Aku hanya menggelengkan kepala tak percaya, hanya karena masalah ranjang ia sampai semarah itu padaku.
"Mau ke mana kamu, Mas?! Apa karena masalah sepeleh itu kamu mau pergi dari rumah?!" tanyaku sembari berdiri di pintu kamar mencegat Mas Hearfy yang sedang menyeret tas pakaiannya untuk ke luar. Memalukan! Hanya gara - gara masalah urusan ranjang ia sampai kabur ke rumah orangtuanya seperti itu. Dia berdiri di hadapanku dengan wajah yang memerah dan memarahiku. "Apa kamu bilang?! Apa kamu kira itu masalah yang sepeleh, hah?! Urusan ranjang kamu kira masalah Sepeleh?! Sepeleh buat kamu karena kamu egois!" Bentaknya kasar. Aku terhenyak. Gara -gara urusan ranjangnya yang tidak terpenuhi, ia sampai tega membentakku dengan kasar seperti itu. "Jadi, maksudnya kamu pergi meninggalkan aku dan anak kita hanya karena aku tidak memenuhi kebutuhan batinmu, begitu, Mas? ya ampun, Mas, kamu nyadar nggak sih kalau aku baru habis melahirkan sebulan yang lalu? Kamu tega, Mas, aku nggak ngerti kenapa kamu bisa seperti itu." ucapku dengan penuh emosi. Tanpa terasa bulir bening yang sedari tadi menggantung di pelupuk mata kini turun dengan derasnya tanpa mampu ku cegah. Seharusnya saat ini aku sedang di manja dan di sayang karena sudah memberikan dia seorang bayi lelaki yang tampan. Akan tetapi kini kami malah adu emosi menge ai urusan ranjang. Dia malah memaksaku untuk memenuhi kebutuhan batinnya. Aku tak percaya kalau dia jadi sekejam itu kepadaku. Melihatku dengan wajah yang bersimbah air mata, lelaki itu bukannya sadar dia malah semakin meradang. "Keluarkan terus air mata buaya mu! Emang kamu pikir dengan begitu aku akan memaafkan kamu?! Kamu yang sudah membuat aku tak betah di rumah. Minggir kamu dari situ.! Aku mau pergi dari rumah yang sudah tak memberikan kenyamanan buat aku ini." Ia mendorong tubuhku hingga punggungku membentur pintu dengan keras. Seketika bayi dalam gendonganku yang sedang terlelap pun ikut terguncang badannya dan membuat ia bangun dan menjerit seketika. Tak ku pedulikan punggungku yang sakit, segera aku mendiamkan bayiku yang menangis kencang sembari terus meminta padanya untuk tidak melakukan tindakan gila itu. Demi bayiku aku tetap berusaha untuk menahannya agar dia jangan pergi dari rumah. "Tunggu, Mas, maafkan aku, kumohon jangan tinggalkan aku dan anak kita, Mas. Aku janji, kalau sudah sembuh nanti aku pasti kasih tahu ke kamu." ucapku sembari memegang lengannya mencoba kembali menahannya agar tidak pergi dari rumah meninggalkan aku dan bayiku yang masih kecil ini. Biar bagaimana pun, aku masih sangat membutuhkan dirinya untuk menolongku, menjaga bayi kami ketika aku hendak melakukan pekerjaan rumah. "Ah, alasan yang basi. Aku tahu kamu sudah sembuh, tapi kamu hanya mencoba menipuku pada hal yang sebenarnya kamu lebih nyaman keadaan seperti itu!" "Demi Tuhan, Mas, sungguh, tidak ada niatku untuk membohongi kamu ,Mas, Aku benar - benar belum pulih. Tolong pikirkan baik - baik keputusan itu, apa kamu tidak kasihan dengan anak kita anak yang berasal dari darah dagingmu sendiri?" ucapku lirih berharap ia mau mengerti keadaanku dan membatalkan niatnya untuk kabur. "Alah! Malas aku mendengar rengekan mu ini. Kamu terlalu jual mahal. Rasakan sendiri kalau tak ada suami itu bagaimana!" ucapnya sembari menarik tas yang berisi pakaian miliknya dan ke luar dari rumah dengan wajah yang penuh emosi. Karena kehabisan kata, aku pun membiarkan dia pergi, rasanya aku sudah tak sanggup lagi untuk bisa mencegahnya. Tak ada kalimat lagi yang bisa ku ucapkan