"Mau apa kamu mendekatiku, hah?! Apa kamu mau gampar aku, Mas, Jawab!" ku bentak Mas Hearfy ketika aku melihat ia maju mendekatiku.
Mas Hearfy tak bicara, ia diam dan terus berjalan mendekat hingga tiba di sampingku. Sedang posisi badannya langsung menyerempet di lenganku. Kurang ajar! Emangnya dia pikir dia siapa? Berani dia memperlakukanku seenak jidatnya. Kulihat ia mengambil bayi dari tempat tidur padahal aku sedang membersihkan pub nya. "Cuma bersihin pub si kecil aja dibilang repot. Nih, yang model begini nih istri - istri jaman sekarang. Pegang hape berjam - jam saja betah. Eh, giliran melakukan pekerjaan rumah, mengurus bayi malah dibilang repot dan kecapekan." Mas Hearfy terus uring - iringan. Akan tetapi, tangannya juga kulihat dengan gesit membersihkan pub dan membasuh bayi ku pakai tisu basah. Setelah itu, ia kemudian melanjutkan dengan mengenakan pakaian bayi tanpa ada kendala atau rasa takut sepertiku. Aku jadi heran sendiri, kalau seandainya ia sangat lincah mengurus bayi seperti ini, kenapa ia membiarkan aku mengurus bayi kami sendiri? Apa ia hanya mengetes ku dan mau lihat apa aku mampu mengurus bayi atu tidak? Sulit dijelaskan dengan kata - kata mengenai sikapnya yang keterlaluan tersebut. "Lihat apa lagi? Ayo ke dapur bikin kan kopi untukku beserta sarapan sekalian. Orang bekerja tuh pakai tangan biar cepat selesai, jangan pakai mulut atau pakai hati. Dikit -dikit emosi, dikit -dikit mengeluh. Yang namanya perempuan ya kodratnya ya itu saja. Melayani suami, hamil, melahirkan, mengurus rumah tangga bukan cuma cari enaknya saja." ucapnya sembari menggendong bayi dan membawanya ke ruang tamu. Ya ampun! Apa dia pikir tugas seorang perempuan segampang itu? Hamil dan melahirkan ia kira suatu hal yang gampang? Sehingga seenak jidatnya ia meracau. "Mas, seandainya kalau kamu mengalami hal yang sama seperti aku, tentu kamu tidak akan berani bicara seenak jidatmu." ucapku dalam hati. I gin keluarkan semua uneg dalam hatiku, Akan tetapi aku tak mau merusak kesempatan langkah seperti ini. kapan lagi ia bisa membantuku mengurus bayi kami? "Mas, seandainya kalau aku tahu kamu pandai dan lincah dalam merawat bayi, tentu aku pasti memintamu untuk membantuku agar aku tak repot seperti kemarin- kemarin, Mas. Akan tetapi, kamu malah hanya menontonku tak mau membantuku sedikit pun. Sebenarnya apa maksud dari semua itu?" Akhirnya sebuah pujian pun terucap dari bibirku. Agar ia tahu kalau aku memang membutuhkan bantuannya dalam merawat bayi tercinta kami. Ia tak menyahut sedikit pun ucapanku. Ia malah kembali menyuruhku untuk membuatkan dia kopi dan sarapan pagi. "Jangan banyak bacot. Ini bukan waktunya untuk main drama- drama an. Sudah aku bantuin mengurus anak bukannya cepat ke dapur, ini malah masih terus mengomel." suruhnya. Aku hanya bisa mengelus dada mendengar ucapannya yang menusuk hati itu tanpa mampu menjawab sepatah pun . Tapi lumayanlah, ia sudah mau menggendong bayiku daripada tidak sama sekali. Setidaknya bayiku pasti sudah merasakan kalau ayahnya masih hidup, makanya masih bisa mendekapnya. Sebelum ke dapur aku pun sempat menanyakan padanya, apa dia mau kopi yang pahit atau yang manis. Mumpung dia lagi baik seperti itu, aku