Beranda / Romansa / SUAMIKU SAINGANKU / Pernikahan yang Tak Diinginkan

Share

SUAMIKU SAINGANKU
SUAMIKU SAINGANKU
Penulis: Nenghally

Pernikahan yang Tak Diinginkan

Penulis: Nenghally
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-23 13:31:54

"Saudara Arga, apakah Anda menerima Rila sebagai istri Anda dengan sepenuh hati?" suara penghulu menggema di ruangan.

Ruangan ini, yang seharusnya penuh kebahagiaan, malah terasa seperti penjara bagiku. Suara gemerincing perhiasan dan bisik-bisik tamu hanya jadi latar belakang dari ketegangan yang kualami saat ini.

Arga berdiri di depan altar dengan sikap tenang dan tampan. Dia mengenakan jas hitam yang pas, dan tatapannya tetap dingin, seolah pernikahan ini cuma rutinitas yang harus dijalani.

Aku tidak bisa menahan rasa kesal saat memandangnya. Rasanya Arga lebih seperti lawan hidupku daripada calon suami.

"Ya, saya terima," jawab Arga, suaranya tegas dan tanpa emosi.

Giliran aku tiba. Tangan penghulunya meraih tangan Arga, dan dia menatapku dengan tatapan dingin seolah pernikahan ini tidak ada artinya. Aku merasa seperti boneka yang dipindahkan dari satu panggung ke panggung lainnya.

Penghulu mulai melafalkan ijab qabul. "Saudari Rila, apakah Anda menerima Arga sebagai suami Anda, dalam keadaan baik maupun buruk, dalam keadaan sehat maupun sakit, dan siap menjalani kehidupan bersama?"

Aku mengedipkan mata beberapa kali, mencoba menahan air mata yang hampir menetes. Dengan napas tertahan, aku berusaha berbicara dengan percaya diri, meski suaraku terasa pecah.

"Saya terima."

Begitulah, dengan satu kata yang membuat hatiku bergetar, aku telah mengikatkan hidupku dengan seseorang yang tidak pernah kuinginkan, di depan semua orang yang kami kenal.

Di saat tamu-tamu mulai bersorak dan memberikan ucapan selamat, aku merasa seperti tersesat di tengah-tengah kemeriahan ini.

Setelah acara ijab qabul, kami menuju ruang makan di mana makanan dan minuman sudah siap. Aku mencoba mencari tempat duduk yang nyaman, tetapi setiap kali aku menghadap ke arah Arga, dia tampaknya sibuk dengan berbagai urusan. Berbicara dengan tamu, menerima ucapan selamat, dan sebagainya.

Arga akhirnya datang menghampiriku, memintaku untuk duduk di meja pengantin yang telah disediakan. Dia duduk di sebelahku dengan sikap tenang, tapi tetap menjaga jarak. Makanan mulai disajikan, tetapi aku tidak bisa menghilangkan rasa cemas dan ketidaknyamanan yang menyelimutiku.

"Rila, apa kamu punya waktu untuk bicara sebentar?" Arga tiba-tiba bertanya, memecah keheningan di antara kami.

Suaranya tetap tidak menunjukkan emosi, tapi ada sesuatu dalam nada bicaranya yang membuatku merasa penasaran dan sedikit tertekan.

Aku mengangguk, mengajaknya menuju sudut ruangan yang agak sepi. "Ada apa?" tanyaku dengan nada hati-hati.

Arga menghela napas panjang sebelum berbicara. "Aku tahu ini mungkin bukan yang kamu inginkan, dan aku juga tidak terlalu senang dengan situasi ini. Tapi mari kita coba membuat yang terbaik dari apa yang ada."

Aku menatapnya, mencari makna di balik kata-katanya. "Kamu juga tidak senang dengan ini, kan?" tanyaku, mencoba mencari kejujuran di balik sikapnya yang dingin.