untuk membuat dia bisa mengerti akan keadaanku yang sebenarnya kini. Ku Ikuti dia hingga ke depan pintu dan melihat ia menaruh tas pakaiannya ke atas jok motor. "Ingat! Jangan coba - coba untuk mencariku! karena kamu sudah tak membutuhkan kehadiranku lagi di sampingmu.!" ucapnya lalu melesat pergi meninggalkan rumah. Hatiku sakit karena merasa disia- siakan dan tak diperhatikan oleh suami sendiri di saat baru habis melahirkan seperti ini. Tapi apa dayaku, sebagai seorang perempuan yang masih sedikit mempunyai harga diri, aku tidak akan lagi mengemis dia untuk kembali padaku. Aku harus tetap kuat dan sabar. Demi bayiku, aku tidak boleh lemah. Apa pun yang akan terjadi, aku akan menghadapinya dengan senyuman yang ikhlas karena mungkin ini sudah jalan yang terbaik untukku. *** Seketika, kenangan masa lalu kembali terlintas di pelupuk mataku. Terbayang kembali awal perkenalan kami setahun yang lalu. Awalnya, aku yang baru datang dari kota tak mengenal siapa dia sebenarnya. Dia dengan senyumnya yang menawan yang sanggup menggetarkan hatiku, datang dengan senyuman lembutnya yang memikat. Saat itu, menurut pandanganku sekilas, "Dek, boleh kita berkenalan? Namaku Hearfy, kamu siapa?" Tanya waktu itu dengan suara dan tatapan yang cukup lembut menggetarkan jiwaku. " Dewanti Candrawati. Biasa dipanggil Dewi. balasku sembari menunduk. Kurasakan dadaku berdegup kencang. Saking groginya aku sampai tak sanggup menatap mata elangnya. Diam diam, semenjak perkenalan di hari itu, aku pun mulai mencuri- curi pandang ke arahnya. Perawakannya agak berbeda dari pada para pemuda sebayanya. Ia lebih tinggi, lebih bersih dan juga badannya lebih kekar dan terawat. Kata teman yang kutanya, dia sebenarnya putra seorang kepala desa, pernah kuliah dan tinggal di kota juga. Awalnya, aku tak terlalu menghiraukan karena masih berpura- pura jual mahal padanya. Akan tetapi, dengan gigihnya ia berusaha untuk mendekatiku dan terjadilah perkenalan denganku. Dan akhirnya hubungan kami semakin dekat lalu dilanjutkan dengan hubungan yang lebih serius. "Maukah kamu jadi pacarku, Wi? Dari sekian gadis yang kutemui, hanya kamu yang berkenan di hatiku." Ucap Mas Hearfy suatu saat ketika kami sedang duduk berdua di teras rumah kami. ya, dia sering berkunjung ke rumahku semenjak kami berkenalan waktu itu. Dan saat itu pun, aku merasa menjadi gadis yang sangat beruntung. Karena dari sekian gadis yang suka padanya, ternyata akulah yang dipilihnya untuk menjadi kekasih hatinya. Tanpa banyak alasan, aku pun menerima cintanya dan kami pun mulai menjalin cinta. Mas Hearfy yang kukenal dulu adalah seorang lelaki yang sangat baik, sopan dan juga ramah. Dia berbeda dengan para pemuda yang lainnya yang suka bengal dan pecicilan. Ia lebih terlihat dewasa dan bertanggung jawab dan juga sedikit pendiam atau tak banyak bicara. Ia lebih suka mendengarkan pembicaraan teman - temannya dan hanya sesekali menyela kalau memang ia merasa perlu. Waktu itu, aku tak melihat tingkahnya yang aneh seperti sekarang ini yaitu lelaki yang haus belaian. Dulu menurutku ia adalah seorang pemuda terbaik yang kukenal sehingga ketika dia melamarku, aku pun langsung menerimanya dengan senang hati. "Maukah kamu menjadi pendamping hidupku, Wi? rasanya tak ada gadis lain yang bisa mendampingiku kecuali kamu. Aku ingin melamar mu pada orangtuamu." Masih terngiang ucapannya waktu itu ketika dia melamarku secara pribadi sebelum resmi melamar pada orangtuaku. Tanpa pikir panjang, aku pun menerima pinangannya. Akhirnya setelah hampir sebulan