Serena, kamu udah Ngapain aja wkwkw
“Mrs. Cooper, apakah orang yang melakukan penganiayaan ada di ruangan ini?” tanya Stewart.“Ya. Ada.” Mae menjawab sejelas mungkin, sementara tangannya meremas ujung rok hitam yang dipakainya. Telapak tangannya berkeringat dingin.“Dimana?” tanya Stewart, lagi. “Disana.” Mae melepaskan rok, dan menunjuk Monroe yang tangannya tersangga. Telunjuk Mae gemetar, tapi cukup jelas siapa yang ditunjuknya. Mae masih tidak bisa menatap mata Monroe yang besar itu, tapi tidak pingsan saat berada dalam satu ruangan dengannya saja sudah kemajuan.Stewart mengangguk puas. Tunjukan tangan Mae itu sudah cukup.“Maaf kalau setelah ini pertanyaan saya mungkin akan terdengar mengerikan untuk Anda, karena harus mengingat hal yang pasti ingin Anda lupakan.” Stewart tersenyum samar dengan simpatik.Mae mengangguk. Ia tahu kalau Stewart lebih keji dan licik dari Hubert, karena itu tidak akan terpengaruh dengan senyumnya. Tapi seperti yang Ash katakan, pekerjaannya jauh lebih rapi dari Hubert. Mae akan foku
Serena mendengus dengan jijik. Ia terbiasa hidup dalam kekerasan. Ia tahu pekerjaan ayahnya bukan berada dalam lingkup yang lemah lembut, tapi tetap saja mendengar penjelasan kekejaman bertubi-tubi itu membuatnya bergidik.Ayahnya melakukan kekejaman dengan masuk akal. Ia tidak akan segan memotong tangan, tapi karena memang pemilik tangan itu pantas mendapatkannya. karena mencuri misal—atau membunuh seseorang yang tidak seharusnya kehilangan nyawa.Ayahnya tidak akan melakukan kekejaman hanya karena bisa dan ingin, tidak seperti pria botak yang kini berada di podium. Ia bahkan masih mencoba membela diri dengan menghindari pertanyaan-pertanyaan dari pengacara. Pemandangan yang semakin membuat Serena merasa muak.“Kenapa kantong kotoran seperti dia masih hidup dan bernapas? Tidakkah dimatikan lebih mudah?” tanya Serena, pada Ash yang akhirnya duduk dengan tenang di sebelahnya.Saat Mae ada di podium tadi, hampir setiap tiga menit sekali Ash berdiri dengan wajah penuh kecemasan. Kini le
“Kau yakin?” Parker menghela napas panjang sambil meraih map yang baru saja diserahkan Ian. “Yes, Sir.” Ian mengangguk dengan pandangan yakin.Parker menghela napas panjang, bermuatan kecewa. “Pada akhirnya kau meninggalkanku juga. Padahal aku pikir kau akan bertahan,” keluhnya. “Maaf, Sir. Keadaan berubah,” kata Ian.“Ya, aku bisa melihatnya. Kau juga pergi karena wanita.” Parker membalik halaman demi halaman kertas yang ada di map itu. Ia memperjelas kekecewaannya.“Padahal aku merasa sudah memperlakukan kalian dengan baik. Tapi—” Ian terbatuk tidak terkendali, menutupi dengusan yang nyaris saja muncul akibat pernyataan yang yang kenyataannya tidak bisa dipertanggungjawabkan itu.“Maaf, Sir. Tenggorokan saya kering.” Ian mengelak dari pandangan mata Parker.“Ya, sudah. Aku mengerti.” Parker menutup map itu. Ian mengangkat tangan untuk memberi hormat, lebih lama dari biasanya. “Terima kasih, Sir.”“Ya. Aku tidak tahu harus bangga atau sedih karena ini.” Parker mengangguk, lalu
Ian sudah mengirimkan alamat kepada Ash, tapi masih mempertanyakan pilihan tempatnya yang agak aneh. Ia tadinya mengira mereka akan membawanya ke gudang tua, atau tempat sepi yang lain, bukan lapangan golf.Tapi perlahan Ian menjadi paham kalau lapangan itu juga termasuk tempat yang sepi karena tidak menemui banyak orang di dalam. Area lobby yang seharusnya penuh oleh orang yang mondar-mandir untuk bermain golf hanya menampilkan pria yang berdiri dalam posisi waspada. Penampilannya sangat mirip dengan orang-orang yang tadi menghampirinya. Tempat itu dikosongkan dengan sengaja. Ian dengan terpaksa harus merasa terkesan, dan mungkin memang itu tujuannya. Pria yang mengundangnya kali ini ingin memastikan Ian melihat kalau kekuasaan dan uangnya berada jauh di atas level kehidupannya.Dua orang yang mendampinginya tadi kini menunjukkan jalan menuju ke area indoor, tempat pemain berlatih memukul, bukan area lapangan luas. Dan disanalah ia berada. Silver Fox dengan penampilan necis, sedang
