"Dek, apa kamu masih belum bisa melayaniku? Sudah sebulan lebih loh, aku puasa. Aku sudah nggak tahan nih." tanya Mas Hearfy dengan pandangan mata yang penuh permohonan padaku.
Aku jadi jengkel melihat sifatnya yang tak mengerti seperti itu. Ini bukan kali pertama ia meminta haknya sebagai seorang suami padaku. Entah terbuat dari apa hatinya sehingga ia bisa begitu tega meminta ku untuk melayaninya. Padahal aku baru habis sebulan yang lalu melahirkan anak pertama kami, buah cinta kami berdua. "Bagaimana, Dek? Apa kamu sudah bisa sekarang?" tanyanya lagi ketika melihat aku masih terdiam juga tidak menjawab pertanyaannya. "Maaf, Mas, aku rasanya masih belum bisa karena luka di bekas jahitanku masih belum terlalu sembuh betul." jawabku dengan suara yang sangat lirih. Sungguh aku merasa sangat sakit hati dengan sikapnya ini. Ya Tuhan, sebenarnya bukan permintaan itu -itu terus yang ingin kudengar dari mulut suamiku. Sebagai seorang Ibu baru yang baru habis melahirkan, aku sangat membutuhkan dukungan yang berupa bantuan tenaga darinya, bukan untuk melayani nafsu bejadnya. Bayangkan saja, ketika bayiku baru berusia dua Minggu, ia sudah memaksaku untuk melayaninya, dengan alasan kalau aku berani menolak, ia tidak akan turun tangan membantu merawat bayi kami. Dan ternyata ucapannya itu benar adanya. Dia ternyata tidak main - main. Sejak peristiwa itu, ia tidak pernah membantuku. Jangankan menggantikan popok, menjaga bayi ketika aku ke kamar kecil untuk buang air pun ia tidak mau. "Kamu tuh, selalu begitu ya, Dek, selalu cari alasan untuk menolak permintaanku. Masih luka lah, ini lah, itu lah, awas loh, kalau nanti aku jajan di luar baru kamu kapok telah mengabaikan permintaanku." seperti biasa ia selalu marah - marah setiap kali aku menolak ajakannya. Air mataku perlahan jatuh melewati pipiku. Sungguh, lelaki yang kuharapkan untuk menyayangiku sepenuh jiwa dan raga ternyata bersikap sangat keterlaluan. Dia tidak memperhatikan kondisiku yang baru habis melahirkan. Dia juga tidak pernah menyayangiku. Yang ada dalam otaknya hanya ingin menuntaskan hasratnya semata. Apa dia kira mengeluarkan seorang anak itu segampang yang ia pikirkan? Semudah seperti dia yang hanya mengeluarkan kentut saja sehingga selepas kentut itu lewat tubuh akan merasa plong dan enak. "Jangan berpikiran begitu, Mas, Aku sungguh masih merasa sakit karena luka yang belum sembuh. Supaya kamu tahu, Mas, orang melahirkan itu susah, bukan seperti mengeluarkan kentut." ujarku lirih dengan nada yang mulai emosi. Seandainya kalau dia merasakan sendiri bagaimana rasanya sakit mau melahirkan, tentu ia akan mengerti dengan kondisiku saat ini. Jangankan untuk melakukan hubungan badan, buang air besar saja rasanya aku sangat kesulitan. "Alah! Itu cuma alasanmu saja. Aku tahu kamu memang sudah tidak mau melayani aku. Jadi mulai saat ini, jangan salah kan aku kalau aku mencari pelampiasan di luar." Ucapnya sembari menyugar rambutnya dengan kasar. Ia berdiri kemudian melangkah ke lemari untuk mengambil baju gantinya. Sambil mengenakan pakaian gantinya ia terus mengomel. "Nah, ini lihat kan, jangan kan kebutuhan batinku yang sudah tidak kau penuhi. Kini malah baju ganti pun sudah tak