OO Kamu ketahuan...
“Aku harus bertanya dulu? Apa yang aku tawarkan tapi?”Ian bergumam amat pelan. Suaranya semakin lirih, seiring rasa percaya dirinya yang tergerus. Ia merasa tidak punya apa pun yang akan ditawarkan untuk Serena.“Aku rasa ia tidak akan peduli kau miskin atau tidak. Dia punya terlalu banyak uang untuk peduli tentang hal seperti itu.” Ash membelokkan kemudi. Sebentar lagi mereka akan sampai di restoran.“Justru itu. Aku tidak tahu harus menarik perhatiannya dengan apa. Yang paling mudah menarik perhatian perempuan biasanya uang.”Ian biasanya tidak pernah merasa perlu memamerkan berapa uang yang dimilikinya kepada wanita manapun, karena ia tidak peduli apakah wanita yang bersamanya tertarik atau tidak pada kehidupannya. Biasanya asalkan mereka tidur bersama maka sudah cukup. Ian justru akan lebih cepat meninggalkan wanita yang mulai tertarik pada kehidupannya dan bertanya-tanya tentang apa pekerjaannya. Pekerjaannya sebagai tentara mudah dikatakan, tapi pekerjaannya sebagai anggota p
“Dean.” Rowena menunjuk ponsel Dean di atas meja yang menyala, memperlihatkan panggilan.“Siapa? Nomornya tersembunyi.” Rowena heran, karena biasanya panggilan yang masuk ke ponsel itu sudah sangat disaring.Dean meletakkan dokumen yang dibaca, mengangkat bahu. Ia tidak mungkin tahu. Itu adalah ponselnya yang sangat pribadi, berbeda dari apa yang biasa dipegang Brad. Ponsel itu biasanya hanya berbunyi karena panggilan dari Rowena, Amy, Ash, Brad, dan ditambah Mae beberapa minggu lalu.“Aneh sekali.” Dean berdiri, tapi hanya memandang—membiarkan ponsel itu terus bergetar.“Mungkin penting.” Rowena ikut meletakkan dokumennya, ikut memandang saat ponsel itu bergetar kedua kalinya.“Yang jelas ia ingin sekali bicara padaku.” Dean akhirnya mengambil. Sudah dua kali artinya sangat penting.“Kau yakin?” Rowena tidak amat setuju Dean menerimanya. “Aku ingin menjelaskan .” Dean menduga siapapun itu sekadar salah menekan nomor, dan ia perlu menjelaskan agar ia tidak terus menghubungi nomor yang
“Bom?! Bom apa?! Dimana?” Louis yang baru saja keluar dari ruang kerja Dean, langsung bertanya panik. Kata bom termasuk sensitif seharusnya tidak diucapkan dengan sembarangan.“Tenang, bukan benar-benar bahan peledak. tapi sama-sama menyebalkan.” Dean melambai, menyuruhnya kembali ke tempat biasa bersiaga, sementara ia berbalik masuk ke ruang kerja. Ash dan Ian mengikuti. Ian tampak menyenggol siku Ash. Menyuruhnya bicara terlebih dulu, padahal tadi ia dengan berani mengatakan akan meminta izin.Ash mendengus, tapi tetap pada akhirnya ia yang membuka suara saat Dean sudah duduk—bersama Rowena yang jelas meminta penjelasan lewat pandangan matanya. Ia sudah mendapat gambaran apa yang terjadi di Italia dari Dean.“Kami tidak punya tempat lain untuk membawanya. Mereka mudah sekali menemukannya. Jadi—”“Mereka juga sudah menemukannya di sini. Apa kau tahu siapa yang menghubungiku beberapa menit yang lalu, bersamaan dengan kau datang ke sini?” sergah Dean. Meski Ash yang bicara tapi matany
Ian mengusap rambutnya, sedikit merapikan, meski tidak banyak berubah bentuk, baru kemudian mengetuk pintu kamar yang disediakan untuk Serena. Begitu pintu terbuka, udara yang tidak nampak itu mendadak menjadi lebih indah untuk Ian. Menebarkan semerbak harum yang membuatnya lupa ingin mengatakan apa. Ia hanya menatap saat Serena menggosok rambutnya memakai handuk.“Hei!” Serena menepuk tangannya di depan wajah Ian. “Kau mau apa?” tanyanya, heran dengan diamnya Ian.“Oh? Iya. Sebentar. Kemana tadi?” Ian bergumam sambil menepuk tengkuknya.“Apa yang kemana?” Serena mengernyit.Ian menggeleng. Bagaimana cara menjelaskan kalau hal yang dicari adalah pikiran yang hilang akibat memandang kecantikannya?“Kau itu ada perlu apa? Kenapa kau tiba-tiba tidak bisa bicara?” Serena meninggalkan pintu dan duduk di depan meja rias untuk mengeringkan rambut memakai hair dryer.“Kau masih ingin bicara? Atau hanya berdiri saja dan ingin tampak bodoh?” Serena kembali berbalik dan heran, karena Ian masih
