Dia hendak mengantar uang kembalian setelah pembeli melakukan transaksi bahan pangan dari peternakannya sore itu. Karena dia sudah mengenal pembeli dengan sangat baik dan sudah sering kali bolak-balik dari rumahnya ke lokasi pembeli, Sun berpikir dia tidak membutuhkan tumpangan atau pun seseorang untuk menemaninya.
Tapi ketika ia akan pulang, baru dirinya merasa menyesal telah menolak semua tawaran orang-orang di peternakan untuk menemaninya.
Ketika dalam perjalanan pulang, Sun dibuntuti oleh empat orang lelaki yang sudah dilihatnya sejak dia berada di tempat pelanggannya tadi. Sebenarnya salah satu dari empat lelaki itu sempat menawari Sun untuk pulang bersama mereka, sebab ia tadi sempat mengalami masalah pada rantai sepedanya. Tapi Sun menolak, mereka terlalu mencurigakan untuk bisa dia percaya.
Rasa curiga Sun terbukti saat dirinya dalam perjalanan pulang, empat orang itu mengikutinya. Bahkan ketika Sun sudah mengayuh sepedanya lebih kencang, dia masih dibuntuti.
Karena rasa panik, Sun memacu sepedanya lebih cepat dan lebih cepat lagi. Namun sayangnya, nasib sial masih membuntuti kala rantai sepeda miliknya kembali lepas dan Sun merasa sudah tidak memiliki waktu yang cukup untuk memperbaikinya. Perasaan panik yang melanda membuatnya tak berpikir panjang dan akhirnya, Sun memutuskan untuk memasuki sebuah gang sempit yang ditutup oleh sebuah dinding besar, menjadikannya buntu dan tak bisa dilewati.
“Nona, sepedamu sudah rusak sekarang. Masih menolak untuk kami antar?” Lelaki berbadan besar yang berdiri dua meter di depan Sun itu berkata. Dia dan tiga rekannya melihat Sun seakan-akan melihat mangsa yang akan dilumat dalam sekali lahap.
Sun sedikit gemetaran, merasa takut sebab tempatnya berpijak adalah ujung dari jalan sempit dan gelap yang diputus tembok besar.
“Siapa kalian sebenarnya? Apa mau kalian?” Sun bertanya, dengan suara gemetar yang sebisa mungkin ditahan. Kalau dia panik dan bertindak gegabah, itu mungkin akan membahayakan dirinya sendiri.
Para lelaki itu saling menatap, seakan berbagi pikiran yang sama kemudian tertawa. Mereka kembali menatap Sun setelah menyelesaikan tawa, situasi jadi semakin menegangkan bagi gadis itu.
“Kami adalah orang-orang hebat yang bernaung di bawah nama Luciano. Kami datang untuk menjemputmu, dan membawamu.”
“Luciano?” ujar Sun dengan nada bertanya, sebab baru pertama kali baginya mendengar nama itu. “Dan kalian mau membawaku ke mana? Apa kalian adalah rekan ayahku? Apa kalian sudah mendapat izin untuk membawaku?”
“Izin? Kenapa kami harus meminta izin sedangkan kau itu sepenuhnya milik kami?”
Sun makin mengerutkan kening, tak mengerti dengan apa yang lelaki berewok itu katakan. Lalu lelaki itu melanjutkan kata-katanya, “Kalau kau ikut kami, kau akan kami jadikan wanita penghibur yang populer, Nona! Satu kota akan mengenalimu dan kau akan dibayar mahal—”
“Minggir, gadis itu milik bos kami.” Suara lain memecah atensi mereka yang ada di gang sempit itu. Suara yang berasal dari lelaki yang mungkin ada di kubu yang berbeda dengan lelaki berewok di hadapan Sun.
Empat orang yang menyebut diri mereka sebagai anggota Luciano itu memutar tubuh, menghadap rombongan yang berniat bergabung dalam pembicaraan.
“Ah, Heatens?”
“Iya. Kami anggota Heatens yang ditugaskan untuk membawa Nona McRay.”
Sun membulatkan mata. Apa lagi ini, Ya Tuhan?
“Tu-tunggu! Kenapa mau membawaku!? Siapa lagi kalian ini?” Keadaan terasa semakin runyam. Sun menelan pahit kenyataan karena sempat berpikir tiga lelaki lain itu datang sebagai bantuan.
“Ayahmu terjerat utang belasan tahun lalu dengan bos kami, dia tidak bisa membayar yang setimpal dan bos kami menginginkanmu untuk menjadi istrinya,” ungkap lelaki dari Heatens itu, membuat kepala Sun makin pusing.
Sun mundur, lalu terkejut saat punggungnya ternyata sudah bisa mencapai tembok besar di belakangnya. Rasanya mendebarkan. Jika dia tidak lari sekarang, maka mustahil baginya untuk kabur. Tapi sayangnya, Sun tak segera melihat kesempatan atau celah untuknya melarikan diri. Maka jika dia tetap memaksakan diri untuk lari sekarang, itu akan menjadi tindakan paling nekat yang pernah ia ambil dengan persentase keberhasilan yang amat kecil.
“Ha? Istri? Bosmu yang tua dan bau tanah itu mau memperistri Nona McRay? Apa kalian tidak salah?”