Arga mengangguk perlahan. "Tidak ada yang benar-benar senang dengan perjodohan ini, tapi kita harus menjalani ini dengan cara yang baik. Setidaknya, kita bisa mencoba untuk memahami satu sama lain."

Aku merasakan getaran aneh di dalam hati. Meskipun kata-kata Arga terdengar tidak emosional, ada sesuatu dalam tatapannya yang membuatku merasa lebih dari sekadar ketidaksetujuan di sini.

Aku mencoba tersenyum. "Baiklah, mari kita coba."

Di balik kesan dingin Arga dan ketidaknyamananku, ada sesuatu yang mulai tumbuh. Entah itu perasaan yang tidak bisa kujelaskan atau harapan akan sesuatu yang lebih baik.

Sementara itu, hujan terus turun di luar, memecah kesunyian yang mengisi kamar pengantin kami. Lampu redup menyinari ruangan yang didekorasi dengan lembut, namun suasana terasa dingin dan asing bagiku.

Aku berdiri di depan cermin, menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Aku bisa mendengar langkah kaki Arga mendekat dari arah pintu.

Dalam sekejap, dia sudah berdiri di ambang pintu, dengan ekspresi wajah yang tetap dingin seperti biasanya. Dia mengenakan piyama yang nyaman, berbeda jauh dari penampilannya di pesta tadi siang.

"Kita sudah sampai di sini," katanya, suaranya datar, tapi ada nada lelah di dalamnya. Dia berjalan menuju tempat tidur, kemudian duduk di tepi ranjang.

Aku mengangguk pelan, tidak tahu harus berbuat apa. "Ya, kita sudah sampai di sini," jawabku, suaraku hampir seperti bisikan. 

Aku melangkah mendekati ranjang, namun rasa canggung membuatku berhenti di tengah jalan. Arga menatapku sekilas sebelum mengambil bantal dan meletakkannya di tengah ranjang, lalu dia duduk di sisi lainnya.

"Kita mungkin harus membuat kesepakatan tentang malam ini," katanya, terlihat lebih seperti berbicara dengan rekan kerja daripada seorang istri.

Aku mengerutkan kening, merasa bingung. "Kesepakatan tentang apa?"

"Untuk malam ini, kita bisa tidur terpisah jika itu membuat kita lebih nyaman. Kita berdua butuh waktu untuk beradaptasi," jelas Arga, suaranya tetap datar dan tanpa emosi. 

Aku menghela napas lega, merasa sedikit tenang. "Itu mungkin ide yang baik. Aku juga merasa agak canggung dengan situasi ini."

Dia mengangguk dan berbaring di sisi ranjangnya, sementara aku duduk di tepi ranjang yang kosong, berusaha mencari posisi yang nyaman. Meskipun perasaanku masih cemas, aku bisa merasakan sedikit kelegaan karena tidak harus langsung berhadapan dengan ketidaknyamanan malam pertama ini.

Sejenak keheningan menyelimuti kami, hanya terdengar suara hujan yang terus mengguyur. Aku mencoba memikirkan cara untuk mengalihkan pikiranku dari situasi yang tidak nyaman ini, namun pikiranku selalu kembali pada betapa asing semuanya.

"Arga!" teriakku, sontak memeluknya saat lampu tiba-tiba mati.

Arga tampak terkejut sesaat, namun dengan tenang dia menepuk punggungku pelan, mencoba menenangkan. "Tenang, Rila. Itu cuma mati lampu. Tidak ada yang perlu ditakutkan."

Aku melepaskan pelukanku, merasa canggung dengan tindakanku yang spontan. "Maaf, aku cuma terkejut," ucapku pelan, masih merasakan jantungku berdegup kencang.

Arga bangkit dari tempat tidur, meraba dinding untuk menemukan saklar atau lilin yang mungkin disediakan. "Aku akan mencari senter atau lilin. Tetap di sini."