kau siapkan. Kau hanya sibuk dengan anakmu saja. Jadi lain kali minta anakmu itu untuk membahagiakan kamu. Aku sudah tak perduli!" "Maafkan aku, Mas. Kuharap kamu mengerti dengan kondisiku saat ini. Bukannya aku tidak mau melayanimu, akan tetapi, aku sungguh tak mampu." jelasku untuk yang kesekian kalinya. "Kalau begitu kapan kamu akan melayaniku? Apa kamu kira aku harus menunggumu dalam waktu yang begitu lama?" ia Malah semakin marah tak jelas padaku. "Bukan seperti itu, Mas, tunggulah, Mas, setelah anak kita menginjak usia tiga bulan, aku pasti sudah sembuh dan sudah bisa melayani kamu." jelasku dengan sabar. Namun reaksi yang diberikannya sungguh sangat membuatku semakin sakit hati saja. "Apa? tiga bulan? Apa kamu pikir tiga bulan itu waktu yang cuma sebentar? Dan kamu menyuruhku untuk menunggumu? Maaf, aku bukan tipe lelaki yang sesabar itu. Aku telah memintamu dengan baik - baik, tapi kamu tetap berkeras menolak keinginanku. Jangan salahkan aku kalau nanti aku selingkuh di belakangmu." "Ya, ampun, Mas. Kenapa sih kamu selalu tak pernah mengerti tentang diriku, Mas? Aku tidak melayanimu karena aku masih sakit, ribuan urat saraf ku yang putus belum sembuh semuanya akibat melahirkan anak kita. Kenapa kamu masih tak paham juga? Apakah kemarin- kemarin aku pernah menolak permintaanmu? Tidak, 'kan?" Kali ini aku berteriak kencang membantah ucapannya. Sudah hilang rasa hormatku padanya sebagai seorang suami karena perlakuannya yang buruk kepadaku. "Alah! itu hanya alasan kamu saja! Aku tahu itu. Mana ada sih seorang wanita yang bisa menahan diri untuk tidak begituan? Kamu saja yang terlalu cengeng. Nanti aku main belakang baru kamu sadar kalau rugi telah mengabaikan ku seperti ini.!" "Mas, aku tidak membohongi kamu. Tanya saja sama ibumu, sama dokter atau pun setiap wanita yang pernah melahirkan. Pasti jawaban yang diberikan mereka akan sama dengan jawabanku." Aku masih berusaha untuk menjelaskan padanya dengan sabar, walau kutahu stok kesabaranku tinggal setipis tisu." Mungkin karena dia terlalu membenciku, ia ke luar dari kamar kami dan membanting pintu dengan keras hingga menimbulkan bunyi gedebuk yang seketika langsung membangunkan bayiku yang sedang tertidur lelap. Seketika bayiku yang sedang tertidur kaget dan langsung menangis histeris akibat mendengar suara pintu yang dibanting dengan keras "Tenang, Nak. Maafkan Ibu yang tidak becus menjagamu." dengan berlubang air mata, ku bujuk bayiku agar dia berhenti menangis. walaupun dia masih terlalu kecil, tapi aku berharap dia mengerti dengan kondisi ibunya saat ini. Segera kuangkat bayiku, menggendongnya dan kembali meninabobokan. Walau dalam keadaan mengantuk berat, aku tak pernah mengeluh atau meminta tolong pada suamiku untuk membantuku. Apalagi ditambah dengan keadaannya yang marah tak jelas seperti itu. Jangankan menggendong, melihat keadaan bayi kami pun ia jelas tak mau. Bahkan ia pun sering melampiaskan kemarahannya pada bayi mungilku itu. "Jadi anak kerjanya cuma bikin susah! bikin gaduh! kerjanya merepotkan orang saja!" Dan ini sering terjadi, Mas Hearfy tidak mau untuk membantuku. Malah ia akan memarahi atau membentak bayiku kalau dia terlalu rewel dan menangis. Hampir