Menjadi janda dua kali, Anesya dicap memalukan. Ia dikatai tidak becus jadi perempuan, banyak tingkah dan liar oleh Ibu yang memang tak pernah menyayanginya. Wanita itu menyalahkan Anesya atas penyakit jantung Inara, pilih kasih, bahkan tega meminta Anes untuk melakukan kebohongan empat tahun silam. Tak pernah merencanakan, takdir malang menimpa Anesya. Ia mengandung anak dari mantan pacar, sekaligus suami Inara. Lantas, akan seperti apa nasib Anesya setelah itu? Akankah Anesya meminta tanggung jawab pada pria yang sudah menghamilinya? Apa yang akan Ibu lakukan ketika tahu Anesya kembali terlibat hal memalukan?
Lihat lebih banyak"Kamu senang jadi janda dua kali?"
Tadinya berniat mendiamkan semua omelan Ibu, aku terpaksa menoleh karena mendengar kalimat tadi. Gila. Tega sekali wanita yang sudah melahirkan aku itu berkata demikian?Memang, siapa yang suka jadi janda? Dua kali pula? Terlebih bukan janda yang ditinggal mati? Agak lain Ibuku ini.Jadi, hari ini Ibu dan Inara pulang dari luar negeri. Agenda tiap bulan, mengantar anak kesayangannya, si Inara itu untuk berobat. Kebetulan, pas mereka pulang, aku lagi ada di rumah. Bertemulah kami.Bukannya bertanya kabar, minimal bertanya habis berapa juta aku untuk biaya perceraian yang putusannya baru keluar dua hari lalu, Ibu malah marah-marah ndak jelas.Tadinya, sumpah, aku ingin diam saja. Sadar diri karena nantinya akan menumpang lagi di rumah Ibu, sudah kuputuskan untuk menerima saja semua wejangan wanita itu. Akan aku tahan apa pun yang dia katakan.Mau dibilang tak becus jadi istri, terlalu banyak tingkah jadi perempuan, sampai tuduhan selingkuh kalau perlu, aku sudah berjanji akan menerimanya dengan hati lapang, selapang-lapangnya. Namun, sungguh, kalimat barusan sama sekali enggak kuantisipasi.Tega sekali, ya, mengatai anak sendiri begitu. Menuduh aku senang karena sudah jadi janda dua kali. Wah, aku sampai enggak punya tenaga untuk geleng-geleng takjub karena terlampau terperangah."Kamu ini maunya apa, sih, Anesya? Mau sampai kapan kamu begini? Apa susahnya serius sama hidupmu sendiri?"Ibu sudah akan meraih lenganku, mungkin akan ia lipat-lipat, sampai suara Inara terdengar. Perempuan lemah lembut dengan kemeja coklat itu mencegah Ibu menyentuhku."Buk, sudahlah. Jangan terlalu keras sama Kak Nesya. Dia pasti masih sedih sekarang.""Sedih apanya? Kamu tidak lihat dia bisa makan keripik?" Ibu menunjuk keripik di pangkuanku.Aku langsung mengerutkan dahi. "Memangnya kalau baru cerai, enggak boleh makan keripik? Orang sedih pantang makan keripik? Ini keripik malang bener jadi barang terlarang?"Kulihat Ibu sudah akan membuka mulut. Mungkin, kali ini bukan cuma akan mengeluarkan kalimat panjang penuh amarah, Ibuku itu juga akan mengeluarkan semburan api. Jadi, aku buru-buru menyela.Aku berdiri, menaruh kedua tangan di depan wajah, alhasil plastik keripikku jatuh berserakan di karpet. Haduh! Sayangnya."Kan jatuh!" sungutku menyalahkan Ibu."Anesya!" Ibu memekik murka, aku langsung balik kanan, lalu kabur ke kamar.Nanti saja dilanjutkan makan keripiknya, setelah suasana lebih aman. Lagipula, sepertinya aku masih menyimpan dua bungkus keripik pisang rasa coklat di kamar. Sengaja kubeli banyak kemarin, setelah pulang dari pengadilan.Pintar, 'kan, aku?