menjalin hubungan ia pun membawa orangtuanya ke rumahku untuk melamar aku pada kedua orangtuaku dan berlanjut ke jenjang yang lebih serius yaitu pernikahan. "Ayah sih, setuju setuju saja, kalau Dewinya sendiri sudah tepat dengan pilihannya. Hanya satu yang Ayah tekankan, jangan pernah sakiti dia, lebih lebih main kasar sama anakku. Dia putriku yang baik, putri satu satunya yang kumiliki. Kalau dia salah tegur dan menasihati dia secara baik- baik. Jangan main tangan." itu nasihat Ayah ketika menerima lamaran Mas Hearfy dulu. Dan waktu itu, Mas Hearfy pun mengangguk, bahkan ia sampai bersumpah di depan ayahku kalau dia tak akan menyakitiku. Pernikahan kami waktu itu pun digelar dengan cukup meriah. Karena ia anak bungsu dari dua bersaudara dan juga anak seorang kepala desa, Pernikahan kami waktu itu pun bisa dikatakan sebagai pernikahan yang sangat mewah dan besar. Sempat aku mengusulkan padanya sebelum acara pernikahan di mulai. Agar resepsinya sederhana saja tak usah dibesarkan. Namun jawaban Mas Hearfy dan kedua orangtuanya sungguh di luar dugaan. "Kami ini keluarga terpandang di kampung kita ini. jadi kamu seharusnya bersyukur, tidak usah protes seperti itu. Ada banyak kok di luaran sana gadis yang ingin seperti dirimu." ucapan Ibu mertua yang mampu membuatku terbungkam pada waktu itu. Selain kerabat dan handai taulan, semua masyarakat di desa kami pun turut diundang oleh ayah mertua demi memeriahkan pesta pernikahan kami. Waktu itu aku merasa sangat bahagia begitu pun juga dengan kedua orangtuaku. Rasanya hanya akulah satu satunya wanita di kampungku yang sangat beruntung. Namun, kenangan indah itu ternyata hanya sebatas kenangan saja karena kebahagian yang dijanjikan oleh Mas Hearfy tak pernah ia tepati. pernikahan yang megah, pesta yang meriah tidak menjamin kelanggengan hubungan kami. Baru setahun menikah kami sudah dihadapkan pada masalah rumah tangga yang sangat rumit. Ujian yang begitu berat menurutku sebagai seorang perempuan. Masih kuingat betul kebiadabannya padaku malam itu malam di mana ia memaksaku. Waktu itu aku baru dua Minggu melahirkan, ia malah sudah meminta haknya dan bahkan hampir saja memaksaku. Beruntungnya aku waktu itu karena kedua mertuaku menginap di rumahku, hingga pada malam itu aku pun selamat dari nafsu bejadnya. Mengingat itu semua, air mataku perlahan kembali jatuh melewati pipiku. Dengan segudang penyesalan aku melangkah masuk ke dalam rumah. Kubuka ponselku bermaksud untuk menghubungi orangtuaku karena aku ingin pulang ke rumah orangtuaku. Akan tetapi, baru saja layar hape itu terbuka muncul sebuah unggahan di mana kulihat Mas Hearfy sedang duduk berdempetan dengan kakak ipar dan juga ibu mertua sembari bercanda tawa ria. Tak ada kulihat sedikit pun kemarahan yang ada di raut wajahnya, di situ, ia malah sangat bahagia."Bagaimana, Mas? Apa kamu puas dengan pelayananku semalam? Aku tahu kamu puas karena kamu sudah lama dianggurin oleh istrimu itu." Sebuah chat masuk di ponselku. Aku heran, kok bisa ada kalimat seperti itu yang terkirim di ponselku? Apa ini sebuah Chat nyasar? tapi mana mungkin? tidak lama kemudian, muncul juga sebuah gambar, sepasang manusia tidak tahu malu sambil berpelukan mesra dengan pakaian yang tidak sopan. Lekas aku mematikan ponselku karena emosiku yang yang tak terbendung. Dan ketika aku menghidupkan kembali ponselku, sebuah foto profil dengan gambar yang sama terpampang jelas di beranda fbku. "Kejam kamu, Mas, kejam! Baru sehari kabur dari rumah, ternyata main mu sudah sejauh itu." ucapku dengan hati yang hancur. Sungguh hatiku hancur melihat gambar yang diunggah di akun suamiku di Facebook itu. Apa dia ingin membuat aku cemburu atau bagaimana hingga ia tega mengunggah gambar yang menunjukan kedekatan ia dengan kakak ipar. 'Ya, ampun, M