sejam lamanya aku menimang bayiku hingga ia terlelap, akhirnya setelah menidurkannya di atas tempat tidur tanpa terasa aku pun ikut ketiduran dengannya. *** "Dek, bangun. Kenapa sih jadi perempuan lelet amat?! Tahu nggak ini sudah jam berapa? Kenapa belum buatkan kopi dan sarapan untukku?" Suara cempreng Mas Hearfy mengagetkanku yang sedang tertidur. Cepat aku bangun lalu melihat bayi yang tertidur di sampingku. ya ampun, ia sudah bangun entah sejak kapan, kulihat ia sedang menendang - nendang kedua kakinya yang mungil. Duh, ada pub juga, sejenak aku melupakan teriakan Mas Hearfy dan mengurus bayiku membersihkan pub nya. Mungkin karena terlalu lama menungguku tidak ke luar - ke luar dari kamar, tingkah Mas Hearfy semakin menjadi saja. Ia menendang pintu dengan keras hingga menimbulkan bunyi yang sangat kencang. "Kamu kerja apaan sih di dalam sini, hah?! Kenapa tidak menyiapkan sarapan untukku sekarang? Apa kamu sudah berani mau melawanku, ya? Mentang - mentang baru habis melahirkan, selalu saja anak bayi yang kamu jadikan alasan untuk bermalas- malasan. Kamu enak sudah tidak bekerja, tidur lelap nggak ingat diri. Sampai lupa kewajiban seorang istri itu bagaimana.!" Ya ampun! Ini orang mulutnya pedas. Memang dia pikir aku siapa? pembantu? Kutatap wajahnya dengan emosi yang sudah sampai di ubun- ubun. Emang matanya buta apa hingga tak bisa melihat aku sedang melakukan apa? dasar lelaki egois! Ya ampun, kalau sikapnya terus terusan seperti ini tak berubah sedikit pun, sungguh aku pun bisa melawan. "Mas, apa matamu kamu buta? Apa kamu sudah tak bisa melihat aku sedang apa, Mas? Aku sedang membersihkan pub, kenapa kamu terus berteriak terus seperti itu? Aku capek, Mas, semalaman begadang jagain anak, sedang kamu tidur enak sesukamu." Kali ini aku sungguh meluapkan amarahku yang kutahan selama ini. Ia terbelalak tak menyangkah kalau aku sudah berani melawan dan membantah setiap ucapannya. "Apa? jadi kamu mau menyalahkan aku?! Berani kamu ya?! Aku tinggal kawin dengan perempuan lain baru kamu tau rasa. Baru kamu sadar kalau jadi janda itu emang enak. Masa hanya ngurus bayi kecil itu saja lamanya minta ampun." dengusnya kasar. "Coba sekali saja kamu yang gantian tugas denganku untuk mengurus bayi kita, Mas, aku mau tau seberapa cekatannya kamu mengurus bayi. Jangan cuma asal omong kosong seperti itu!" ucapku menantang. Wajahnya merah padam, ia mendekatiku dan mengancam."Mau apa kamu mendekatiku, hah?! Apa kamu mau gampar aku, Mas, Jawab!" ku bentak Mas Hearfy ketika aku melihat ia maju mendekatiku. Mas Hearfy tak bicara, ia diam dan terus berjalan mendekat hingga tiba di sampingku. Sedang posisi badannya langsung menyerempet di lenganku. Kurang ajar! Emangnya dia pikir dia siapa? Berani dia memperlakukanku seenak jidatnya. Kulihat ia mengambil bayi dari tempat tidur padahal aku sedang membersihkan pub nya. "Cuma bersihin pub si kecil aja dibilang repot. Nih, yang model begini nih istri - istri jaman sekarang. Pegang hape berjam - jam saja betah. Eh, giliran melakukan pekerjaan rumah, mengurus bayi malah dibilang repot dan kecapekan." Mas Hearfy terus uring - iringan. Akan tetapi, tangannya juga kulihat dengan gesit membersihkan pub dan membasuh bayi ku pakai tisu basah. Setelah itu, ia kemudian melanjutkan dengan mengenakan pakaian bayi tanpa ada kendala atau rasa takut sepertiku. Aku jadi heran sendiri, kalau seandainya ia sangat lincah mengur