ingin membuat dia senang saat menikmati kopi buatanku tidak lagi komplain seperti kemarin- kemarin. "Mas, mau ku buatkan kopi yang pahit atau yang manis?" tanyaku. "Yang manis, masa mau buatkan aku kopi pahit. Emang kamu tega ya membuat hidupku pahit secara terus menerus. Punya istri aja aku kayak nggak punya. Tidur saja sendirian terus, sepi sunyi sudah dua bulan ini. Kamu mana ada kasih kesempatan buat aku. Temani aku tidur, Kek, ini malah ngurus bayi terus." omelnya panjang kali lebar sepanjang rel kereta api. Aku hanya mendengus kesal. Lagi dan lagi. Hanya itu- itu terus bahan pembicaraannya. Hanya seputar melayani di atas kasur. Daripada aku pusing mendengar omongannya yang nyerempet mau minta jatah, aku pun dengan cepat pergi ke dapur untuk membuatkan dia kopi dan sarapan pagi berupa Nasi goreng dan telur dadar. Memang sengaja kubuat menu sarapan yang simpel, biar kalau bayiku menangis aku tinggal menggendongnya saja tidak pusing lagi dengan masak memasak. Namun, betapa kagetnya aku ketika semua makanan dihidangkan di atas meja, seketika aku merasakan kalau tubuhku dipeluk dari belakang. Aku tahu ini pasti ulah Mas Hearfy. Dia pasti mau apa- apakan aku dilihat dari gelagatnya yang sangat aneh seperti ini. "Mau apa kamu, Mas, tadi katanya lapar." ucapku sembari berusaha melepaskan pelukan tangannya di pinggangku. "Aku bukan lapar yang ini, Sayang, aku ingin. makan kamu." ucapnya sembari mengendus di pangkal telingaku. Secepat kilat aku mendorong wajahnya ke belakang. Bulu kudukku seketika meremang mendengar kalimatnya yang ingin' memakan ku'. Ya ampun, apa gara- gara aku tidak melayaninya makanya ia secepat itu berubah jadi Zombie pemakan manusia itu? Ih, amit amit. Jangan sampai deh. Semakin aku mendorong wajahnya, malah tangannya semakin kuat memeluk pinggangku. "Mas, lepaskan tanganmu, Mas. Memangnya kamu mau ngapain? Terus anak kita sekarang di mana, Mas? Apa kamu sengaja meninggalkan dia di kamar sendirian?" teriakku panik karena melihat tak ada bayiku di tangannya. "Sst, diam! Jangan berisik kenapa sih?! Anak kita sudah tidur dan aku sudah menidurkannya di kamar. Kita ikut ke kamar, yuk. Aku sudah nggak tahan, nih." ucapnya dengan suara yang mendesah di telingaku sambil tangannya memeluk pinggangku. Sembari menarik tanganku ia pun kembali berbisik di telingaku. "Ayo ke kamar, yuk, cepatan! Nanti keburu bayi kita bangun." ucapnya dengan suara yang semakin berat. Ya ampun. Baru kusadari, ternyata kebaikannya tadi adalah hanya topeng belaka untuk menutupi keinginannya yang sebenarnya. Ia ternyata hanya berpura - pura saja para aku dan bayiku. Mungkin pikirnya, kalau ia membantuku mengurus bayi aku pasti mau melayaninya. Dasar buaya! "Mas, lepaskan tanganmu, Mas. Kenapa sih kamu masih memaksaku juga? Bukan kah aku sudah bilang, Mas, kalau keadaanku belum pulih, badanku belum fit, lukaku juga belum sembuh. Kenapa kamu tak pernah mau mengerti? Apa kamu memang sengaja ingin menyakitiku?!" Kudorong kuat tubuhnya hingga ia hampir terjatuh. Beruntung ia adalah lelaki yang kuat karena badannya yang atletis. Berani kondisi tubuhnya yang melempem, aku pastikan ia pasti jatuh terjengkang menimpa tanah. "Dasar istri durhaka kamu, Dewi! Berani - beraninya main kasar sama suami. Ingat kamu! surganya istri tuh ada di suami karena posisi suami itu sebagai kepala rumah tangga. Jadi apa pun keinginan suami kamu harus memenuhinya karena itu hukumnya wajib. Bukan main dorong seenak jidatmu begini." Ia memarahiku habis - habisan, tapi persetan lah. Dari Pada ia terus melakukan pemaksaan terhadapku. Aku tak memperdulikan ia yang masih uring -uringan di dapur. Cepat aku berlari masuk ke kamar dan menutup pintu dari dalam dengan keras. "Ya Tuhan, ke mana Mas Hearfy yang dulu yang lembut dan penuh kasih sayang ke padaku? ke mana lelaki yang dulu kucintai karena sifatnya yang penuh perhatian padaku? Aku kini hampir tak mengenal dia sama sekali." perlahan kuusap bulir bening yang tiba tiba mengalir di pipiku. Terdengar benda- benda dari ruang tamu yang jatuh bertumpang tindih memperdengarkan bunyi gaduh di pagi hari. Aku tahu, pasti ia sengaja menjungkirbalikkan semua kursi meja untuk melampiaskan amarahnya. Aku pun membuka pintu perlahan sekedar untuk mengintip perbuatannya. Kulihat ia duduk terpaku di sudut rumah sambil meremas rambutnya kasar. Apakah ia frustrasi karena aku tidak menuruti keinginannya? Kenapa ia tak mencoba untuk bersabar sedikit lagi, hanya dua bulan lagi, dan itu bukanlah waktu yang lama. Aku hanya ingin kondisiku pulih lalu mengikuti program keluarga berencana atau KB baru aku melakukan tugasku sebagai seorang istri tulen pada umumnya. "Ah! Dasar istri payah! Sudah habis kesabaranku menghadapi sikapnya yang acuh padaku. Mulai sekarang aku akan mencari kebahagiaanku sendiri. Percuma hidup serumah dengan istri tapi tak bisa memenuhi kebutuhan suami!" Kudengar ia mengomel dari arah dapur. Diam diam, ku intip dari dalam kamar karena kudengar langkah yang menuju ke arah ruang tamu. Kelihatannya ia membuka pintu depan dan sambil mengancamku, ia membanting pintu dengan keras hingga menimbulkan bunyi yang menggema. "Dasar istri durhaka! Diceraikan baru tahu rasa!" Ku usap dadaku perlahan, menghela napas panjang dan mencoba untuk menetralisir suasana hati yang mulai memanas di dalam sana. "Ya Tuhan, apakah ini yang namanya ujian dalam rumah tangga yang masih seumur jagung ini? Apakah aku sanggup menjalaninya, kalau dia terus- terusan bersikap tak perduli dan kasar seperti itu?" Selang dua jam kemudian, ia datang dengan muka yang merah padam. Tak menegurku atau sekedar menyapa bayi dalam gendonganku. Ia langsung menuju ke kamar. Tidak lama kemudian ia ke luar dengan membawa sebuah tas besar.Aku hanya menggelengkan kepala tak percaya, hanya karena masalah ranjang ia sampai semarah itu padaku. "Mau ke mana kamu, Mas?! Apa karena masalah sepeleh itu kamu mau pergi dari rumah?!" tanyaku sembari berdiri di pintu kamar mencegat Mas Hearfy yang sedang menyeret tas pakaiannya untuk ke luar. Memalukan! Hanya gara - gara masalah urusan ranjang ia sampai kabur ke rumah orangtuanya seperti itu. Dia berdiri di hadapanku dengan wajah yang memerah dan memarahiku. "Apa kamu bilang?! Apa kamu kira itu masalah yang sepeleh, hah?! Urusan ranjang kamu kira masalah Sepeleh?! Sepeleh buat kamu karena kamu egois!" Bentaknya kasar. Aku terhenyak. Gara -gara urusan ranjangnya yang tidak terpenuhi, ia sampai tega membentakku dengan kasar seperti itu. "Jadi, maksudnya kamu pergi meninggalkan aku dan anak kita hanya karena aku tidak memenuhi kebutuhan batinmu, begitu, Mas? ya ampun, Mas, kamu nyadar nggak sih kalau aku baru habis melahirkan sebulan yang lalu? Kamu tega, Mas, aku ngga
