“Kau bicara apa?” Val masih bingung pastinya.“Aku rasa kau perlu duduk.” Orion juga menawarkan minumannya—brandy yang sudah bercampur air karena esnya sudah meleleh.Eren menyambar dan menghabiskannya sekaligus, karena memang tenggorokannya kering.“Jelaskan lagi,” pinta Val.“Ada pergerakan pasukan. Mereka akan kesini,” kata Eren.“Pasukan apa?” Val langsung berdiri. “Dari keluarga mana? Siapa yang masih gila ingin menyerangku?” Val tidak mengerti karena sudah beberapa tahun keadaan tenang, ia berusaha membagi rata kekuasaan pada setiap keluarga agar tidak terjadi perselisihan.“Bukan keluarga, tapi negara!” Eren menepuk pelipis, meminta Val berpikir. Kalau hanya keluarga lain, ia tidak akan sepanik itu.“Aku belum tahu berapa dan bagaimana, tapi aku tahu Inggris mengerahkan pasukan dan datang ke sini untuk membebaskan pria itu! Sumberku yang ada di bandara menyebut mereka datang kurang lebih satu jam lalu! Mereka bahkan menyediakan jet yang juga mendarat di bandara itu! Satu saja ru
“Kita kemana? Kenapa harus pergi?” Serena mengikuti tarikan tangan tangan Eren sambil bertanya-tanya bingung.“Pokoknya menjauh dari sini dulu.” Eren tidak mungkin punya waktu menjelaskan.“Apa kau bisa lari? Kalau memang membuat perutmu sakit, pelan saja.” Eren tiba-tiba memelankan langkah dan memandang perut Serena. “Aku baik-baik saja.” Serena tidak akan jujur mengakuinya sekarang. Ia masih harus memakainya untuk senjata agar ayahnya berhenti menyuruhnya menikah. “Oke, tapi hati-hati. Jangan sampai memaksakan diri.” Eren mengangguk dan mereka kembali berlari keluar dari rumah besar itu.Serena sedikit terharu tapi juga jengkel sebenarnya. Ia tidak menyangka kehamilan palsu itu mendapat perhatian—lebih dari dugaan.“Siapa yang datang sebenarnya?” Claud yang ikut berlari di samping mereka tampak kesal. “Yang pasti buruk.” Eren melambai dan mobil yang sudah disiapkan, mendekati mereka di bawah undakan tangga teras.“Siapa tapi?” Claud belum puas.“Ayah dari anak kakakmu. Mereka me
“Let go of me.” (Lepaskan aku)Ash bahkan tidak punya tenaga lagi untuk membentak lagi. Ia hanya menepuk punggung ayahnya perlahan sambil menghela napas.Pelukannya terlalu erat, memberi tahu kalau Dean benar-benar panik. Dan tentu pengerahan pasukan yang sepertinya bisa untuk menaklukan satu kota itu, memperjelas kepanikannya.“Untuk apa kau ke sini?! Kenapa kau tertangkap—”“Bisakah kau menarik mereka dulu? Aku tidak ingin ada salah tembak atau apapun. Lawan penduduk sipil.”Ash menunjuk pasukan yang ada di sekeliling ayahnya. Meskipun lawan mereka mungkin juga sangat terlatih, status mereka tetaplah warga sipil, bukan tentara aktif.“Tapi mereka akan menyelamatkanmu, dan membawa…”“Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja jadi—please, suruh mereka pergi.” Ash menggertakkan rahang, sedikit lagi akan mengumpat dan mengumbar bentakan.Selama mereka masih dalam keadaan waspada dan menyebar seperti itu kemungkinan jatuhnya korban sia-sia akan semakin tinggi.“Parker.” Dean berpaling pa
“Kau boleh mengambilnya. Itu urusanmu.” Dean menarik tangan Ash agar menjauh dari Ian. Ia tidak akan ikut campur kalau memang urusannya sudah masuk ke ranah yang sebenarnya pribadi.“Dia memang harus bertanggung jawab untuk anaknya.” Dean masih bisa tersenyum meski tidak sesempurna biasanya, karena mengandung kejengkelan yang amat sangat untuk Ian.“Tapi—” Ash masih tidak terima. Ia benar-benar mengkhawatirkan nasib Ian kalau ditinggalkan di sana.“Pergi saja.” Ian menggeleng dan menyuruh Ash pergi bersama ayahnya agar tidak ada keributan besar lagi.“Katakan saja yang sebenarnya!” Ash harus menahan diri untuk tidak menampar kepala Ian. Ash tentu paham kenapa Ian menghentikan penjelasannya tadi. Hanya Ash tidak mengerti kenapa Ian masih merasa perlu untuk merahasiakan tentang kehamilan palsu itu setelah suasananya menjadi seperti itu.“Tidak. Kau pergi saja, sudah cukup. Terima kasih sudah datang. Sungguh.” Ian tidak bercanda, dan ia memang benar-benar berterima kasih atas kedata