Aku hanya menggelengkan kepala tak percaya, hanya karena masalah ranjang ia sampai semarah itu padaku. "Mau ke mana kamu, Mas?! Apa karena masalah sepeleh itu kamu mau pergi dari rumah?!" tanyaku sembari berdiri di pintu kamar mencegat Mas Hearfy yang sedang menyeret tas pakaiannya untuk ke luar. Memalukan! Hanya gara - gara masalah urusan ranjang ia sampai kabur ke rumah orangtuanya seperti itu. Dia berdiri di hadapanku dengan wajah yang memerah dan memarahiku. "Apa kamu bilang?! Apa kamu kira itu masalah yang sepeleh, hah?! Urusan ranjang kamu kira masalah Sepeleh?! Sepeleh buat kamu karena kamu egois!" Bentaknya kasar. Aku terhenyak. Gara -gara urusan ranjangnya yang tidak terpenuhi, ia sampai tega membentakku dengan kasar seperti itu. "Jadi, maksudnya kamu pergi meninggalkan aku dan anak kita hanya karena aku tidak memenuhi kebutuhan batinmu, begitu, Mas? ya ampun, Mas, kamu nyadar nggak sih kalau aku baru habis melahirkan sebulan yang lalu? Kamu tega, Mas, aku ngga
"Bagaimana, Mas? Apa kamu puas dengan pelayananku semalam? Aku tahu kamu puas karena kamu sudah lama dianggurin oleh istrimu itu." Sebuah chat masuk di ponselku. Aku heran, kok bisa ada kalimat seperti itu yang terkirim di ponselku? Apa ini sebuah Chat nyasar? tapi mana mungkin? tidak lama kemudian, muncul juga sebuah gambar, sepasang manusia tidak tahu malu sambil berpelukan mesra dengan pakaian yang tidak sopan. Lekas aku mematikan ponselku karena emosiku yang yang tak terbendung. Dan ketika aku menghidupkan kembali ponselku, sebuah foto profil dengan gambar yang sama terpampang jelas di beranda fbku. "Kejam kamu, Mas, kejam! Baru sehari kabur dari rumah, ternyata main mu sudah sejauh itu." ucapku dengan hati yang hancur. Sungguh hatiku hancur melihat gambar yang diunggah di akun suamiku di Facebook itu. Apa dia ingin membuat aku cemburu atau bagaimana hingga ia tega mengunggah gambar yang menunjukan kedekatan ia dengan kakak ipar. 'Ya, ampun, M
Aneh sekali suamiku ini. Berani beraninya dia bilang itu hanya salah paham saja. Seandainya kalau aku tak mendengar sendiri pembicaraan mereka mungkin saja aku langsung percaya pada wajahnya yang munafik itu. "Sudah, Dek, kamu hanya salah paham saja. Ini tidak seperti yang kau pikirkan. Maafkan aku ya, Dek, telah membuat kamu marah seperti ini." ucap Mas Hearfy dengan suara yang sangat lembut. Emang dia pikir aku tuli hingga tidak mendengar semua pembicaraan mereka tadi? huh dasar lelaki munafik! Baiklah, aku akan ikuti permainanmu yang licik ini. Aku akan lihat sendiri sampai di mana kamu bisa membohongiku. "Iya, Nak Dewi, suamimu memang benar tuh, kamu hanya salah paham saja. Mana ada kami berani berbicara jelek tentang kamu. Kamu kan menantu terbaik yang sudah memberikan Ibu seorang cucu." Timpal Ibu mertua dengan tersenyum padaku. Senyum yang dibuat- buat kurasa karena hatinya yang tidak menyukaiku. "Betul, Dek Dewi. Maaf, Mbak juga merasa bersal