“Tidak ada yang salah jika menyangkut perintah.”
“Nona McRay sudah jelas-jelas akan bahagia hidup sebagai wanita penghibur. Dia akan menjadi kebanggaan dunia bawah atas nama Luciano!”
“Gadis desa sepertinya tidak akan bisa menjadi wanita malam! Dia yang dibesarkan dengan lembut dan sangat hati-hati, tidak akan bisa menjadi lebih dari sekadar istri yang menaati suaminya.”
“Jadi, bagaimana? Mau bertarung untuk membuktikan siapa yang bisa membawa gadis cantik ini? Sepertinya akan jadi menarik.”
Detak jantung Sun terpacu cepat kala melihat mereka memasang kuda-kuda, dan beberapa ada yang mengeluarkan pisau kecil.
Jika orang dari Heatens itu menyanggupi, maka habis sudah Sun yang tak bisa melindungi diri sendiri ini.
“Aku tidak berniat melukai siapa pun, tapi jika itu bisa memukul mundur musuh yang menghalangi, akan aku lakukan.” Keadaan yang semakin diluar kendali membuat Sun hampir menangis, tapi dia menahan kembali air mata itu dan berlari menuju pintu gang.
Sialnya, tangan Sun langsung ditarik oleh lelaki berewok tadi. Tangan kekar lelaki itu mencengkeram kuat, Sun tidak bisa berlari dan hanya pasrah mengikuti gerakan tubuh lelaki itu yang bertarung dengan mengeluarkan segala teknik. Dia tampak sangat ingin mengalahkan lawan sementara ia tetap menjaga Sun agar tak kabur.
Sun kewalahan, napasnya terengah-engah sejak tadi. Dia mungkin sudah akan memasrahkan nasibnya, tapi sebuah suara tiba-tiba mengalihkan fokus mereka.
“Tolong berhenti.” Suara itu terdengar tenang, tapi mampu membuat kegaduhan itu berhenti sejenak. Sun mengarahkan matanya ke sumber suara.
Di depan sana, berdiri seorang lelaki, menatap dua kubu yang menguncinya saat ini dengan sorot mata yang dingin.
“Heatens dan Luciano, ya ...,” ujarnya pelan, seraya masih memperhatikan satu persatu wajah yang ada di sana, dan berakhir pada wajah penuh ketakutan milik Sun.
“Siapa kau?” tanya salah satu lelaki yang ada di sana, kepada sosok yang saat ini berdiri tegap tanpa rasa takut di hadapan penjahat sebanyak itu.
“Noah Bellion.” Mendengar nama itu, orang-orang yang menahan Sun terdengar bergumam, seakan terkejut dengan apa yang didengar mereka.
Mereka tentunya tahu siapa itu Noah Bellion, salah satu eksekutif kelompok mafia paling berbahaya yang berpusat di New Orleans yang bernama Little Boy.
Tapi, meski begitu, tak sedikit pun renggang cengkeraman pada tangan Sun. Malah itu semakin menguat hingga sang gadis mengeluarkan rintihan sakit.
“Jangan kuat-kuat, nanti dia terluka.” Lelaki bernama Noah itu berkata.
“Kenapa? Kau datang untuk menyelamatkannya? Kau kekasihnya?”
“Bukan,” Noah menjawab pelan. Sun hanya memandangnya penuh harapan, berharap Noah bukanlah salah satu dari masalah baru yang mendatanginya hari ini.
Melihat bagaimana tenangnya Noah saat orang-orang ini menanyainya membuat Sun ingin berharap, tapi kenyataan bahwa Noah datang seorang diri tak dipungkiri membuat Sun sedikit cemas. Bagaimana dia akan melawan tujuh orang yang tampak lebih kuat darinya itu?
Lelaki berewok yang terus menggenggam Sun, tertawa. “Lalu untuk apa kau datang? Apa kau juga ditawari gadis ini sebagai alat pelunas utang ayahnya?”
Sun terkejut. Matanya terbelalak mendengar ucapan lelaki berewok itu. Apa dia baru saja disebut sebagai pelunas utang ayahnya? Tapi kapan? Kenapa Sun tak pernah diberi tahu jika ayahnya menjadikannya alat pelunas utang?
Jika memang benar dan selama ini disembunyikan, hal itu akan sangat menyakiti Sun.
“Jangan bicara seperti itu, kau bisa membuatnya menangis.” Noah menodongkan pistol miliknya, pistol berwarna perak yang seketika membuat para lelaki gangster itu panik.
Gang sempit itu dibuat oleh dinding-dinding bangunan yang menjulang tinggi, cahaya matahari tertutup dan cahaya jadi remang. Tapi kalau matanya tidak salah lihat, Sun menangkap senyum tipis dari wajah dingin Noah.
“Tidak masalah juga. Toh dia sudah menangis sejak tadi.”
Noah mengarahkan pistolnya tepat menuju Sun, membuat gadis itu membelalakkan matanya dengan panik. “Berikan dia padaku,” tegas Noah tanpa mau digugat.
“Aku tahu kau dari Little Boy, tapi tidak semudah itu aku akan memberikan gadis ini padamu! Dia adalah permata kami!”
