Ihirrrr akur yang ini, mau jalan-jalan, yang Ash sama Ian mau Mati wkwkwkw
“Ini menyenangkan.” Mae mendesah, menikmati pijatan pada punggungnya, lalu membuka mata karena mendengar desahan yang kurang lebih sama dari meja pijat di sebelah.Serena dengan punggung dan rambut tertutup handuk menikmati kegiatan yang sama dengan Mae juga. Mereka sedang menikmati perawatan spa.“Kau menyukainya?” tanya Mae.“Ya. Ini menyenangkan.” Serena membuka matanya yang indah itu, tersenyum pada Mae.“Kau tidak pernah melakukan perawatan seperti ini sebelumnya?” Mae agak heran, karena ia tahu Serena bisa membayar biayanya. Tas yang saat ini dibawa Serena berasal dari merk yang dulu biasa diberikan Barnet untuknya sebagai hadiah. Ia tahu tas itu berharga mahal. Serena tidak miskin.“Tidak pernah, terpikirkan pun tidak. Aku tumbuh di lingkungan yang lebih banyak pria. Satu-satunya wanita yang ada di dekatku adalah ibu dan nenekku. Tapi ibuku sering sakit dan nenekku—ya dia nenek, sudah tua. Aku rasa tidak akan memikirkan aku memerlukan acara seperti ini.”Serena bercerita panjan
“Dia pasti bahagia,” kara Serena.“Hm?” Mae kembali mengangkat timun yang sudah kembali ke mata.“Adikmu itu. Aku yakin dia bahagia karena kau begitu mencintainya.” Serena berpaling dan tersenyum. Itu adalah usahanya menghibur Mae.“Ya, ia menyebut begitu.” Mae tersenyum juga. Ia mendengar Daisy mengatakan itu paling tidak lima kali sekarang, tersebar di beberapa video peninggalannya.Secara bertahap dan pelan, Mae menonton video peninggalan Daisy, belum semua karena Mae memang tidak ingin menghabiskannya sekaligus, bahkan terkadang mengulang bagian yang memang menjadi favoritnya—seperti saat Daisy bertengkar dengan Ash atau saat ia menunjukkan koleksi buku di kamarnya, sambil menjelaskan isinya dengan detail. “Aku akan berkunjung lebih sering—mengunjungi ibuku maksudnya.” Serena tiba-tiba duduk lagi, dan terapisnya sudah menyerah untuk mencegah, menerima saja kalau kliennya yang ini kurang bisa diam dan ekspresif saat bicara.“Aku akan menjadi lebih berani menghadapinya, sepertimu.”
“Kita sampai. Itu yang di sana.” Mae menunjuk dan menghentikan mobilnya sedikit jauh dari restoran yang menjadi tempat janji bertemu dengan Ash dan Ian. Tempat parkir yang ada di depan restoran itu sudah penuh. “Kecil.”Serena bergumam pelan saat mereka berjalan menuju restoran itu, tapi Mae mendengarnya. Restoran yang mereka datangi tidak kecil kalau menurut Mae. Cukup lumayan, memang tidak yang sangat terkenal—karena hampir mustahil bisa memesan tempat dengan mendadak, tapi tidak buruk. Mae beberapa kali makan disana saat pulang dari toko bersama Ash, karena memang searah dengan rumah mereka di Reading.“Serena, kau tinggal dimana? Bukan di London aku rasa.” tanya Mae, mulai ingin tahu latar belakangnya lebih jauh. Sejak tadi mereka banyak bicara, tapi Mae hanya punya gambaran kalau Serena kaya—belum tahu seberapa kaya, sampai merasa restoran itu kecil.“Bukan, aku tinggal di Nieve, Italia.” Serena mengangguk.“Hoo… aku pernah mendengarnya. Itu desa yang indah bukan?” Mae lupa men
“Aku harus bertanya dulu? Apa yang aku tawarkan tapi?”Ian bergumam amat pelan. Suaranya semakin lirih, seiring rasa percaya dirinya yang tergerus. Ia merasa tidak punya apa pun yang akan ditawarkan untuk Serena.“Aku rasa ia tidak akan peduli kau miskin atau tidak. Dia punya terlalu banyak uang untuk peduli tentang hal seperti itu.” Ash membelokkan kemudi. Sebentar lagi mereka akan sampai di restoran.“Justru itu. Aku tidak tahu harus menarik perhatiannya dengan apa. Yang paling mudah menarik perhatian perempuan biasanya uang.”Ian biasanya tidak pernah merasa perlu memamerkan berapa uang yang dimilikinya kepada wanita manapun, karena ia tidak peduli apakah wanita yang bersamanya tertarik atau tidak pada kehidupannya. Biasanya asalkan mereka tidur bersama maka sudah cukup. Ian justru akan lebih cepat meninggalkan wanita yang mulai tertarik pada kehidupannya dan bertanya-tanya tentang apa pekerjaannya. Pekerjaannya sebagai tentara mudah dikatakan, tapi pekerjaannya sebagai anggota p