"Cepat, Mas, yang kencang dong biar agak enak. Iya, Mas, gitu dong, ah, ini baru enak." terdengar suara Mbak Sandra yang mendesah desah dari arah dapur. Menjijikan. Mereka lagi buat apa sih di sana? Gegas aku mengintip di celah pintu yang terbuka yang mungkin sengaja tidak di tutup okeh mereka. Ya Ampun! Keduanya sedang... *** "Maaf, Dik Dewi, boleh kah malam ini saya nginap di sini? Saya Jenuh di rumah sendirian." tanya Mbak Sandra padaku saat kami berdua duduk di teras. Heran aku, bisa - bisanya dia bilang di rumah cuma sendiri, pada hal kan dia saat ini tinggal bersama dengan kedua mertuaku. Karena terlalu emosi dengan sikapnya yang suka berbohong, aku pun segera menegurnya. "Kok bisa sendiri, Mbak, terus Ibu mertua ke mana? Apa mereka Nggak ada di rumah?" Wajahnya Mbak Sandra seketika memerah, ketahuan kan kalau dia mau berbohong padaku. Dasar wanita ikat buluh! "Ada sih, Dek, tapi mereka sering ngobrol sendiri, sedang aku nya di kamar se
Dan satu lagi, kenapa ia berpakaian begitu seksi? Dress pendek ketat sebatas paha dengan leher yang sangat rendah sehingga memperlihatkan gundukan di dadanya. Apa ia sengaja mau menggoda suamiku? *** "Dek, ayo makan, aku sudah menyiapkan semua hidangan untuk makan malam di meja makan." panggil Mbak Sandra dari luar di depan pintu kamarku. Gegas aku ke luar dan mendapati Mbak Sandra yang sudah dalam keadaan segar bugar. ia seperti baru selesai mandi keramas terlihat dari rambut panjangnya yang basah tergerai sehingga membasahi mini dress yang dikenakannya. Aku jadi sangat heran, kok bisa dia mandi keramas pada hal cuacanya saat ini sangat dingin karena barusan diguyur hujan lebat. Di tengah malam seperti ini lagi? Apa dia nggak kedinginan? karena terlalu merasa curiga, aku pun langsung menanyakan padanya. "Mbak mandi keramas? Aneh, pada hal cuacanya sangat dingin karena baru saja diguyur hujan lebat tadi. Apa Mbak nggak merasa kedinginan?"tanyaku
"Eh, Mbak Sandra, kenapa wajahmu pucat begini?" tanyaku sembari melirik ke arah Mas Hearfy. Aku hanya tersenyum saat memandang wajah keduanya yang pucat pasi karena semalaman kurang tidur. Rasakan! Itulah kalau mau bermain main denganku.! *** Baguslah, keduanya masih berada di ruang makan. Mungkin betah berlama lama berdua. Dasar manusia tukang selingkuh, suka ambil kesempatan dalam kesempitan. Tak mau berlama- lama, aku gegas menuju ke kamar, mengambil obat pencahar dan ku pencet sedikit ke gelas lalu mengaduk dengan cepat, setelah itu ku tuang air itu ke galon, kebetulan air galonnya tinggal sedikit, pas lah bila dicampur sama obat ini, nanti sisanya bisa ku buang besok pagi. Tak lupa, aku memisahkan sedikit air untukku bawa ke kamar biar bisa diminum nanti kalau sedang haus tengah malam. "Belum selesai acara makannya, Mbak, Mas?" tanyaku sambil memperhatikan tingkah keduanya yang gelagapan. "Sudah, Dek, ini juga mau habis." sahut Mbak Sandra sambil menunjukan isi di piring