“Kalian tidak membawa senjata yang bisa melukaiku, dan aku tidak mau membunuh kalian di depan gadis itu. Jadi, berikan dia padaku dan pergilah. Jangan membuatku berubah pikiran.”
Ancaman yang dikeluarkan Noah tak berlaku pada mereka. Mereka bahkan tertawa, mengejek Noah yang sudah jelas kalah jumlah.
“Gigih sekali kau, Noah. Kau sepertinya ingin sekali menyelamatkan anak ini. Aku jadi ingin bertanya sekali lagi, apa gadis ini kekasihmu? Kalau iya, kasihan sekali ....”
Sun termangu, tak mengerti akan maksud ucapan si lelaki berewok yang mengekangnya. Dia menatap Noah dan lelaki itu juga menatapnya. Tatapan mata yang sangat dingin itu, belum pernah Sun lihat seumur hidupnya.
“Kau banyak bicara sekali, lelaki tua.” Noah menyimpan kembali senjatanya, tampak siap untuk bertarung dengan tangan kosong. “Dan aku akan mengatakannya sekali lagi, aku bukan kekasihnya.”
Noah menyerang lebih dulu, menghajar para lelaki itu dan mencoba sebisa mungkin untuk menangkap tangan Sun. Bagi Sun, keadaan ini bahkan puluhan kali lebih buruk, tiga pihak yang tak dikenalinya itu, berusaha memperebutkan dirinya dan mengambilnya dengan paksa.
Sun tidak punya kesempatan untuk lari. Sebab ketika satu tangan melepasnya, tangan yang lain dengan sigap menariknya. Sun hanya melihat ke arah Noah, lelaki yang diharapkan bisa menjadi penyelamat terakhirnya.
Lelaki tinggi bertubuh kurus yang bernama Noah itu memiliki kemampuan bertarung yang luar biasa. Mengenyampingkan keadaan fisiknya yang kurus dan seakan tak bertenaga, nyatanya dia tidak membutuhkan waktu lama sampai serangannya mampu melumpuhkan lima orang sekaligus. Tubuhnya yang kurus dan ringan jadi keunggulan tersendiri, memungkinkannya untuk bergerak lincah dan memanfaatkan apa yang ada kendati ia bertarung di ruangan yang sempit.
Perlawanannya membuahkan hasil. Ketika salah satu dari lawannya lengah, ia menarik Sun dengan cepat. Sun hampir terjatuh jatuh, namun Noah dengan sigap menangkapnya.
Kala itu, Sun yang sudah tak karuan, merasakan sentuhan hangat di tubuhnya. Satu tangan yang dengan enteng memeluknya dan menenangkan.
Sun pikir Noah adalah pahlawan yang benar-benar datang untuk menolongnya, tapi cukup sampai pelukan itu saja dia menganggap Noah sebagai pahlawan.
Kenyataannya, Noah lebih gila.
Noah mengeratkan tangan kirinya untuk mendekap Sun lebih erat, sementara tangan kanannya dengan cepat menarik pistolnya dan menembakkan dua peluru ke kepala dua lelaki yang berasal dari Heatens dan Luciano itu.
Sun tidak tuli, tapi suara memekakkan itu seakan membuat telinganya berhenti berfungsi seketika.
Itu adalah kali pertama ia mendengar suara senjata api, sekaligus kali pertama melihat pembunuhan terjadi.
“Bawa mereka pulang dan sampaikan salamku pada siapa saja yang gagal membawa gadis ini.” Pelakunya tertawa, tampak tak merasa bersalah sama sekali setelah membuat dua tubuh bungkam untuk selamanya.
“Ah ... aku ingin mengatakan satu hal lagi: aku bukan kekasihnya, tapi gadis ini milikku. Tolong ingat itu dengan baik.”
***
Seberkas cahaya menusuk retina saat Sun membuka netra birunya. Sun mengernyit, lalu terdiam lama sembari menatap langit-langit ruangan tempatnya terbaring.
Suara berisik mengganggunya, meski itu hanya suara kecil yang dihasilkan dari langkah kaki seseorang di atas lantai kayu itu.
Sosok lelaki bertubuh kurus tinggi, yang saat memutar kepala untuk meliriknya, Sun dibuat panik luar biasa.
Gadis itu segera bangun dan menarik selimutnya kuat-kuat, seakan benda itu mampu melindungi dirinya yang kini merasa terancam. Bayang-bayang genangan darah dan suara keras itu masih menghantuinya, menciptakan sedikit trauma kala ia kembali melihat pelaku utama.
Noah Bellian diam bergeming. Dia hanya melihat-lihat isi kamar Sun dan mendapat reaksi panik dari gadis itu saat ia terbangun membuat Noah jadi sedikit bingung.
“Kau takut?” tanya Noah yang membuat Sun tak habis pikir.
Ayolah ...! Sun baru saja menyaksikan pembunuhan paling sadis di depan matanya, dan sekarang pembunuh itu sudah berdiri di ruangan yang sama dengannya. Katakan, bagaimana bisa Sun tetap tenang saja dan tidak takut?
“Aku mohon, jangan sakiti aku ...,” ucap Sun dengan lirih. Lekung menurun yang dibentuk kedua bilah bibir Noah tak menunjukkan pergerakan, dia bungkam seraya matanya yang sayu menatap lurus ke arah Sun. Itu membuat suasana makin mencekam.
