Wkwkwkw udah diumumin aja Ash ini bapakku lho gitu
“Let go of me.” (Lepaskan aku)Ash bahkan tidak punya tenaga lagi untuk membentak lagi. Ia hanya menepuk punggung ayahnya perlahan sambil menghela napas.Pelukannya terlalu erat, memberi tahu kalau Dean benar-benar panik. Dan tentu pengerahan pasukan yang sepertinya bisa untuk menaklukan satu kota itu, memperjelas kepanikannya.“Untuk apa kau ke sini?! Kenapa kau tertangkap—”“Bisakah kau menarik mereka dulu? Aku tidak ingin ada salah tembak atau apapun. Lawan penduduk sipil.”Ash menunjuk pasukan yang ada di sekeliling ayahnya. Meskipun lawan mereka mungkin juga sangat terlatih, status mereka tetaplah warga sipil, bukan tentara aktif.“Tapi mereka akan menyelamatkanmu, dan membawa…”“Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja jadi—please, suruh mereka pergi.” Ash menggertakkan rahang, sedikit lagi akan mengumpat dan mengumbar bentakan.Selama mereka masih dalam keadaan waspada dan menyebar seperti itu kemungkinan jatuhnya korban sia-sia akan semakin tinggi.“Parker.” Dean berpaling pa
“Kau boleh mengambilnya. Itu urusanmu.” Dean menarik tangan Ash agar menjauh dari Ian. Ia tidak akan ikut campur kalau memang urusannya sudah masuk ke ranah yang sebenarnya pribadi.“Dia memang harus bertanggung jawab untuk anaknya.” Dean masih bisa tersenyum meski tidak sesempurna biasanya, karena mengandung kejengkelan yang amat sangat untuk Ian.“Tapi—” Ash masih tidak terima. Ia benar-benar mengkhawatirkan nasib Ian kalau ditinggalkan di sana.“Pergi saja.” Ian menggeleng dan menyuruh Ash pergi bersama ayahnya agar tidak ada keributan besar lagi.“Katakan saja yang sebenarnya!” Ash harus menahan diri untuk tidak menampar kepala Ian. Ash tentu paham kenapa Ian menghentikan penjelasannya tadi. Hanya Ash tidak mengerti kenapa Ian masih merasa perlu untuk merahasiakan tentang kehamilan palsu itu setelah suasananya menjadi seperti itu.“Tidak. Kau pergi saja, sudah cukup. Terima kasih sudah datang. Sungguh.” Ian tidak bercanda, dan ia memang benar-benar berterima kasih atas kedata
“Silakan.” Ian membuka pintu apartemennya, dan memberi ruang bagi Serena untuk masuk.Serena mengernyit, karena pemandangannya tidak amat indah. Ia harus melihat paling tidak tiga lembar celana tergeletak di atas sofa sebelum Ian menyambar semuanya dengan cepat.Bukan hanya celana tentu. Ada beberapa kaos yang juga harus diambilnya dari lantai, lalu kardus pizza yang seharusnya sudah menjadi penghuni tempat sampah.Apartemen itu tidak sangat buruk, hanya memang jauh kalau dibandingkan rumah Serena. Luas seluruh apartemen itu sedikit lebih kecil dari ruang tamu rumah ayahnya, dan isinya mungkin bernilai lebih murah dari satu buah lukisan yang tergantung di ruang tamu itu.“Unik.” Serena mengusap permukaan sofa sekali lagi, sebelum duduk. Tidak amat kotor sebenarnya, tapi ia meragukan kehigienisannya. Ia tidak berharap apapun, tapi punya sedikit pengalaman dari Claud tentang kamar atau tempat hunian pria.Kerapian apartemen Ian mirip dengan kamar Claud sebelum pelayan turun tangan membe
“Terima kasih. Silakan datang kembali kalau Anda menyukainya.”Mae menyerahkan uang kembalian pada pembeli sambil tersenyum ramah. Ia pembeli terakhir yang mengantri, jadi Mae bisa bernapas setelah itu.Tokonya tidak amat ramai, tapi justru karena masih jarang ada yang membeli, jantung Mae selalu berdebar keras setiap kali melayani. Khawatir melakukan kesalahan.Perkembangan tokonya masih lambat, tapi Mae maklum karena ia tidak amat konsisten mengelola. Ia masih banyak mengambil waktu libur. Apalagi kemarin ia libur cukup lama karena menemani Amy dan Ash pergi ke Paris—kurang lebih satu minggu. Toko yang sering tutup tentu tidak akan berkembang pesat.“Aku suka mocca yang ini.” Dari meja yang ada di bagian lain toko, Poppy mengangkat kuenya.Bomboloni dengan ini krim mocca yang akan menjadi menu baru di toko Mae.Setelah belajar lebih berani menghadapi mocca, Mae memutuskan untuk menambah rasa mocca untuk kuenya.“Great, aku akan mulai membuatnya besok—oh, tidak bisa. Mungkin minggu