Aneh sekali suamiku ini. Berani beraninya dia bilang itu hanya salah paham saja. Seandainya kalau aku tak mendengar sendiri pembicaraan mereka mungkin saja aku langsung percaya pada wajahnya yang munafik itu. "Sudah, Dek, kamu hanya salah paham saja. Ini tidak seperti yang kau pikirkan. Maafkan aku ya, Dek, telah membuat kamu marah seperti ini." ucap Mas Hearfy dengan suara yang sangat lembut. Emang dia pikir aku tuli hingga tidak mendengar semua pembicaraan mereka tadi? huh dasar lelaki munafik! Baiklah, aku akan ikuti permainanmu yang licik ini. Aku akan lihat sendiri sampai di mana kamu bisa membohongiku. "Iya, Nak Dewi, suamimu memang benar tuh, kamu hanya salah paham saja. Mana ada kami berani berbicara jelek tentang kamu. Kamu kan menantu terbaik yang sudah memberikan Ibu seorang cucu." Timpal Ibu mertua dengan tersenyum padaku. Senyum yang dibuat- buat kurasa karena hatinya yang tidak menyukaiku. "Betul, Dek Dewi. Maaf, Mbak juga merasa bersal
"Cepat, Mas, yang kencang dong biar agak enak. Iya, Mas, gitu dong, ah, ini baru enak." terdengar suara Mbak Sandra yang mendesah desah dari arah dapur. Menjijikan. Mereka lagi buat apa sih di sana? Gegas aku mengintip di celah pintu yang terbuka yang mungkin sengaja tidak di tutup okeh mereka. Ya Ampun! Keduanya sedang... *** "Maaf, Dik Dewi, boleh kah malam ini saya nginap di sini? Saya Jenuh di rumah sendirian." tanya Mbak Sandra padaku saat kami berdua duduk di teras. Heran aku, bisa - bisanya dia bilang di rumah cuma sendiri, pada hal kan dia saat ini tinggal bersama dengan kedua mertuaku. Karena terlalu emosi dengan sikapnya yang suka berbohong, aku pun segera menegurnya. "Kok bisa sendiri, Mbak, terus Ibu mertua ke mana? Apa mereka Nggak ada di rumah?" Wajahnya Mbak Sandra seketika memerah, ketahuan kan kalau dia mau berbohong padaku. Dasar wanita ikat buluh! "Ada sih, Dek, tapi mereka sering ngobrol sendiri, sedang aku nya di kamar se
Dan satu lagi, kenapa ia berpakaian begitu seksi? Dress pendek ketat sebatas paha dengan leher yang sangat rendah sehingga memperlihatkan gundukan di dadanya. Apa ia sengaja mau menggoda suamiku? *** "Dek, ayo makan, aku sudah menyiapkan semua hidangan untuk makan malam di meja makan." panggil Mbak Sandra dari luar di depan pintu kamarku. Gegas aku ke luar dan mendapati Mbak Sandra yang sudah dalam keadaan segar bugar. ia seperti baru selesai mandi keramas terlihat dari rambut panjangnya yang basah tergerai sehingga membasahi mini dress yang dikenakannya. Aku jadi sangat heran, kok bisa dia mandi keramas pada hal cuacanya saat ini sangat dingin karena barusan diguyur hujan lebat. Di tengah malam seperti ini lagi? Apa dia nggak kedinginan? karena terlalu merasa curiga, aku pun langsung menanyakan padanya. "Mbak mandi keramas? Aneh, pada hal cuacanya sangat dingin karena baru saja diguyur hujan lebat tadi. Apa Mbak nggak merasa kedinginan?"tanyaku