***Sejak tadi ponselku terus berdenting. Ingat tak punya urusan pekerjaan selama beberapa hari ke depan, aku mengabaikannya. Namun, makin dibiarkan dia malah makin menjadi.Malas-malasan aku bangun dari ranjang. Tak lupa melipat halaman buku novel yang sejak tadi kubaca, kemudian meraih ponsel. Banyak sekali pesan masuk."Oalasu!" Aku mengumpat kencang.Ini Inara kurang kerjaan atau gimana? Kenapa mengirimi banyak sekali pesan? Dia kan masih di rumah Ibu?Kubaca deretan pesan yang datang itu. Kebanyakan pertanyaan soal kondisiku, Inara agaknya mengalami gejala amnesia. Dia yang punya sakit jantung, kenapa malah sok cemas pada kondisiku? Aku ini manusia kuat. Dipukul pakai ikat pinggang saja aku enggak mati.Salah satu pesannya bertanya soal kapan aku datang ke rumahnya. Heleh! Banyak sekali energi wanita ini sampai memikirkan sesuatu yang remeh-temeh begini. Memang di rumahnya ada apa?Ada kamar tidur? Di sini juga ada. Di kamar kosku juga ada. Semua yang ada di rumahnya pasti juga ada di rumah Ibu. Ah, satu yang pasti ada di sana, tetapi enggak ada di mana pun.Si Gatan. Si gatal. Sianjing!Suasana hatiku jadi buruk, segera kulempar ponsel itu ke kasur. Lanjut rebahan, lanjut baca-baca. Peduli apa sama pesannya Inara?"Kak Anes?"Aku menaruh buku di atas wajah, lalu menggelepar bersemangat. Ketukan dan panggil di pintu makin sering, rasanya aku ingin mengunyah orang hidup-hidup.Apa Inara saja yang kukunyah?"Apa?" tanyaku sedang senyum kuda usai membukakan pintu untuk Inara.Perempuan dengan bulu mata lentik itu tersenyum. Ululu, manis sekali. Benar juga, ya. Dia lebih mirip Ibu daripada aku. Bulu mataku enggak lentik, tetapi lurus macam habis direbonding."Kakak udah makan? Inara buatkan mi, turun, yuk. Makan sama Inara."Wajah cantik, senyum manis, perangai dan tutur kata sempurna, penuh sopan santun. Aku mengangguk-angguk di tempat. Pantas banyak cowok yang tegila-gila pada Inara ini, ya? Pantas semua cowok yang kutaksir atau dekat denganku, akhirnya lebih memilih dia."Enggak, ah. Aku kenyang." Pintu sudah kudorong, tetapi Inara menahannya dengan tangan.Kalau enggak ingat dia ini ringkih sejak kecil, aku mungkin akan mendorong lebih kuat. Biar tangannya terjepit sekalian. Namun, enggaklah. Nanti bisa kena penjara. Ibu bisa ngamuk-ngamuk, ngatain aku udah janda dua kali, masuk bui pula.Akhirnya aku manut diajak turun ke meja makan. Kami makan, Inara sibuk berceloteh. Dia menerangkan soal perkembangan kondisinya di pembukaan."Doain, Kak. Semoga Inara nggak perlu operasi lagi."Aku mengangguk saja. Sebenarnya, enggak perlu dia kasih tahu, aku juga bakalan dapat info dari Ibu. Ibu kan enggak pernah absen memberitahu aku. Katanya, biar aku update perkembangan Inara dan seandainya Inara butuh bantuan aku siap sedia.Aku curiga Ibu melakukan itu untuk menyuruhku bersiap-siap siapa tahu Inara butuh mengambil jantungku untuk dicangkok.Selanjutnya, Inara cerita soal suaminya. Di sepanjang topik itu, aku menunduk ke arah mangkuk mi. Meresapi rasa kuah dan mi sebaik-baiknya, berusaha mendistorsipikiran dari ocehan Inara.Bukan apa-apa. Aku, tuh, sensitif sama topik itu. Aku dan suaminya Inara enggak akur. Jadi, sepet kalau dengar berita soal dia. Sialnya, Inara membutuhkan waktu hampir 20 menit untuk menceritakan suaminya. Aku hampir buang air besar di celana karenanya."Kak," panggil Inara sesudah beberapa saat diam.Aku menengok dengan wajah lempeng."Kapan Kakak main ke rumahku? Sekali aja, Kak. Inara juga pengen kayak adik-adik yang