kakinya lumayan dalam."Sial!" ujarnya, mengernyitkan kening tajam sembari merobek sebagian celananya untuk menghentikan pendarahan. Perjalanan masih jauh, dia tidak boleh lemas karena kehabisan darah untuk luka kecil seperti ini.Sementara dirinya sudah lusuh dan berdarah, Eliot masih berdiri di tempatnya seolah tak tersentuh. Jika saja Eliot hanya membawa satu pistol, pasti Noah bisa mengimbangi permainannya. Tapi bahkan dia memiliki pistol lain setelah dua pistolnya kehabisan amunisi.Noah berusaha mengatur napas sembari mendengarkan Eliot."Kau tahu, setelan yang aku pakai malam ini adalah hadiah dari kekasihku. Dia memberiku benda ini sebagai hadiah. Aku tidak suka, aku sempat membuangnya. Tapi kemudian aku ingat; kalau
Noah berjalan menyusuri tangga beton dalam bangunan tua yang mangkrak pembangunannya. Dengan langkah lesu dan raut biru, ia tidak menengadahkan wajah dan terus memperhatikan langkahnya sampai ia tiba ti tempat tujuan.Hari ini sesuai dengan perkataannya; dia akan datang menemui Eliot di mana pun lelaki itu berada. Ini tidak seperti pertemuan yang direncanakan untuk melepas rindu satu sama lain, mereka datang untuk tujuan masing-masing; membunuh satu sama lain.Tentu saja perasaan Noah tidak akan baik-baik saja. Dia meminta izin pada ibu kandung Eliot untuk membunuh anaknya, bukankah ini tragis? Ibu mana yang tidak akan terluka saat buah hatinya berada di ambang bahaya, tapi dia tidak bisa melakukan apa-apa?"Oh, kau sudah datang, Noah ...?"Tatapan mata Noah terarah lurus ke depan; menuju tempat Eliot yang berdiri memunggunginya sembari merokok santai bersandar pada pilar tak bertembok. Dari lantai empat, angin semakin kencang bertiup; malam juga tidak terlihat cerah. Hal itu membuat
Sebuah pemakaman keluarga yang sepi, seorang lelaki datang sembari menenteng buket bunga dengan langkah yang lamban.Ketika ia tiba di depan sebuah nisan bertuliskan nama William Odolf, lantas ia meletakkan buket bunga itu dan membuka kaleng bir untuknya.Noah Bellion duduk di depan nisan, ia meminum bir kalengan yang dibawa sembari menatap dingin nisan William di hadapannya. Meski ia tampak dingin dan tak memiliki simpati, tapi jika dilihat saksama, terdapat guratan sendu di mata dinginnya yang tertunduk lesu.Noah terdengar beberapa kali menghela napas, rasanya masih belum bisa dipercaya jika William sudah tiada. Semua terjadi begitu cepat dan kacau luar biasa; bahkan Noah tak memiliki waktu untuk berbelasungkawa atas kematian ayah angkatnya ketika kekacauan lain datang dan hampir merenggut sang kekasih darinya.“Kacau sekali,” ujarnya, bermonolog, “mungkin aku tidak akan pernah hidup dengan tenang; aku sudah terlahir untuk hidup di dunia yang kacau.”Noah memikirkan kembali masa la
Sudah lebih dari seminggu lamanya Sun terbaring di ranjang rumah sakit, dan selama itu pula Noah tidak pernah absen sehari saja untuk mengunjunginya.Setelah kecelakaan itu, Sun mengalami luka yang sangat parah. Benturan di kepalanya mengakibatkan trauma yang belum bisa dideteksi oleh medis, dan beberapa tulangnya mengalami patah. Mereka bilang; Sun bisa melewati masa kritis saja merupakan suatu hal yang mengejutkan. Sebab dengan luka separah itu, jika dia mati maka bukanlah hal yang mustahil.Mereka bisa mengatakannya, maka Noah hanya akan bersyukur dan berterima kasih pada Tuhan yang selama ini tak ia percaya. Noah setelah sekian lama, akhirnya kembali berdoa pada Tuhan yang lama tak dia gaungkan namanya, bahkan untung-untungan dia masih ingat nama Tuhannya. Tapi doa Noah kali ini dikabulkan; Sun berhasil melewati masa kritis. Namun, itu bukan berarti dirinya sudah bertemu jalan yang mulus.Mengingat dia memiliki trauma pada syaraf kepalanya dan medis belum bisa mendeteksi sebelum ef