Kulihat Mbak Sandra sudah bertukar pakaian. Yang lebih mengejutkan, dia mengenakan celana kolor dan baju kaus kepunyaan Mas Hearfy suamiku. Dasar perempuan gak punya malu! *** "Kok pulang lagi? nggak jadi ke butik? Tadi katanya mau ke sana." cecar ku ketika melihat keduanya baru turun dari motor. Baik Mas Hearfy atau pun Mbak Sandra tak ada yang menjawab pertanyaanku, keduanya berjalan tergesa hampir seperti berlari. Karena penasaran, aku pun akhirnya ikut juga keduanya ke dalam rumah. Oh, ternyata keduanya menuju ke toilet. Apakah keduanya buang air lagi? "Mbak Sandra sakit perut lagi? Ya ampun, itu pasti akibat mengonsumsi makanan yang terlalu asin semalam yang membuat kalian jadi seperti itu. Beruntung deh, aku tak memakannya jadi selamatlah aku dari makanan pembawa maut itu." ujarku sembari melihat Mbak San yang sedang mengurut perutnya sendiri. Tiba - tiba aku mendengar ada bunyi yang ke luar dari tubuh Mbak San, baunya sangat mengganggu indra penciuman. Tdak lam
Apakah dia sangat menyayangi putraku? Kalau benar iya, aku merasa sangat bersyukur dan beruntung dipertemukan dengan nya dan bisa bersahabat dengannya...***"Kurang ajar! beraninya kamu berjaya begitu padaku. Dasar wanita miskin tak tahu diri. Muak aku sama kamu." Sandra kulihat melangkah kakinya untuk mengejar ku yang sudah mulai turun dari atas tempat pengantin, tapi nas, mungkin karena ia menginjak gaunnya sendiri, makanya ia langsung terjatuh hingga terdengar bunyi gedebuk dari arah belakangku. Aku segera menengok ke belakang, dan juga semua turut berdiri dan mendekat ke arah pengantin wanita yang terjatuh hingga gaun putih panjangnya belepotan debu dan tanah yang menimbulkan warna lain di gaunnya. "Mas, cepatan tarik aku dong, Mas, aku nggak bisa berdiri nih " seru Mbak Sandra. Bagaimana dia mau berdiri? sementara gaun panjangnya tertindih kakinya sendiri. Walau pun mendengar teriakan minta tolong dari Mbak Sandra, akan tetapi baik para tamu undangan atau pun kedua mertua
Akhirnya, pernikahan antara Hearfy dan Sandra pun dilaksanakan juga, walau pada dasarnya ia belum menceraikan Dewi secara sah. Pernikahan itu digelar sangat meriah, hanya lebih meriah pernikahan pertamanya dengan Dewi dulu saat ayahnya masih menjabat sebagai kepala desa di kampung itu. Akan tetapi, bagi ukuran warga desa itu, pernikahan keduanya ini pun tergolong sangat mewah dan meriah, ketimbang para warga lain yang hanya mengadakan resepsi kecil kecilan atau istilahnya ramah tamah sederhana. Dan seperti yang dikatakan Sandra, ia memang mengundang Dewi mantan istri Hearfy untuk menghadiri acara syukuran pernikahan itu. Dilihatnya kiri kanan, semua manusia yang berjubel memadati halaman rumahnya, tapi ia tak melihat Dewi ada di situ. "Kurang ajar! Berani benar dia nggak menghargai undangan ku. Sudah miskin tapi belagu. Awas dia!" ia menggerutu sendiri. Hearfy yang berdiri di sebelahnya pun menasihati agar jangan uring uringan di depan tamu, takutnya ada yang berpikiran yang buk
"Mas, usir mantan istrimu itu, Mas, aku tidak suka mereka tinggal di situ.""Iya, sayang, nanti aku akan mengusir mereka." sahut Hearfy lirih. "Mas, nggak benar kan, apa yang mantan istrimu itu katakan, kalau rumah itu miliknya? Soalnya aku kepikiran terus tentang perkataannya itu.""Ya enggaklah sayang. Rumah dia dari mana? Itu rumah yang dibangun oleh Ayah untukku, bukan untuk dia. Jadi tenang saja besok atau lusa aku pastikan akan mengusir mereka."; Sahut Hearfy menipu calon istrinya tersebut. Sandra yang tidak tahu menahu masalah penjual belian tanah itu percaya saja akan ucapan Hearfy.Ia bangga akan dirinya yang bisa merebut Hearfy dari Dewi istrinya untuk menjadi suaminya."Ternyata usahaku nggak sia sia. Mas Hearfy sudah masuk dalam jebakan perangkap cintaku. Tak sia sia aku selalu menyenangkan hatinya dengan tubuhku, melayani kebutuhan batinnya selama istrinya mengandung dan melahirkan. Sebentar lagi aku nggak usah sembunyi sembunyi lagi bermesraan di depan orang karena