Aku mengangguk, meskipun dia tak bisa melihatku dalam kegelapan. Suara langkah kakinya terdengar menjauh, sementara aku duduk kembali di tepi ranjang, berusaha menenangkan diriku.

Hujan di luar semakin deras, dan suara gemuruhnya seakan mempertegas suasana hati yang gelisah. Di balik keheningan malam dan kegelapan ini, aku merenungi betapa jauh hidupku telah berubah dalam waktu singkat.

Terjebak dalam pernikahan yang dipaksakan, dengan seorang pria yang hampir tak kukenal, rasanya hidupku berjalan ke arah yang tidak pernah kubayangkan.

Tak lama kemudian, Arga kembali dengan lilin kecil yang menyala di tangannya. Cahayanya yang redup memberikan sedikit penerangan pada kamar yang tadinya gelap gulita. Dia menempatkan lilin itu di atas meja dekat jendela, lalu kembali duduk di tempat tidurnya, menatap ke arahku.

"Apa kamu baik-baik saja sekarang?" tanyanya, lebih lembut dari sebelumnya.

Aku hanya mengangguk, tidak yakin harus menjawab apa. Kegelapan yang barusan terasa seperti metafora dari pernikahan kami. Semua terasa tidak pasti, tidak diketahui apa yang akan terjadi di masa depan.

Bisakah aku bertahan?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • SUAMIKU SAINGANKU   Ketua OSIS Dingin

    Hari itu adalah hari pertamaku masuk sekolah sebagai murid baru. Dengan langkah mantap, aku turun dari taksi dan memandang gedung sekolah yang megah di depanku. Sekolah ini tidak asing bagiku, aku sudah melihatnya di foto-foto yang kuterima saat pendaftaran. Tapi rasanya berbeda saat aku benar-benar berdiri di depannya.Aku tak pernah menyangka bisa bersekolah di sini. Sekolah yang hanya bisa di masuki oleh kalangan elite, sekarang menjadi tempatku belajar. Rasa bahagiaku mengalahkan rasa penasaran yang sebelumnya menghantui pikiranku.Kenapa kedua orang tuaku tiba-tiba memindahkan aku ke sini? Padahal mereka hanya pekerja paruh waktu biasa.Aku menarik napas panjang dan melirik jam tangan. "Aduh! Kelasku!" Aku mulai panik.Jam pelajaran pertama hampir dimulai, dan aku belum tahu di mana kelasku. Dengan buru-buru, aku berlari menuju gedung utama, berharap tidak terlambat.Namun, tiba-tiba saja, langkahku terhenti ketika kakiku tersandung. Aku terjatuh dengan keras ke lantai, map beris

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-24
  • SUAMIKU SAINGANKU   Terikat Tanpa Cinta

    Saat bel pertama berbunyi, aku baru saja melangkah memasuki gerbang sekolah. Aku segera berlari menuju ruang kelas dan melihat Arga berdiri di depan pintu, dengan ekspresi yang sama cemasnya. Kami saling bertatapan, seolah tidak percaya bahwa kami terlambat untuk pertama kalinya."Kita tidak terlambat, kan?" tanyaku, berusaha mengurangi rasa malu."Menurutmu?" jawab Arga sambil menatap jam tangannya dengan serius. "Sepertinya kita akan kena hukuman.""Ah, aku tidak pernah terlambat seperti ini," keluhku dengan kesal."Ya, semua gara-gara kamu," jawab Arga, nada suaranya penuh ketegangan. "Kalau saja kamu tidak menghabiskan waktu terlalu lama di kamar mandi, kita tidak akan terlambat."Aku menatapnya dengan tak percaya. "Aku? Lagipula, kamu juga tidak memberikan penjelasan tentang berapa lama kamu akan berada di kamar mandi."Arga menghela napas, wajahnya menunjukkan frustrasi. "Aku juga tidak tahu kamu akan berganti pakaian sebanyak itu. Ada cara lebih cepat untuk siap pergi, kamu tah

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-26
  • SUAMIKU SAINGANKU   Bayangan di Antara Kita