Dua orang yang tadi berjaga di belakang Val, langsung maju menanggapi panggilan dengan tangan menyusup ke balik jas.Ian tidak ingin tahu tangan itu sedang mengambil apa, ia langsung mengangkat tangan.“Maaf, tapi kalau bisa saya tidak ingin membuat keributan. Kalau dipaksakan saya akan melawan.”Ian tidak perlu menjelaskan kemampuannya seperti apa, Val sudah tahu. Ia bisa melawan kalau terpaksa. Ian tidak benar-benar ingin mati muda tentu.“Kau tidak bersikap seperti tidak ingin menantang. Kau sangat menguji kesabaranku.” Val menjentikkan jari, dan dua orang itu kembali mundur. Ian agak lega, tapi ujiannya masih jauh dari selesai. “Saya hanya tidak pandai berbohong,” katanya. Ingin sedikit memperbaiki diri dengan menyebut kalau ia tidak amat pandai bicara, “Apa kau baru saja menyebutku pandai berbohong?” Val menyeringai lagi. Pernyataan sederhana itu juga tetap membuatnya tersindir dan tersinggung.Padahal fakta itu sekali lagi benar. Ian cukup melihat video pembuktian yang kemarin
“Dawn?” (Fajar) Ian mengira Val baru saja memundurkan waktu kematiannya menjadi saat fajar nanti, tapi kemudian menyadari kalau ia sedang memanggil nama wanita yang baru saja memasuki area latihan itu Wanita itu duduk di atas kursi roda sementara pria yang mendorong di belakangnya dikenali oleh Ian. Pria itu yang kemarin berhasil menyergap mereka saat akan kabur.“Bagaimana bisa kau sampai di sini?” Val berlari menghampirinya.Ian sampai mengangkat alis karena pertanyaan itu terdengar manis di telinganya, padahal sudah jelas Val tadi sedang amat gusar. Pria itu bukan hanya mematikan niat membunuh, tapi berubah menjadi orang yang sama sekali lain menurut Ian—dan hanya karena wanita yang saat ini sedang duduk di kursi roda itu.Tubuhnya mungil, tidak tampak berbahaya sama sekali, bahkan agak pucat, tapi Ian langsung tahu kalau tubuh yang tampak tidak berdaya itu adalah dunia yang menjadi tempat rubah itu hidup.Dunia yang membuat pria seperti Val, mendadak terlihat mirip dengan Ash.
“Kau tidak suka wortel?” tanya Dawn, saat melihat Ian masih menyisakan potongan wortel di tepi piring. Steak yang menjadi makanan utama sudah berkurang separuh tapi sayuran rebus—termasuk asparagus—masih cukup banyak.“Suka. Saya terbiasa memakannya terpisah saja. Untuk lebih menikmati rasa.” Ian tersenyum dan menusuk salah satu wortel kemudian memakannya setelah mengoleskan pada saus steak—banyak agar rasanya tersamarkan.Ian membatin kalau ibunya pasti akan merayakan penuh suka ria seumpama melihatnya sekarang. Ian membenci sayuran dan akan selalu menyisakannya. Tapi hari ini ia tidak akan menunjukkan cela apapun di hadapan Dawn—meskipun terkesan sepele. Ian akan memakan semua sayuran itu sampai potongan terakhir asalkan bisa membuat Dawn mendukungnya.“Jangan memakan yang ini. Terlalu asin.” Ian mengangkat kepala, dan melihat Dawn menyingkirkan potongan ikan salmon dari hadapan Val yang ada di sampingnya. Menggantinya dengan steak yang sudah terpotong.“Sausnya agak manis, tapi mas
“Aku lupa! Turunkan itu—Please!” Ian mengangkat tangan dan panik. Ash tidak akan membunuhnya, tapi tidak keberatan melukai. Ash tahu benar dimana sasaran tembak yang tidak akan membuatnya terbunuh.“KAU MENYEBUT MATI!” Ash masih murka.“Iya, itu tadi. Aku lupa mengirim pesan lagi.” Ian Mendekati Ash sambil terus mengangkat tangan dan akhirnya bisa meraih pistolnya. “Ini disimpan saja. Maaf, aku lupa.”Ian lupa tidak mengirim pesan tambahan kalau keadaannya sudah baik-baik saja. Begitu Dawn datang—dan mengajaknya makan malam tadi, seharusnya ia langsung mengirim pesan pada Ash.“Kau tolol!” Ash belum puas memaki, dan kini melayangkan pukulan tepat ke kepala Ian, dihindari, dengan panik. Ian juga terpaksa menangkis saat kaki Ash maju menendang. Tulang keringnya berdenyut nyeri akibat tangkisan itu.“Aku lupa, sungguh.” Ian menepuk bahu Ash, dan tersenyum dengan penyesalan setulus hati. Ia tahu Ash pasti sudah bersusah payah untuk bisa sampai di restoran itu. “Temanmu? Kalau iya, ajak