"Aduh, uang sebanyak ini mau kuapakan ya? Aku ingin membuka usaha saja atau bagaimana? Tapi kalau aku buka usaha, aku khawatir semua orang akan curiga padaku. Mereka pasti bertanya tanya, dari mana aku bisa mendapatkan modal sebanyak itu? Secara aku hanya seorang wanita rumahan dan Ibu rumah tangga pula. Pasti mereka akan mencurigai yang bukan bukan padaku nanti. Ah, lebih baik aku jangan gegabah. Aku tahu g saja dulu yang itu. nanti setelah waktunya tepat, barulah aku akan membuka usaha." Aku membatin sendiri. Akhirnya setelah berpikir cukup lama, aku pun mengambil sebuah keputusan, untuk menabung saja dulu. Kalau waktunya sudah tepat, barulah aku akan membuka usaha, apa pun itu. Semenjak aku sudah memperoleh penghasilan sendiri, kebutuhan aku dan anakku pun semua tercukupi. Aku bisa membelikan di kereta bayi. Yang mana kereta ini sangat bermanfaat untukku. Aku bisa nendudukan anakku di situ, di saat aku melakukan kegiatan harianku yaitu menulis novel. Seperti hati ini, kare
"Mbak Sandra, Mbak Sandra, aku tuh bukan seperti kamu, pura pura minta tolong, tapi ternyata mau bermain lato lato dengan suami orang. jaga saja suami Mbak, jangan sampai ..."***Akhirnya pada sore harinya, aku pergi ke rumah Bu Wati untuk berpamitan pada beliau kalau keesokan harinya aku akan kembali ke rumahku.Pada awalnya beliau terheran heran mendengar ucapanku, tapi setelah ku jelaskan bahwa aku telah membeli rumah itu dengan bantuan orangtuaku, beliau pun akhirnya mengangguk setuju."Ah, kalau begitu malah bagus, Nak, Ibu mau lihat bagaimana nanti tanggapan dari mertua dan suamimu saat tahu kamu sudah memiliki rumah itu. Biar mereka semakin kepanasan dan bila perlu jadi darah tinggi sekalian. Emosi Ibu melihat tingkah mereka yang sangat angkuh itu." ucap Bu Wati kesal.Keesokan harinya, aku segera berkemas untuk pindah ke rumahku kembali. Rasanya sangat lega, bisa kembali lagi ke rumah tersebut.Melihat kehadiranku kembali di rumahku, Bu Rohaya langsung datang bertam
Hari masih amat pagi, ketika Bu Rohaya datang ke rumah. Aku pun langsung membuka pintu dan mempersilakan dia untuk duduk. Wajah beliau terlihat sangat sumringah. Aku yakin, pasti ada kabar gembira untukku di pagi ini. "Maaf, Nak, kalau Ibu datangnya terlalu pagi. Apa ini tidak menggangu bayimu yang lagi tertidur?" tanya Bu Rohaya dengan suara perlahan. Aku tersenyum. "Tentu saja tidak, Bu. Ya ampun, kenapa Ibu sampai berpikiran seperti itu? Kayak saya ini orang lain saja." ucapku dan wanita paruh baya itu pun tersenyum. "Begini, Nak Dewi, Ibu mau mengantar buku sertifikat ini. Segala urusan mengenai penjual belian, dan tanda tangan serah terima pun sudah dilakukan oleh teman Ibu yaitu Bu Evi di kantor desa kemarin. Yang menjadi permasalahannya, besok, Bu Evi mau ikut suaminya yang bertugas di pedalaman. Menurut saran beliau, baiknya, pagi ini juga Nak Dewi harus mengurus surat jual beli lagi di kantor desa atas nama Bu Evi sebagai pihak pertama atau penjual dan Nak Dewi sendiri