    Aku kembali ke kelas, tapi pikiran dan hatiku masih tertinggal di ruang UKS. Elang. Namanya terus terngiang di kepalaku, membayangi setiap langkahku. Berbicara tentangnya seolah tak pernah ada ujungnya, karena dia adalah satu-satunya orang yang selalu perhatian padaku sejak awal masuk sekolah.Setiap tatapan, senyum, dan caranya memperlakukan aku dengan lembut, selalu membuatku merasa istimewa. Aku teringat saat pertama kali bertemu dengannya, bagaimana dia tanpa ragu menawarkan bantuan ketika aku kebingungan mencari kelas.Sejak saat itu, perhatian-perhatiannya tak pernah surut. Entah itu sekadar menyapaku di koridor atau memastikan aku baik-baik saja di tengah hiruk pikuk sekolah, Elang selalu ada.Dan sekarang, setelah insiden tadi di lapangan, aku semakin tak bisa menghilangkan bayangannya dari pikiranku. Cara dia dengan mudah menyuapiku dan tatapan hangatnya saat aku merasa lemah tadi... apakah dia hanya bersikap baik padaku? Atau memang ada sesuatu yang lebih dari sekadar perhat

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-26
  • SUAMIKU SAINGANKU   Sisi Lain Arga

    Aku segera meletakkan tasku di sofa dan mencoba mengalihkan suasana yang canggung."Ibu, maafkan Arga, dia pasti lelah," kataku, berusaha tersenyum. "Ibu mau minum apa? Aku bisa buatkan teh atau kopi."Ibu Arga menatapku dengan lembut, meski matanya sedikit sayu. "Tidak apa-apa, Rila. Aku mengerti sifat Arga." Dia menghela napas pelan. "Teh saja, ya."Aku mengangguk dan bergegas menuju dapur. Sambil menyiapkan teh, pikiranku berkecamuk. Rasanya hubungan ini begitu jauh dari apa yang aku bayangkan ketika menikah dengan Arga. Hubungan yang semula kuharapkan membawa kebahagiaan kini malah dipenuhi jarak yang dingin dan pertengkaran yang seolah tiada habisnya.Saat kembali dengan secangkir teh hangat, ibu Arga masih duduk di sana, menatap kosong ke arah tangga tempat Arga tadi menghilang. Aku duduk di sebelahnya, meletakkan cangkir di atas meja."Ibu, aku benar-benar minta maaf soal Arga. Aku tahu ini tidak mudah..."Ibu Arga menoleh padaku, kali ini dengan senyum yang tidak biasa. "Tidak

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-26
  • SUAMIKU SAINGANKU   Pesan Tak Terjawab

    Arga melepaskan ciumannya dan menatapku dengan ekspresi campur aduk. "Bau apa ini?" tanyanya, matanya melotot dengan heran.Aku langsung mendorongnya, merasa tersinggung. "Apa maksudmu? Aku tidak sebau itu!" kataku tegas sambil cepat-cepat mencium bau tubuhku.Mungkin aku memang tidak wangi, tapi tidak seburuk itu, kan?"Rilla!!"Teriakan Arga mengalihkan perhatianku. Dia melesat ke dapur, matanya lebar penuh kekhawatiran saat melihat api yang menyala dari kompor."Astaga!" teriakku, mengikuti langkahnya. Di dalam dapur, asap mulai memenuhi ruangan, dan panik menjalar di antara kami.Arga segera berusaha memadamkan api yang semakin membesar, tangannya bergerak cepat. Aku meraih sekop di sudut dan menyiramkan air dari wadah yang ada, berusaha membantu."Cepat, Rilla! Di sebelah kiri!" Arga memberi instruksi, suaranya tegas meski terlihat stres."Oke, oke!" jawabku, berusaha tetap fokus. Kami bekerja sama, meski ada rasa canggung setelah momen sebelumnya.Setelah beberapa menit yang pen

