cie...cie... manis katanya :))
“Terima kasih. Silakan datang kembali kalau Anda menyukainya.”Mae menyerahkan uang kembalian pada pembeli sambil tersenyum ramah. Ia pembeli terakhir yang mengantri, jadi Mae bisa bernapas setelah itu.Tokonya tidak amat ramai, tapi justru karena masih jarang ada yang membeli, jantung Mae selalu berdebar keras setiap kali melayani. Khawatir melakukan kesalahan.Perkembangan tokonya masih lambat, tapi Mae maklum karena ia tidak amat konsisten mengelola. Ia masih banyak mengambil waktu libur. Apalagi kemarin ia libur cukup lama karena menemani Amy dan Ash pergi ke Paris—kurang lebih satu minggu. Toko yang sering tutup tentu tidak akan berkembang pesat.“Aku suka mocca yang ini.” Dari meja yang ada di bagian lain toko, Poppy mengangkat kuenya.Bomboloni dengan ini krim mocca yang akan menjadi menu baru di toko Mae.Setelah belajar lebih berani menghadapi mocca, Mae memutuskan untuk menambah rasa mocca untuk kuenya.“Great, aku akan mulai membuatnya besok—oh, tidak bisa. Mungkin minggu
“Sepuluh ribu pound… Sepuluh ribu pound…” Ian bergumam mengulang kata itu entah berapa kali, setiap kali tubuhnya naik.“Jangan menggumamkan angka! Kau membuatku kehilangan hitungan!” Ash yang hanya berjarak tidak sampai dua meter darinya mendesis galak.Jenis hukuman yang sedang mereka lakukan adalah push up, dengan Ian terus menggumamkan angka seperti itu, tentu saja hitungan Ash menjadi kacau.“Aku seharusnya tidak perlu melakukan ini,” keluh Ash, ia sedikit menyesal karena memperlambat proses perpindahan divisinya.Ia belum secara resmi melapor ke divisi yang baru, karena ingin mengambil waktu liburan kemarin, tapi karena belum melapor itu juga, Parker masih punya kekuasaan pada dirinya.Mungkin kalau ia tidak mengulur waktu—lebih cepat dua atau tiga hari saja, Ash tidak perlu menjalani hukuman yang sudah berlangsung kurang lebih tujuh jam—dengan waktu jeda hanya 20 menit tadi.“Dia menghabiskan sepuluh ribu pound untuk membeli tas! Apa kau percaya ini?!”Ian mendesis dengan wajah
“Mereka pulang?”Serena memandang Poppy dan Gina yang keluar bersamaan setelah tergesa berpamitan. Mereka menyetop taksi yang akan membawa ke stasiun.“Ya, tapi bukan karena dirimu. Tenang saja.” Mae tersenyum dan meletakkan teh untuk Serena di meja yang tadi dipakai juga oleh Poppy dan Gina.Poppy tadi sempat meminta maaf atas penyebutan julukan Ian, karena jelas membuat Serena mengernyit. Setelah itu mereka berdua melarikan diri dengan alasan yang tepat, karena memang Poppy harus kembali ke Andover sebelum anaknya pulang dari sekolah.“Kau mantan kekasih Ian?” tanya Serena, dan tentu Mae tersedak mendengar keterusterangan yang tidak terduga itu.“Bukan, astaga!” Dengan panik, Mae mengusap bibirnya memakai apron custom bertuliskan nama toko, yang memang masih menempel di tubuhnya.“Ian yang menuliskan tempat ini. Kau mengenalnya bukan?” Serena tidak merasa kalau tebakannya ngawur. Wanita yang ada di depannya cukup cantik.“Aku mengenalnya karena dia teman Ash. Aku istri Ash.” Mae me
“Ini menyenangkan.” Mae mendesah, menikmati pijatan pada punggungnya, lalu membuka mata karena mendengar desahan yang kurang lebih sama dari meja pijat di sebelah.Serena dengan punggung dan rambut tertutup handuk menikmati kegiatan yang sama dengan Mae juga. Mereka sedang menikmati perawatan spa.“Kau menyukainya?” tanya Mae.“Ya. Ini menyenangkan.” Serena membuka matanya yang indah itu, tersenyum pada Mae.“Kau tidak pernah melakukan perawatan seperti ini sebelumnya?” Mae agak heran, karena ia tahu Serena bisa membayar biayanya. Tas yang saat ini dibawa Serena berasal dari merk yang dulu biasa diberikan Barnet untuknya sebagai hadiah. Ia tahu tas itu berharga mahal. Serena tidak miskin.“Tidak pernah, terpikirkan pun tidak. Aku tumbuh di lingkungan yang lebih banyak pria. Satu-satunya wanita yang ada di dekatku adalah ibu dan nenekku. Tapi ibuku sering sakit dan nenekku—ya dia nenek, sudah tua. Aku rasa tidak akan memikirkan aku memerlukan acara seperti ini.”Serena bercerita panjan
“Dia pasti bahagia,” kara Serena.“Hm?” Mae kembali mengangkat timun yang sudah kembali ke mata.“Adikmu itu. Aku yakin dia bahagia karena kau begitu mencintainya.” Serena berpaling dan tersenyum. Itu adalah usahanya menghibur Mae.“Ya, ia menyebut begitu.” Mae tersenyum juga. Ia mendengar Daisy mengatakan itu paling tidak lima kali sekarang, tersebar di beberapa video peninggalannya.Secara bertahap dan pelan, Mae menonton video peninggalan Daisy, belum semua karena Mae memang tidak ingin menghabiskannya sekaligus, bahkan terkadang mengulang bagian yang memang menjadi favoritnya—seperti saat Daisy bertengkar dengan Ash atau saat ia menunjukkan koleksi buku di kamarnya, sambil menjelaskan isinya dengan detail. “Aku akan berkunjung lebih sering—mengunjungi ibuku maksudnya.” Serena tiba-tiba duduk lagi, dan terapisnya sudah menyerah untuk mencegah, menerima saja kalau kliennya yang ini kurang bisa diam dan ekspresif saat bicara.“Aku akan menjadi lebih berani menghadapinya, sepertimu.”