Noah terdengar menghela napas. “Ini kamarmu,” ucapnya singkat, seakan meyakinkan Sun kalau gadis itu tidak sedang dalam bahaya sekarang.
Noah lalu bergerak mengambil kursi kayu yang ada di ruangan itu, lalu duduk di hadapan Sun yang masih ketakutan dengan gaya yang sedikit feminin jika dipakai oleh lelaki sepertinya. Kedua kaki panjangnya saling bersilang, begitu pun dengan tangannya yang bersilang dada.
“Kau ... membunuh mereka semua?” Sun akhirnya memberanikan diri untuk kembali bersuara.
“Tidak. Hanya dua.”
“Bagaimana bisa!?” bentak Sun seketika, “bagaimana bisa kau menjawabnya dengan begitu santai seakan yang kau lakukan itu bukan apa-apa!?”
Noah masih memasang ekspresi setenang mungkin, membalas emosi Sun dengan pasif lalu mengalihkan pandangannya menuju luar jendela.
“Sepertinya kau benar-benar tidak paham siapa diriku, ya ...?” ujarnya pelan, “tidak masalah. Aku juga tidak berniat untuk melalui tahap perkenalan dulu denganmu.”
“Kau ini ... siapa sebenarnya? Apa yang kau inginkan dariku?”
“Kau ....” Sun termangu, tanpa memahami sedikit pun maksud ucapan Noah. “Aku ingin kau.”
“Apa maksudmu?” Ketimbang menjawab pertanyaan Sun, Noah memilih bungkam dan beranjak dari duduknya. Ia tampak akan pergi tapi Sun menahannya dengan sebuah pertanyaan, “Apa kau datang untuk mengambilku sebagai tebusan utang?”
Langkah Noah langsung terhenti. “Apa yang Papa pinjam darimu? Sebesar apa utang yang Papa punya padamu?”
Noah tak membalikkan tubuhnya. Dengan amat dingin, dia menjawab, “Ayahmu tidak meminjam, tapi merenggut. Dan sebesar apa jumlahnya ... itu setara dengan nyawa seseorang,” Noah menjeda dan membuka pintu kayu di hadapannya, “iya, itu tidak bisa dihitung.” Kemudian lelaki itu menutup pintu, pergi dari sana.
Sun terdiam di atas ranjangnya. Dia tidak menghentikan Noah karena ucapannya. Entah mengapa itu terdengar tulus, bukan sebuah sebuah dusta atau candaan belaka.
Sun bergeming lama sampai pintu kembali terbuka, menampakkan sosok sang ibu.
“Mama ...,” tuturnya lalu memeluk tubuh Karina.
Wanita tua berusia 50-an itu menangis haru. Dia tentunya diberi tahu tentang apa yang menimpa anak semata wayangnya tadi. Melihat Sun pulang dengan selamat tanpa luka sedikit pun, membuat Karina sangat bersyukur. Syukurlah Sun tidak dibawa oleh salah satu dari dua kelompok gangster itu. Meski sebenarnya, diselamatkan oleh Noah Bellion juga agaknya sedikit ia sayangkan.
“Syukurlah kau baik-baik saja, Nak,” ujar Karina sembari mengelus surai pirang bergelombang milik Sun.
Sun mengerutkan bibirnya. “Tapi, kenapa Mama tidak menahan lelaki tadi untuk masuk ke kamarku!? Dia orang jahat, Mama! Kenapa Mama tidak membawa polisi?”
Rentetan kalimat itu dibalas keheningan oleh Karina. Netranya beralih, seakan tak mau menjawab pertanyaan putrinya. Hal itu membuat Sun mengerutkan kening, dan kepalanya mulai dipenuhi hal-hal buruk.
“Mama ...?” panggilnya pelan, “jadi, yang dikatakan lelaki tadi itu benar, ya?”
“Apa yang dia katakan?”
“Dia menginginkanku, karena aku ini adalah alat untuk melunasi utang Papa.” Karina menatap wajah melas anaknya dengan tak tega. Sebenarnya dia tidak ingin membenarkan pernyataan barusan, namun dia juga tak bisa menyembunyikannya lebih lama dari Sun sendiri.
Karina mengelus pipi Sun dengan penuh rasa sayang. “Sun ... maaf karena tidak pernah memberi tahu sebelumnya.”
“Apa aku akan menjadi pengantinnya?” Sun kembali bertanya.
“Tuan Noah tidak pernah mengatakan akan menikahimu, tapi jika benar pun, Mama tidak bisa bertindak lebih.”
“Mama, negara ini memiliki polisi. Kenapa Mama tidak bisa bertindak lebih seakan Mama sendirian? Kita bisa melawan lelaki jahat itu dan dia akan berhenti memaksaku untuk ikut dengannya.”
“Sun ...,” sela Karina, meminta untuk didengarkan, “jika kita melawan, ayahmu akan malu, Nak. Ayahmu pernah seenaknya berutang pada Tuan Noah, sekarang Tuan Noah juga berhak untuk mengambil apa yang ia mau dari ayahmu.”
Mendengar penuturan sang ibu membuat Sun makin tak paham. Sebenarnya ada apa antara ayahnya dan lelaki bernama Noah itu di masa lalu? Apa yang sudah ayahnya ambil dari Noah sampai hanya dirinya yang diinginkan Noah agar utang sang ayah bisa benar-benar lunas?