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-12
  • SUAMIKU SAINGANKU   Tauatan Tanpa Kata

    Keesokan harinya, ketika aku terbangun, kamar terasa sunyi dan kosong. Arga sudah tidak ada di sana. Aku melirik jam di meja samping tempat tidur, masih menunjukkan jam 6 pagi.Biasanya, Arga masih ada di rumah atau setidaknya di kamar pada waktu seperti ini. Tapi kali ini, tidak ada jejaknya sama sekali. Selimutnya sudah dilipat rapi di sisi ranjang, dan meja belajarnya kosong, seolah dia sudah berangkat lebih awal.Aku bangkit dari tempat tidur, mencoba mengusir rasa penasaran itu, tapi semakin kuabaikan, semakin kuat pertanyaan itu menghantui pikiranku. Aku membuka mataku lebih lebar dan melihat secarik kertas tergeletak di atas meja. Tulisan tangan Arga yang rapi terpampang di sana."Aku berangkat lebih dulu, pastikan kamu tidak terlambat lagi."Aku menghela napas. Begitulah Arga, selalu dingin dan teratur, seolah tidak ada hal lain yang lebih penting selain ketepatan waktu dan kesempurnaan. Meski begitu, ada sesuatu yang aneh dari caranya per

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-13
  • SUAMIKU SAINGANKU   Milik yang Lain

    Aku masih ingat dengan jelas hari pertama aku bertemu Elang. Saat itu, aku baru saja dipindahkan ke sekolah ini, dan semuanya terasa asing bagiku. Saat wali kelas memperkenalkanku kepada seluruh siswa, aku merasa gugup, tidak tahu harus bersikap bagaimana.Tapi ketika jam istirahat tiba dan wali kelasku memperkenalkan Elang sebagai ketua OSIS, rasa gugup itu berubah menjadi sesuatu yang berbeda."Hai, Rilla. Aku Elang," ucapnya sambil tersenyum hangat.Sejenak, aku terpaku. Elang, dengan postur tegap dan senyum ramahnya, terlihat begitu sempurna di mataku. Rambutnya yang rapi, sorot matanya yang lembut namun penuh percaya diri, semuanya membuatku terpesona dalam sekejap. Aku ingin mengatakan sesuatu, mungkin sekadar balasan untuk menyapanya, tapi rasanya seperti kata-kata tersangkut di tenggorokanku."Kamu murid baru, ya? Nggak perlu canggung. Sekolah ini asik kok," lanjutnya dengan santai, suaranya terdengar tenang dan bersahabat.Aku hanya bisa mengangguk sambil tersenyum kikuk. Kam

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-14
  • SUAMIKU SAINGANKU   TARGET?

    "Ril, tapi kamu beneran nggak tahu kalau Elang pacar Ericka?" tanya Silvia, suaranya terdengar prihatin sambil merangkul pundakku dan mengajakku berjalan menuju kelas.Aku hanya bisa menggeleng pelan, masih merasa bingung dengan semua yang baru saja terjadi. "Nggak tahu, Vi. Aku beneran nggak tahu. Elang nggak pernah ngomong apa-apa soal itu."Silvia mendesah, "Ya ampun, Ril. Kamu harus lebih hati-hati. Ericka itu tipe orang yang nggak main-main kalau soal cowoknya."Aku menelan ludah, memikirkan kemungkinan kalau Elang selama ini menyembunyikan hubungan mereka dariku. "Tapi, Elang nggak pernah kasih tanda apa-apa. Aku juga nggak pernah ngelihat mereka berdua deket."Silvia menghela napas panjang, "Itu masalahnya, Ril. Ericka nggak bakal diam aja kalau tahu kamu sering bareng Elang. Kamu harus jaga jarak dari dia sebelum masalahnya makin besar."Aku hanya bisa mengangguk, meski dalam hati, masih ada ribuan pertanyaan yang berkecamuk. Apa