"Bagaimana, Mas? Apa kamu puas dengan pelayananku semalam? Aku tahu kamu puas karena kamu sudah lama dianggurin oleh istrimu itu." Sebuah chat masuk di ponselku. Aku heran, kok bisa ada kalimat seperti itu yang terkirim di ponselku? Apa ini sebuah Chat nyasar? tapi mana mungkin? tidak lama kemudian, muncul juga sebuah gambar, sepasang manusia tidak tahu malu sambil berpelukan mesra dengan pakaian yang tidak sopan. Lekas aku mematikan ponselku karena emosiku yang yang tak terbendung. Dan ketika aku menghidupkan kembali ponselku, sebuah foto profil dengan gambar yang sama terpampang jelas di beranda fbku. "Kejam kamu, Mas, kejam! Baru sehari kabur dari rumah, ternyata main mu sudah sejauh itu." ucapku dengan hati yang hancur. Sungguh hatiku hancur melihat gambar yang diunggah di akun suamiku di Facebook itu. Apa dia ingin membuat aku cemburu atau bagaimana hingga ia tega mengunggah gambar yang menunjukan kedekatan ia dengan kakak ipar. 'Ya, ampun, M
Aneh sekali suamiku ini. Berani beraninya dia bilang itu hanya salah paham saja. Seandainya kalau aku tak mendengar sendiri pembicaraan mereka mungkin saja aku langsung percaya pada wajahnya yang munafik itu. "Sudah, Dek, kamu hanya salah paham saja. Ini tidak seperti yang kau pikirkan. Maafkan aku ya, Dek, telah membuat kamu marah seperti ini." ucap Mas Hearfy dengan suara yang sangat lembut. Emang dia pikir aku tuli hingga tidak mendengar semua pembicaraan mereka tadi? huh dasar lelaki munafik! Baiklah, aku akan ikuti permainanmu yang licik ini. Aku akan lihat sendiri sampai di mana kamu bisa membohongiku. "Iya, Nak Dewi, suamimu memang benar tuh, kamu hanya salah paham saja. Mana ada kami berani berbicara jelek tentang kamu. Kamu kan menantu terbaik yang sudah memberikan Ibu seorang cucu." Timpal Ibu mertua dengan tersenyum padaku. Senyum yang dibuat- buat kurasa karena hatinya yang tidak menyukaiku. "Betul, Dek Dewi. Maaf, Mbak juga merasa bersal
"Cepat, Mas, yang kencang dong biar agak enak. Iya, Mas, gitu dong, ah, ini baru enak." terdengar suara Mbak Sandra yang mendesah desah dari arah dapur. Menjijikan. Mereka lagi buat apa sih di sana? Gegas aku mengintip di celah pintu yang terbuka yang mungkin sengaja tidak di tutup okeh mereka. Ya Ampun! Keduanya sedang... *** "Maaf, Dik Dewi, boleh kah malam ini saya nginap di sini? Saya Jenuh di rumah sendirian." tanya Mbak Sandra padaku saat kami berdua duduk di teras. Heran aku, bisa - bisanya dia bilang di rumah cuma sendiri, pada hal kan dia saat ini tinggal bersama dengan kedua mertuaku. Karena terlalu emosi dengan sikapnya yang suka berbohong, aku pun segera menegurnya. "Kok bisa sendiri, Mbak, terus Ibu mertua ke mana? Apa mereka Nggak ada di rumah?" Wajahnya Mbak Sandra seketika memerah, ketahuan kan kalau dia mau berbohong padaku. Dasar wanita ikat buluh! "Ada sih, Dek, tapi mereka sering ngobrol sendiri, sedang aku nya di kamar se