Ian merasa perlu menemui dokter. Pernyataan itu tadi sangat tidak bisa dipertanggungjawabkan dan mungkin kesintingan otaknya sudah masuk dalam kategori yang perlu diperiksa.Ia selalu merasa kalau Ash yang dulu bisa mengeluarkan dua ratus ribu pound untuk Mae tanpa berpikir, adalah karena kekayaan yang dimilikinya tidak akan berpengaruh banyak meski mengeluarkan jumlah itu. Lalu kini dirinya yang baru saja dengan mudah menjanjikan seluruh uang miliknya boleh dihabiskan oleh Serena. Padahal kebutuhannya tidak berhubungan dengan hal yang urgent— seperti membayar jaminan agar tidak berada di dalam penjara.“Kau tidak sekaya itu.” Serena mengernyit, bingung dengan dualisme yang dihadirkan Ian. Otak dan perasaannya belum berada di tempat yang sama.“Aku rasa uangmu tidak akan cukup untuk membeli apa yang aku inginkan. Kalaupun cukup, aku tetap tidak mau menghabiskan uang yang bukan milikku untuk kesenanganku sendiri.” Serena kembali menunjuk ke arah struk itu.“Tulis saja di sini aku akan
“Wait—I…” Serena menjatuhkan hair dryer yang ada di tangannya—untungnya ada karpet yang menerima di bawahnya. Ia terkejut pastinya.“Apa sangat mengejutkan?” Ian geli melihat reaksi itu. Kecanggungan yang tidak cocok dengan sifat Serena terlihat jelas. “Ya! Maksudku—” Serena mengatupkan mulut dengan sangat cepat. Ia nyaris saja membocorkan keadaan memalukan. Ini pertama kalinya ada pria yang berani menyatakan perasaan cinta padanya. Jangankan menyebut, mendekati pun biasanya belum sampai menyentuh. Serena sudah mencoba berbohong tentu, tidak menyebut siapa dirinya dengan jelas agar pria yang mendekatinya tidak takut, tapi percuma kalau akhirnya bodyguard yang bersamanya akan mendekat dan terus mengikuti dengan hawa ingin membunuh setiap kali pria yang bersamanya akan maju lebih jauh. Teror seperti itu tentu ampuh membuat siapa saja kehilangan minat. Tapi tidak untuk Ian rupanya. Serena bingung karenanya. Pria yang ada di depannya jelas super tahu apa yang bisa dilakukan ayahnya ta
Serena menatap tangan Mae yang saat ini ada dalam genggaman Ash, dengan cermat.Mereka sedang sarapan—yang memerlukan dua tangan, tapi satu tangan Ash hampir tidak pernah melepaskan tangan Mae.Menggenggam saat ada kesempatan, meski terkadang membuat canggung karena harus membelah telur dan bacon dengan satu tangan. Ash mau bersusah payah hanya agar bisa terus menggenggam tangan Mae, sementara matanya juga tidak lepas menatap Mae, mendengarkan dengan cermat apa yang dikatakan Mae, meski hanya berisi daftar belanja bahan yang akan dibeli Mae sore nanti.Kalau tidak ingat sedang berada di rumah ayah Ash, Serena mungkin akan langsung menertawakan, mengejek bahkan. Tapi ia masih cukup ingat sopan santun yang diajarkan ibunya, dan menahan lidah.Kini setelah menahan diri dan terus menatap tangan itu, keinginan Serena untuk mengejek dan keheranan tadi berubah menjadi rasa yang lain. Awalnya ia tidak tahu rasa apa itu. tapi kemudian perlahan paham. Ia sudah pernah merasakannya, tapi lupa kare
“Mrs. Cooper, apakah orang yang melakukan penganiayaan ada di ruangan ini?” tanya Stewart.“Ya. Ada.” Mae menjawab sejelas mungkin, sementara tangannya meremas ujung rok hitam yang dipakainya. Telapak tangannya berkeringat dingin.“Dimana?” tanya Stewart, lagi. “Disana.” Mae melepaskan rok, dan menunjuk Monroe yang tangannya tersangga. Telunjuk Mae gemetar, tapi cukup jelas siapa yang ditunjuknya. Mae masih tidak bisa menatap mata Monroe yang besar itu, tapi tidak pingsan saat berada dalam satu ruangan dengannya saja sudah kemajuan.Stewart mengangguk puas. Tunjukan tangan Mae itu sudah cukup.“Maaf kalau setelah ini pertanyaan saya mungkin akan terdengar mengerikan untuk Anda, karena harus mengingat hal yang pasti ingin Anda lupakan.” Stewart tersenyum samar dengan simpatik.Mae mengangguk. Ia tahu kalau Stewart lebih keji dan licik dari Hubert, karena itu tidak akan terpengaruh dengan senyumnya. Tapi seperti yang Ash katakan, pekerjaannya jauh lebih rapi dari Hubert. Mae akan foku