“Dean.” Rowena menunjuk ponsel Dean di atas meja yang menyala, memperlihatkan panggilan.“Siapa? Nomornya tersembunyi.” Rowena heran, karena biasanya panggilan yang masuk ke ponsel itu sudah sangat disaring.Dean meletakkan dokumen yang dibaca, mengangkat bahu. Ia tidak mungkin tahu. Itu adalah ponselnya yang sangat pribadi, berbeda dari apa yang biasa dipegang Brad. Ponsel itu biasanya hanya berbunyi karena panggilan dari Rowena, Amy, Ash, Brad, dan ditambah Mae beberapa minggu lalu.“Aneh sekali.” Dean berdiri, tapi hanya memandang—membiarkan ponsel itu terus bergetar.“Mungkin penting.” Rowena ikut meletakkan dokumennya, ikut memandang saat ponsel itu bergetar kedua kalinya.“Yang jelas ia ingin sekali bicara padaku.” Dean akhirnya mengambil. Sudah dua kali artinya sangat penting.“Kau yakin?” Rowena tidak amat setuju Dean menerimanya. “Aku ingin menjelaskan .” Dean menduga siapapun itu sekadar salah menekan nomor, dan ia perlu menjelaskan agar ia tidak terus menghubungi nomor yang
“Bom?! Bom apa?! Dimana?” Louis yang baru saja keluar dari ruang kerja Dean, langsung bertanya panik. Kata bom termasuk sensitif seharusnya tidak diucapkan dengan sembarangan.“Tenang, bukan benar-benar bahan peledak. tapi sama-sama menyebalkan.” Dean melambai, menyuruhnya kembali ke tempat biasa bersiaga, sementara ia berbalik masuk ke ruang kerja. Ash dan Ian mengikuti. Ian tampak menyenggol siku Ash. Menyuruhnya bicara terlebih dulu, padahal tadi ia dengan berani mengatakan akan meminta izin.Ash mendengus, tapi tetap pada akhirnya ia yang membuka suara saat Dean sudah duduk—bersama Rowena yang jelas meminta penjelasan lewat pandangan matanya. Ia sudah mendapat gambaran apa yang terjadi di Italia dari Dean.“Kami tidak punya tempat lain untuk membawanya. Mereka mudah sekali menemukannya. Jadi—”“Mereka juga sudah menemukannya di sini. Apa kau tahu siapa yang menghubungiku beberapa menit yang lalu, bersamaan dengan kau datang ke sini?” sergah Dean. Meski Ash yang bicara tapi matany
Ian mengusap rambutnya, sedikit merapikan, meski tidak banyak berubah bentuk, baru kemudian mengetuk pintu kamar yang disediakan untuk Serena. Begitu pintu terbuka, udara yang tidak nampak itu mendadak menjadi lebih indah untuk Ian. Menebarkan semerbak harum yang membuatnya lupa ingin mengatakan apa. Ia hanya menatap saat Serena menggosok rambutnya memakai handuk.“Hei!” Serena menepuk tangannya di depan wajah Ian. “Kau mau apa?” tanyanya, heran dengan diamnya Ian.“Oh? Iya. Sebentar. Kemana tadi?” Ian bergumam sambil menepuk tengkuknya.“Apa yang kemana?” Serena mengernyit.Ian menggeleng. Bagaimana cara menjelaskan kalau hal yang dicari adalah pikiran yang hilang akibat memandang kecantikannya?“Kau itu ada perlu apa? Kenapa kau tiba-tiba tidak bisa bicara?” Serena meninggalkan pintu dan duduk di depan meja rias untuk mengeringkan rambut memakai hair dryer.“Kau masih ingin bicara? Atau hanya berdiri saja dan ingin tampak bodoh?” Serena kembali berbalik dan heran, karena Ian masih
Ian merasa perlu menemui dokter. Pernyataan itu tadi sangat tidak bisa dipertanggungjawabkan dan mungkin kesintingan otaknya sudah masuk dalam kategori yang perlu diperiksa.Ia selalu merasa kalau Ash yang dulu bisa mengeluarkan dua ratus ribu pound untuk Mae tanpa berpikir, adalah karena kekayaan yang dimilikinya tidak akan berpengaruh banyak meski mengeluarkan jumlah itu. Lalu kini dirinya yang baru saja dengan mudah menjanjikan seluruh uang miliknya boleh dihabiskan oleh Serena. Padahal kebutuhannya tidak berhubungan dengan hal yang urgent— seperti membayar jaminan agar tidak berada di dalam penjara.“Kau tidak sekaya itu.” Serena mengernyit, bingung dengan dualisme yang dihadirkan Ian. Otak dan perasaannya belum berada di tempat yang sama.“Aku rasa uangmu tidak akan cukup untuk membeli apa yang aku inginkan. Kalaupun cukup, aku tetap tidak mau menghabiskan uang yang bukan milikku untuk kesenanganku sendiri.” Serena kembali menunjuk ke arah struk itu.“Tulis saja di sini aku akan