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-16

Bab terbaru

  • SUAMIKU SAINGANKU   Kembalinya Sang Mantan

    Kembali ke sekolah setelah akhir pekan yang penuh ketegangan seharusnya menjadi hal yang melegakan. Aku pikir, bisa kembali fokus ke pelajaran dan menjauh sebentar dari semua kebingungan di rumah. Tapi semua pikiranku langsung buyar begitu aku melangkah ke gerbang sekolah dan melihat kerumunan siswa yang berdesakan di depan papan pengumuman.“Eh, itu beneran dia?”“Gila …, dia balik lagi?”Bisik-bisik mulai terdengar. Aku melangkah pelan, mencoba melihat apa yang membuat semua orang heboh. Di tengah kerumunan, aku melihat sosok perempuan tinggi dengan rambut panjang tergerai rapi. Gayanya elegan tapi tetap santai. Dia tersenyum pada beberapa guru dan menyapa teman-teman lama seolah tak ada jarak sedikit pun di antara mereka.Viona.Nama itu langsung melintas di benakku saat melihat wajahnya. Tidak salah lagi. Dia mantan pacar Arga yang katanya dulu sempat jadi idola sekolah. Pintar, cantik, dan selalu tahu cara membawa diri.Aku hanya bisa berdiri terpaku. Dia belum melihatku, tapi ra

  • SUAMIKU SAINGANKU   Mulai Dari Awal

    Aku duduk di meja makan, berusaha menenangkan pikiranku yang masih kacau. Suasana ruang makan terasa begitu normal, seolah tidak ada yang terjadi sebelumnya di kamar. Ibuku sibuk menyendokkan nasi ke piring, sementara ayah hanya fokus pada makanannya. Arga duduk di seberangku, sesekali menatapku tanpa berkata apa-apa.Aku berusaha untuk tetap tenang, tapi bayangan kejadian tadi terus menghantui pikiranku. Sentuhan tangannya, tatapan matanya, dan kata-kata yang ia ucapkan sebelum kami turun membuat dadaku terasa sesak. Apa maksudnya dengan ‘nanti kita selesaikan’? Apa yang ingin dia katakan sebenarnya?“Kamu kenapa, Rilla?” tanya ibu tiba-tiba, membuatku tersentak. “Dari tadi diam saja, nggak biasanya.”Aku buru-buru menggeleng dan tersenyum kecil. “Nggak apa-apa, Bu. Cuma capek saja.”Ibuku mengangguk, tampaknya menerima jawabanku begitu saja. Aku melirik ke arah Arga, berharap dia tidak akan mengatakan apa pun yang bisa memperumit situasi. Namun, dia hanya tetap diam, menyendok makan

  • SUAMIKU SAINGANKU   Malam Mendebarkan

    Aku duduk di samping Arga, menyandarkan punggungku ke sandaran tempat tidur, sementara dia tetap diam menatap lantai. Ada ketegangan di antara kami, namun aku tahu malam ini adalah saat yang tepat untuk berbicara."Arga," panggilku pelan, menoleh ke arahnya. "Kamu mau dengar ceritaku?"Dia menoleh padaku, matanya tetap tenang namun penuh rasa ingin tahu. Tidak ada anggukan, tidak ada kata setuju, tapi aku tahu dia bersedia mendengar. Jadi, aku mulai bercerita."Ibuku hanyalah seorang asisten rumah tangga. Ayahku? Dia karyawan kantor biasa. Gaji mereka tidak pernah cukup untuk kami bertiga. Aku tumbuh dengan melihat ibu bekerja keras di rumah orang lain, mencuci, menyetrika, dan membersihkan rumah. Ayahku juga selalu pulang dengan wajah lelah, tapi kami selalu mencoba untuk tetap bahagia."Aku berhenti sejenak, menarik napas panjang sebelum melanjutkan. Arga masih diam, namun aku bisa merasakan fokusnya hanya padaku."Tiba-tiba saja, aku bisa sekolah di tempat yan