"Eh, Mbak Sandra, kenapa wajahmu pucat begini?" tanyaku sembari melirik ke arah Mas Hearfy. Aku hanya tersenyum saat memandang wajah keduanya yang pucat pasi karena semalaman kurang tidur. Rasakan! Itulah kalau mau bermain main denganku.! *** Baguslah, keduanya masih berada di ruang makan. Mungkin betah berlama lama berdua. Dasar manusia tukang selingkuh, suka ambil kesempatan dalam kesempitan. Tak mau berlama- lama, aku gegas menuju ke kamar, mengambil obat pencahar dan ku pencet sedikit ke gelas lalu mengaduk dengan cepat, setelah itu ku tuang air itu ke galon, kebetulan air galonnya tinggal sedikit, pas lah bila dicampur sama obat ini, nanti sisanya bisa ku buang besok pagi. Tak lupa, aku memisahkan sedikit air untukku bawa ke kamar biar bisa diminum nanti kalau sedang haus tengah malam. "Belum selesai acara makannya, Mbak, Mas?" tanyaku sambil memperhatikan tingkah keduanya yang gelagapan. "Sudah, Dek, ini juga mau habis." sahut Mbak Sandra sambil menunjukan isi di piring
Kulihat Mbak Sandra sudah bertukar pakaian. Yang lebih mengejutkan, dia mengenakan celana kolor dan baju kaus kepunyaan Mas Hearfy suamiku. Dasar perempuan gak punya malu! *** "Kok pulang lagi? nggak jadi ke butik? Tadi katanya mau ke sana." cecar ku ketika melihat keduanya baru turun dari motor. Baik Mas Hearfy atau pun Mbak Sandra tak ada yang menjawab pertanyaanku, keduanya berjalan tergesa hampir seperti berlari. Karena penasaran, aku pun akhirnya ikut juga keduanya ke dalam rumah. Oh, ternyata keduanya menuju ke toilet. Apakah keduanya buang air lagi? "Mbak Sandra sakit perut lagi? Ya ampun, itu pasti akibat mengonsumsi makanan yang terlalu asin semalam yang membuat kalian jadi seperti itu. Beruntung deh, aku tak memakannya jadi selamatlah aku dari makanan pembawa maut itu." ujarku sembari melihat Mbak San yang sedang mengurut perutnya sendiri. Tiba - tiba aku mendengar ada bunyi yang ke luar dari tubuh Mbak San, baunya sangat mengganggu indra penciuman. Tdak lam
"Oh...ah...Mas, enak, kapan kamu menceraikan istrimu itu, Mas? Aku nggak kuat kalau terus sembunyi- sembunyi seperti ini. Nggak bebas. oh..." Terdengar suara perempuan yang merengek diantara suara desahan dan rintihan. Itu kan suara... *** "Bagaimana? Apa Dek Dewi mau meminta bantuan dari tetangga untuk mengusir kakak iparmu itu? Nanti kalau mau kabarin saya biar saya yang mengumpulkan warga untuk menggerebek mereka berdua." Suara Ibu Rohaya terngiang - ngiang di telingaku. Ah, apa aku akan melakukan tindakan yang dikatakan oleh Bu Rohaya tadi? Tapi ini juga sekaligus akan menghancurkan rumah tanggaku sendiri karena mungkin itulah tujuan utama Mbak Sandra nginap di rumahku dan melakukan tindakan tindakan yang menantang yaitu ingin menghancurkan rumah tanggaku. Ah, tidak! Aku harus mencari cara sendiri untuk mengusir Mbak Sandra. Dia ini tipe wanita yang tidak mempan dengan ucapan yang kasar. Bayangkan saja, disaat aku mengusirnya saja dia malah anteng mengan
"Mas, panas, Mas, oh...perih." teriak Mbak Sandra histeris setelah menyadari ada sesuatu di organ vitalnya tersebut. "Sama, Yang, aku juga. Memangnya ada apa ini, Yang? kenapa kita kepanasan berdua?" Mas Hearfy menimpali.**** Tanpa berkata kata lagi, Mas Hearfy langsung melompat turun dari tubuh Mbak Sandra, sedang perempuan itu, sudah tak menghiraukan keadaan tubuhnya yang tak berbusana, ia sibuk menjerit dan berteriak histeris sambil memegang organ vitalnya tersebut. Ketika Mas Hearfy berbalik dan mendapati aku yang sedang berdiri di depan pintu sambil melipat tangan di dada, wajahnya seketika langsung berubah pias. "Apa yang sudah kau lakukan, Dek? Kau....? Dasar istri kurang ajar! Kenapa kamu sengaja melakukan perbuatan itu pada Sandra?! Apa kamu cemburu? Salah kamu sendiri, kenapa selama ini kamu selalu menolak keinginanku. Giliran aku jajan di luar, baru kamu marah - marah tak terima." Bola mata Mas Hearfy membelalak besar menatapku.