Dan satu lagi, kenapa ia berpakaian begitu seksi? Dress pendek ketat sebatas paha dengan leher yang sangat rendah sehingga memperlihatkan gundukan di dadanya. Apa ia sengaja mau menggoda suamiku? *** "Dek, ayo makan, aku sudah menyiapkan semua hidangan untuk makan malam di meja makan." panggil Mbak Sandra dari luar di depan pintu kamarku. Gegas aku ke luar dan mendapati Mbak Sandra yang sudah dalam keadaan segar bugar. ia seperti baru selesai mandi keramas terlihat dari rambut panjangnya yang basah tergerai sehingga membasahi mini dress yang dikenakannya. Aku jadi sangat heran, kok bisa dia mandi keramas pada hal cuacanya saat ini sangat dingin karena barusan diguyur hujan lebat. Di tengah malam seperti ini lagi? Apa dia nggak kedinginan? karena terlalu merasa curiga, aku pun langsung menanyakan padanya. "Mbak mandi keramas? Aneh, pada hal cuacanya sangat dingin karena baru saja diguyur hujan lebat tadi. Apa Mbak nggak merasa kedinginan?"tanyaku
"Eh, Mbak Sandra, kenapa wajahmu pucat begini?" tanyaku sembari melirik ke arah Mas Hearfy. Aku hanya tersenyum saat memandang wajah keduanya yang pucat pasi karena semalaman kurang tidur. Rasakan! Itulah kalau mau bermain main denganku.! *** Baguslah, keduanya masih berada di ruang makan. Mungkin betah berlama lama berdua. Dasar manusia tukang selingkuh, suka ambil kesempatan dalam kesempitan. Tak mau berlama- lama, aku gegas menuju ke kamar, mengambil obat pencahar dan ku pencet sedikit ke gelas lalu mengaduk dengan cepat, setelah itu ku tuang air itu ke galon, kebetulan air galonnya tinggal sedikit, pas lah bila dicampur sama obat ini, nanti sisanya bisa ku buang besok pagi. Tak lupa, aku memisahkan sedikit air untukku bawa ke kamar biar bisa diminum nanti kalau sedang haus tengah malam. "Belum selesai acara makannya, Mbak, Mas?" tanyaku sambil memperhatikan tingkah keduanya yang gelagapan. "Sudah, Dek, ini juga mau habis." sahut Mbak Sandra sambil menunjukan isi di piring
Kulihat Mbak Sandra sudah bertukar pakaian. Yang lebih mengejutkan, dia mengenakan celana kolor dan baju kaus kepunyaan Mas Hearfy suamiku. Dasar perempuan gak punya malu! *** "Kok pulang lagi? nggak jadi ke butik? Tadi katanya mau ke sana." cecar ku ketika melihat keduanya baru turun dari motor. Baik Mas Hearfy atau pun Mbak Sandra tak ada yang menjawab pertanyaanku, keduanya berjalan tergesa hampir seperti berlari. Karena penasaran, aku pun akhirnya ikut juga keduanya ke dalam rumah. Oh, ternyata keduanya menuju ke toilet. Apakah keduanya buang air lagi? "Mbak Sandra sakit perut lagi? Ya ampun, itu pasti akibat mengonsumsi makanan yang terlalu asin semalam yang membuat kalian jadi seperti itu. Beruntung deh, aku tak memakannya jadi selamatlah aku dari makanan pembawa maut itu." ujarku sembari melihat Mbak San yang sedang mengurut perutnya sendiri. Tiba - tiba aku mendengar ada bunyi yang ke luar dari tubuh Mbak San, baunya sangat mengganggu indra penciuman. Tdak lam