“Setidaknya, dia tidak akan membunuhmu, Sun.”
Sun membungkam mulutnya, lelah untuk membalas. Dia melihat wajah sang ibu yang tampak ingin memberontak, namun tetap ditahan. Sun jadi semakin penasaran tentang apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang membuat ibunya tak mau melawan kendati dia tahu jika anak perempuannya akan dibawa pergi oleg orang jahat?
Tapi untuk saat ini, Sun memilih diam dan mengikuti alur yang telah disiapkan. Dia akan mencari tahu sendiri, kemudian memikirkan jalan terbaik agar bisa melepaskan diri dari lelaki bernama Noah Bellion itu.
-Bersambung-
Dua hari setelah pertemuannya dengan Noah, Sun yang sudah memantapkan diri akhirnya memutuskan untuk pergi bersama Noah menuju sebuah tempat. Sun tidak tahu mereka akan pergi ke mana, tapi Noah sempat berkata jika mereka akan pergi menuju sebuah kota yang Noah tinggali. Mungkin bisa dibilang jika Sun akan dibawa ke rumah lelaki itu, dan semoga saja firasat buruk Sun yang merasa dirinya akan diserahkan kepada ketua kelompok orang-orang jahat seperti Noah itu tidak benar.Saat ini belum diketahui pasti tujuan mereka. Hanya saja yang Sun tahu, dirinya dan Noah saat ini sudah berada di New Orleans, kota pelabuhan terbesar di Louisiana, salah satu negara bagian Amerika Serikat.Seperti gambaran kota pada umumnya, tempat yang panas dan ramai oleh suara bising kendaraan bertenaga mesin membuat Sun yang selama ini tinggal di tempat asri bernama desa jadi agak terkejut. Tentunya, setelah menempuh perjalanan jauh, dihadapkan suasana yang jauh berbeda dengan suasana yang biasa ia t
Gelas kaca itu pecah. Suaranya nyaring memecah hening, meruntuhkan nyali tiga kepala yang tertunduk menahan takut. Tak ada yang berani mengangkat kepala, bahkan mata melirik untuk melihat tuannya saja tak kuasa.Berita kematian satu anggota Luciano membuat lelaki berdarah Italia itu geram bukan kepalang.Luciano adalah sekelompok gangster yang terbilang baru dan bergerak di kota Baton Rouge, ibu kota Louisiana. Dapat ditebak dari namanya, Luciano dipimpin oleh seseorang yang berdarah Italia bernama Marino De Luca.Luciano tak beda halnya dengan organisasi-organisasi dunia bawah di Italia. Mereka menjunjung tinggi solidaritas antar anggota dan dengan berita kematian ini, tentu saja itu membuat sang pemimpin merasa amat geram.“Patrick ...,” ujar Marino dengan lirih. Matanya melukiskan amarah, namun di sana juga ada kesedihan. “Dia anggotaku yang setia. Dia tidak seharusnya mati!”Kemarahan memuncak, Marino kembali membanting benda yang ada di hadapannya.
“Baiklah ....” Atensi Sun teralihkan, dia menoleh menuju Alexa dan Jessie yang tampak lekat mengamati penampilannya dari atas ke bawah. Tentu saja di benak mereka masih ada rasa terkejut dan tak percaya, gadis yang terlihat polos dan lugu di hadapan mereka ini adalah wanita dari lelaki yang merupakan incaran banyak kaum hawa di luar sana.“Tolong beri tahu kami, siapa namamu?” tanya Alexa.“Sun Flurry McRay.” Sun memperkenalkan dirinya dengan seadanya. Jika ditanya nama, maka dia akan menjawab dengan sopan. Namun, agaknya itu merupakan masalah bagi Alexa dan Jessie yang tampak langsung memicingkan mata, terusik.“Kau tidak akan bisa bertahan di sini jika caramu memperkenalkan diri seperti itu, Nona McRay.”“Apa aku kurang sopan?”“Sudah sopan, tapi kurang diiringi gerakan.” Penuturan Jessie membuat Sun mengerutkan kening, tak mengerti. “Kau lihat penampilan kami? Ini bukan hanya sekadar penampilan, namun kami membawa tata perilaku yang sepadan dengan ke
Hari berganti hari, tanpa sadar dia sudah genap melewati tujuh fajar dan tujuh senja di tempatnya menetap saat ini. Seminggu berlalu, Sun disibukkan dengan mempelajari Kediaman Melrose dan peraturan-peraturannya. Memang hal baru yang tak biasa ia lakukan. Sun belajar tentang cara bersikap sopan dan anggun ala wanita kerajaan kendati dirinya berasal dari desa yang cukup terpencil. Sun tidak tahu apa maksudnya. Alexa tidak pernah mengatakan jika peraturan yang dilakukannya adalah lampu hijau untuk bisa menuju ke pelaminan bersama lelaki Little Boy kesayangannya, tapi mematuhi peraturan Kediaman Melrose adalah cara yang sangat membantu untuknya bertahan di sisi lelakinya. Sun hanya melakukannya begitu saja meski tak jelas akan jadi apa dia di tempat ini. Seperti pagi yang sudah-sudah, Sun akan menikmati paginya dengan minum teh dan berbincang bersama wanita-wanita yang ada di sana. “Selamat pagi, Sun!” Sun mulai terbiasa dengan suasana yang ada d