Apakah dia sangat menyayangi putraku? Kalau benar iya, aku merasa sangat bersyukur dan beruntung dipertemukan dengan nya dan bisa bersahabat dengannya...***"Kurang ajar! beraninya kamu berjaya begitu padaku. Dasar wanita miskin tak tahu diri. Muak aku sama kamu." Sandra kulihat melangkah kakinya untuk mengejar ku yang sudah mulai turun dari atas tempat pengantin, tapi nas, mungkin karena ia menginjak gaunnya sendiri, makanya ia langsung terjatuh hingga terdengar bunyi gedebuk dari arah belakangku. Aku segera menengok ke belakang, dan juga semua turut berdiri dan mendekat ke arah pengantin wanita yang terjatuh hingga gaun putih panjangnya belepotan debu dan tanah yang menimbulkan warna lain di gaunnya. "Mas, cepatan tarik aku dong, Mas, aku nggak bisa berdiri nih " seru Mbak Sandra. Bagaimana dia mau berdiri? sementara gaun panjangnya tertindih kakinya sendiri. Walau pun mendengar teriakan minta tolong dari Mbak Sandra, akan tetapi baik para tamu undangan atau pun kedua mertua
Akhirnya, pernikahan antara Hearfy dan Sandra pun dilaksanakan juga, walau pada dasarnya ia belum menceraikan Dewi secara sah. Pernikahan itu digelar sangat meriah, hanya lebih meriah pernikahan pertamanya dengan Dewi dulu saat ayahnya masih menjabat sebagai kepala desa di kampung itu. Akan tetapi, bagi ukuran warga desa itu, pernikahan keduanya ini pun tergolong sangat mewah dan meriah, ketimbang para warga lain yang hanya mengadakan resepsi kecil kecilan atau istilahnya ramah tamah sederhana. Dan seperti yang dikatakan Sandra, ia memang mengundang Dewi mantan istri Hearfy untuk menghadiri acara syukuran pernikahan itu. Dilihatnya kiri kanan, semua manusia yang berjubel memadati halaman rumahnya, tapi ia tak melihat Dewi ada di situ. "Kurang ajar! Berani benar dia nggak menghargai undangan ku. Sudah miskin tapi belagu. Awas dia!" ia menggerutu sendiri. Hearfy yang berdiri di sebelahnya pun menasihati agar jangan uring uringan di depan tamu, takutnya ada yang berpikiran yang buk
"Mas, usir mantan istrimu itu, Mas, aku tidak suka mereka tinggal di situ.""Iya, sayang, nanti aku akan mengusir mereka." sahut Hearfy lirih. "Mas, nggak benar kan, apa yang mantan istrimu itu katakan, kalau rumah itu miliknya? Soalnya aku kepikiran terus tentang perkataannya itu.""Ya enggaklah sayang. Rumah dia dari mana? Itu rumah yang dibangun oleh Ayah untukku, bukan untuk dia. Jadi tenang saja besok atau lusa aku pastikan akan mengusir mereka."; Sahut Hearfy menipu calon istrinya tersebut. Sandra yang tidak tahu menahu masalah penjual belian tanah itu percaya saja akan ucapan Hearfy.Ia bangga akan dirinya yang bisa merebut Hearfy dari Dewi istrinya untuk menjadi suaminya."Ternyata usahaku nggak sia sia. Mas Hearfy sudah masuk dalam jebakan perangkap cintaku. Tak sia sia aku selalu menyenangkan hatinya dengan tubuhku, melayani kebutuhan batinnya selama istrinya mengandung dan melahirkan. Sebentar lagi aku nggak usah sembunyi sembunyi lagi bermesraan di depan orang karena