"Oh...ah...Mas, enak, kapan kamu menceraikan istrimu itu, Mas? Aku nggak kuat kalau terus sembunyi- sembunyi seperti ini. Nggak bebas. oh..." Terdengar suara perempuan yang merengek diantara suara desahan dan rintihan. Itu kan suara... *** "Bagaimana? Apa Dek Dewi mau meminta bantuan dari tetangga untuk mengusir kakak iparmu itu? Nanti kalau mau kabarin saya biar saya yang mengumpulkan warga untuk menggerebek mereka berdua." Suara Ibu Rohaya terngiang - ngiang di telingaku. Ah, apa aku akan melakukan tindakan yang dikatakan oleh Bu Rohaya tadi? Tapi ini juga sekaligus akan menghancurkan rumah tanggaku sendiri karena mungkin itulah tujuan utama Mbak Sandra nginap di rumahku dan melakukan tindakan tindakan yang menantang yaitu ingin menghancurkan rumah tanggaku. Ah, tidak! Aku harus mencari cara sendiri untuk mengusir Mbak Sandra. Dia ini tipe wanita yang tidak mempan dengan ucapan yang kasar. Bayangkan saja, disaat aku mengusirnya saja dia malah anteng mengan
Apakah dia sangat menyayangi putraku? Kalau benar iya, aku merasa sangat bersyukur dan beruntung dipertemukan dengan nya dan bisa bersahabat dengannya...***"Kurang ajar! beraninya kamu berjaya begitu padaku. Dasar wanita miskin tak tahu diri. Muak aku sama kamu." Sandra kulihat melangkah kakinya untuk mengejar ku yang sudah mulai turun dari atas tempat pengantin, tapi nas, mungkin karena ia menginjak gaunnya sendiri, makanya ia langsung terjatuh hingga terdengar bunyi gedebuk dari arah belakangku. Aku segera menengok ke belakang, dan juga semua turut berdiri dan mendekat ke arah pengantin wanita yang terjatuh hingga gaun putih panjangnya belepotan debu dan tanah yang menimbulkan warna lain di gaunnya. "Mas, cepatan tarik aku dong, Mas, aku nggak bisa berdiri nih " seru Mbak Sandra. Bagaimana dia mau berdiri? sementara gaun panjangnya tertindih kakinya sendiri. Walau pun mendengar teriakan minta tolong dari Mbak Sandra, akan tetapi baik para tamu undangan atau pun kedua mertua
Akhirnya, pernikahan antara Hearfy dan Sandra pun dilaksanakan juga, walau pada dasarnya ia belum menceraikan Dewi secara sah. Pernikahan itu digelar sangat meriah, hanya lebih meriah pernikahan pertamanya dengan Dewi dulu saat ayahnya masih menjabat sebagai kepala desa di kampung itu. Akan tetapi, bagi ukuran warga desa itu, pernikahan keduanya ini pun tergolong sangat mewah dan meriah, ketimbang para warga lain yang hanya mengadakan resepsi kecil kecilan atau istilahnya ramah tamah sederhana. Dan seperti yang dikatakan Sandra, ia memang mengundang Dewi mantan istri Hearfy untuk menghadiri acara syukuran pernikahan itu. Dilihatnya kiri kanan, semua manusia yang berjubel memadati halaman rumahnya, tapi ia tak melihat Dewi ada di situ. "Kurang ajar! Berani benar dia nggak menghargai undangan ku. Sudah miskin tapi belagu. Awas dia!" ia menggerutu sendiri. Hearfy yang berdiri di sebelahnya pun menasihati agar jangan uring uringan di depan tamu, takutnya ada yang berpikiran yang buk
"Mas, usir mantan istrimu itu, Mas, aku tidak suka mereka tinggal di situ.""Iya, sayang, nanti aku akan mengusir mereka." sahut Hearfy lirih. "Mas, nggak benar kan, apa yang mantan istrimu itu katakan, kalau rumah itu miliknya? Soalnya aku kepikiran terus tentang perkataannya itu.""Ya enggaklah sayang. Rumah dia dari mana? Itu rumah yang dibangun oleh Ayah untukku, bukan untuk dia. Jadi tenang saja besok atau lusa aku pastikan akan mengusir mereka."; Sahut Hearfy menipu calon istrinya tersebut. Sandra yang tidak tahu menahu masalah penjual belian tanah itu percaya saja akan ucapan Hearfy.Ia bangga akan dirinya yang bisa merebut Hearfy dari Dewi istrinya untuk menjadi suaminya."Ternyata usahaku nggak sia sia. Mas Hearfy sudah masuk dalam jebakan perangkap cintaku. Tak sia sia aku selalu menyenangkan hatinya dengan tubuhku, melayani kebutuhan batinnya selama istrinya mengandung dan melahirkan. Sebentar lagi aku nggak usah sembunyi sembunyi lagi bermesraan di depan orang karena