“Apa kau sadar dengan apa yang kau tanyakan barusan, Sun?”Sun menatap resah, khawatir ucapannya akan membuat Emma marah dan merasa tersinggung. “Maaf, Nona. Aku tidak seharusnya bertanya seperti itu,” ujarnya dengan panik dan berharap Emma tidak terlanjur salah paham akan ucapannya. Tapi kecemasan Sun tak berarti saat tiba-tiba saja Emma tertawa.“Hahaha ...!”Suara tawa itu membuat Sun memasang wajah bingung. Bukan hanya ekspresi belaka, dia benar-benar bingung saat ini.Emma, selaku dalang dari suara tawa yang lepas itu pun berkata, “Tentu saja aku sangat senang, Sun!” Butuh waktu beberapa detik sampai Emma benar-benar berhenti tertawa. Sun tidak tahu di mana letak lucunya sampai gadis yang berusia tak jauh darinya itu tertawa terpingkal seperti ini.Setelah Emma selesai tertawa, dia diam sejenak. Emma mengambil napas lalu mengembuskannya dengan cepat. “Bukankah menyenangkan rasanya kalau punya banyak uang?” tanya gadis itu pada Sun yang terdiam tak
Sun dan Emma melanjutkan kegiatan jalan-jalan mereka di hari yang cerah.Hari yang cerah membawa kebahagiaan bagi semua orang. Jalanan French Quarter sangat ramai pagi ini. Banyak orang melewati jalanan yang juga dilewati Sun dan Emma. Entah mengapa melihat kesibukan lautan manusia itu menjadi hiburan tersendiri bagi Sun dan Emma.“Sun, kau harus melihat ini!” Sun belum selesai menikmati satu hal, dan Emma dengan sangat bersemangatnya mengajak Sun untuk melihat hal lain. Ketimbang Sun yang seorang pendatang baru di New Orlean, Emma yang menjadikan kota pelabuhan itu sebagai tempat kelahirannya malah terlihat lebih bersemangat menelusuri pusat hiburan di kota itu.Emma mengajak Sun untuk mengunjungi jalanan yang terkenal dengan deretan toko-toko yang menjual banyak hal. Tentu saja, karena French Quarter adalah jantung hiburannya New Orleans dan tentu saja tempat itu adalah tempat yang banyak didatangi wisatawan asing luar ataupun dalam
Noah terdiam lama, bibirnya rapat mengatup seakan ada yang merekatkannya. Memang ada, dan itu adalah ucapan Sun yang barusan dilontarkan kepadanya. Gadis dengan surai pirang emasnya itu masih lekat menatap Noah, pun dengan Noah yang melakukan hal serupa. Keduanya bahkan mungkin tak menyadari jika banyak detik berlalu hanya untuk melakukan kontak mata yang tidak tahu apa maksudnya. Sun menjadi yang paling pertama menyadarinya. Dia tidak tahu mengapa ia dan Noah saling beradu pandang untuk waktu yang lama. Setelah ucapannya, Noah tak lagi mau berkata. Dia tahu jika Noah sangat irit bicara, tapi tidak bisakah dia membuka sedikit saja mulutnya untuk merespons ucapan Sun? Atau hanya berikan Sun gumaman saja agar apa yang baru saja dikatakan gadis itu tak terdengar seperti sesuatu yang aneh sampai tidak perlu diberikan respons. Sun jadi merasa sangat malu dan canggung. Tapi itu tak berlangsung lama kala ia mulai berpikir, Noah mungkin saja terdiam karena se
Sekarang sudah malam. Tidak terasa Sun menghabiskan satu harinya bersama Noah. Ini benar-benar tidak pernah ia duga sebelumnya. Saat ini mereka berada di sebuah restoran, tentunya untuk menikmati makan malam setelah seharian hanya berjalan-jalan dan makan pun dari jajanan. Sun harus tetap mengisi tubuhnya dengan nutrisi yang benar, terlalu banyak makan jajanan tidak akan baik untuknya. Itu yang Noah katakan. “Pesan sekarang,” ujar Noah ketika buku menu diberikan kepada mereka. Sun tersenyum senang lalu melihat-lihat menu makanan. Astaga ... hatinya bersuara. Makanan di sana terlihat sangat enak, Sun tidak bisa memilih karena dia menginginkan semuanya. Padahal dia sudah makan banyak jajanan, tapi ketika melihat buku menu di tempat itu, cacing-cacing di perutnya bergejolak hebat seakan dia belum makan dua hari. Sun menggigit bibir bawahnya. Kalau di Melrose, dia pasti tidak diizinkan makan lebih dari tiga menu utama menurut atura