lain. Dikunjungin Kakaknya."Kepalaku mengangguk cepat."Serius, Kak. Jangan nunda-nunda lagi. Inara udah menikah empat tahun, tapi sekali pun Kakak belum pernah nginjak rumahku."Kali ini wajah ramahku hilang. Alisku mengait. "Memang, sepenting apa aku nginjak rumahmu? Apa urgensinya?"Senyum Inara tampak sedih. Aku curiga sebentar lagi dia akan menangis. Haduh, segera kupakai sandal rumah. Harus bersiap untuk kabur, kalau-kalau Ibu datang ke sini. Aku bisa dituduh sudah membuat anak kesayangannya menangis.Padahal, aku enggak salah apa-apa."Inara butuh yakin kalau Kakak nggak benci Inara lagi, setelah permintaan terakhir yang pernah kubuat waktu itu.""Bohong banget aku enggak benci kamu?" sahutku tanpa menutup-nutupi.Dia mengangguk, masih dengan senyum yang kelihatan enggak lepas. "Maafnya Inara belum cukup?""Aku bencinya dulu. Sekarang udah enggak. Udah biasa aja." Aku meneguk air dari gelas. Rasanya ingin cepat-cepat mengakhiri percakapan ini."Inara akan percaya itu, kalau Kakak datang ke rumahku. Jadi, Inara tunggu, Kak. Datanglah ke rumah, biar Inara bisa ngehapus rasa bersalah ke Kakak."Gatan itu penipu. Katanya lembur, banyak pekerjaan, tidur di kantor. Mana ada! Lelaki itu menginap di hotel. Aku sudah ke kantornya tadi. Enggak tahan menunggu terus, aku berniat menjemput, menyeretnya pulang. Namun, karena enggak menemukan dia di kantor, aku menelepon. Dia pun memberi alamat hotel, dan di sinilah aku sekarang. Pria itu agaknya sudah tidur. Saat membukakan pintu tadi, rambutnya berantakan, pun mukanya bengkak. Dasar kurang ajar. Selepas dipersilakan masuk, aku langsung memukul dadanya. "Kamu bisa tidur enak-enak, sementara aku dan Damar kecarian?!" Lelaki itu menggaruk kepala. Dia terduduk di tepian ranjang dengan kepala tertunduk. "Kamu kira ngurus rumah dan Damar itu enggak susah, hah? Kamu sendiri yang bilang mau bantuin. Tapi, apa? Kamu nipu! Bilangnya mau kerja, malah tidur di hotel! Enggak sekalian kamu bawa perempuan kemari?!" Dia melirik dengan sorot dongkol di mata. "Rencananya besok," sahut pria itu enteng. Mendengar itu, aku langsung memukul kepalan
Gatan benar-benar ingin mengakhiri pernikahan kami. Seminggu lebih pria itu enggak pulang. Aku sampai-sampai harus meminta Rahisa datang untuk menemani aku dan Damar di rumah. Sedari Rahisa datang, aku langsung menangis dan menceritakan apa yang terjadi. Perasaanku campur aduk. Aku marah, kesal karena Gatan terlalu menganggap serius perkataanku kemarin sampai-sampai merajuk dan enggak pulang. Belum lagi, sejak kemarin sore Damar demam. Anak itu terus memanggil-manggil ayahnya. Sepertinya dia juga rindu dengan lelaki itu. Dasar pria kurang ajar! Setelah membuat kami terbiasa dengan kehadirannya, sekarang malah tiba-tiba pergi. "Aku harus apa, Rahi?" tanyaku pada Rahisa yang sejak tadi menggendong Damar. "Apa lagi? Ya minta dia balik." Damar di gendongan Rahisa mulai merengek lagi. Papak, katanya seraya menangis. Rahisa menengokku dengan ekspresi kecut. "Jemput sana. Anakku kasihan nangis begini." Air mataku tumpah lagi. "Kalau dia anakmu, kamulah yang jemput bapaknya!" Rahisa