  • SUAMIKU SAINGANKU   Luka Masa Kecil

    Arga duduk di sofa kecil kamarku, pandangannya kosong menatap lantai. Aku jarang melihatnya seperti ini, terlihat lemah dan rapuh, seperti membawa beban yang terlalu berat untuk dipikul sendiri.Untuk pertama kalinya, aku melihatnya benar-benar manusiawi, bukan sosok keras dan dingin yang biasa aku temui."Aku nggak pernah cerita ini ke siapa pun," katanya akhirnya, suaranya rendah, hampir berbisik. "Tapi kalau aku nggak cerita sekarang, aku takut kamu salah paham terus tentang semuanya."Aku mengangguk pelan, menunggu dia melanjutkan."Ibuku..." Arga berhenti sejenak, menarik napas panjang. "Dia ninggalin aku waktu aku masih kecil. Hidup kami susah, Rilla. Aku sama ayahku waktu itu cuma punya cukup uang buat makan sehari-hari. Ibuku pergi karena dia nggak tahan hidup seperti itu. Dia ingin lebih. Dia ingin sesuatu yang nggak bisa diberikan ayahku saat itu."Aku tertegun, tidak menyangka. "Dia meninggalkan kamu? Padahal waktu itu kamu masih kecil?" tanyaku pelan, nyaris tidak percaya.

  • SUAMIKU SAINGANKU   Rumah Sederhana

    Aku dan Arga duduk bersebelahan di ujung tempat tidur, suasana kamar yang hening hanya diiringi suara detak jam dinding. Setelah mengganti pakaian basah kami, tak ada satu pun dari kami yang bicara.Aku masih mencerna fakta bahwa Arga benar-benar mengajakku menginap di rumah orang tuaku malam ini. Rumah sederhana yang penuh kenangan, jauh dari kemewahan rumah besar yang diberikan oleh orang tuanya."Aku nggak nyangka kamu bakal nyaman di sini," akhirnya aku membuka percakapan, mencoba memecah kebisuan.Arga menatap ke arahku, senyumnya samar, tetapi ada kehangatan di sana. "Kenapa nggak nyaman? Rumah ini jauh lebih hidup daripada rumah besar itu. Kamu tahu, kadang aku merasa kosong tinggal di sana."Aku menatap wajahnya yang serius. "Tapi... kamu kan terbiasa dengan semua hal besar dan mewah. Tidur di kasur kecil begini mungkin nggak biasa buatmu."Dia tertawa kecil, tapi matanya tetap serius. "Rilla, bukan soal besar atau kecil. Kadang aku lebih pengen rumah yang terasa seperti ini-r

  • SUAMIKU SAINGANKU   Badai Cinta

    Elang mengeluarkan sesuatu dari tasnya, sebuah kotak kecil berwarna biru muda. Dengan hati-hati, dia membukanya dan menghadapkannya padaku. Aku terkejut saat melihat isinya. Es krim dengan beberapa topping buah segar di atasnya."Aku tadi abis mampir ke supermarket, dan lihat ini... Mungkin bisa bikin suasana hatimu sedikit lebih baik," katanya dengan senyum ringan, meskipun aku bisa melihat kegelisahan di balik mata cokelatnya.Aku menatap es krim itu, lalu beralih menatap Elang. Caranya bicara, dan suaranya yang lebih lembut dari biasanya. Biasanya dia selalu santai dan terkesan main-main, tapi kali ini dia berbeda.Aku terdiam sejenak, lalu mengambil es krim itu dari tangannya. "Terima kasih, Elang," jawabku pelan, sedikit tersenyum. "Tapi kamu yakin ini bisa membuatku merasa lebih baik?"Elang mengangguk, tatapannya lembut. "Terkadang, hal-hal kecil seperti ini bisa membantu, Rilla. Aku nggak tahu apa yang sedang kamu hadapi, tapi mungkin sedikit waktu untuk menikmati sesuatu yang