“Kita sampai. Itu yang di sana.” Mae menunjuk dan menghentikan mobilnya sedikit jauh dari restoran yang menjadi tempat janji bertemu dengan Ash dan Ian. Tempat parkir yang ada di depan restoran itu sudah penuh. “Kecil.”Serena bergumam pelan saat mereka berjalan menuju restoran itu, tapi Mae mendengarnya. Restoran yang mereka datangi tidak kecil kalau menurut Mae. Cukup lumayan, memang tidak yang sangat terkenal—karena hampir mustahil bisa memesan tempat dengan mendadak, tapi tidak buruk. Mae beberapa kali makan disana saat pulang dari toko bersama Ash, karena memang searah dengan rumah mereka di Reading.“Serena, kau tinggal dimana? Bukan di London aku rasa.” tanya Mae, mulai ingin tahu latar belakangnya lebih jauh. Sejak tadi mereka banyak bicara, tapi Mae hanya punya gambaran kalau Serena kaya—belum tahu seberapa kaya, sampai merasa restoran itu kecil.“Bukan, aku tinggal di Nieve, Italia.” Serena mengangguk.“Hoo… aku pernah mendengarnya. Itu desa yang indah bukan?” Mae lupa men
“Aku harus bertanya dulu? Apa yang aku tawarkan tapi?”Ian bergumam amat pelan. Suaranya semakin lirih, seiring rasa percaya dirinya yang tergerus. Ia merasa tidak punya apa pun yang akan ditawarkan untuk Serena.“Aku rasa ia tidak akan peduli kau miskin atau tidak. Dia punya terlalu banyak uang untuk peduli tentang hal seperti itu.” Ash membelokkan kemudi. Sebentar lagi mereka akan sampai di restoran.“Justru itu. Aku tidak tahu harus menarik perhatiannya dengan apa. Yang paling mudah menarik perhatian perempuan biasanya uang.”Ian biasanya tidak pernah merasa perlu memamerkan berapa uang yang dimilikinya kepada wanita manapun, karena ia tidak peduli apakah wanita yang bersamanya tertarik atau tidak pada kehidupannya. Biasanya asalkan mereka tidur bersama maka sudah cukup. Ian justru akan lebih cepat meninggalkan wanita yang mulai tertarik pada kehidupannya dan bertanya-tanya tentang apa pekerjaannya. Pekerjaannya sebagai tentara mudah dikatakan, tapi pekerjaannya sebagai anggota p
“Dean.” Rowena menunjuk ponsel Dean di atas meja yang menyala, memperlihatkan panggilan.“Siapa? Nomornya tersembunyi.” Rowena heran, karena biasanya panggilan yang masuk ke ponsel itu sudah sangat disaring.Dean meletakkan dokumen yang dibaca, mengangkat bahu. Ia tidak mungkin tahu. Itu adalah ponselnya yang sangat pribadi, berbeda dari apa yang biasa dipegang Brad. Ponsel itu biasanya hanya berbunyi karena panggilan dari Rowena, Amy, Ash, Brad, dan ditambah Mae beberapa minggu lalu.“Aneh sekali.” Dean berdiri, tapi hanya memandang—membiarkan ponsel itu terus bergetar.“Mungkin penting.” Rowena ikut meletakkan dokumennya, ikut memandang saat ponsel itu bergetar kedua kalinya.“Yang jelas ia ingin sekali bicara padaku.” Dean akhirnya mengambil. Sudah dua kali artinya sangat penting.“Kau yakin?” Rowena tidak amat setuju Dean menerimanya. “Aku ingin menjelaskan .” Dean menduga siapapun itu sekadar salah menekan nomor, dan ia perlu menjelaskan agar ia tidak terus menghubungi nomor yang