"Kenapa, sih, harus sampai mutusin hubungan begitu?" Gatan menyuarakan protesnya usai kami makan dan duduk di ruang tamu. Saat makan tadi, aku mengutarakan keinginan. Aku enggak mau Ibu datang atau Gatan mengajak kami bertandang ke rumah Ibu sampai batas waktu yang belum ditentukan. Hal ini aku lakukan untuk melindungi anakku. Melihat bagaimana Ibu tega menyalahkan Damar seperti siang kemarin, tekadku untuk menjauhkan kami dari Ibu makin besar. Aku enggak mau mengambil risiko Damar akan mengalami apa yang pernah aku rasakan. "Mutusin hubungan gimana?" bantahku dengan nada suara sewot. "Aku cuma bilang, untuk sementara, Ibu enggak boleh datang dan aku menolak diajak berkunjung." "Tapi kan Ibu itu satu-satunya orang tua kita, Anes." Gatan masih berusaha membujuk. Mendengar itu, aku menghela napas. Kutatap dia putus asa. Aku yakin, dia masih bisa bicara begini karena enggak pernah merasakan apa yang aku alami. "Kamu tahu?" mulaiku. "Kemarin siang, Ibu datang cuma untuk menyalahkan
Aku pulang habis membeli sayur di pedagang keliling dengan wajah ditekuk. Enggak langsung ke dapur, aku menghempas bokong di sofa ruang tamu. Gatan dan Damar sedang bermain di sana. "Kenapa, Nes?" Pria yang duduk di karpet itu mungkin sadar kalau sejak tadi aku berusaha mengatur napas. "Memang, ya. Kita itu enggak bisa jujur-jujur benget sama orang lain!" ucapku berapi -api. "Bukannya untung, malah buntung. Tahu gini, mending aku nipu aja sekalian!" Aku menumpahkan rasa kesal. Gatan menajamkan mata sesaat. Pria itu menengok Damar yang kembali asyik dengan mainan usai melirik padaku sebentar. Aku berdeham, menyesal sudah menaikkan nada suara. Habis, bagaimana? Aku kesal!"Memang ada apa?" Aku menoleh pada Gatan yang tengah mengangsurkan mobil-mobilan pada Damar. "Kamu tahu tetangga sebelah?" "Sebelah mana? Kiri? Kanan? Apa kanan kiri?" Dia malah merespon dengan candaan, aku mencubit lengannya. Pria itu hanya meringis. Tetap menjaga agar keadaan nyaman untuk si bayi yang sibuk me
Semenjak melahirkan, aku memang sudah jarang datang ke kolam ikan. Semua pekerjaan aku limpahkan ke Pak Sardi. Meski sering mengeluh enggak sanggup terus-terusan mengurusi semua sendiri, Pak Sardi sangat bertanggungjawab. Namun, tetap saja rasanya sedih karena enggak bisa mengurusi usaha kecilku itu secara langsung. Bagaimana juga aku bisa kembali mengurusi kolam ikan secara langsung? Pagi-pagi, aku sudah harus bangun untuk membuat sarapan. Mencuci piring dan kain. Menyapu dan mengepel. Memandikan Damar, menemaninya bermain, membawanya jalan-jalan ke luar di pagi atau sore hari. Kemudian begitu lagi di malam hari. Bukan aku banyak mengeluh. Namun, kadang bosan membuat sulit untuk melapangkan sabar. Akhirnya, aku beberapa kali menangis seperti kemarin dini hari, hanya karena enggak mampu membuat Damar yang terbangun kembali tidur. Pagi ini pun, aku membuat kesalahan. Aku bangun pukul tujuh. Harusnya di jam segini aku sudah mandi dan membangunkan Damar. Sambil bersungut-sungut, aku
Memang, kesadaran diri itu adalah sesuatu yang penting. Tahu diri itu harus. Kalau enggak, maka akan jadi seperti aku. Dari awal, aku sudah menanamkan pada diri. Walaupun menikah dengan Gatan, laki-laki yang pernah kucinta, pun masih tetap menjadi yang paling berarti sampai sekarang, aku tak boleh terlampau bahagia. Sebab sejatinya pernikahan ini bukan untuk menyenangkan aku, melainkan demi mempertahankan Damar agar tidak diambil Ibu. Namun, lihatlah apa yang kini aku rasakan. Bisa-bisanya aku sedih, menangis tersedu-sedu, terisak parah cuma karena membayangkan apa yang terjadi sejak pagi, hingga sore tadi. Aku tidak tahu diri. Sejak awal sok menentang pernikahan, tetapi nyatanya aku merasa sedih sebab tak bisa mengundang banyak orang di pernikahan ini. Acara tadi pagi cuma dihadiri sepupunya Gatan, Rahisa, Pak Naja dan Ibu. Sudah tak mengundang banyak orang, sebagai acara resepsi kami hanya makan bersama. Makan sederhana di rumah baru yang kata Gatan akan jadi tempat tinggal kami