"Aduh, uang sebanyak ini mau kuapakan ya? Aku ingin membuka usaha saja atau bagaimana? Tapi kalau aku buka usaha, aku khawatir semua orang akan curiga padaku. Mereka pasti bertanya tanya, dari mana aku bisa mendapatkan modal sebanyak itu? Secara aku hanya seorang wanita rumahan dan Ibu rumah tangga pula. Pasti mereka akan mencurigai yang bukan bukan padaku nanti. Ah, lebih baik aku jangan gegabah. Aku tahu g saja dulu yang itu. nanti setelah waktunya tepat, barulah aku akan membuka usaha." Aku membatin sendiri. Akhirnya setelah berpikir cukup lama, aku pun mengambil sebuah keputusan, untuk menabung saja dulu. Kalau waktunya sudah tepat, barulah aku akan membuka usaha, apa pun itu. Semenjak aku sudah memperoleh penghasilan sendiri, kebutuhan aku dan anakku pun semua tercukupi. Aku bisa membelikan di kereta bayi. Yang mana kereta ini sangat bermanfaat untukku. Aku bisa nendudukan anakku di situ, di saat aku melakukan kegiatan harianku yaitu menulis novel. Seperti hati ini, kare
"Mbak Sandra, Mbak Sandra, aku tuh bukan seperti kamu, pura pura minta tolong, tapi ternyata mau bermain lato lato dengan suami orang. jaga saja suami Mbak, jangan sampai ..."***Akhirnya pada sore harinya, aku pergi ke rumah Bu Wati untuk berpamitan pada beliau kalau keesokan harinya aku akan kembali ke rumahku.Pada awalnya beliau terheran heran mendengar ucapanku, tapi setelah ku jelaskan bahwa aku telah membeli rumah itu dengan bantuan orangtuaku, beliau pun akhirnya mengangguk setuju."Ah, kalau begitu malah bagus, Nak, Ibu mau lihat bagaimana nanti tanggapan dari mertua dan suamimu saat tahu kamu sudah memiliki rumah itu. Biar mereka semakin kepanasan dan bila perlu jadi darah tinggi sekalian. Emosi Ibu melihat tingkah mereka yang sangat angkuh itu." ucap Bu Wati kesal.Keesokan harinya, aku segera berkemas untuk pindah ke rumahku kembali. Rasanya sangat lega, bisa kembali lagi ke rumah tersebut.Melihat kehadiranku kembali di rumahku, Bu Rohaya langsung datang bertam
Hari masih amat pagi, ketika Bu Rohaya datang ke rumah. Aku pun langsung membuka pintu dan mempersilakan dia untuk duduk. Wajah beliau terlihat sangat sumringah. Aku yakin, pasti ada kabar gembira untukku di pagi ini. "Maaf, Nak, kalau Ibu datangnya terlalu pagi. Apa ini tidak menggangu bayimu yang lagi tertidur?" tanya Bu Rohaya dengan suara perlahan. Aku tersenyum. "Tentu saja tidak, Bu. Ya ampun, kenapa Ibu sampai berpikiran seperti itu? Kayak saya ini orang lain saja." ucapku dan wanita paruh baya itu pun tersenyum. "Begini, Nak Dewi, Ibu mau mengantar buku sertifikat ini. Segala urusan mengenai penjual belian, dan tanda tangan serah terima pun sudah dilakukan oleh teman Ibu yaitu Bu Evi di kantor desa kemarin. Yang menjadi permasalahannya, besok, Bu Evi mau ikut suaminya yang bertugas di pedalaman. Menurut saran beliau, baiknya, pagi ini juga Nak Dewi harus mengurus surat jual beli lagi di kantor desa atas nama Bu Evi sebagai pihak pertama atau penjual dan Nak Dewi sendiri