"Nak Dewi, Ibu sudah mencaritahu seperti permintaan Nak Dewi. Memang betul, suamimu mau jual rumah itu. Dan teman yang Ibu minta tolong pun sudah membantu. Ia langsung menawar harga rumah itu sekaligus sama tanahnya." Bu Rohaya menyampaikan hasil investigasinya padaku. Aku tersenyum senang, sebentar lagi, rumah itu akan sah menjadi milikku. "Kira- kira harganya berapa, Bu kalau boleh saya tahu?" tanyaku antusias. Mudah mudahan harganya tak terlalu mahal, cukup dengan isi kantongku saja. "Tujuh puluh juta, Nak. Itu sudah sekalian sama tanahnya." sahut Bu Rohaya. "Wah, tujuh puluh juta? Mahal sekali ya, Bu? Apa tidak bisa dikurangi lagi, Bu? Tolong Ibu bilang ke temen Ibu untuk menawar lagi, siapa tahu bisa dinegosiasi, nanti aku kasih komisi." ujarku terus terang. Sebenarnya aku bisa saja membeli dengan harga seperti itu. Masih terjangkau sesuai dengan isi kantongku. Menurutku memang sudah pas atau bahkan sangat murah jual rumah lapis tanah sekalian hanya dengan harga sepert
Entah betul atau tidak, dari jauh aku seperti melihat Mas Hearfy dan Mbak Sandra. Keduanya berjalan bergandengan sambil berpelukan mesra. Untuk memperjelas pandanganku, aku pun segera memicingkan mataku. Ternyata benar yang kulihat, Itu mereka. Keduanya seperti sedang....***Tak menyangkah aku dengan diriku sendiri, ternyata walau hanya seorang Ibu rumah tangga biasa, aku bisa memperoleh penghasilan yang lumayan besar seperti ini. Dengan uang yang ku peroleh ini, aku ingin membahagiakan diriku sendiri dan juga Putra semata wayangku.Setelah selesai menghitung uang, dan menaruhnya di tempat yang aman, baru aku ke dapur membuat susu untuk anakku. Aku Tahu, uang yang aku peroleh saat ini, tak lain adalah rejeki putra kecilku. "Mimi dulu, Yang. Mimi yang banyak biar cepat besar. Nanti kalau udah besar, sekolah yang rajin ya, Nak, biar jadi orang sukses." Aku menggendong bayiku dan mulai memberikan dia susu. yah, semenjak aku kekurangan makanan hingga berimbas pada asi yang ta
Wanita yang melayaniku terlihat kaget mendengar penuturan ku. Dengan mulut menganga dan bola mata yang membeliak lebar, ia menatapku tak berkedip, ia seolah tak percaya dengan pendengarannya sendiri. "Sepuluh ribu dolar? Emang Ibu kerja apaan sih hingga mempunyai uang dolar sebanyak itu?"Mungkin ia tak menyangkah kalau perempuan yang sepertiku, berambut cepol, sambil menggendong anak dengan dandanan seadanya, memakai sendal jepit, bisa menghasilkan ribuan dolar.***Pagi - Pagi benar aku sudah membereskan rumah serta memasak karena sekitar jam delapan nanti aku hendak pergi ke kantor BRI terdekat. Bu Wati yang merasa heran dengan kegiatan yang kulakukan yang tak seperti biasanya di setiap hari, mendatangi rumah dan menanyakan padaku apa ada acara hari ini, sehingga pagi -pagi sekali aku sudah sangat sibuk di dapur. "Iya, Nak Dewi, Ibu kira Nak Dewi mau adakan acara hari ini, makanya Ibu merasa heran. Tadi Bapak juga sempat menanyakan dan menyuruh Ibu mencaritahu sendiri ke si