Sun kehilangan alas kaki entah di langkah ke berapa dalam perjalanannya untuk sampai ke tempat ini.Ia berhenti untuk sejenak mengambil napas, sembari mengedarkan pandangan dan berharap dia bisa bertemu dengan Noah.Jika laki-laki bermata abu-abu dengan rambut coklatnya itu benar-benar Noah, maka seharusnya dia tidak perlu melakukan permainan kejar-kejaran seperti ini, kan? Kenapa dia tidak langsung menemui Sun saja?Kenapa dia harus membuat Sun sampai berlari sejauh ini ke pusat desa hanya untuk menemukannya di antara banyaknya manusia?"Noah ...."Sun mengedarkan pandangannya seperti orang linglung, dia berusaha mengidentifikasi setiap wajah dan menyamakannya dengan bayangan sosok yang ada dalam ingatannya.Rambut coklat dan tubuh tinggi kurusnya, dia berjalan tegak dan dia terlihat paling bersinar dari siapa saja yang ada. Seharusnya mudah menemukan Noah di tempat ini, tapi kenapa Sun tidak bisa melakukannya? Apa karena Noah memang tidak ada?Apa Shawn salah lihat? Apakah Sun hanya
Sun tidak tahu sudah berapa lama dia terduduk di bawah pohon rindang itu; dia merenung dan mengingat kembali tentang apa saja yang terjadi yang sempat ia lupakan karena insiden malam itu.Tapi yang ada, dia malah merasa menyesal dan kesal pada dirinya sendiri yang sempat hampir melupakan siapa itu Noah Bellion. Nyatanya, lelaki itu adalah orang yang membuat Sun tidak bisa hidup sedetik saja tanpa dirinya."Dasar bodoh ... bagaimana bisa kau melakukan ini pada Noah?" ujar Sun, memarahi dirinya sendiri dalam penyesalan. Ia menghapus air matanya, tapi itu tetap tidak membuat Noah muncul di hadapannya.Sun kembali bersandar dan menangis. "Kau di mana Noah ...? Kau tidak mau kembali?" ujarnya, "kenapa tidak mau kembali? Aku tidak akan marah karena kau telah berbohong. Nyonya Ash bilang kalau Eliot sudah mati, tapi kenapa kau masih tidak kembali ...?"Sun menundukkan kepala, menutup wajahnya yang pasti terlihat sangat jelek karena menangis tersedu-sedu.Saat ini dia sangat takut untuk berpr
[2 BULAN KEMUDIAN]"Nona Fleurry! Nona ...!"Seorang gadis dengan rambut pirang keemasan menoleh segera ketika seseorang memanggil namanya. Rambut panjang bergelombang milik wanita itu tersapu oleh angin ladang yang bertiup sepoi-sepoi, menjadikannya bak kain tergantung yang menari dengan cantiknya."Selamat pagi Paman, ada apa?" tanya gadis itu, tersenyum ramah dengan cantiknya."Kabar baik untukmu, Nona; lima domba kita berhasil melahirkan hari ini!""Oh, benarkah? Ada berapa anak domba yang lahir?""Ada 17 anak domba, Nona! Dan mereka semua sehat!"Senyum Sun Fleurry McRay tak bisa ia tahan ketika mendengar kabar bahagia di hari yang cerah ini. Ibu domba yang ada di peternakannya berhasil melahirkan bayi domba yang sehat; mereka pasti akan jadi anak domba yang lucu dan gemuk-sehingga membuat Sun tidak sabar untuk melihatnya."Apa kau akan melihatnya sekarang, Nona?" tawaran itu jelas tidak Sun tolak; gadis itu mengangguk lalu bergegas pergi dari tengah ladang bunga matahari yang su
Seorang perawat wanita memasuki kamar rawat Sun Fleurry McRay untuk melakukan pengecekan rutin; dia memeriksa setiap aspek perawatan Sun untuk memantau perkembangan sekaligus melakukan apa yang perlu ditindak lanjut.Tak lupa ia mencatatnya di kertas yang ia bawa, tapi tiba-tiba ...JDERRR!"Ah!" Suara petir yang menggelegar membuatnya terkejut dan tak sengaja menjatuhkan pena miliknya. "Astaga, membuatku kaget saja," ujarnya, lalu memungut pena.Ia melihat ke luar dinding kaca di kamar itu; memperlihatkan langit malam yang gelap tertutup awan mendung. Sudah begitu, terdengar petir beberapa kali dan menandakan sebentar lagi akan turun hujan besar."Apa akan ada badai?" tanyanya, menatap pemandangan langit dengan raut cemas. Tapi dia tidak punya waktu untuk itu, sehingga segera ia tutup tirai ruangan itu dan melanjutkan pekerjaannya. Ia selesai mencatat perkembangan, tapi perhatiannya sejenak jatuh pada Sun yang masih terpejam dengan alat rumah sakit mengitarinya-berusaha mempertahanka
Eliot terdiam, memperhatikan Noah yang berusaha berdiri tegak di atas sana. Tatapannya tajam, Eliot bisa merasakan itu; tapi tiba-tiba Noah tersenyum tipis dan berkata, "Atau jika kau ingin sekali bertemu dengan Joanne? Aku akan dengan senang hati mengantar?"Eliot tertawa; meski ia kesal luar biasa. Noah masih menantangnya dengan angkuh padahal lelaki itu terlihat akan mati sebentar lagi.Sebagian wajahnya ditutupi darahnya sendiri, kemeja putihnya lusuh dan ada banyak noda darah; pakaiannya compang-camping memperlihatkan sebanyak apa luka yang dia dapatkan. Dan yang lebih seru adalah ... tangannya yang erat memegang pistol rusak itu, sepertinya patah.Noah melihat ke arah pandang Eliot, dan ya-dia juga sadar apa yang terjadi pada tangan kanannya saat ini. Ia melempar pistolnya yang sudah rusak karena tertimpa reruntuhan, lalu kembali menatap Eliot dan berkata, "Ayo selesaikan ini ...."Eliot menahan tawa, sembari membuka telapak tangannya menghadap Noah; ia bermaksud menolak. "Kau y