"Nak Dewi, Ibu sudah mencaritahu seperti permintaan Nak Dewi. Memang betul, suamimu mau jual rumah itu. Dan teman yang Ibu minta tolong pun sudah membantu. Ia langsung menawar harga rumah itu sekaligus sama tanahnya." Bu Rohaya menyampaikan hasil investigasinya padaku. Aku tersenyum senang, sebentar lagi, rumah itu akan sah menjadi milikku. "Kira- kira harganya berapa, Bu kalau boleh saya tahu?" tanyaku antusias. Mudah mudahan harganya tak terlalu mahal, cukup dengan isi kantongku saja. "Tujuh puluh juta, Nak. Itu sudah sekalian sama tanahnya." sahut Bu Rohaya. "Wah, tujuh puluh juta? Mahal sekali ya, Bu? Apa tidak bisa dikurangi lagi, Bu? Tolong Ibu bilang ke temen Ibu untuk menawar lagi, siapa tahu bisa dinegosiasi, nanti aku kasih komisi." ujarku terus terang. Sebenarnya aku bisa saja membeli dengan harga seperti itu. Masih terjangkau sesuai dengan isi kantongku. Menurutku memang sudah pas atau bahkan sangat murah jual rumah lapis tanah sekalian hanya dengan harga sepert
Entah betul atau tidak, dari jauh aku seperti melihat Mas Hearfy dan Mbak Sandra. Keduanya berjalan bergandengan sambil berpelukan mesra. Untuk memperjelas pandanganku, aku pun segera memicingkan mataku. Ternyata benar yang kulihat, Itu mereka. Keduanya seperti sedang....***Tak menyangkah aku dengan diriku sendiri, ternyata walau hanya seorang Ibu rumah tangga biasa, aku bisa memperoleh penghasilan yang lumayan besar seperti ini. Dengan uang yang ku peroleh ini, aku ingin membahagiakan diriku sendiri dan juga Putra semata wayangku.Setelah selesai menghitung uang, dan menaruhnya di tempat yang aman, baru aku ke dapur membuat susu untuk anakku. Aku Tahu, uang yang aku peroleh saat ini, tak lain adalah rejeki putra kecilku. "Mimi dulu, Yang. Mimi yang banyak biar cepat besar. Nanti kalau udah besar, sekolah yang rajin ya, Nak, biar jadi orang sukses." Aku menggendong bayiku dan mulai memberikan dia susu. yah, semenjak aku kekurangan makanan hingga berimbas pada asi yang ta
Wanita yang melayaniku terlihat kaget mendengar penuturan ku. Dengan mulut menganga dan bola mata yang membeliak lebar, ia menatapku tak berkedip, ia seolah tak percaya dengan pendengarannya sendiri. "Sepuluh ribu dolar? Emang Ibu kerja apaan sih hingga mempunyai uang dolar sebanyak itu?"Mungkin ia tak menyangkah kalau perempuan yang sepertiku, berambut cepol, sambil menggendong anak dengan dandanan seadanya, memakai sendal jepit, bisa menghasilkan ribuan dolar.***Pagi - Pagi benar aku sudah membereskan rumah serta memasak karena sekitar jam delapan nanti aku hendak pergi ke kantor BRI terdekat. Bu Wati yang merasa heran dengan kegiatan yang kulakukan yang tak seperti biasanya di setiap hari, mendatangi rumah dan menanyakan padaku apa ada acara hari ini, sehingga pagi -pagi sekali aku sudah sangat sibuk di dapur. "Iya, Nak Dewi, Ibu kira Nak Dewi mau adakan acara hari ini, makanya Ibu merasa heran. Tadi Bapak juga sempat menanyakan dan menyuruh Ibu mencaritahu sendiri ke si