"Aduh, uang sebanyak ini mau kuapakan ya? Aku ingin membuka usaha saja atau bagaimana? Tapi kalau aku buka usaha, aku khawatir semua orang akan curiga padaku. Mereka pasti bertanya tanya, dari mana aku bisa mendapatkan modal sebanyak itu? Secara aku hanya seorang wanita rumahan dan Ibu rumah tangga pula. Pasti mereka akan mencurigai yang bukan bukan padaku nanti. Ah, lebih baik aku jangan gegabah. Aku tahu g saja dulu yang itu. nanti setelah waktunya tepat, barulah aku akan membuka usaha." Aku membatin sendiri. Akhirnya setelah berpikir cukup lama, aku pun mengambil sebuah keputusan, untuk menabung saja dulu. Kalau waktunya sudah tepat, barulah aku akan membuka usaha, apa pun itu. Semenjak aku sudah memperoleh penghasilan sendiri, kebutuhan aku dan anakku pun semua tercukupi. Aku bisa membelikan di kereta bayi. Yang mana kereta ini sangat bermanfaat untukku. Aku bisa nendudukan anakku di situ, di saat aku melakukan kegiatan harianku yaitu menulis novel. Seperti hati ini, kare
"Mbak Sandra, Mbak Sandra, aku tuh bukan seperti kamu, pura pura minta tolong, tapi ternyata mau bermain lato lato dengan suami orang. jaga saja suami Mbak, jangan sampai ..."***Akhirnya pada sore harinya, aku pergi ke rumah Bu Wati untuk berpamitan pada beliau kalau keesokan harinya aku akan kembali ke rumahku.Pada awalnya beliau terheran heran mendengar ucapanku, tapi setelah ku jelaskan bahwa aku telah membeli rumah itu dengan bantuan orangtuaku, beliau pun akhirnya mengangguk setuju."Ah, kalau begitu malah bagus, Nak, Ibu mau lihat bagaimana nanti tanggapan dari mertua dan suamimu saat tahu kamu sudah memiliki rumah itu. Biar mereka semakin kepanasan dan bila perlu jadi darah tinggi sekalian. Emosi Ibu melihat tingkah mereka yang sangat angkuh itu." ucap Bu Wati kesal.Keesokan harinya, aku segera berkemas untuk pindah ke rumahku kembali. Rasanya sangat lega, bisa kembali lagi ke rumah tersebut.Melihat kehadiranku kembali di rumahku, Bu Rohaya langsung datang bertam
Hari masih amat pagi, ketika Bu Rohaya datang ke rumah. Aku pun langsung membuka pintu dan mempersilakan dia untuk duduk. Wajah beliau terlihat sangat sumringah. Aku yakin, pasti ada kabar gembira untukku di pagi ini. "Maaf, Nak, kalau Ibu datangnya terlalu pagi. Apa ini tidak menggangu bayimu yang lagi tertidur?" tanya Bu Rohaya dengan suara perlahan. Aku tersenyum. "Tentu saja tidak, Bu. Ya ampun, kenapa Ibu sampai berpikiran seperti itu? Kayak saya ini orang lain saja." ucapku dan wanita paruh baya itu pun tersenyum. "Begini, Nak Dewi, Ibu mau mengantar buku sertifikat ini. Segala urusan mengenai penjual belian, dan tanda tangan serah terima pun sudah dilakukan oleh teman Ibu yaitu Bu Evi di kantor desa kemarin. Yang menjadi permasalahannya, besok, Bu Evi mau ikut suaminya yang bertugas di pedalaman. Menurut saran beliau, baiknya, pagi ini juga Nak Dewi harus mengurus surat jual beli lagi di kantor desa atas nama Bu Evi sebagai pihak pertama atau penjual dan Nak Dewi sendiri