"Akh!"Noah tersungkur, tapi rentetan peluru tak berhenti sehingga ia terpaksa merangkak dengan rasa sakitnya menuju ke tempat yang bisa melindunginya.Ia menarik kekinya yang seakan mati rasa untuk sejenak, dan menyadari peluru Eliot berhasil menyayat pergelangan kakinya lumayan dalam."Sial!" ujarnya, mengernyitkan kening tajam sembari merobek sebagian celananya untuk menghentikan pendarahan. Perjalanan masih jauh, dia tidak boleh lemas karena kehabisan darah untuk luka kecil seperti ini.Sementara dirinya sudah lusuh dan berdarah, Eliot masih berdiri di tempatnya seolah tak tersentuh. Jika saja Eliot hanya membawa satu pistol, pasti Noah bisa mengimbangi permainannya. Tapi bahkan dia memiliki pistol lain setelah dua pistolnya kehabisan amunisi.Noah berusaha mengatur napas sembari mendengarkan Eliot."Kau tahu, setelan yang aku pakai malam ini adalah hadiah dari kekasihku. Dia memberiku benda ini sebagai hadiah. Aku tidak suka, aku sempat membuangnya. Tapi kemudian aku ingat; kalau
Noah berjalan menyusuri tangga beton dalam bangunan tua yang mangkrak pembangunannya. Dengan langkah lesu dan raut biru, ia tidak menengadahkan wajah dan terus memperhatikan langkahnya sampai ia tiba ti tempat tujuan.Hari ini sesuai dengan perkataannya; dia akan datang menemui Eliot di mana pun lelaki itu berada. Ini tidak seperti pertemuan yang direncanakan untuk melepas rindu satu sama lain, mereka datang untuk tujuan masing-masing; membunuh satu sama lain.Tentu saja perasaan Noah tidak akan baik-baik saja. Dia meminta izin pada ibu kandung Eliot untuk membunuh anaknya, bukankah ini tragis? Ibu mana yang tidak akan terluka saat buah hatinya berada di ambang bahaya, tapi dia tidak bisa melakukan apa-apa?"Oh, kau sudah datang, Noah ...?"Tatapan mata Noah terarah lurus ke depan; menuju tempat Eliot yang berdiri memunggunginya sembari merokok santai bersandar pada pilar tak bertembok. Dari lantai empat, angin semakin kencang bertiup; malam juga tidak terlihat cerah. Hal itu membuat
Sebuah pemakaman keluarga yang sepi, seorang lelaki datang sembari menenteng buket bunga dengan langkah yang lamban.Ketika ia tiba di depan sebuah nisan bertuliskan nama William Odolf, lantas ia meletakkan buket bunga itu dan membuka kaleng bir untuknya.Noah Bellion duduk di depan nisan, ia meminum bir kalengan yang dibawa sembari menatap dingin nisan William di hadapannya. Meski ia tampak dingin dan tak memiliki simpati, tapi jika dilihat saksama, terdapat guratan sendu di mata dinginnya yang tertunduk lesu.Noah terdengar beberapa kali menghela napas, rasanya masih belum bisa dipercaya jika William sudah tiada. Semua terjadi begitu cepat dan kacau luar biasa; bahkan Noah tak memiliki waktu untuk berbelasungkawa atas kematian ayah angkatnya ketika kekacauan lain datang dan hampir merenggut sang kekasih darinya.“Kacau sekali,” ujarnya, bermonolog, “mungkin aku tidak akan pernah hidup dengan tenang; aku sudah terlahir untuk hidup di dunia yang kacau.”Noah memikirkan kembali masa la
Sudah lebih dari seminggu lamanya Sun terbaring di ranjang rumah sakit, dan selama itu pula Noah tidak pernah absen sehari saja untuk mengunjunginya.Setelah kecelakaan itu, Sun mengalami luka yang sangat parah. Benturan di kepalanya mengakibatkan trauma yang belum bisa dideteksi oleh medis, dan beberapa tulangnya mengalami patah. Mereka bilang; Sun bisa melewati masa kritis saja merupakan suatu hal yang mengejutkan. Sebab dengan luka separah itu, jika dia mati maka bukanlah hal yang mustahil.Mereka bisa mengatakannya, maka Noah hanya akan bersyukur dan berterima kasih pada Tuhan yang selama ini tak ia percaya. Noah setelah sekian lama, akhirnya kembali berdoa pada Tuhan yang lama tak dia gaungkan namanya, bahkan untung-untungan dia masih ingat nama Tuhannya. Tapi doa Noah kali ini dikabulkan; Sun berhasil melewati masa kritis. Namun, itu bukan berarti dirinya sudah bertemu jalan yang mulus.Mengingat dia memiliki trauma pada syaraf kepalanya dan medis belum bisa mendeteksi sebelum ef