"Anes, Damar makan jarinya sendiri!"Pada Gatan yang memberitahu dengan wajah terkejut, aku cuma bisa menghela napas. Kutaruh handuk di keranjang kotor, kemudian berjalan ke ranjang. Aku duduk di tepian, menatap ke arah Damar yang melempar kedipan lugu seraya menghisap ibu jari."Anak bayi ngisep ibu jari itu biasa," terangku sembari tersenyum pada Damar.Bayi itu balas tersenyum, kemudian menengok pada ayahnya yang kembali berusaha memasangkan popok.Sore ini Gatan singgah sepulang bekerja. Padahal, aku sudah beritahu kalau anaknya baik-baik saja. Pun, sudah berbaik hati mengirimi pesan gambar. Namun, dasarnya lelaki itu keras kepala, dia tetap datang."Nes, kenapa dia lihatin bajuku terus, ya?"Gatan menoleh dengan ekspresi cemas. Pria itu membaui ketiaknya, mengusapi bagian depan kaus hijaunya, kemudian menatap padaku lagi."Anes?"Aku berdecak. "Itu karena warna kausnya cerah. Bayi memang gitu, tertarik sama warna yang cerah-cerah," jelasku lagi sembari menyisir rambut yang seteng
Aku sedang memangku Damar seraya mengajak dia mengobrol, saat Rahisa datang. Perempuan itu muncul bersama Naja, menyapa dengan suara riang, lalu tiba-tiba menangis sambil memelukku."Aku rindu. Kalau bukan demi melancarkan rencana Gatan, aku enggak akan nunggu sampai selama ini."Aku enggak paham yang dia ceritakan. Lebih-lebih setelah Rahisa mengambil alih Damar dari pangkuanku, kemudian heboh sendiri."Astaga, Nak. Kenapa makin manis banget kamu ini? Damar enggak lupa Mama, 'kan?" Satu tangannya menaruh tangan Damar di pipi. "Mama. Aku Mamanya kamu, teman Ibunya kamu."Damar cuma senyum. Aku senang anak itu enggak menangis karena tingkah heboh Rahisa. Rahisa ini entah mau melakukan apa. Sebentar ia sentuhkan tangan kecil Damar ke pipi. Setelahnya, ia ciumi si bayi. Habis itu, pura-pura mau memakan jari Damar."Mama makan tanganmu, ya? Iya? Ih, senyum." Rahisa melirik ke sini dengan mata besar dan berbinar. "Anakmu pinter banget, Nes. Udah bisa senyum! Ih, giginya belum ada.""Waktu
Sebenarnya, aku enggan diajak ke sini. Menurutku, kalau pun harus segera memberitahu Ibu soal rencana pernikahan kami, bisa dilakukan lewat kirim pesan atau telepon. Namun, Gatan bersikeras agar kami datang ke rumah Ibu.Awalnya sudah enggak setuju, ketika menginjak lantai teras perasaanku jadi makin enggak enak. Aku teringat kejadian empat bulan lalu. Saat rumah ini ramai oleh pelayat dan sebuah bendera kecil warna merah terpasang di salah satu tiangnya.Dada terasa kebas saat mengingat bagaimana Ibu menuduh aku sebagai penyebab Inara meninggal. Langkahku berhenti di ambang pintu masuk. Beberapa kali aku menggeleng dan menarik napas untuk mencari ketenangan.Entah sejak kapan, datang ke sini seperti datang ke tempat pengadilan. Aku takut semua kesalahanku dibeberkan ulang di sini, kemudian aku diberi hukuman."Kenapa?"Pertanyaan dan suara Gatan membawaku ke masa sekarang. Aku menggeleng pelan padanya. Kutelan ludah hati-hati, kemudian mantap melanjutkan langkah.Kami dipersilakan du
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen