wkwkwk katanya takut uangnya habis, mau dibayar malah di Kasih Semua
Ian merasa perlu menemui dokter. Pernyataan itu tadi sangat tidak bisa dipertanggungjawabkan dan mungkin kesintingan otaknya sudah masuk dalam kategori yang perlu diperiksa.Ia selalu merasa kalau Ash yang dulu bisa mengeluarkan dua ratus ribu pound untuk Mae tanpa berpikir, adalah karena kekayaan yang dimilikinya tidak akan berpengaruh banyak meski mengeluarkan jumlah itu. Lalu kini dirinya yang baru saja dengan mudah menjanjikan seluruh uang miliknya boleh dihabiskan oleh Serena. Padahal kebutuhannya tidak berhubungan dengan hal yang urgent— seperti membayar jaminan agar tidak berada di dalam penjara.“Kau tidak sekaya itu.” Serena mengernyit, bingung dengan dualisme yang dihadirkan Ian. Otak dan perasaannya belum berada di tempat yang sama.“Aku rasa uangmu tidak akan cukup untuk membeli apa yang aku inginkan. Kalaupun cukup, aku tetap tidak mau menghabiskan uang yang bukan milikku untuk kesenanganku sendiri.” Serena kembali menunjuk ke arah struk itu.“Tulis saja di sini aku akan
“Wait—I…” Serena menjatuhkan hair dryer yang ada di tangannya—untungnya ada karpet yang menerima di bawahnya. Ia terkejut pastinya.“Apa sangat mengejutkan?” Ian geli melihat reaksi itu. Kecanggungan yang tidak cocok dengan sifat Serena terlihat jelas. “Ya! Maksudku—” Serena mengatupkan mulut dengan sangat cepat. Ia nyaris saja membocorkan keadaan memalukan. Ini pertama kalinya ada pria yang berani menyatakan perasaan cinta padanya. Jangankan menyebut, mendekati pun biasanya belum sampai menyentuh. Serena sudah mencoba berbohong tentu, tidak menyebut siapa dirinya dengan jelas agar pria yang mendekatinya tidak takut, tapi percuma kalau akhirnya bodyguard yang bersamanya akan mendekat dan terus mengikuti dengan hawa ingin membunuh setiap kali pria yang bersamanya akan maju lebih jauh. Teror seperti itu tentu ampuh membuat siapa saja kehilangan minat. Tapi tidak untuk Ian rupanya. Serena bingung karenanya. Pria yang ada di depannya jelas super tahu apa yang bisa dilakukan ayahnya ta
Serena menatap tangan Mae yang saat ini ada dalam genggaman Ash, dengan cermat.Mereka sedang sarapan—yang memerlukan dua tangan, tapi satu tangan Ash hampir tidak pernah melepaskan tangan Mae.Menggenggam saat ada kesempatan, meski terkadang membuat canggung karena harus membelah telur dan bacon dengan satu tangan. Ash mau bersusah payah hanya agar bisa terus menggenggam tangan Mae, sementara matanya juga tidak lepas menatap Mae, mendengarkan dengan cermat apa yang dikatakan Mae, meski hanya berisi daftar belanja bahan yang akan dibeli Mae sore nanti.Kalau tidak ingat sedang berada di rumah ayah Ash, Serena mungkin akan langsung menertawakan, mengejek bahkan. Tapi ia masih cukup ingat sopan santun yang diajarkan ibunya, dan menahan lidah.Kini setelah menahan diri dan terus menatap tangan itu, keinginan Serena untuk mengejek dan keheranan tadi berubah menjadi rasa yang lain. Awalnya ia tidak tahu rasa apa itu. tapi kemudian perlahan paham. Ia sudah pernah merasakannya, tapi lupa kare
“Mrs. Cooper, apakah orang yang melakukan penganiayaan ada di ruangan ini?” tanya Stewart.“Ya. Ada.” Mae menjawab sejelas mungkin, sementara tangannya meremas ujung rok hitam yang dipakainya. Telapak tangannya berkeringat dingin.“Dimana?” tanya Stewart, lagi. “Disana.” Mae melepaskan rok, dan menunjuk Monroe yang tangannya tersangga. Telunjuk Mae gemetar, tapi cukup jelas siapa yang ditunjuknya. Mae masih tidak bisa menatap mata Monroe yang besar itu, tapi tidak pingsan saat berada dalam satu ruangan dengannya saja sudah kemajuan.Stewart mengangguk puas. Tunjukan tangan Mae itu sudah cukup.“Maaf kalau setelah ini pertanyaan saya mungkin akan terdengar mengerikan untuk Anda, karena harus mengingat hal yang pasti ingin Anda lupakan.” Stewart tersenyum samar dengan simpatik.Mae mengangguk. Ia tahu kalau Stewart lebih keji dan licik dari Hubert, karena itu tidak akan terpengaruh dengan senyumnya. Tapi seperti yang Ash katakan, pekerjaannya jauh lebih rapi dari Hubert. Mae akan foku
Serena mendengus dengan jijik. Ia terbiasa hidup dalam kekerasan. Ia tahu pekerjaan ayahnya bukan berada dalam lingkup yang lemah lembut, tapi tetap saja mendengar penjelasan kekejaman bertubi-tubi itu membuatnya bergidik.Ayahnya melakukan kekejaman dengan masuk akal. Ia tidak akan segan memotong tangan, tapi karena memang pemilik tangan itu pantas mendapatkannya. karena mencuri misal—atau membunuh seseorang yang tidak seharusnya kehilangan nyawa.Ayahnya tidak akan melakukan kekejaman hanya karena bisa dan ingin, tidak seperti pria botak yang kini berada di podium. Ia bahkan masih mencoba membela diri dengan menghindari pertanyaan-pertanyaan dari pengacara. Pemandangan yang semakin membuat Serena merasa muak.“Kenapa kantong kotoran seperti dia masih hidup dan bernapas? Tidakkah dimatikan lebih mudah?” tanya Serena, pada Ash yang akhirnya duduk dengan tenang di sebelahnya.Saat Mae ada di podium tadi, hampir setiap tiga menit sekali Ash berdiri dengan wajah penuh kecemasan. Kini le
“Kau yakin?” Parker menghela napas panjang sambil meraih map yang baru saja diserahkan Ian. “Yes, Sir.” Ian mengangguk dengan pandangan yakin.Parker menghela napas panjang, bermuatan kecewa. “Pada akhirnya kau meninggalkanku juga. Padahal aku pikir kau akan bertahan,” keluhnya. “Maaf, Sir. Keadaan berubah,” kata Ian.“Ya, aku bisa melihatnya. Kau juga pergi karena wanita.” Parker membalik halaman demi halaman kertas yang ada di map itu. Ia memperjelas kekecewaannya.“Padahal aku merasa sudah memperlakukan kalian dengan baik. Tapi—” Ian terbatuk tidak terkendali, menutupi dengusan yang nyaris saja muncul akibat pernyataan yang yang kenyataannya tidak bisa dipertanggungjawabkan itu.“Maaf, Sir. Tenggorokan saya kering.” Ian mengelak dari pandangan mata Parker.“Ya, sudah. Aku mengerti.” Parker menutup map itu. Ian mengangkat tangan untuk memberi hormat, lebih lama dari biasanya. “Terima kasih, Sir.”“Ya. Aku tidak tahu harus bangga atau sedih karena ini.” Parker mengangguk, lalu
Ian sudah mengirimkan alamat kepada Ash, tapi masih mempertanyakan pilihan tempatnya yang agak aneh. Ia tadinya mengira mereka akan membawanya ke gudang tua, atau tempat sepi yang lain, bukan lapangan golf.Tapi perlahan Ian menjadi paham kalau lapangan itu juga termasuk tempat yang sepi karena tidak menemui banyak orang di dalam. Area lobby yang seharusnya penuh oleh orang yang mondar-mandir untuk bermain golf hanya menampilkan pria yang berdiri dalam posisi waspada. Penampilannya sangat mirip dengan orang-orang yang tadi menghampirinya. Tempat itu dikosongkan dengan sengaja. Ian dengan terpaksa harus merasa terkesan, dan mungkin memang itu tujuannya. Pria yang mengundangnya kali ini ingin memastikan Ian melihat kalau kekuasaan dan uangnya berada jauh di atas level kehidupannya.Dua orang yang mendampinginya tadi kini menunjukkan jalan menuju ke area indoor, tempat pemain berlatih memukul, bukan area lapangan luas. Dan disanalah ia berada. Silver Fox dengan penampilan necis, sedang
Dua orang yang tadi berjaga di belakang Val, langsung maju menanggapi panggilan dengan tangan menyusup ke balik jas.Ian tidak ingin tahu tangan itu sedang mengambil apa, ia langsung mengangkat tangan.“Maaf, tapi kalau bisa saya tidak ingin membuat keributan. Kalau dipaksakan saya akan melawan.”Ian tidak perlu menjelaskan kemampuannya seperti apa, Val sudah tahu. Ia bisa melawan kalau terpaksa. Ian tidak benar-benar ingin mati muda tentu.“Kau tidak bersikap seperti tidak ingin menantang. Kau sangat menguji kesabaranku.” Val menjentikkan jari, dan dua orang itu kembali mundur. Ian agak lega, tapi ujiannya masih jauh dari selesai. “Saya hanya tidak pandai berbohong,” katanya. Ingin sedikit memperbaiki diri dengan menyebut kalau ia tidak amat pandai bicara, “Apa kau baru saja menyebutku pandai berbohong?” Val menyeringai lagi. Pernyataan sederhana itu juga tetap membuatnya tersindir dan tersinggung.Padahal fakta itu sekali lagi benar. Ian cukup melihat video pembuktian yang kemarin
“Di sini saja, lebih teduh.” Rowena menunjuk kursi di sebelahnya. Dean juga mengangguk setuju.Seluruh plot kursi taman itu sebenarnya ada di bawah pohon paling besar yang ada di taman rumah, tapi karena posisi matahari, ada bagian yang masih tersiram cahaya.Mae sebenarnya tidak keberatan mendapat siraman matahari setelah beberapa hari berada di rumah sakit, tapi ia masih ingat bagaimana nasib orang yang kali terakhir berdebat dengan Rowena—diusir, karenanya sekarang Mae memilih menurut dan duduk dengan manis di sampingnya.“Kau sudah tidak sakit?” tanya Amy yang sudah duduk dan kini menyerahkan satu cookies dari meja. Bukan buatan Mae tapi. Ia belum boleh mendekati dapur—atau melakukan apapun.“Tentu saja. Dokter tidak mungkin mengizinkan aku pulang kalau belum.” Mae melirik Ash yang juga sudah duduk di sampingnya. Orang yang tidak mungkin mengizinkan Mae pulang sebelum dokter memastikan tidak ada yang salah dari tubuhnya.Untung saja Mae kemarin berhasil membuat dokter itu merahasia
“Mae? Ada apa?”Jeritan itu tentu saja menarik perhatian Rowena, dan juga beberapa orang tamu yang bersamanya. “Mae, hentikan!” Rowena menyambar kran wastafel dan mematikannya. Ia lalu menyambar tisu dapur dan mengulurkannya untuk wanita yang kini tersedak dan terbatuk itu.“Lady Jane? Apa Anda baik-baik saja?” tanya Rowena, sambil membantu mengusap air dari wajahnya.Mae yang masih berdiri di situ sedikit menjauh. Mengeluh saat mendengar Rowena memanggilnya lady. Itu berarti Jane ini berasal dari kalangan bangsawan yang sama dengan Rowena. Ia menyombong karena tahu kedudukannya kurang lebih sama dengan Rowena.“Tidak! Wanita ini menyerangku!” Jane menuding ke arah Mae, segera begitu batuknya terhenti.“Mae? Apa—”“Pelayan ini kurang ajar. Kau harus memberinya pelajaran etika!” Jane mengadu tanpa memberi kesempatan Rowena untuk bertanya pada Mae.“Siapa? Pelayan yang mana?” Rowena bingung memandang sekitar, mengira ada orang lain yang terlibat.“Ini!” Jane menuding Mae dengan lebih je
“Aku saja yang membawa.” Mae mengambil alih piring besar berisi potongan kue yang sudah diatur rapi olehnya dari tangan pelayan. Ini karena memang jumlah orang yang membawa kurang. Mae membantu agar pekerjaan mereka cepat selesaiAcara makan sudah dimulai sejak dua jam lalu, dan kini saatnya dessert yang dihidangkan. Semua tamu ribut bicara dan menertawakan entah apa. Mereka sudah tidak lagi duduk, tapi berdiri berkelompok masing-masing. Beberapa mengerumuni Rowena sebagai tuan rumah untuk berterima kasih.“Mae.” Rowena menghentikan langkah Mae dengan meraih lengannya saat ia lewat untuk kembali ke dapur.“Kau tidak perlu bekerja lagi.” Kalimat Rowena itu terdengar seperti kalimat pemecatan, tapi Mae sudah menghapal kalau tujuan Rowena bukan itu. “Kau tidak terlihat baik-baik saja.”Kalimat Rowena yang menyusul berikut menjelaskan niatnya dengan lebih baik. Rowena sedang mengkhawatirkan keadaan Mae.“Ya, setelah ini aku akan beristirahat.” Mae tersenyum menenangkan, lalu meneruskan l
“Karena itu kalian bisa melapor pada—Oh? Sir.” Louis mengangguk saat melihat Ash mendekat.Tapi ia paham kenapa dan langsung bergeser, memperlihatkan sosok yang berdiri di sampingnya, lalu melanjutkan briefing. Tidak berkomentar saat Ash menarik kerah jas Ian, yang tentu saja sedang tersenyum lebar.“What the fuck are you doing here?” geram Ash, setelah mereka sampai di taman yang sepi, tidak termasuk area yang dipakai untuk menjamu tamu.“Tolonglah jangan banyak mengumpat. Untung saja tidak ada toples di sini—Oh, apa aku perlu menghitung berapa umpatan yang kau ucapkan? Jadi bisa membayar nanti?” Ian menepuk bahu Ash perlahan, menangkan sekaligus menikmati reaksinya. Ian memang sengaja tidak mengatakan apapun agar bisa menikmati reaksi itu.“Apa yang kau lakukan di sini?!” Ash mendesis sambil menatap Ian dari atas sampai ke bawah. Jas itu sangat baru, juga pin yang tersemat di dadanya—menandakan ia anggota RaSp.“Apa kau menyamar? Ada pekerjaan yang membuatmu harus menyamar di sini?
“Itu cara berpamitan yang unik.”Mae menggelengkan kepala dan tertawa. Sejenak meninggalkan spuit yang dipakainya untuk menghias cupcake untuk menatap Ash.Ia baru saja menceritakan keributan yang terjadi malam kemarin saat ayah Serena datang menjemput. Ash baru bisa menceritakannya sekarang, karena kesibukan Mae memang hampir tanpa henti. Tamu yang dimaksud Rowena tidak hanya berlangsung sehari, tapi datang bergilir selama dua hari ini. Ia menjamu para istri dari orang-orang berpengaruh yang kemarin mendukung dan berkontribusi pada kemenangan Dean. Sedikit membalas budi.Karenanya Mae juga memperlakukan pekerjaan itu dengan lebih serius. Ia tidak boleh mengacau.“Unik, tapi yang pasti aku bersyukur dia sudah kembali. Aku lelah dengan drama gila mereka.” Ash menghela napas sambil mengulurkan tangan—berusaha mencolek krim berwarna hijau yang disiapkan Mae.Tentu saja Mae mencekal lengan itu. Mae tidak mungkin mengizinkan ada yang menyentuh adonannya dengan tangan yang tidak jelas keber
“Serena?”Ian menggoyangkan bahu Serena, cukup keras, dan masih tidak bergerak. Ian berencana memakai ponsel untuk menyuarakan alarm, tapi sepertinya percuma.Suara bentakan yang dikeluarkan Val tadi kerasnya melebihi alarm dan tidak mengganggu Serena. “Tuan Putri!”Ian akhirnya berseru agak keras dan mengguncang kedua bahu Serena. Baru setelahnya mendapat respon.“Lima menit lagi, Mom.” Gumaman yang kurang lebih menjelaskan kalau ia masih bermimpi.“I'm not your Mom, so please wake up. She's waiting for you.” (Aku bukan ibumu, jadi bangunlah. Dia menunggumu)Ian berbisik di telinganya, hampir tidak bisa menahan tawa saat melihat bagaimana mata Serena membuka lebar dengan tiba-tiba. Ia langsung berbalik mencari siapa yang berbicara padanya, dan menemukan Ian berbaring di sampingnya sambil menopang kepala menahan tawa.“Bangun tidur pun kau tampak mempesona, Tuan Putri. Hamba puas melihatnya,” kata Ian.“Just cut the crap! Apa maksudmu Ibuku menunggu?” Informasi itu masih diingat ole
“Miss, ada tamu untuk Anda.” Louis dengan sopan mengetuk pintu kamar Serena.“Lebih keras lagi. Dia tidak akan terbangun kalau kau mengetuk selembut itu.” Val menyarankan karena tahu kebiasaan Serena. Biasanya hanya gempa yang bisa membangunkannyaLouis mengangguk dan mengetuk lebih keras lagi. “Miss?” Pintu itu terbuka, tapi yang muncul adalah Ian. “Kau mau apa?” Ian separuh membentak dengan wajah jengkel.Tapi hanya bertahan satu detik, karena wajah itu terhantam oleh kepalan tangan Val setelahnya. Ian tidak mungkin menghindar dan nyaris terpelanting.Dengan gerakan yang terlatih, Ian langsung menegakkan tubuh dan melayangkan tendangan balasan pada siapapun yang menyerangnya. Tapi kakinya berhasil ditepis dan saat itu Ian akhirnya melihat mata amat biru yang sekarang menjadi mimpi buruknya.“Oh, shit!” makinya, sambil menurunkan tangan—membatalkan serangan, tapi tetap waspada dan bergerak menghindar saat Val menggembor marah dan melayangkan pukulan lain.“Dasar setan!” Val berseru d
“Aku bilang jangan berpikir ke arah sana!” sergah Serena, sambil mengibaskan rambut dan tengkuknya kembali tertutup.“Oh…” Ian tentu saja kecewa, tapi tidak bisa lama. Saat Serena mengangkat sepuluh jarinya, ia langsung paham masalahnya apa. “Kau tidak bisa membukanya.” Serena berbalik sambil mengangguk. Masih ada sisa pink di wajahnya tapi tidak lagi amat merah. “Aku tidak bisa memaksa membuka ini. Aku perlu sembuh cepat. Harus latihan.” Serena menunjukkan perbannya lagi. Ia bisa memaksakan untuk membuka perban itu, tapi khawatir akan memperburuk lukanya. Serena membutuhkan tangan itu untuk berlatih sebentar lagi.“Seharusnya kau mengatakannya sejak tadi. Aku akan membantu. Ini mudah.” Ian memutar tangannya. Isyarat agar Serena kembali berbalik memunggunginya.“Aku akan meminta bantuan Mae kalau dia tidak sibuk!” cetus Serena. Masih ingin menegaskan kalau Ian adalah pilihan terakhir.“Itu tidak akan seru. Seharusnya kau langsung datang padaku. Masalahnya akan cepat selesai.” Ian te
“Kenapa susah sekali!” Serena mengeluh karena jarinya tidak bisa menyentuh zipper yang sebenarnya mudah.Kalau bisa melepaskan kuncian, Serena bisa mendorong turun, tapi gerakan sederhana itu sangat membutuhkan jari. Serena menghela napas. Menyerah, ia memerlukan bantuan.Serena bisa saja melewatkan mandi, tapi tetap ingin mengganti baju. Ia sudah memakainya seharian berkeliling.Serena keluar dari kamar—mencari Mae, tapi belum sampai di kamarnya, Serena sudah melihat Mae berlari kecil ke arah dapur. Serena mengintip, dan terlihat Mae—dibantu beberapa orang pelayan yang memang bekerja di rumah itu sedang sibuk menyiapkan kue.Mae tadi hanya keluar sebentar, kini melanjutkan pekerjaannya menggiling adonan croissant berwarna merah yang harus dilipat berulang kali. Bukan saat yang tepat untuk meminta bantuan, karena Serena perlu membawa Mae ke kamar. Tidak mungkin ia membuka bajunya di dapur.“Ian ada di sana—belum pulang. Menerima panggilan.”Ash yang berusaha membantu Mae—dengan menga