  • SUAMIKU SAINGANKU   Benalu Menyapa

    Aku menatap Arga dengan tatapan penuh tanya, menunggu dia menyangkal ucapan perempuan itu. Tapi dia tetap diam, wajahnya kaku, dan sorot matanya menghindari milikku.Viona. Nama itu terasa asing, tapi caranya menyebut nama itu... seolah ada cerita panjang di baliknya. Perempuan bernama Viona itu menatap Arga dengan mata yang masih berkaca-kaca, sementara aku hanya berdiri di ambang pintu, bingung dengan situasi yang baru saja terjadi."Aku mencarimu, Arga," katanya pelan. "Aku tahu aku salah, tapi... aku tidak punya tempat lain untuk pergi."Aku berdeham, mencoba menghilangkan rasa sesak di dadaku. "Maaf, bisa jelaskan siapa kamu sebenarnya?" tanyaku, mencoba menjaga nada suaraku tetap sopan meskipun jantungku berdebar keras.Viona menoleh ke arahku, seolah baru menyadari keberadaanku. "Aku..." dia terdiam sejenak, tampak ragu. "Aku adalah orang yang seharusnya ada di sisi Arga."Perkataannya membuat darahku mendidih, tapi aku menahan diri. "Maksudmu?""Rilla, masuk ke dalam. Ini buka

  • SUAMIKU SAINGANKU   Semesta yang Berkhianat

    Berita tentang aku dan Arga yang menjalin hubungan menjadi topik hangat di sekolah. Setiap lorong yang kulewati, bisik-bisik itu tak pernah berhenti. Ada yang tertawa geli, ada yang penasaran, dan ada pula yang terlihat iri.Aku mencoba mengabaikannya, meski rasanya sulit untuk tidak memikirkan bagaimana reaksi semua orang, terutama Ericka. Aku tahu, dia tidak akan tinggal diam.Benar saja, berita itu akhirnya sampai juga ke telinganya. Tatapan Ericka padaku di kantin berubah menjadi lebih tajam, seperti pisau yang siap menusuk kapan saja. Dia tidak langsung bicara atau menyerangku seperti biasanya, tapi aku tahu dia sedang merencanakan sesuatu.Hari itu, setelah jam pelajaran selesai, aku pergi ke gudang sekolah untuk mencari beberapa alat peraga yang diminta oleh guru. Gudang itu sunyi, sedikit berdebu, dan penerangannya redup. Aku sibuk mencari barang-barang di rak, tidak memperhatikan keadaan sekitar. Tiba-tiba, suara pintu yang ditutup keras mengagetkanku."Brak!"Aku berbalik, t

  • SUAMIKU SAINGANKU   Ujian Berakhir

    Kami terbangun di pagi hari dengan suasana yang lebih ceria dan hangat dari biasanya. Aku merasa seakan semua yang terjadi kemarin malam menghapus kebekuan yang selama ini ada di antara kami.Arga bangun lebih dulu, tampak sedikit bingung sejenak, sebelum akhirnya matanya bertemu denganku. Ada senyum tipis di wajahnya, yang meskipun sederhana, aku bisa merasakan kehangatan yang berbeda.Kami tidak mengucapkan kata-kata berlebihan, hanya saling memberikan tatapan yang penuh arti, seolah mengatakan bahwa segala sesuatu bisa dimulai dengan cara yang lebih baik.Aku duduk di meja makan, menikmati sarapan yang sederhana. Suasana pagi itu tidak seperti biasanya. Lebih hidup, lebih ceria, seolah ada sebuah awal baru yang menanti. Percakapan ringan tentang kegiatan sekolah dan ujian, ditambah dengan tawa-tawa kecil, membuat suasana semakin terasa hangat.Arga yang biasanya pendiam, kali ini terlihat lebih santai, seakan ada sisi lain dari dirinya yang mulai terbuka."Arga, kamu siap untuk uji

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status