“Sepuluh ribu pound… Sepuluh ribu pound…” Ian bergumam mengulang kata itu entah berapa kali, setiap kali tubuhnya naik.“Jangan menggumamkan angka! Kau membuatku kehilangan hitungan!” Ash yang hanya berjarak tidak sampai dua meter darinya mendesis galak.Jenis hukuman yang sedang mereka lakukan adalah push up, dengan Ian terus menggumamkan angka seperti itu, tentu saja hitungan Ash menjadi kacau.“Aku seharusnya tidak perlu melakukan ini,” keluh Ash, ia sedikit menyesal karena memperlambat proses perpindahan divisinya.Ia belum secara resmi melapor ke divisi yang baru, karena ingin mengambil waktu liburan kemarin, tapi karena belum melapor itu juga, Parker masih punya kekuasaan pada dirinya.Mungkin kalau ia tidak mengulur waktu—lebih cepat dua atau tiga hari saja, Ash tidak perlu menjalani hukuman yang sudah berlangsung kurang lebih tujuh jam—dengan waktu jeda hanya 20 menit tadi.“Dia menghabiskan sepuluh ribu pound untuk membeli tas! Apa kau percaya ini?!”Ian mendesis dengan wajah
“Mereka pulang?”Serena memandang Poppy dan Gina yang keluar bersamaan setelah tergesa berpamitan. Mereka menyetop taksi yang akan membawa ke stasiun.“Ya, tapi bukan karena dirimu. Tenang saja.” Mae tersenyum dan meletakkan teh untuk Serena di meja yang tadi dipakai juga oleh Poppy dan Gina.Poppy tadi sempat meminta maaf atas penyebutan julukan Ian, karena jelas membuat Serena mengernyit. Setelah itu mereka berdua melarikan diri dengan alasan yang tepat, karena memang Poppy harus kembali ke Andover sebelum anaknya pulang dari sekolah.“Kau mantan kekasih Ian?” tanya Serena, dan tentu Mae tersedak mendengar keterusterangan yang tidak terduga itu.“Bukan, astaga!” Dengan panik, Mae mengusap bibirnya memakai apron custom bertuliskan nama toko, yang memang masih menempel di tubuhnya.“Ian yang menuliskan tempat ini. Kau mengenalnya bukan?” Serena tidak merasa kalau tebakannya ngawur. Wanita yang ada di depannya cukup cantik.“Aku mengenalnya karena dia teman Ash. Aku istri Ash.” Mae me
“Ini menyenangkan.” Mae mendesah, menikmati pijatan pada punggungnya, lalu membuka mata karena mendengar desahan yang kurang lebih sama dari meja pijat di sebelah.Serena dengan punggung dan rambut tertutup handuk menikmati kegiatan yang sama dengan Mae juga. Mereka sedang menikmati perawatan spa.“Kau menyukainya?” tanya Mae.“Ya. Ini menyenangkan.” Serena membuka matanya yang indah itu, tersenyum pada Mae.“Kau tidak pernah melakukan perawatan seperti ini sebelumnya?” Mae agak heran, karena ia tahu Serena bisa membayar biayanya. Tas yang saat ini dibawa Serena berasal dari merk yang dulu biasa diberikan Barnet untuknya sebagai hadiah. Ia tahu tas itu berharga mahal. Serena tidak miskin.“Tidak pernah, terpikirkan pun tidak. Aku tumbuh di lingkungan yang lebih banyak pria. Satu-satunya wanita yang ada di dekatku adalah ibu dan nenekku. Tapi ibuku sering sakit dan nenekku—ya dia nenek, sudah tua. Aku rasa tidak akan memikirkan aku memerlukan acara seperti ini.”Serena bercerita panjan
“Dia pasti bahagia,” kara Serena.“Hm?” Mae kembali mengangkat timun yang sudah kembali ke mata.“Adikmu itu. Aku yakin dia bahagia karena kau begitu mencintainya.” Serena berpaling dan tersenyum. Itu adalah usahanya menghibur Mae.“Ya, ia menyebut begitu.” Mae tersenyum juga. Ia mendengar Daisy mengatakan itu paling tidak lima kali sekarang, tersebar di beberapa video peninggalannya.Secara bertahap dan pelan, Mae menonton video peninggalan Daisy, belum semua karena Mae memang tidak ingin menghabiskannya sekaligus, bahkan terkadang mengulang bagian yang memang menjadi favoritnya—seperti saat Daisy bertengkar dengan Ash atau saat ia menunjukkan koleksi buku di kamarnya, sambil menjelaskan isinya dengan detail. “Aku akan berkunjung lebih sering—mengunjungi ibuku maksudnya.” Serena tiba-tiba duduk lagi, dan terapisnya sudah menyerah untuk mencegah, menerima saja kalau kliennya yang ini kurang bisa diam dan ekspresif saat bicara.“Aku akan menjadi lebih berani menghadapinya, sepertimu.”