"Nak Dewi, Ibu sudah mencaritahu seperti permintaan Nak Dewi. Memang betul, suamimu mau jual rumah itu. Dan teman yang Ibu minta tolong pun sudah membantu. Ia langsung menawar harga rumah itu sekaligus sama tanahnya." Bu Rohaya menyampaikan hasil investigasinya padaku. Aku tersenyum senang, sebentar lagi, rumah itu akan sah menjadi milikku. "Kira- kira harganya berapa, Bu kalau boleh saya tahu?" tanyaku antusias. Mudah mudahan harganya tak terlalu mahal, cukup dengan isi kantongku saja. "Tujuh puluh juta, Nak. Itu sudah sekalian sama tanahnya." sahut Bu Rohaya. "Wah, tujuh puluh juta? Mahal sekali ya, Bu? Apa tidak bisa dikurangi lagi, Bu? Tolong Ibu bilang ke temen Ibu untuk menawar lagi, siapa tahu bisa dinegosiasi, nanti aku kasih komisi." ujarku terus terang. Sebenarnya aku bisa saja membeli dengan harga seperti itu. Masih terjangkau sesuai dengan isi kantongku. Menurutku memang sudah pas atau bahkan sangat murah jual rumah lapis tanah sekalian hanya dengan harga sepert
Entah betul atau tidak, dari jauh aku seperti melihat Mas Hearfy dan Mbak Sandra. Keduanya berjalan bergandengan sambil berpelukan mesra. Untuk memperjelas pandanganku, aku pun segera memicingkan mataku. Ternyata benar yang kulihat, Itu mereka. Keduanya seperti sedang....***Tak menyangkah aku dengan diriku sendiri, ternyata walau hanya seorang Ibu rumah tangga biasa, aku bisa memperoleh penghasilan yang lumayan besar seperti ini. Dengan uang yang ku peroleh ini, aku ingin membahagiakan diriku sendiri dan juga Putra semata wayangku.Setelah selesai menghitung uang, dan menaruhnya di tempat yang aman, baru aku ke dapur membuat susu untuk anakku. Aku Tahu, uang yang aku peroleh saat ini, tak lain adalah rejeki putra kecilku. "Mimi dulu, Yang. Mimi yang banyak biar cepat besar. Nanti kalau udah besar, sekolah yang rajin ya, Nak, biar jadi orang sukses." Aku menggendong bayiku dan mulai memberikan dia susu. yah, semenjak aku kekurangan makanan hingga berimbas pada asi yang ta
Wanita yang melayaniku terlihat kaget mendengar penuturan ku. Dengan mulut menganga dan bola mata yang membeliak lebar, ia menatapku tak berkedip, ia seolah tak percaya dengan pendengarannya sendiri. "Sepuluh ribu dolar? Emang Ibu kerja apaan sih hingga mempunyai uang dolar sebanyak itu?"Mungkin ia tak menyangkah kalau perempuan yang sepertiku, berambut cepol, sambil menggendong anak dengan dandanan seadanya, memakai sendal jepit, bisa menghasilkan ribuan dolar.***Pagi - Pagi benar aku sudah membereskan rumah serta memasak karena sekitar jam delapan nanti aku hendak pergi ke kantor BRI terdekat. Bu Wati yang merasa heran dengan kegiatan yang kulakukan yang tak seperti biasanya di setiap hari, mendatangi rumah dan menanyakan padaku apa ada acara hari ini, sehingga pagi -pagi sekali aku sudah sangat sibuk di dapur. "Iya, Nak Dewi, Ibu kira Nak Dewi mau adakan acara hari ini, makanya Ibu merasa heran. Tadi Bapak juga sempat menanyakan dan menyuruh Ibu mencaritahu sendiri ke si