“Silakan.” Ian membuka pintu apartemennya, dan memberi ruang bagi Serena untuk masuk.Serena mengernyit, karena pemandangannya tidak amat indah. Ia harus melihat paling tidak tiga lembar celana tergeletak di atas sofa sebelum Ian menyambar semuanya dengan cepat.Bukan hanya celana tentu. Ada beberapa kaos yang juga harus diambilnya dari lantai, lalu kardus pizza yang seharusnya sudah menjadi penghuni tempat sampah.Apartemen itu tidak sangat buruk, hanya memang jauh kalau dibandingkan rumah Serena. Luas seluruh apartemen itu sedikit lebih kecil dari ruang tamu rumah ayahnya, dan isinya mungkin bernilai lebih murah dari satu buah lukisan yang tergantung di ruang tamu itu.“Unik.” Serena mengusap permukaan sofa sekali lagi, sebelum duduk. Tidak amat kotor sebenarnya, tapi ia meragukan kehigienisannya. Ia tidak berharap apapun, tapi punya sedikit pengalaman dari Claud tentang kamar atau tempat hunian pria.Kerapian apartemen Ian mirip dengan kamar Claud sebelum pelayan turun tangan membe
“Terima kasih. Silakan datang kembali kalau Anda menyukainya.”Mae menyerahkan uang kembalian pada pembeli sambil tersenyum ramah. Ia pembeli terakhir yang mengantri, jadi Mae bisa bernapas setelah itu.Tokonya tidak amat ramai, tapi justru karena masih jarang ada yang membeli, jantung Mae selalu berdebar keras setiap kali melayani. Khawatir melakukan kesalahan.Perkembangan tokonya masih lambat, tapi Mae maklum karena ia tidak amat konsisten mengelola. Ia masih banyak mengambil waktu libur. Apalagi kemarin ia libur cukup lama karena menemani Amy dan Ash pergi ke Paris—kurang lebih satu minggu. Toko yang sering tutup tentu tidak akan berkembang pesat.“Aku suka mocca yang ini.” Dari meja yang ada di bagian lain toko, Poppy mengangkat kuenya.Bomboloni dengan ini krim mocca yang akan menjadi menu baru di toko Mae.Setelah belajar lebih berani menghadapi mocca, Mae memutuskan untuk menambah rasa mocca untuk kuenya.“Great, aku akan mulai membuatnya besok—oh, tidak bisa. Mungkin minggu
“Sepuluh ribu pound… Sepuluh ribu pound…” Ian bergumam mengulang kata itu entah berapa kali, setiap kali tubuhnya naik.“Jangan menggumamkan angka! Kau membuatku kehilangan hitungan!” Ash yang hanya berjarak tidak sampai dua meter darinya mendesis galak.Jenis hukuman yang sedang mereka lakukan adalah push up, dengan Ian terus menggumamkan angka seperti itu, tentu saja hitungan Ash menjadi kacau.“Aku seharusnya tidak perlu melakukan ini,” keluh Ash, ia sedikit menyesal karena memperlambat proses perpindahan divisinya.Ia belum secara resmi melapor ke divisi yang baru, karena ingin mengambil waktu liburan kemarin, tapi karena belum melapor itu juga, Parker masih punya kekuasaan pada dirinya.Mungkin kalau ia tidak mengulur waktu—lebih cepat dua atau tiga hari saja, Ash tidak perlu menjalani hukuman yang sudah berlangsung kurang lebih tujuh jam—dengan waktu jeda hanya 20 menit tadi.“Dia menghabiskan sepuluh ribu pound untuk membeli tas! Apa kau percaya ini?!”Ian mendesis dengan wajah
“Mereka pulang?”Serena memandang Poppy dan Gina yang keluar bersamaan setelah tergesa berpamitan. Mereka menyetop taksi yang akan membawa ke stasiun.“Ya, tapi bukan karena dirimu. Tenang saja.” Mae tersenyum dan meletakkan teh untuk Serena di meja yang tadi dipakai juga oleh Poppy dan Gina.Poppy tadi sempat meminta maaf atas penyebutan julukan Ian, karena jelas membuat Serena mengernyit. Setelah itu mereka berdua melarikan diri dengan alasan yang tepat, karena memang Poppy harus kembali ke Andover sebelum anaknya pulang dari sekolah.“Kau mantan kekasih Ian?” tanya Serena, dan tentu Mae tersedak mendengar keterusterangan yang tidak terduga itu.“Bukan, astaga!” Dengan panik, Mae mengusap bibirnya memakai apron custom bertuliskan nama toko, yang memang masih menempel di tubuhnya.“Ian yang menuliskan tempat ini. Kau mengenalnya bukan?” Serena tidak merasa kalau tebakannya ngawur. Wanita yang ada di depannya cukup cantik.“Aku mengenalnya karena dia teman Ash. Aku istri Ash.” Mae me